Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ dan
memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara
terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang
yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus Eritmatosus Sistemik (LES) adalah kelemahan umum,
anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan
jaringan persendian, kulit, dan darah 30-50% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem
saraf, serta 10-30% menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibodi
antikardiolipin.
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat
menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ penting,
sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada keterlibatan beberapa
organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat muncul
gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan kehilangan berat
badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan
laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat
penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi
onset dan perjalanan penyakit
1.2 Rumusan Masalah
a. Pengertian Lupus eritematosus Sistemik?
b. Etiologi Lupus eritematosus Sistemik?
c. Patofisiologi Lupus eritematosus Sistemik?
d. Manifestasi klinis Lupus eritematosus Sistemik?
e. Lupus Neonatus?
f. Penatalaksanaan Lupus eritematosus Sistemik?

1
g. Komplikasi Lupus eritematosus Sistemik?
h. Pemeriksaan diagnostik Lupus eritematosus Sistemik?
i. Asuhan Keperawatan Lupus eritematosus Sistemik?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian Lupus eritematosus Sistemik
b. Untuk mengetahui etiologi Lupus eritematosus Sistemik
c. Untuk mengetahui patofisiologi Lupus eritematosus Sistemik
d. Untuk mengetahui manifestasi klinis Lupus eritematosus Sistemik
e. Untuk mengetahui lupus neonatus
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan Lupus eritematosus Sistemik
g. Untuk mengetahui komplikasi Lupus eritematosus Sistemik
h. Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostik Lupus eritematosus Sistemik
i. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Lupus eritematosus Sistemik

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang berbagai
jaringan dan organ tubuh. Istilah ’lupus eritematosus sistemik’ dapat diartikan secara bahasa
sebagai ’gigitan serigala’, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada
wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi.
Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan
penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ
yang dapat terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut
sebagai penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators).

2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab LES (Lupus eritematsus sistemik) belum diketahui, Diduga ada
beberapa paktor yang terlibat seperti paktor genetic,inpeksi dan lingkungan ikut berperan pada
patofisiologi LES (Lupus eritmatosus sistemik).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkananti bodi
secara terus menerus. Anti bodi ini juga berperan dalam komplek imun sehingga mencetuskan
penyakit implamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan
gangguan
Mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas selbe.hal ini dapat terjadi
sekunder

Terhadap beberapa factor :


1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper

3
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :


a. Infeksi
b. Antibiotik
c. Sinar ultraviolet
d. Stres yang berlebihan
e. Obat-obatan yang tertentu
f. Hormon

Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus
bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering
ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit
lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama esterogen) mungkin berperan
dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom
mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pda SLE, peningkatan produksi
autoantibody diperkirakan terjadi akibat funsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibody tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4
5
2.4 Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue,
dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada
dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada
penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi
klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan.
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar
yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas yang
berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya
infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi
sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak
tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi.
Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan
rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi
pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki.

2.5 Lupus Neonatus


Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu dengan
SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau blokade jantung
kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya Sindrom lupus neonatus
dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum
pasti.

6
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal Lupus
memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/blok
jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung
dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada
penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara
1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6%
dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro
dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini adalah
adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua yang
menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin. Sekali
terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes
pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti
pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal
mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi
ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil. \

2.6 Penatalaksanaan
a. Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan peradangan,
mengatasigejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan peradangan pada
SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat
antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi,
ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu memberitahu orang tua yang
kadang-kadang memakan waktu lama sebelum terapi efek obat antimalaria yang

7
jelas.Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan
kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID atau obat antimalaria. Kortikosteroid
sangat efektif dalam mengurangi peradangan dan gejala, meskipun mereka juga memiliki
efek samping yang serius dari imunosupresi. Selama periode eksaserbasi, kortikosteroid
dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah kontrol, dosisnya
adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting untuk
memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya untuk
menghentikan obat.Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE
parah termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah
mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala yang hadir. Agen
Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari
kortikosteroid. Keputusan untuk menggunakan immunosuppressives membutuhkan
pertimbangan serius karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam pengobatan SLE
termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti depresi sumsum
tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus memperkuat informasi tentang aksi obat
sebagai serta efek samping dengan orangtua sebelum pemberian obat iniSelain obat-
obatan , asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif dan memberikan
dukungan psikososial . Sekarang penting bahwa mempertahankan gizi anak yang baik ,
b. Paparan Sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus dan juga gejala-gejala
sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada laporan bahwa pasien yang secara teratur
menggunakan tabir surya (SPF 15 atau lebih) telah secara signifikan lebih rendah keterlibatan
ginjal, trombositopenia dan rawat inap, dan membutuhkan treatment siklofosfamid yang
menurun. Semua anak dengan SLE harus disarankan untuk memakai tabir surya setiap hari untuk
semua kulit yang terbuka (termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
c. Diit dan Latihan
Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid-diinduksi berat badan, makanan
tinggi kalori dan garam harus dihindari. Latihan harus didorong. Cukup banyak anak

