Anda di halaman 1dari 13

PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS PADA PRODUK LOKAL

SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dengan jumlah
lebih dari 17.500 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan 34 provinsi di Indonesia membuka
peluang bagi daerah untuk dapat terus menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
Undang-Undang Otonomi Daerah telah membuka ruang bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan
dan memanfaatkan peluang ekonomi yang ada. Dari segi sumber daya alami, banyak produk daerah yang
telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, sebagai contoh: Kopi Gayo, Kopi Kintamani, Kopi Toraja, Salak Pondoh, Ubi Cilembu, Beras
Solok dan sebagainya.

Di era perdagangan bebas, produk barang seperti ini mendapat perhatian dan perlakuan khusus yang
dikenal dengan Indikasi Geografis atau Indication of Origin. Sistem Indikasi Geografis di dunia pertama
kali diperkenalkan Perancis pada awal abad ke-20, melalui pemberian Appellation d'Origine Contrôlée
(AOC) pada produk lokal yang memiliki kriteria geografis tertentu dan kriteria khusus lainnya, misalnya
Keju Roquefort yang merupakan keju susu domba dari trah Lacaune, Manech, dan keturunan Basco-
Bearnaise (Raustiala Kal and Munzer Stephen R, 2007). Hanya keju yang disimpan dalam gua-gua
Combalou di wilayah Roqueforty-sur-Soulzon saja yang boleh diberi nama Roquefort. Perlindungan sistem
Indikasi Geografis secara internasional diatur dalam norma Persetujuan Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs). Pasal 23 TRIPs Agreement secara khusus telah bersepakat untuk
memberi perlindungan bagi segala macam produk baik produk mentah maupun produk hasil olahannya
melalui sistem perlindungan Indikasi Geografis atau tanda asal barang.

Mengapa diperlukan sistem perlindungan Indikasi Geografis tersebut dan apa yang menjadi latar
belakangnya? Dengan latar belakang Perundingan Uruguay, beberapa negara khususnya Perancis yang
sudah dikenal sebagai penghasil jenis minuman anggur dan minuman keras (wines and spirits), dan
beberapa negara lain seperti India sebagai negara asal varietas padi “Basmati”, mengajukan konsep baru
perlindungan khusus untuk produk barang berkualitas dan mempunyai karakter atau ciri khas yang hanya
didapati di negaranya saja, sehingga produk tersebut di luar negaranya memiliki nilai ekonomi sangat
tinggi.

Alasan utama perlu diberikan sistem perlindungan Indikasi Geografis tersebut adalah karena dalam
kenyataannya, baik produk minuman anggur dari Perancis maupun beras hasil varietas Basmati yang
berasal dari India, juga ditanam dan diproduksi secara massal di beberapa negara lain dengan
menggunakan indikasi (tanda) seolah-olah berasal dari negara asalnya. Bagi Perancis, tindakan
memproduksi produk yang seolah berasal dari tempat asalnya merupakan salah satu modus perbuatan
curang yang dikategorikan sebagai persaingan usaha tidak sehat (unfair competition). Tindakan oleh
produsen lain di luar negara asalnya, dianggap Perancis sebagai praktek perdagangan yang bertentangan
dengan fair trade principles. Dalam contoh kasus di atas, konsumen di negara lain yang mungkin tidak
mengetahui bahwa produk yang dikonsumsinya tidak asli (origin) dari negara asalnya. Demikian juga yang
lebih dianggap tidak kalah pentingnya bahwa tindakan memproduksi barang seolah-olah asli dari tempat
asalnya, secara ekonomis telah merugikan perusahaan atau masyarakat yang menghasilkan produk di mana
produk tersebut berasal.

Dari aspek substansinya, masalah perlindungan produk barang melalui sistem pendaftaran Indikasi
Geografis tersebut tidak saja berkaitan dengan konsep perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
khususnya perlindungan Merek yang mengacu pada TRIPs Agreement, juga ada hubungannya dengan
konsep perlindungan plasma nutfah (biodiversity) sebagai sumber genetik dan perlindungan pengetahuan
tradisional masyarakat (the farmer rights and traditional knowledge) sebagaimana diatur dalam Rio
Conventions, Cartagena Conventions serta UPOV Conventions untuk varietas tanaman (plant variety).
Sekarang tinggal bagaimana pemerintah serta masyarakat Indonesia, dapat menangkap sebuah peluang di
bidang perdagangan dengan aktif mengimplementasikan sistem perlindungan Indikasi Geografis tersebut,
kemudian menginventarisir dan memaksimalkan berbagai potensi yang belum atau telah dikelola oleh
masyarakat, seperti kekayaan sumber daya alam (resources) baik produk mentah atau produk hasil
olahannya.

