Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TETANUS

Dosen Pengampu :

Oleh
Kelompok 5 :
1. Ali Sulaiman ( 1710069401002 )
2. Nurintan Fadilla ( 1710069401017 )
3. Sylvia Novita Sari ( 1710069401020 )
4. Uli Hartati BR Hutapea ( 1710069401024 )
5. Yeni Lestari ( 1710069401026 )

AKADEMI KEPERAWATAN JAMBI


YAYASAN TELANAI BHAKTI
TAHUN AJARAN 2019

1
Kata Pengantar

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tetanus”
Penulisan makalah ini disusun guna untuk menambah pengetahuan kepada penulis
dan para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah mungkin selesai tanpa adanya bantuan
dan bimbingan secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Penulis berdo’a
semoga Allah membalas semua kebaikan, bantuan, dan keikhlasan yang telah diberikan
kepada penulis.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan, mengingat keterbatasan informasi, ilmu, dan pengetahuan penulis. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan sangat penulis harapkan. Penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

2
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 4


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi ..................................................................................................... 6
B. Klasifikasi .................................................................................................. 6
C. Etiologi ....................................................................................................... 7
D. Patofisiologi ............................................................................................... 7
E. Manifestasi Klinis ...................................................................................... 8
F. Komplikasi ................................................................................................. 9
G. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 9
H. Penatalaksanaan Medis .............................................................................. 10
I. Pathway ...................................................................................................... 12
J. Asuhan Keperawatan Teoritis .................................................................... 13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................. 18
B. Saran ............................................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali dengan
kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut) bersamaan
dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau
punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.
Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan , dimana masih terjadi di
masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagian besar pasien
tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu. Dari seringnya kasus tetanus serta
kegawatan yang ditimbulkan, maka sebagai seorang perawat dituntut untuk mampu
mengenali tanda kegawatan dan mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada
penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya
memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.
Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya.
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri,
pertusis, tetanus). Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah
yang mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan
sangat tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di
mana-mana.
Kuman C. tetani tersebar luas ditanah, terutama tanah garapan, dan dijumpai
pula pada tinja manusia dan hewan. Perawatan luka yang kurang baik di samping
penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada pecandu
narkotik).merupakan beberapa faktor yang sering dijumpai sebagai pencetus
tirribulnya tetanus. Tetanus dapat menyerang semua golongan umur, mulai dari bayi
(tetanus neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) sampai orang-orang
tua.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka peneliti membuat
perumusan masalah penelitian mengenai asuhan keperawatan dengan pasien Tetanus

C. Tujuan Penulisan
Setelah menyusun makalah ini diharapkan pembaca sekalian mengetahui
gambaran umum tentang penyakit tetanus dan proses asuhan keperawatannya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium
tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.

B. Klasifikasi Tetanus
 Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu:
1. Tetanus local: Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas
dan spasme pada bagian proksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam
beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus sefalik: Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2
hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol
adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti
tetanus umum.
3. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme otot, kaku
kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut, rahang terkunci
(trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi
ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik
sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
4. Tetanus neonatorum: biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal apabila tidak
ditanggani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas, spasme.
 Klasifikasi tetanus berdasarkan beratnya :
1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan sampai sedang,
spasitas general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia

6
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR ≥ 30x/ menit,
disfagia ringan.
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek
berkepanjangan, RR ≥ 40x/ menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia ≥
120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik berat melibatkan sistem
kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia terjadi perselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

C. Etiologi
Agen penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yaitu bakteri gram positif
yang bersifat anaerob, berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro.
Di luar tubuh bakteri ini berbentuk spora. Spora ini mampu bertahan dalam
lingkungan panas antiseptic, dan jaringan tubuh hingga berbulan-bulan. Spora tetanus
dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel
vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak
klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan
menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal yang dihasilkannya, yaitu
tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah
bahan kedua yang paling beracun yang diketahui setelah toksin botulinum. Jika dalam
kondisi yang baik, kuman ini akan mengeluarkan toksin (eksotoksin) yaitu
“tetanuspasmin” yang bersifat neurotoksik. Mula-mula toksin akan menyebabkan
kejang otot dan saraf perifer setempat
Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat
masuk melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak
dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang
tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman
Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.

D. Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor
7
luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mngakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,
memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi
rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin. Toksin yang
dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin
tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat
pada sambungan neuromuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf
motoris,sesudah ia mengalami ia mengalami pengangkutan akson retrograt
kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis dan
selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi
pelepasan neurotransmitter . toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan
normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di
koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya,
system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi
bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan
yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan
turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam
kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel
body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya.
Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah
terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower
motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory
neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter
dan menimbulkan kekakuan.

