Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Hipertensi


a. Definisi Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut
darah dari jantung dan memompa keseluruh jaringan dan organ–organ
tubuh secara terus–menerus lebih dari suatu periode (Irianto, 2014). Hal
ini terjadi bila arteriol–arteriol konstriksi. Konstriksi arterioli membuat
darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri.
Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut
dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti,
2010).

b. Etiologi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan
menurut Irianto (2014) :
a) Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi
esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang
tidak diketahui penyebabnya (Idiopatik). Beberapa faktor diduga
berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut
ini:
1) Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini.
Faktor genetik ini tidak dapat dikendalikan, jika memiliki
riwayat keluarga yang memliki tekanan darah tinggi.
2) Jenis kelamin dan usia: laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita
menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia
bertambah maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat

5
dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada
perempuan.
3) Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung
berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa
dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya
karena dengan mengkonsumsi banyak garam dapat meningkatkan
tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang, khususnya
dengan pendeita hipertensi, diabetes, serta orang dengan usia yang
tua karena jika garam yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang
bertugas untuk mengolah garam akan menahan cairan lebih banyak
dari pada yang seharusnya didalam tubuh. Banyaknya cairan yang
tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah seseorang
atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih banyak
cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang
menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya
peningkatan tekanan darah didalam dinding pembuluh darah.
Kelenjar adrenal memproduksi suatu hormon yang dinamakan
Ouobain. Kelenjar ini akan lebih banyak memproduksi hormon
tersebut ketika seseorang mengkonsumsi terlalu banyak garam.
Hormon ouobain ini berfungsi untuk menghadirkan protein yang
menyeimbangkan kadar garam dan kalsium dalam pembuluh darah,
namun ketika konsumsi garam meningkat produksi hormon
ouobain menganggu keseimbangan kalsium dan garam dalam
pembuluh darah.
Kalsium dikirim kepembuluh darah untuk menyeimbangkan
kembali, kalsium dan garam yang banyak inilah yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah
tinggi. Konsumsi garam berlebih membuat pembuluh darah pada
ginjal menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal memproduksi
hormone rennin dan angiostenin agar pembuluh darah utama
mengeluarkan tekanan darah yang besar sehingga pembuluh darah
pada ginjal bisa mengalirkan darah seperti biasanya. Tekanan darah

6
yang besar dan kuat ini menyebabkan seseorang menderita
hipertensi. Konsumsi garam per hari yang dianjurkan adalah
sebesar 1500 – 2000 mg atau setara dengan satu sendok teh. Perlu
diingat bahwa sebagian orang sensitif terhadap garam sehingga
mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan tekanan darah.
Membatasi konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda
dari komplikasi yang bisa terjadi.
4) Berat badan: Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga
berat badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25%
diatas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya peningkatan
tekanan darah atau hipertensi.
5) Gaya hidup: Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup
dengan pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu
hipertensi itu terjadi yaitu merokok, dengan merokok berkaitan
dengan jumlah rokok yang dihisap dalam waktu sehari dan dapat
menghabiskan berapa putung rokok dan lama merokok
berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol yang
sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan
tekanan darah pasien sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi
pasien diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah
pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting
agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.

b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus
hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada
sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid, hipertensi
endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf pusat yang dapat
mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena hipertensi
sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal
hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan

7
tekanan darah tinggi karena adanya penyempitan pada arteri ginjal,
yang merupakan pembuluh darah utama penyuplai darah ke kedua
organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan
memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta
ganguuan yang terjadi pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung,
meningkatkan produksi darah yang mengakibtkan meningkatnya
resistensi pembuluh darah sehingga mengakibtkan hipertensi. Faktor
pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan
kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis,
gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler,
luka bakar, dan stress karena stres bisa memicu sistem saraf simapatis
sehingga meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada pembuluh
darah.