I.2 Kontribusi Dalam Dunia Ilmiah

Memasuki era perdagangan bebas belakangan ini, banyak ditemui pelaku bisnis lintas negara yang mencari
alternatif produk dengan kebaruan dan ciri khas unik untuk diperdagangkan. Terutama sering kita temui
produk-produk berbasis traditional knowledge dari negara berkembang yang memiliki kekayaan alam dan
budaya untuk dapat diakuisisi serta dikembangkan sehingga bernilai ekonomi tinggi bagi negara pemilik
produk tersebut. Maka dari itu, penerapan perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia akan dapat
meminimalisir tindakan-tindakan pencurian identitas suatu komoditas bangsa agar tidak merugikan
Indonesia dikemudian hari.

Salah satu contoh kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual terutama Indikasi Geografis adalah kasus
Kopi Arabika Gayo. Pada tanggal 15 Juli 1999, sebuah perusahaan Belanda yang bernama European
Coffee Bv mendaftarkan nama Gayo sebagai merek dagang kopi di Belanda yaitu Gayo Mountain Coffee.
Akibat dari pendaftaran merek tersebut, tidak ada perusahaan lain yang boleh menjual kopi dengan
memakai nama Gayo di Belanda, termasuk perusahaan asal Indonesia. Nama Arabika Gayo yang terkenal
dikalangan konsumen kopi dunia tentu membuat mereka rela untuk membayar harga tinggi demi Kopi
Arabika Gayo tersebut, namun dengan adanya pengakuan merek dagang di Belanda menjadikan sebuah
kerugian secara ekonomi bagi Indonesia terutama petani Kopi Arabika Gayo sendiri yang seharusnya
memiliki perlindungan terhadap merek dagang Kopi Arabika Gayo. Akhirnya pada 2010, Kopi Arabika
Gayo berhasil meraih sertifikat Indikasi Geografis atau hak paten dari Dirjen Hak dan Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Republik Indonesia, sehingga
sepenuhnya Kopi Arabika Gayo menjadi hak komunitas Masyarakat Gayo di Aceh.

Peran pemerintah khususnya Pemerintah Daerah menjadi penting. Pemerintah Daerah harus lebih serius
mensosialisasikan, membimbing masyarakat serta melakukan inventarisasi dan memfasilitasi masyarakat
untuk mendaftarkan berbagai produk lokal hasil alam yang “khas” (potensial) di daerahnya untuk
dilindungi indikasi geografis, apa lagi jika selama ini produk-produk tersebut secara rutin (tradisional)
sudah diekspor ke luar dan memperoleh pasar yang tetap. Kita tentu tidak ingin pengalaman pahit pada
kasus Kopi Toraja yang terdaftar di Jepang sebagai merek dagang “Toarco Toraja”, maupun klaim merek
dagang “Gayo Montain Coffee” terhadap Kopi Gayo dengan oleh perusahaan Belanda, diwaktu yang akan
datang terulang kembali terhadap produk asli Indonesia lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Indikasi Geografis

Indikasi Geografis adalah tanda yang digunakan untuk produk yang mempunyai asal geografis spesifik dan
mempunyai kualitas atau reputasi yang berkaitan dengan asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri
dari nama produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal produk. Dari segi definisi, Indikasi
Geografis mengandung pengertian (Almusawir et.al, 2018):
“A Geographical Indication is a sign used on goods that have specific geographical origin and
possess qualities or a reputation that are due to that place of origin. Most commonly, a
geographical indications consists of the name of the place of origin of the goods. Agricultural
products typically have qualities that derive from their place of production and are influence by
specific local factors, such as climateand soil”.

Dari pengertian di atas dapat diuraikan ciri atau unsur-unsur pokok Indikasi Geografis sebagai berikut:
1. Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah yangmerupakan ciri khas suatu produk atau barang
yang diperdagangkan;
2. Sebagai tanda yang menunjukkan kualitas ataureputasi produk atau barang yang bersangkutan;
3. Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam,cuaca dan tanah didaerah yang bersangkutan.

Perlindungan atas indikasi geografis pada dasarnya telah diperkenalkan dalam beberapa konvensi
internasional sebagai aturan yang universal yang bertujuan memberikan perlindungan dari praktek
perdagangan curang. Konvensi-konvensi tersebut adalah (Ahmad Ramli M, 2015):
1. The Paris Convention
Konvensi Paris adalah perjanjian internasional yang meletakkan dasar dari prinsip protection against
unfair competition yang kemudian dipakai sebagai dasar dari pengaturan TRIPS tentang
perlindungan indikasi geografis.
2. The Madrid Agreement
Perjanjian Madrid 14 April 1891 (The Madrid Agreement of False or Deceptive Indication of Source
on Goods) tidak hanya menyelaraskan dengan ketentuan Konvensi Paris tentang adanya keterangan
palsu dari asal barang (false indication of source) tetapi juga memperluas aturan tentang indikasi
yang menyesatkan/memperdaya konsumen.

3. The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947


Konsep perlindungan indikasi geografis ditetapkan sebagai kerjasama antar negara anggota untuk
menangkal terjadinya penyesatan. Juga kewajiban antar negara anggota untuk melaksanakan
kerjasama dalam merumuskan kertentuan hukum dalam peraturan hukumnya masing-masing
terhadap perlindungan nama geografis.