E. Manifestasi Klinis
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut).
4. Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus
anterior.

8
5. Rikus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik keatas), sudut mulut
tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota
badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstermitasinferior
dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan mengepal kuat. Pasien tetap sadar.
Spasme mula-mula intermiten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian
tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai dengan rasa nyeri. Kadang-
kadang di sertai perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring.
Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretra. Fraktur kolumna
vetebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang terjadi tekanan
cairan di otak.

F. Komplikasi
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) didalam
rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat
terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia terjadi karena adanya kekakuaan otot-otot pernafasan sehingga
pengembangan paru tidak dapat maksimal.
3. Atelektasis karena obstruksi oleh secret hal ini karena seseorang dengan
tetanus akan mengalami trismus (mulut terkunci) sehingga pasien tidak dapat
mengeluarkan sekret yang menumpuk di tenggorokan, atau pun menelanya.
4. Fraktur kompresi dapat terjadi bila saat kejang pasien difiksasi kuat sehingga
tubuh tidak dapat menahan kekuatan luar.
5. Kompresi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang.
6. Rhabdomyolisis dan renal failure
7. Bronkopneumoni

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium :
 Liquor Cerebri normal
9
 Hitung leukosit normal atau sedikit meningkat.
 Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium
 Analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
2. Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.

H. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan Umum
 Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan, bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan aspirasi.
 Menjaga saluran nafas tetap bebas.
Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker). Pada kasus yang berat
perlu dilakukan trakeostomi.
 Mengurangi spasme dan mengatasi kejang.
Kejang harus segera dihentikan dengan diazepam dengan dosis yang bervariasi
berdasarkan usia
 Perawatan Luka.
Yaitu dilakukan eksisi jaringan yang cukup luas guna membersihkan jaringan
anaerob, terutama bila ada benda asing (debridement). Perawatan luka
dilakukan setiap hari.
 Ruang Khusus
Isolasi untuk menghindari rangsangan (suara, tindakan terhadap penderita).
Ruangan harus tenang. Pasien dianjurkan untuk dirawat di Unit Perawatan
Khusus bila didapatkan keadaan kejang-kejang yang sukar diatasi obat-obatan
antikonvulsan biasa. Spasme laring merupakan komplikasi yang memerlukan
perawatan intensif seperti sumbatan jalan nafas, kegagalan pernafasan,
hipertermi dan sebagainya. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai
port de enty maka konsultasi ke dokter gigi/THT.

10
2. Penatalaksanaan Khusus
 Antibiotik
Untuk membunuh kuman C. Tetani (vegetatif) diberikan penisilin prokain
50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari. Metronidazol tampak sama
efektifnya. Tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari dan eritromisin (untuk anak berumur
= 9 tahun) untuk penderita alergi penisilin. Untuk penyulit sepsis atau
bronkopneumonia diberikan antibiotik yang sesuai.
 Anti serum.
Ada berbagai pendapat : Pengobatan spesifik dengan ATS 20.000 U/hari
selama 2 hari berturut-turut secara intramuskulus dengan didahului oleh uji
kulit dan mata. Bila hasilnya positif, maka pemberian ATS harus dilakukan
dengan desensitisasi cara Besredka. Dosis ATT biasanya 50.000-100.000 U,
setengahnya diberikan secara intravena dan setengahnya intramuskuler, tetapi
mungkin diperlukan sedikit yaitu 10.000 U saja sudah cukup. Dapat digunakan
ATS 5000 unit intramuskular, tetapi pusat rujukan lain mempergunakan dosis
40.000 unit diberikan separuh intravena dan separuhnya intramuskular atau
bila fasilitas tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune
Globulin) 500-3000 IU
3. Pencegahan
 Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan
luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.
 ATS profilaksis.
Hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) memberikan kekebalan pasif,
sehingga dapat dicegah terjadinya tetanus atau masa inkubasi diperpanjang
atau bila terjadi tetanus gejalanya ringan. Umumnya 1500 U im dengan
didahului uji kulit dan mata. Harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
 Imunisasi aktif
Vaksin gabungan toksoid difteri, tetanus dan pertusis (DTP) pada usia 2,4 dan
6 bulan, dengan booster pada usia 4-6 tahun dan pada interval 10 tahun
sesudahnya sampai dewasa dengan toksoid tetanus-difteri (Td). Toksoid
Tetanus (TT) diberikan pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12