c. Klasifikasi Hipertensi
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah
tekanan darah sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah
diastolik kurang dari 80 mmHg. Seseorang yang dikatakan hipertensi
bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik
lebih dari 90 mmHg. Berdasarkan The Joint National Commite VIII
(2014) tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dan
penyakit tertentu. Diantaranya adalah:

Tabel 2.1 Batasan Hipertensi Berdasarkan The Joint National


Commite VIII Tahun 2014
Batasan tekanan darah Kategori
(mmHg)
Usia ≥60 tahun tanpa penyakit diabetes
≥150/90 mmHg dan
cronic kidney disease
Usia 19-59 tahun tanpa penyakit
≥140/90 mmHg penyerta

8
≥140/90 mmHg Usia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal
Usia ≥18 tahun dengan penyakit
≥140/90 mmHg diabetes
Sumber: The Joint National Commite VIII (2014).

American Heart Association (2014) menggolongkan hasil pengukuran


tekanan darah menjadi :

Tabel 2.2 Kategori Tekanan Darah Berdasarkan American Heart


Association
Kategori tekanan darah Sistolik Diastolik
Normal <120 mmHg < 80 mmHg
Prehipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage 1 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi stage 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg
Hipertensi stage 3 ≥ 180mmHg ≥ 110 mmHg
(keadaan gawat)
Sumber: American Heart Assosiation (2014)

Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya yaitu


hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Smeltzer dan Bare, 2002,
Udjianti, 2010). Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah
yang tidak diketahui penyebabnya. Dari 90% kasus hipertensi
merupakan hipertensi primer. Beberapa faktor yang diduga berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi primer adalah genetik, jenis
kelamin, usia, diet, berat badan, gaya hidup. Hipertensi sekunder
adalah peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang
ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Dari
10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder. Faktor
pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan
kontrasepsi oral, kehamilan, peningkatan volume intravaskular, luka
bakar dan stres (Udjianti, 2010).

9
d. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan
dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan
rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan structural dan
fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada

10
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang
pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curah
jantung dan peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth,
2002).

Peningkatan Tekanan Perifer

Penambahan beban jantung

Hipertensi ventrikel kiri sebagai proses


kompensasi

Kebutuhan ventrikel akan O2 semakin


meningkat

Ventrikel harus memompa darah secara lebih


keras untuk memenuhi kebutuhan

Peningkatan tekanan vaskuler serebral

Nyeri Kepala

Sumber : Nanda (2015).

11
e. Manifestasi Hipertensi
Pemeriksaan fisik pada pasien yang menderita hipertensi
tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi. Tetapi
dapat ditemukan perubahan pada retina, seperti pendarahan, eksudat
(kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat
terdapat edema pupil (edema pada diskus optikus) (Smeltzer dan Bare,
2002).
Tahapan awal pasien kebanyakan tidak memiliki keluhan.
Keadaan simtomatik maka pasien biasanya peningkatan tekanan darah
disertai berdebar–debar, rasa melayang (dizzy) dan impoten. Hipertensi
vaskuler terasa tubuh cepat untuk merasakan capek, sesak nafas, sakit pada
bagian dada, bengkak pada kedua kaki atau perut (Setiati, Alwi, Sudoyo,
Simadibrata, Syam, 2014). Gejala yang muncul sakit kepala, pendarahan
pada hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang bisa terjadi
saat orang menderita hipertensi (Irianto, 2014).
Hipertensi dasar seperti hipertensi sekunder akan
mengakibatkan penderita tersebut mengalami kelemahan otot pada
aldosteronisme primer, mengalami peningkatan berat badan dengan emosi
yang labil pada sindrom cushing, polidipsia, poliuria. Feokromositoma
dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak
keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy) (Setiati, Alwi,
Sudoyo, Simadibrata, dan Syam, 2014). Saat hipertensi terjadi sudah lama
pada penderita atau hipertensi sudah dalam keadaan yang berat dan tidak
diobati gejala yang timbul yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah,
sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur. Semua itu terjadi karena
adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Pada penderita
hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan
mengakibatkan penderita mengalami koma karena terjadi pembengkakan
pada bagian otak. Keadaan tersebut merupakan keadaan ensefalopati
hipertensi (Irianto, 2014).