4. Lisbon Agreement
Istilah “Appellation of Origin” yang tercetus dalam Lisbon Agreement for Protection of
Appellationof Origin and their International Registration tahun 1958 ditenggarai sebagai perjanjian
internasional yang memberikan perlindungan lebih luas terhadap perlindungan nama geografis
(geographical names) dari perjanjian-perjanjian internasional sebelumnya.

5. World Intellectual Property Organization (WIPO) Initiatives


Pada tahun 1974 dan 1975 WIPO berinisiatif menyelenggarakan persidangan untuk dibentuknya
suatu perjanjian internasional baru tentang perlindungan indikasi geografis yang kemudian menjadi
langkah nyata dengan merevisi ketentuan yang terkait dengan indikasi geografis dalam Konvensi
Paris yang kemudian menjadi suatu perjanjian internasional yang baru.

6. Trade Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)


TRIPs merupakan perjanjian multilateral yang paling lengkap mengatur tentang Hak Kekayaan
Intelektual termasuk didalamnya pengaturan tentang Indikasi Geografis. Dalam Pasal 22 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah tanda yang
mengindentifikasikan suatu wilayah Negara Anggota, atau kawasan atau daerah didalam wilayah
tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas dan karakteristik barang yang bersangkutan
sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut.

Dalam sistem hukum Indonesia, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Indikasi Merek dan Geografis dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi
Geografis. Berdasarkan Pasal 1ayat (1) PP Nomor 51 Tahun 2007, Indikasi Geografis adalah suatu tanda
yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor
alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu
pada barang yang dihasilkan.
II.2 Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis

Sebagaimana merek dagang, indikasi geografis juga merupakan hak milik yang memiliki nilai ekonomis
sehingga perlu mendapat perlindungan hukum. Indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang
yang berasal dari wilayah tertentu atau nama dari barang yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan
secara tegas tidak bisa dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain. Indikasi
Geografis merupakan indikator kualitas, indikasi geografis menginformasikan kepada konsumen bahwa
barang tersebut dihasilkan dari suatu lokasi tertentu dimana pengaruh alam sekitar menghasilkan kualitas
barang dengan karakteristik tertentu yang terus dipertahankan reputasinya (Dogan Bilge and Gokovali
Ummuhan, 2012).

Disamping itu, indikasi geografis merupakan strategi bisnis dimana indikasi geografis memberikan nilai
tambah komersial terhadap produk karena keoriginalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa
diproduksi daerah lain. Indikasi geografis berbeda dengan kepemilikan Hak atas Kekayaan Intelektual
lainnya seperti Merek, Patent, Hak Cipta, Desain Industri, Rahasia Dagang ataupun Varietas Tanaman
yang haknya dimiliki secara individual, Indikasi Geografis tidak demikian, hak tersebut secara kolektif
dimiliki oleh masyarakat produsen setempat.

Dari aspek substantif maka substansi paling dekat dengan Indikasi Geografis dalam kaitan salah satu
fungsi sebagai salah satu upaya pelestarian plasma nutfah adalah konsep perlindungan varietas tanaman.
Keduanya sekilas sangat mirip, tetapi secara substansial memiliki berbagai perbedaan yang cukup
mendasar, seperti:
1. Indikasi geografis diatur dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Indikasi Merek
dan Geografis sedangkan perlindungan varietas tanaman mengacu kepada Undang Undang Nomor
29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
2. Obyek perlindungan varietas tanaman terkait perlindungan benih yang dapat dikembangkan
sedangkan Indikasi Geografis, obyek yang dilindungi ialah hasil produk tanaman. Selain itu
perlindungan indikasi geografis tidak terbatas hanya pada tanaman saja, melainkan juga produk
lain yang secara substantif tidak berkaitan langsung dengan plasma nutfah, misalnya kain songket
palembang, kain tenun sasirangan, kain tapis lampung dan sebagainya;
3. Benih yang dilindungi varietas tanaman salah satu syarat substantifnya, harus mempunyai hasil
produksi stabil sehingga jika ditanam di daerah lain, hasilnya tetap sama dengan tanaman
induknya. Pada tanaman Indikasi Geografis, tidak dipersyaratkan harus menghasilkan tanaman
yang sama jika ditanam di daerah lain. Hal ini mungkin disebabkan dipengaruhi oleh faktor
geografis (alam), campur tangan manusia maupun kombinasi antara keduanya;
4. Pemegang hak varietas tanaman adalah orang dan/atau badan hukum sedangkan pada Indikasi
Geografis adalah lembaga masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu;
5. Jangka waktu perlindungan varietas tanaman adalah 20 tahun untuk tanaman semusim dan 25
tahun untuk tanaman tahunan, sedangkan pada Indikasi Geografis tidak memiliki batas waktu
tertentu selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar diberikannya perlindungan hak indikasi
geografis masih eksis.