11
tahun dan ibu hamil. Untuk orang-orang umur 7 tahun atau lebih yang belum
diimunisasi, seri imunisasi primer terdiri dari 3 dosis Td yang diberikan
intramuskular, yang kedua 4-6 minggu sesudah yang pertama dan yang ketiga
6-12 bulan sesudah yang kedua. Booster toksoid tetanus (lebih baik Td)
diberikan pada orang yang terjejas yang telah menyelesaikan seri imunisasi
primernya jika: luka bersih dan kecil tetapi telah mencapai 10 tahun sejak
booster yang terakhir, atau luka lebih serius dan telah mencapai 5 tahun sejak
booster terakhir atau pada pemberian penisilin prokain selama 2-3 hari setelah
mendapat luka berat (dosis 50.000 U/kgBB/hari)

I. Pathway

12
J. Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
 Pengkajian umum : Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka
bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
 Pengkajian khusus:
a) Sistem pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto
pernafasan.
b) Sistem cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan,
suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
c) Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
d) Sistem perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine
output tidak ada/oliguria)
e) Sistem pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f) Sistem integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat
luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus,
spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus
sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan.Apabila hal ini berlanjut
terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Resiko injuri berhubungan dengan aktifitas kejang
b) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi secret/mucus akibat adanya spasme otot laring
c) Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan
d) Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat.
e) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketegangan
dan spasme otot mastikatoris , kesukaran menelan dan membuka mulut.
f) Resiko aspirasi berhubungan dengan meningkatknya sekresi, kesukaran
menelan, dan spasme otot faring.
g) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan aktifitas
kejang.

13
h) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan pasien tentang
penanganan penyakitnya dikarenakan kurangnya informasi.

3. Intervensi Keperawatan
N DIAGNOSA TUJUAN & INTERVENSI KEPERAWATAN
O KEPERAWATAN KRITERIA
HASIL
1 Resiko injuri Tujuan : Cedera a. Pre Konvulsif
berhubungan tidak terjadi 1. Identifikasi faktor resiko pre konvulsif
dengan aktifitas Kriteria Hasil : untuk penyakit kejang
kejang  Pasien tidak 2. Singkirkan benda – benda yang
merasa kaku melukai.
 Kejang (-) 3. Monitor cardiopulmonal secara terus –
menerus
4. Sediakan dan dekatkan peralatan
suction
5. Sediakan O2 sesuai dengan indikasi
b. Konvulsif
1. Baringkan pasien ditempat yang rata.
2. Catat waktu, durasi, bagian tubuh
yang terlibat dan frekuensi kejang.
3. Pertahankan jalan nafas ( Airway )
4. Pastikan pasien dalam keadaan aman.
5. Kolaborasi: pemberian pengobatan
(contoh Diazepam )
c. Pasca Konvulsif
1. Monitor TTV dan kesadaran pasien
2. Pertahankan jalan nafas efektif.
3. Setelah pasien bangun dan sadar
berikan minum hangat, cairan untuk
rehidrasi.
4. Sediakan oral hygiene.
2 Bersihan jalan nafas Tujuan : 1. Kaji status pernafasan, frekwensi,

14
tidak efektif Pasien irama, setiap 2 – 4 jam.
berhubungan dengan memperlihatkan 2. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-
peningkatan produksi kepatenan jalan hati dan pasti bila ada penumpukan
secret/mucus akibat nafas secret.
adanya spasme otot Kriteria Hasil: 3. Gunakan sudip lidah saat kejang.
laring Sesak (-), ronchi (-), 4. Miringkan ke samping untuk drainage.
sianosis (-), dyspnea 5. Observasi oksigen sesuai program.
(-), batuk dengan 6. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan
sputum (-), RR 16- bersihkan mulut
20 x/menit 7. Kolaborasi: Pemberian sedativa
Diazepam drip 10 Amp (hari pertama
dan setiap hari dikurangi 1 amp)
3 Gangguan pola nafas Tujuan : 1. Monitor irama pernafasan dan respirasi
berhubungan dengan Pola nafas teratur rate
jalan nafas terganggu dan normal 2. Atur posisi luruskan jalan nafas
akibat spasme otot- Kriteria Hasil: 3. Observasi tanda dan gejala sianosis,
otot pernafasan RR 16- 20 x/menit, dyspnea, takikardi, CRT > 2 dtk
retraksi dinding 4. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
dada (-), gerakan 5. Kolaborasi: Pemberian oksigenasi
naik-turun dinding
dada simetris,
pernafasan cuping
hidung (-)
4 Defisit velume cairan Tujuan : 1. Kaji intake dan out put setiap 24 jam.
berhubungan dengan Pasien tidak 2. Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran
intake cairan tidak memperlihatkan mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam.
adekuat kekurangan velume 3. Berikan dan pertahankan intake oral
cairan dan parenteral sesuai indikasi dan
Kriteria Hasil: disesuaikan dengan perkembangan
Mukosa bibir kondisi pasien.
lembab, turgor kulit 4. Monitor berat jenis urine dan
baik, intake cairan pengeluarannya.
1500-2000 cc/hari, 5. Pertahankan kepatenan NGT