8
berpartisipasi di sekolah penuh waktu, kecuali selama periode penyakit aktif berat. Kegagalan
untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim kesehatan untuk kemungkinan masalah
psikososial. Komunikasi dengan guru sekolah diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan
keterlibatan tim klinis jika diminta (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

d. Fatique dan Tidur


Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini biasanya akan membaik
sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang tua merasa sulit selama ini untuk
memungkinkan anak-anak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Terapis
18okupasi dan fisik dapat sangat membantu dalam membantu untuk mengembangkan kegiatan
yang lebih baik dan perilaku tidur. Beberapa pola tidur anak-anak bisa berubah pada awal SLE.
Hal ini biasanya berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi hiperaktif dan
murung, dan mengalamikesulitan tidur. Hal ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis
kortikosteroid sore hari lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi perlu buang
air kecil beberapa kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali untuk tidur. Keterkaitan
dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
e. Dampak SLE untuk anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan dukungan sangat
diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama dalam membantu keluarga merasa
bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk tidak terlalu membebani
keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah diagnosis. Perawat dapat memainkan peran
kunci dalam membantu mereka dengan belajar tentang penyakit dengan sering telepon tindak
lanjut dan kunjungan. Informasi tertulis dan review dari penyakit dan efek samping pengobatan
yang sering diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007). Remaja sering memberikan
tantangan yang unik karena mereka dapat menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme
koping. Hal ini tidak selalu mekanisme buruk, tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota
keluarga. Sbagian besar anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak yang memilih untuk tidak
memberitahu teman-teman atau guru tentang penyakit mereka. Seringkali remaja akan

9
melanjutkan semua kegiatan mereka sebelumnya karena mereka tidak ingin berbeda dari yang
lain(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami
oleh keluarga atau anak hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat ini,
meskipun penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya sedikit obat yang
diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut diperlukan. Ketidakpastian SLE, di mana
seorang anak dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun dan kemudian memiliki flare
dari penyakit mereka, sangat menegangkan.
2.8 Komplikasi
Komplikasi LES meliputi :
a. Hipertensi (41%)
b. Gangguan pertumbuhan (38%)
c. Gangguan paru-paru kronik (31%)
d. Abnormalitas mata (31%)
e. Kerusakan ginjal permanen (25%)
f. Gejala neuropsikiatri (22%)
g. Kerusakan muskuloskeleta (9%)
h. Gangguan fungsi gonad (3%)

2.9 Pemeriksaaan Diagnostik


a. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia

2. Kelainan Imunologis
Ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, faktor
reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
b. Radiology
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c. Histopatologi
 Umum :

10
Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin
pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
 Ginjal :
2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
 Kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada dermo-
epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak
terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang
tidak terkena dan terpanjan.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SLE
3.1 Pengkajian
a. Identitas
Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita, bila dibandingkan
dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang berkulit
hitam dari pada orang yang berkulit putih.
b. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema malar ( pipi ) ras seperti
kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya pasien mengeluh demam dan
kelelahan.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik, trombositopeni, abortus
spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan darah ( kemungkinan sindroma, antibody,
antikardiolipin ).
d. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung memproduksi
auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi terjadinya lupus eritematosus.
e. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi
2) Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa kg, penyakit ini
disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga mengakibatkan penderita nafsu makannya
menurun.
3) Pola aktivitas

12
4) Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
5) Pola eliminasi
6) Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial, namun, secara
klinis penderita ini juga mengalami diare.
7) Pola sensori dan kognitif
8) Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari – jari
tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
9) Pola persepsi dan konsep diri
10) Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas seperti luka
dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat penderita merasa malu
dengan adanya lesi kulit yang ada.
f. Pemeriksaan fisik

1) Sistem integument
2) Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang bersifat
irreversibel.
3) Kepala
4) Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang sifatnya
reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
5) Muka
6) Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
7) Telinga
8) Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
9) Mulut
10) Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
11) Ekstremitas
12) Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari jari-jari
kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
13) Paru – paru
14) Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel fibrosis.

13
15) Leher
16) Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance
glukosa.
17) Jantung
18) Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis, vaskulitis.
19) Gastro intestinal
20) Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada perut.
21) Muskuluskletal
22) Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint swelling.
23) Sensori
24) Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
25) Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.

g. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan histologi terlihat
adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi berupa mencairnya lapisan basal
epidermis penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis. Imunofluoresensi langsung pada kulit yang
mempunyai lesi memberikan gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat
pada SLE. Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap
autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi pada penderita le. Skrining tes ana ini
dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek, dikenal dengan fluorescent antinuclear
antibody test ( fana ).

. h. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan SLE adalah:
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.

14
2) Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
tidur/aktivitas yang tidak memadai, nutrisi yang tidak memadai dan depresi/stres
emosional.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik, kurangnya atau
tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi.
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta

psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.