Dari aspek hukum perdagangan internasional, sebetulnya kebijakan TRIPs tersebut sangat menguntungkan
kepentingan perekonomian negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia memiliki keberagaman sumber
alam (resources) dan sumber hayati (plasma nutfah) yang tersebar di berbagai daerah, misalnya salah satu
varietas buah salak (Salacca edulis) seperti Salak Pondoh yang berupa buah segar maupun produk hasil
olahannya telah menjadi ciri khas dari Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berdasar informasi bahwa di Jepang, konsumen hanya mau menerima salak pondoh asli berasal dari
Sleman, Yogyakarta. Padahal di Indonesia jenis varietas Salak Pondoh tersebut, juga banyak ditanam
di berbagai daerah dengan nama Salak Pondoh. Bagi konsumen khususnya di Cina, Singapura atau Jepang
tentu dapat membedakan baik “aroma” (Fragrance) maupun “ rasa” (plavor) yang khas Salak Pondoh
yang berasal atau ditanam di daerah Sleman, jika dibandingkan dengan di daerah lain. Dengan
pendampingan oleh Pemerintah Daerah dan setelah dimohonkan secara resmi oleh Komunitas Petani Salak
Pondoh dari Kabupaten Sleman, akhirnya varietas Salak Pondoh ini berhasil memperoleh sertifikat
Indikasi Geografis pada tahun 2013. Dengan demikian Indikasi Geografis untuk varietas Salak Pondoh
tersebut telah menjadi “tanda pembeda” dari varietas Salak Pondoh dari daerah lain, bahkan dengan
varietas salak pada umumnya.

Indikasi geografis tersebut, telah memposisikan Salak Pondoh sebagai komoditas perdagangan yang diakui
kualitasnya sehingga memiliki nilai tambah untuk bersaing secara kompetitif. Selama sifat dan ciri-ciri
produk tersebut tetap dipertahankan, harapannya ikut mendorong kesejahteraan masyarakat melalui
berbagai aktivitas ekonomi yang ada akitannya dengan komoditas salak bersangkutan.

II.3 Lingkup dan Tata Cara Pendaftaran Indikasi Geografis

Indikasi geografis meliputi: 1) Tanda yang merupakan nama tempat, daerah atau tanda tertentu lainnya
yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi geografis; 2) Tanda
tertentu adalah tanda yang berupa kata, gambar atau kombinasi dari dari unsur-unsur tersebut, misalnya
kata “Minang” mengidentifikasikan daerah Sumatera Barat; sedangkan gambar “Rumah Adat Toraja”
mengidentifikasikan daerah Toraja di Sulawesi Selatan; 3) Barang adalah berupa hasil pertanian, produk
olahan, hasil kerajinan tangan (craft) atau barang lainnya; 4) Tanda tersebut dilindungi oleh undang-
undang apabila terdaftar dalam Daftar Umum Indikasi Geografis.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis adalah produsen yang
menghasilkan barang/produk yang sesuai dengan ketentuan atau petunjuk dalam Buku Persyaratan dan
Daftar di Ditjen HKI. Syarat-syarat substantif Indikasi Geografis sehingga dapat diterima pendaftarannya,
harus memenuhi beberapa persyaratan seperti tidak bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan,
ketertiban umum atau dapat memperdaya dan menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal
daerah, proses pembuatan atau kegunaannya.

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pendaftaran
Indikasi Geografis. Adapun tahap tata cara dapat dikelompokan menjadi:
1. Tahap pertama: mengajukan permohonan
Setiap Asosiasi, produsen atau organisasi yang mewakili produk Indikasi Geografis dapat mengajukan
permohonan dengan memenuhi persyaratan–persyaratan yaitu dengan melampirkan beberapa
dokumen.

2. Tahap kedua: pemeriksaan administratif


Pada tahap ini pemeriksa melakukan pemeriksaan secara cermat dari permohonan untuk melihat
apabila adanya kekurangan-kekurangan persyaratan yang diajukan. Dalam hal adanya kekurangan
Pemeriksa dapat mengkomunikasikan hal ini kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggang
waktu 3 (tiga) bulan dan apabila tidak dapat diperbaiki maka permohonan tersebut ditolak.

3. Tahap ketiga: pemeriksaan substansi


Pada tahap ini permohonan diperiksa. Permohonan Indikasi Geografis dengan tipe produk yang
berbeda-beda, Tim Ahli yang terdiri dari para pemeriksa yang ahli pada bidangnya memeriksa isi dari
pernyataan-pernyataan yang yang telah diajukan untuk memastikan kebenarannya dengan
pengkoreksian, setelah dinyatakan memadai maka akan dikeluarkan Laporan Pemeriksaan yang
usulannya akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal. Dalam hal permohonan ditolak maka
pemohon dapat mengajukan tanggapan terhadap penolakan tersebut. Pemeriksaan substansi
dilaksanakan paling lama selama 2 Tahun.

4. Tahap keempat: pengumuman


Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal disetujuinya Indikasi Geografis
untuk didaftar maupun ditolak, Direktorat Jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita
Resmi Indikasi Geografis selama 3 (tiga) bulan. Pengumuman akan memuat hal-hal antara lain:
nomor Permohonan, nama lengkap dan alamat Pemohon, nama dan alamat Kuasanya, tanggal
penerimaan, Indikasi Geografis dimaksud, dan abstrak dari Buku Persyaratan.