12
f. Penatalaksanaan Hipertensi
a) Pengaturan diet
Mengkonsumsi gizi yang seimbang dengan diet rendah garam
dan rendah lemak sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk
dapat mengendalikan tekanan darahnya dan secara tidak langsung
menurunkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi. Selain itu juga
perlu mengkonsumsi buah-buahan segar sepeti pisang, sari jeruk dan
sebagainya yang tinggi kalium dan menghindari konsumsi makanan
awetan dalam kaleng karena meningkatkan kadar natrium dalam
makanan (Vitahealth, 2005).
Modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan resiko
penyakit kardiovaskuler. Mengurangi asupan lemak jenuh dan
mengantinya dangan lemak polyunsaturated atau monounsaturated
dapat menurunkan resiko tersebut. Meningkatkan konsumsi ikan,
terutama ikan yang masih segar yang belum diawetkan dan tidak
diberi kandungan garam yang berlebih (Syamsudin,2011).
b) Perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat
Gaya hidup dapat merugikan kesehatan dan meningkatkan
resiko komplikasi hipertensi seperti merokok, mengkonsumsi alkohol,
minum kopi, mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food), malas
berolahraga (Junaidi, 2002), makanan yang diawetkan didalam kaleng
memiliki kadar natrium yang tinggi didalamnya. Gaya hidup itulah
yang meningkatkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi karena
jika pasien memiliki tekanan darah tinggi tetapi tidak mengontrol dan
merubah gaya hidup menjadi lebih baik maka akan banyak komplikasi
yang akan terjadi (Vitahealth, 2005). Penurunan berat badan
merupakan modifikasi gaya hidup yang baik bagi penderita penyakit
hipertensi. Menurunkan berat badan hingga berat badan ideal dengan
munggurangi asupan lemak berlebih atau kalori total.

13
c) Menejemen Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, rasa marah,
murung, dendam, rasa takut, rasa bersalah) merupakan faktor
terjadinya komplikasi hipertensi. Peran keluarga terhadap penderita
hipertensi diharapkan mampu mengendalikan stres, menyediakan
waktu untuk relaksasi, dan istrirahat (Lumbantobing, 2003).
Olahraga teratur dapat mengurangi stres dimana dengan olahraga
teratur membuat badan lebih rileks dan sering melakukan relaksasi
(Muawanah, 2012).
Ada 8 tehnik yang dapat digunakan dalam penanganan stres
untuk mencegah terjadinya kekambuhan yang bisa terjadi pada pasien
hipertensi yaitu dengan cara : scan tubuh, meditasi pernafasan,
meditasi kesadaran, hipnotis atau visualisasi kreatif, senam yoga,
relaksasi otot progresif, olahraga dan terapi musik (Sutaryo, 2011).
d) Mengontrol kesehatan
Penting bagi penderita hipertensi untuk selalu memonitor
tekanan darah. Kebanyakan penderita hipertensi tidak sadar dan
mereka baru menyadari saat pemeriksaan tekanan darah. Penderita
hipertensi dianjurkan untuk rutin memeriksakan diri sebelum timbul
komplikasi lebih lanjut. Obat antihipertensi juga diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pengendalian tekanan darah (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2010). Keteraturan berobat
sangat penting untuk menjaga tekanan darah pasien dalam batas
normal dan untuk menghindari komplikasi yang dapat terjadi akibat
penyakit hipertensi yang tidak terkontrol (Annisa, Wahiduddin, dan
Jumriani, 2013).
e) Olahraga teratur
Olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan
endapan kolestrol pada pembuluh darah nadi. Olahraga yang dimaksut
adalah latihan menggerakan semua nadi dan otot tubuh seperti gerak