3. Perencanaan
Perencanaan
Diagnosa
Tujuan dan kriteria
Keperawatan Intervensi Rasional
hasil
Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kolaborasi pemberian1. Menggunakan agens
berhubungan tindakkan keperawatan analgetik dan kaji skala farmakologi untuk
dengan inflamasi selama ... x 24 jam nyeri meredakan atau
dan peningkatan diharapkan nyeri menghilangkan nyeri
aktivitas penyakit, berkurang dengan 2. Mengetahui perubahan
kerusakan jaringan, kriteria hasil: TTV pasien
keterbatasan Skala nyeri berkurang2. Ukur TTV pasien 3. Mengetahui respon
mobolitas atau TTV dalam batas pasien terhadap nyeri
tingkat toleransi normal 3. Observasi respon
yang rendah. Kegelisahan nonverbal dari
berkurang ketidaknyamanan
Keletihan Setelah dilakukan 1. Monitor nutrisi dan 1. Mengontrol asupan
berhubungan tindakkan keperawatan sumber energi yang nutrisi pasien untuk
dengan peningkatan selama ... x 24 jam adekuat mengurangi keletihan
aktivitas penyakit, diharapkan keletihan 2. Mengetahui apakah
rasa nyeri, teratasi dengan kriteria
2. Kaji tingkat kecemasan pasien cemas untuk
tidur/aktivitas yang hasil: pasien mengurangi keletihan
tidak memadai, Glukosa darah 3. Mengetahui apakah
nutrisi yang tidak adekuat istirahat/ tidur pasien
memadai dan Kecemasan menurun 3. Monitoring pola tidur cukup
depresi/stres Istirahat cukup dan lamanya tidur/
emosional. istirahat pasien
Hambatan mobilitas- Setelah dilakukan 1. Latih pasien berpindah 1. Melatih pasien untuk
fisik berhubungan tindakkan keperawatan dari tempat tidur ke berpindah untuk
dengan penurunan selama ... x 24 jam kursi menghindari dissus

15
rentang gerak, diharapkanpasien atrofi.
kelemahan otot, rasamenunjukkan 2. Mengetahui perubahan
nyeri pada saat mobilitas fisik dengan2. Ukur TTV pasien saat TTV pasien saat dan
bergerak, kriteria hasil: dan setelah beraktivitas setelah pasien
keterbatasan daya - Mampu berpindah dari beraktivitas
tahan fisik, tempat duduk ke kursi 3. Memandirikan pasien
kurangnya atau -TTV normal saat dan 3. Latih pasien dalam dalam memenuhi
tidak tepatnya setelah beraktivitas pemenuhan kebutuhan kebutuhan ADL
pemakaian alat-alat -Mampu melakukan ADL secara mandiri
ambulasi. kebutuhan ADL secara
mandiri
Gangguan citra Setelah dilakukan 1. Kaji secara verbal dan1. Mengetahui apakah
tubuh berhubungan tindakkan keperawatan nonverbal respon klien body image pasien
dengan perubahan selama ... x 24 jam terhadap tubuhnya positif atau tidak
dan ketergantungan diharapkanpasien 2. Fasilitasi kontak
fisik serta dapat menerima dengan individu lain 2. Membantu pasien
psikologis yang keadaan tubuhnya dalam kelompok kecil untuk mempertahankan
diakibatkan oleh dengan kriteria hasil:3. Dorong klien interaksi sosialnya
penyakit kronik. - Body image positif mengungkapkan
- Mempertahankan perasaannya 3. Mendorong pasien
interaksi sosial untuk mengungkapkan
- Mendeskripsikan secara faktual tentang
secara faktual perasaannya terhadap
perubahan fungsi perubahan fungsi
tubuh tubuh

4. Evaluasi
Diagnosa keperawatan Evaluasi
Nyeri akut berhubungan denganinflamasi 1. Pasien mengatakan skala nyeri berkurang
dan peningkatan aktivitas penyakit, 2. TTV dalam batas normal
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas3. Kegelisahan berkurang
atau tingkat toleransi yang rendah.

Keletihan berhubungan dengan peningkatan1. Glukosa darah adekuat


aktivitas penyakit, rasa nyeri, tidur/aktivitas2. Kecemasan menurun
yang tidak memadai, nutrisi yang tidak 3. Istirahat cukup
memadai dan depresi/stres emosional.

16
Hambatan mobilitas fisik berhubungan 1. Mampu berpindah dari tempat duduk ke kursi
dengan penurunan rentang gerak, kelemahan 2. TTV normal saat dan setelah beraktivitas
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, 3. Mampu melakukan kebutuhan ADL secara
keterbatasan daya tahan fisik, kurangnya mandiri
atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat
ambulasi.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan1. Body image pasien terlihat positif
perubahan dan ketergantungan fisik serta 2. Pasien mampu mempertahankan interaksi
psikologis yang diakibatkan oleh penyakit sosial
kronik. 3. Pasien mampu mendeskripsikan secara faktual
perubahan fungsi tubuh

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

17
SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan
autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan
jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang,
terutama antibodi untuk double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat
terkena, dan karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai
penyakit seribu wajah (masquerader, The Great Imitators
4.2 Saran
 Perawat bisa mengenal dengan cepat ciri-ciri dari Lupus Erimatosus Sistemik.
 Perawat bisa menangani pasien dengan penyakit Lupus Erimatosus Sistemik dengan
cepat, teliti dan terampil.
 Perawat dapat bekerjasama dengan baik dengan tim kesehatan lain maupun pasien dalam
tahap pengobatan.

18

Anda mungkin juga menyukai