5. Tahap kelima: oposisi pendaftaran


Setiap orang yang memperhatikan Berita Resmi Indikasi Geografis dapat mengajukan oposisi dengan
adanya Persetujuan Pendaftaran Indikasi Geografis yang tercantum pada Berita Resmi Indikasi
Geografis. Oposisi diajukan dengan membuat keberatan disertai dengan alasan-alasannya dan pihak
pendaftar/pemohon Indikasi Geografis dapat mengajukan sanggahan atas keberatan tersebut.

6. Tahap keenam: pendaftaran


Pendaftaran dilakukan terhadap Permohonan Indikasi Geografis yang disetujui dan tidak ada oposisi
atau sudah adanya keputusan final atas oposisi untuk tetap didaftar. Direktorat Jenderal kemudian
memberikan sertifikat Pendaftaran Indikasi Geografis, Sertifikat dapat diperbaiki apabila terjadi
kekeliruan.
7. Tahap ketujuh: pengawasan terhadap pemakaian Indikasi Geografis
Pada Tahap ini Tim Ahli Indikasi Geografis mengorganisasikan dan memonitor pengawasan terhadap
pemakaian Indikasi Geografis di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal ini berarti bahwa Indikasi
Geografis yang dipakai tetap sesuai sebagaimana buku persyaratan yang diajukan.

8. Tahap kedelapan: banding


Permohonan banding dapat diajukan kepada Komisi Banding Merek oleh Pemohon atau Kuasanya
terhadap penolakan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan penolakan diterima
dengan membayar biaya yang telah ditetapkan.

II.4 Potensi Indikasi Geografis Indonesia

Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari DataranTinggi Gayo.
Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah
dan AcehTengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi
terluas di Indonesia, yaitu seluas 73.782 hektar. Mayoritas masyarakat Suku Gayo yang mendiami kedua
kabupaten ini berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang
dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Kopi dari wilayah ini umumnya diolah di tingkat perkebunan,
menggunakan metode semi-wet tradisional. Karena proses pengolahan basah tersebut, kopi Pegunungan
Gayo memiliki tone yang lebih tinggi dan body yang lebih ringan dari kopi Lintong dan Mandheling yang
berasal dari wilayah Timur Sumatra. Kopi ini sudah banyak dilirik negara-negara pengimpor kopi yaitu
Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Selandia Baru, Inggris dan lain-lain (Bunga Rampai, 2000).

Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryraccaceae dari ordo Ebeneles diusahakanoleh rakyat
Sumatera Utara di tujuh kabupaten, terutama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak
Bharat, dan Toba Samosir. Tanaman ini juga dikembangkan di Dairi,Tapanuli Selatan, dan Tapanuli
Tengah meski tidak terlalu banyak. Sedangkan penghasil kemenyan terbesar masih di Tapanuli Utara dan
Humbang Hasundutan. Di Tapanuli Utara, kemenyan menjadi komoditas andalan daerah di bawah kopi
dan karet. Dari 56.003 keluarga di kabupaten itu, 30.446 keluarga atau lebih dari 54 persen menjadikan
kemenyan sebagai sumber penghasilan. Di Humbang Hasundutan bahkan sekitar 65 persen keluarga
(33.702) hidup dari pohon kemenyan. Komoditas ini menduduki posisi kedua di bawah kopi. Getah
kemenyan mengandung asam sinamat sekitar 36,5 persen yang banyak digunakan untuk industri farmasi,
kosmetik, rokok, obat-obatan, dan ritual keagamaan. Permintaan akan getah kemenyan ini banyak dating
dari Vietnam, Kamboja, India, Pakistan dan Singapura.

Cilembu hanyalah sebuah desa kecil yang termasuk Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Ubis
ebenarnya bukanlah tanaman prioritas warga Cilembu, karena mereka sebagian besar adalah petani padi.
Kondisi sawah yang merupakan jenis tadah hujan membuat para petani memilih jagung dan ubi sebagai
tanaman selingan di saat musim kemarau. Menanam ubi di saat musim kemarau cenderung dipilih karena
saat musim hujan, rasa ubi tersebut biasanya berubah menjadi agak pahit. Kadar air yang menjadi lebih
tinggi pada ubi diduga sebagai penyebabnya. Ubi Cilembu konon telah dikenal sejak jaman penjajahan
Belanda. Dari sepuluh kultivar ubi jalar yang ditanam, yang kemudian menonjol karena rasanya paling
enak, lebih manis dan legit, adalah kultivar Nirkum. Menurut masyarakat, konon singkatan dari Meneer
Kumpeni (waktu itu ubi jenis ini banyak digemari orang Belanda). Kultivar Nirkum ini yang kemudian
dikenal sebagai Ubi Cilembu. Ubi Cilembu tidak tumbuh diseluruh daerah ini. Hanya sekitar 20 hektar saja
areal tanah yang cocok ditanami ubi jenis ini. Ubi Cilembu dari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat akan
memasuki pasar Vietnam, setelah memenuhi permintaan Jepang.