15
diaphoresis (-).
5 Perubahan nutrisi Tujuan: 1. Pasang dan pertahankan NGT untuk
kurang dari Status nutrisi intake makanan.
kebutuhan terpenuhi 2. Kaji bising usus bila perlu, dan hati-hati
berhubungan dengan Kriteria Hasil: karena sentuhan dapat merangsang
ketegangan dan Intake cukup, makan kejang.
spasme otot dan minuman yang 3. Berikan nutrisi yang tinggi kalori dan
mastikatoris , masuk lewat mulut protein.
kesukaran menelan tidak kembali lagi 4. Timbang berat badan sesuai protokol
dan membuka mulut melalui hidung.
6 Resiko aspirasi Tujuan : 1. Kaji status pernafasan setiap 2-4 jam.
berhubungan dengan Tidak terjadi 2. Lakukan pengisapan lendir dengan hati-
meningkatknya aspirasi hati.
sekresi, kesukaran Kriteria Hasil: 3. Miringkan ke samping untuk drainage.
menelan, dan spasme Makanan dan 4. Pertahankan kepatenan jalan nafas dan
otot faring minuman tidak lagi bersihkan mulut.
kembali keluar 5. Kolaborasi: Pemberian oksigen
melalui hidung, 6. Kolaborasi: Pemberian sedativa sesuai
jalan nafas paten program
dari aspirasi
makanan dan
minuman
7 Kurangnya Tujuan : 1. Pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-
perawatan diri Kebutuhan aktifitas hari.
berhubungan dengan sehari- 2. Bantu pasien dalam memenuhi
tirah baring dan hari/perawatan diri kebutuhan aktifitas , BAB/BAK,
aktifitas kejang terpenuhi membersihkan tempat tidur dan
Kriteria Hasil: kebersihan diri juga oral hygiene.
Kejang (-), bed rest 3. Libatkan keluarga dalam perawatan diri
(-), bau badan (-), sehari-hari.
gigi bersih, rambut
bersih, tempat tidur
bersih, iritasi kulit (-

16
)
8 Cemas berhubungan Tujuan : 1. Kaji tingkat kecemasan pasien
dengan kurang Pasien menunjukan 2. Jelaskan tentang aktifitas kejang yang
pengetahuan pasien rasa cemas terjadi dan semua prosedur tindakan
tentang penanganan berkurang atau yang akan dilakukan pada pasien
penyakitnya hilang 3. Ajarkan pasien untuk mengekspresikan
dikarenakan Kriteria Hasil: perasaannya
kurangnya informasi Takut(-) , tegang (-), 4. Gunakan komunikasi dan sentuhan
gelisah (-), nadi 80- terapeutik
100 x/menit, RR 16-
20x/menit, klien dan
keluarga dapat
mengulang
informasi yang
diberikan.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari semua penmbahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa tetanus salah
satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat syaraf dan otot. Gejala
tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau
kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot
leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan
atas dan paha.

B. Saran
Penulis menyadari makalah ini masih terdapat kesalahan maupun kekhilafan
dalam penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sekalian supaya makalah ini sempurna di masa yang akan datang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Davis,Charles. 2009. Tetanus.


Esthi, T. T. 2004. Pola Penyakit dan Determinan Mortalitas Tetanus di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Fakultas Kedokteran UI. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Medi
Aesculapius. Jakarta .
Harnawatiaji. 2008. Tetanus.
Subhan. 2002. L a p o r a n Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Tetanus Di Ruang
Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. FK UNAIR. Surabaya
Buku Kuliah ilmu Kesehatan Anak Bagian 2, Infeksi Virus, oleh Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 4.Jakarta 1985.
Dubcombe, Margaret dan Weller, Barbara. Pediatric Nursing, The Prncipal
Commicable Disease. Fourth Edition, 1974. London.
Sumarmo S. Poerwo Soedarmo, Penatalaksanaan DBD: Medika No. 2, tahun ke -15,
Perawatan anak sakit / Ngastiyah ; editor, Monica Ester. Ed.2.Jakarta : EGC, 2005

19

Anda mungkin juga menyukai