Penjelasan di atas hanyalah beberapa contoh komoditi yang potensial yang ada di Indonesia untuk
didaftarkan Indikasi Geografis. Indikasi Geografis pada prakteknya dikenali oleh konsumen sebagai tanda
tempat asal suatu barang dimana ciri khas dan kualitas diketahui berbeda dengan barang serupa yang
berasal dari daerah lain. Konsumen biasanya lebih tertarik dan rela membayar diatas harga normal karena
originalitas (keasliannya), kualitas dan reputasi yang melekat pada barang tersebut. Konsumen mengenali
kualitas keaslian dan menikmati reputasi premium sehingga mereka rela membayar mahal untuk itu,
konsumen terhindar dari kekhawatiran terpedaya dengan produk lain saat mereka membeli produk Indikasi
Geografis oleh karena Indikasi Geografis bekerja melindungi produk tersebut dari upaya curang pihak lain
yang membuat imitasinya.

Jumlah sertifikat Indikasi Geografis yang telah diterbitkan, jika dibandingkan dari besarnya ragam serta
potensi komoditas asli dari seluruh pelosok Indonesia, dapat dikatakan bahwa produk yang memperoleh
sertifikat tersebut tergolong masih sangat kecil. Ini tantangan bagi pemerintah bagaimana secara struktural
dapat mendorong berbagai kelompok masyarakat menjadi produsen produk yang akan atau yang telah
memperoleh perlindungan Indikasi Geografis, yang akan berdampak pada keberlanjutan produk serta
meningkatkan perekonomian masyarakat produsen.

III. ANALISIS

Indonesia merupakan negara megadiversity, Negara dengan keragaman budaya dan sumber daya alam,
banyak produk unggulan yang dihasilkan Indonesia dan mendapatkan tempat di pasar internasional,
sebagai contoh: Kopi Arabika Kintamani Bali, JavaCoffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok,
dan masih banyak lagi yang lain. Dengan semakin ketatnya persaingan, perdagangan suatu produk akan
tetap mendapat permintaan tinggi apabila ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta dijaga
konsistensinya. Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu produk bertahan
dipasaran tetapi perlu juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar sehingga eksistensi mutu
produk dapat dipertahankan.

Selain sebagai perlindungan terhadap konsumen dalam hal originalitas suatu produk, Indikasi Geografis
secara hukum juga memaksa produsen untuk mempertahankan mutu dan kualitas produk sesuai dengan
buku persyaratan, sehingga konsumen bisa menikmati produk dengan mutu yang sama dari waktu
kewaktu, konsumen juga memiliki akses informasi untuk bisa melacak keberadaan daerah asal penghasil
barang. Berbeda dengan peran merek dagang yang adap ada produk, Merek dagang adalah indentitas dari
produsen, merek membedakan antara satu produsen dengan produsen lain, akan tetapi fungsi merek hanya
terbatas pada persoalan indentitas produsen, merek tidak bisa melindungi originalitas asal barang.
Konsumen bisa mendapatkan merek yang asli tetapi belum tentu keaslian produk didalamnya.

Sebagai contoh merek kopi XX Kintamani Bali, apakah kopi tersebut benar berasal dari kopi arabika
Kintamani Bali, bisa-bisa kopi itu berasal dari daerah lain yang mutunya lebih rendah dari daerah
Kintamani, atau mungkin kopi tersebut adalah campuran dari kopi arabika Kintamani Bali. Jika kopi
Kintamani Bali tidak dilindungi dengan Indikasi Geografis siapa yang bias mengklaim hal itu. Tidak ada
satupun ketentuan hukum dalam Undang-Undang Merek dapat melindungi hal tersebut. Konsumen
cenderung teraniaya haknya, dan produsen kopi Kintamani yang harus menuai akibatnya, karena kopi
arabika Kintamani Bali yang banyak beredar di pasaran adalah kopi yang bermutu rendah sehingga dalam
waktu tertentu opini konsumen akan terbentuk dengan kualitas kopi Kintamani yang tidak asli,bagaimana
produsen bisa menjual produknya dengan harga tinggi kalau konsumen sudah terlanjur tidak percaya.

Dalam perjalanannya, Indikasi Geografis menemui beberapa kendala dan konflik terkait dengan
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terhadap indikasi geografis merupakan pelanggaran hak
eksklusif. Beberapa kasus yang terjadi adalah terkait pelanggaran produk local yang diklaim oleh Negara
lain. Menghadapi kasus seperti ini, maka alternatif penyelesaian cukup efektif dapat ditempuh melalui
pendekatan hukum perdagangan internasional yang mengedepankan peran antar pemerintah (Government
to Government). Contoh keberhasilan bagaimana peran pemerintah ini dapat dilihat pada kasus Kopi Gayo
yang sebelumnya didaftar oleh perusahaan Belanda dengan merek dagang Gayo Coffee Montain, maka atas
kerja keras pemerintah Indonesia akhirnya pihak “Officer for Harmonization in the Internal Market” atau
OHIM Uni Eropa, telah menerima permintaan resmi oleh Indonesia dan telah mengakui Kopi Gayo
dilindungi Indikasi Geografis berasal dari Indonesia, sehingga OHIM Uni Eropa secara resmi membatalkan
pendaftaran merek “Gayo” untuk produk kopi di Belanda. Dari ranah politik perdagangan, putusan OHIM
Uni Eropa tersebut tidaklah mengherankan karena kedua pihak menerapkan kebijakan timbal balik yang
cukup adil (fair), di mana pemerintah Indonesia juga sebelumnya telah mengambil kebijakan menerima
pendaftaran perlindungan dua produk Indikasi Geografis dari eropa yaitu produk “Champagne” dan “Keju
Permisan”.

Contoh internasional yang baik bagaimana upaya keras suatu pemerintah dalam melindungi produk
lokalnya adalah negara India pada kasus fenomenal terkait perlindungan Indikasi Geografis produk beras
“Basmati rice”. Basmati adalah varietas padi yang ditanam terutama di lereng Gunung Himalaya di India
dan Pakistan Utara. Padi dengan nama Basmati, kemudian dipatenkan oleh korporasi Rice Tec asal
Amerika, yang kemudian ditanam di luar India dan dilindungi merek “Kasmati” dan “Texmati”. Dalam
menjalankan patennya dan menjual dengan mereknya, Rice Tec menyebutkan bahwa kualitas terbaik
varietas Basmati tersebut, berasal dari India dan sebelah utara Pakistan. Tentu saja konsumen di beberapa
negara, tidak dapat membedakan antara Basmati asli dengan “tiruannya”. Padahal semua konsumen tahu
bahwa hanya beras Basmati yang asalnya dari India (Punjab, Haryana dan Uttar Pradesh) yang memiliki
kualitas terbaik (Jena Pradyot R and Grote Ulrike, 2012).

Dari kasus India-US Basmati Rice Dispute ini, kita dapat menelaah beberapa pelanggaran beberapa unsur
substantif yang ada kaitan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual yaitu: 1) Pihak Korporasi Rice
Tec walaupun dengan paten yang dimilikinya, merupakan pelanggaran terhadap Indikasi Geografis dalam
ketentuan TRIPs. Namun demikian karena pemerintah India telah memiliki The Geographic Appelation
Bill yang tujuannya menjaga hak paten bagi komoditas India tradisional seperti Basmati, maka India
mampu melakukan tuntutan “timbal balik” (reciprocal principle) terhadap negara lain anggota
GATT/WTO sesuai ketentuan TRIPs; 2) Disamping itu, kasus Basmati tersebut juga berhubungan dengan
aspek pelanggaran Hukum Merek yaitu menjual produk beras varietas Basmati tiruan dengan merek
“Kasmati” dan “Rasmati”; 3) Selanjutnya kasus ini menunjukkan adanya pelanggaran hukum (hak
eksklusif) Indikasi Geografis atas varietas padi lokal Basmati; 4) Demikian pula pihak Rice tec sekaligus
terbukti melanggar hak kekayaan intelektual pengetahuan tradisional (traditional knowledge) milik
masyarakat yang telah menanam dan mengembangkan varietas padi Basmati secara turun temurun.

Oleh karena itu tuntutan adanya perlindungan terhadap Indikasi Geografis dalam sistem hukum hak
kekayaan intelektual adalahs uatu upaya untuk melindungi produk-produk masyarakat lokal dalam negeri.
Dengan melindungi produk-produk masyarakat lokal tersebut masyarakat secara sadar terpanggil, untuk
kepentingannya sendiri dan komunitas lebih luas, dengan melakukan pendaftaran kemudian mempunyai
hak milik atas produk yang telah didaftarkan. Hal ini dapat dilakukan, setidaknya dapat diperuntukkan
untuk kesejahteraan masyarakat di daerahnya karena mempunyai nilai ekonomis yang tidak kecil.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan literatur dan artikel ilmiah beberapa ahli dan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa pada awalnya aturan terkait Indikasi Geografis dilatarbelakangi oleh permasalahan kecurangan
dalam perdagangan dan pembohongan asal usul suatu produk. Namun pada hakikatnya pentingnya
perlindungan Indikasi Geografis tidak hanya sebatas itu, Indikasi Geografis dapat menjadi salah satu upaya
untuk melindungi kenakeragaman hayati melalui pendekatan regulasi dan sekaligus ekonomi. Jika
dikaitkan dengan tren masyarakat Indonesia khususnya di bidang pertanian, saat ini masyarakat cenderung
membudidayakan komoditas yang sedang tren meskipun kadang komoditas tersebut tidak sesuai dengan
kondisi geografis daerahnya. Hal ini mengakibatkan tanaman-tanaman khas daerah telah diganti menjadi
komoditas yang dianggap bernilai ekonomis sehingga banyak tanaman-tanaman khas suatu daerah
berkurang jumlahnya bahkan sebagian sudah tidak ditemukan lagi.

Dengan adanya perlindungan terhadap Indikasi Geografis yang memberikan efek ekonomi yang cukup
signifikan terhadap suatu produk, diharapkan masyarakat lebih peduli dan lebih mencintai tanaman atau
produk yang menjadi ciri khas daerahnya serta hal tersebut dapat dijadikan sumber pendapatan yang
berkelanjutan. Untuk mencapai target ini tentunya diperlukan dukungan penuh dari pemerintah untuk
melakukan sosialisasi, pembinaan, pendampingan kepada masyarakat melalui instansi-instansi terkait serta
dilengkapi dengan dukungan promosi terhadap produk-produk lokal.

Secara umum terdapat beberapa nilai tambah yang berpengaruh terhadap produk Indikasi Geografis, antara
lain: 1) Pengakuan internasional atas Indikasi Geografis sebagai bagian hak kekayaan intelektual, berarti
mendudukkan status pemegang hak Indikasi Geografis adalah pemegang hak eksklusif yang dilindungi
oleh undang-undang; 2) Indikasi geografis tersebut tidak diberikan kepada individu tertentu, melainkan
diberikan kepada sekelompok masyarakat sehingga pemegang hak indikasi geografis ini sifatnya dimiliki
bersama atau bersifat komunal; 3) Berbeda dengan perlindungan atas merek dagang yang sifatnya
individualistik sehingga manfaat ekonomi atas merek tersebut hanya dinikmati sendiri oleh pemilik merek,
maka konsep kepemilikan dalam Indikasi Geografis adalah kepemilikan bersama (komunal), sehingga
otomatis manfaat ekonominya dinikmati oleh masyarakat bersangkutan yang jauh lebih luas jika
dibandingkan dengan merek yang hanya dimiliki individual; 4) Kepemilikan atas Indikasi Geografis tidak
dapat dilisensikan seperti merek dagang sehingga kemanfaatan ekonominya hanya dinikmati kelompok
masyarakat bersangkutan; 5) Oleh karena hak ekonomi hanya dimiliki oleh pemegang Indikasi Geografis,
maka dari sudut strategi perdagangan, tentu saja kelompok masyarakat tersebut akan selalu
mempertahankan aspek kualitas (reputasi) produk barang yang dihasilkannya, sehingga mempertahankan
syarat substantif diberikannya indikasi geografis bersangkutan secara konsisten tetap dipertahankan,
sekaligus menjaga loyalitas konsumen; 6) Dari segi pemasaran produk (marketing), dengan terbatasnya
pemegang Indikasi Geografis tersebut maka otomatis, mereka tidak memiliki kompetitor sehingga dapat
menjual produknya di atas harga produk lain yang sejenis; dan 7) Terdapat peluang di daerah sentra
produksi dapat dijadikan sebagai model industri agrowisata.
DAFTAR PUSTAKA

Bunga Rampai, 2000, Informasi Keanekaragaman Hayati Intellectual Property Rights, Kantor Menteri
KLH, Jakarta

Raustiala Kal and Munzer Stephen R, 2007, The Global Struggle Over Geographic Indications, The
European Journal of International Law Vol. 18 no. 2

Agung Damarsasongko, 2008, Indikasi Geografis Suatu Pengantar, Ditjen HKI dan JICA

Dogan Bilge and Gokovali Ummuhan, 2012, Geographical indications: the aspects of rural development
and marketing through the traditional products, Procedia - Social and Behavioral Sciences
62

Jena Pradyot R and Grote Ulrike, 2012, Impact Evaluation of Traditional Basmati Rice Cultivation in
Uttarakhand State of Northern India: What Implications Does It Hold for Geographical
Indications?, Volume 40 Issue 9

________, 2013, Kopi Gayo Tidak Lagi Merek Dagang Perusahaan Belanda, www.Antaranews.com

Durant Claire et.al, 2013, Effects Of Geographical Indication Registration


And Activation (Thoughts On The Indonesian Situation), XXVth ESRS Congress, Florence,
Italy

Nansa Almusawir, 2013, Legal Instrument For Protection Of Geographical Indication Product In
Indonesia, Journal of Humanity Vol 1

Ahmad Ramli M, 2015, Indikasi Geografis Indonesia, Jakarta Selatan: Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual Kementrian Hukum Dan HAM RI

Medeiros Mirna de Lima et.al, 2016, Implications of geographical indications: a comprehensive review of
papers listed in CAPES’ journal database, RAI Revista de Administração e Inovação 13

Rahmah Mas, 2016, The Protection of Agricultural Products Under Geographical Indication: An
Alternative Tool For Agricultural Development in Indonesia, Journal of Intellectual Property
Rights Vol 22

Almusawir et.al, 2018, Geographical Indications Regulation in Indonesian National Law, Journal of Law
Policy and Globalization Vo.70

Neilson Jeffrey at.al, 2018, Geographical Indications And Value Capture In The Indonesia Coffee Sector,
Journal of Rural Studies volume 59

Yulistari Faradila, 2018, The Potential Of Geographical Indications And Its Legal Protection, E3S Web of
Conferences 52

WIPO, Intellectual Property-Some Basic Definition, http://www.WIPO.int/about-IP/en/studies/


publications/IP_definition.htm

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis

Anda mungkin juga menyukai