14
jalan, berenang, naik sepeda, aerobik. Oleh karena itu olahraga secara
teratur dapat menghindari terjadinya komplikasi hipertensi (Corwin,
2009). Latihan fisik regular dirancang untuk meningkatkan kebugaran
dan kesehatan pasien dimana latihan ini dirancang sedinamis mungkin
bukan bersifat isometris (latihan berat) latihan yang dimaksud yaitu
latihan ringan seperti berjalan dengan cepat (Syamsudin, 2011).
Manajemen pengobatan hipertensi (Farmakologi hipertensi)
menurut Tjay, dan Rahardja (2010):
1. Prinsip pengobatan dengan antihipertensi adalah sebagai berikut:
1) Tujuan pengobatan hipertensi yaitu untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi.
2) Manfaat terapi hipertensi menurunkan tekanan darah dengan
antihipertensi yang telah terbukti menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskular, yaitu stroke, iskemia jantung, gagal
jantung kongestif, dan memberatnya hipertensi.
3) Memutuskan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak
hanya ditentukan dengan tingginya tekanan darah tetapi
adanya faktor rsiko penyakit kardiovaskuler lainnya.
4) Mulai pengobatan dengan suatu obat dosis rendah (jika
tekanan darah tidak dikendalikan). Penderita hipertensi pada
tahap awal atau tahap 1 memulai dengan jenis obat
antihipertensi diuretik, β- bloker, penghambat ACE, antagonis
Kalsium dan α - bloker dengan memodifikasi pola hidup serta
menjonsumsi obat monoterapi antihipertensi.Mulai dengan
satu obat juga bisa mengobati dan atau tidak mengganggu
suatu kondisi yang ada contoh obat yang bisa digunakan yaitu
jenis diuretik: diuretik tiazid (hidroklorotiazid, klortalidon,
bendroflumetiazid, indapamid, Xipamid), beta bloker
(kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisopronol, metoprolol,
Nonselektif: alprenolol, karteolol, nedolol, oksprenolol), Alfa
bloker: Doxazosin, prazosin, terazosin, terazosin, bunazosin,
labetalol, Penghambat ACE : kaptropil, lisinopril, enalapril,

15
benazepril, delapril, fosinopril, kui napril, perinderopil,
ramipril, silazapril, Antagonis kalsium: Verapamil, diltiazem,
nifedipin).
5) Tambahkan obat kedua dari kelas obat yang berbeda
(pelengkap) jika tekanan darah tidak dikontrol dengan dosis
sedang untuk agen pertama, obat antihipertensi lainnya yang
bisa digunakan yaitu vasodilator langsung, adrenolitik sentral
(α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik ini semua bukan
jenis obat monoterapi tahapan pertama antihipertensi tetapi
merupakan obat antihipertensi tambahan.
6) Mulai dengan obat yang mungkin paling mudah ditoleransi
oleh pasien. Kepatuhan jangka panjang berkaitan dengan
tolerabilitas dan khasiat obat pertama yang digunakan.
Rekomendasi yang diberikan WHO menganjurkan lima jenis
obat yaitu diuretik, β- bloker, penghambat ACE, antagonis
Kalsium dan α - bloker.
7) Gunakan terapi diuretik jika ada dua obat yang digunakan,
berlaku untuk hampir semua kasus.
8) Gunakan diuretik tiazid hanya dengan dosis rendah 25mg/ hari
untuk hidroklorotiazida atau obat yang ekuivalen, kecuali ada
alasan yang mendesak.
9) Gunakan terapi kombinasi dosis rendah, jika diperlukan,
sebagai terapi awal.
10) Suatu diuretik dengan penyekat β (beta), ACE inhibitor , atau
antagonis angiotensin II.
11) Suatu kalsium antagonis denga ACE inhibitor atau penyekat β
(beta).
Satu atau dua obat akan mengendalikan tekanan darah pada
90% pasien hipertensi. Cara untuk mendapatkan tekanan darah
diastolik < 90 mmHg, sekitar 70% kasus memerlukan dua obat.Jika
terjadi komplikasi yang terjadi jika hipertensi dengan diabetes
kombinasi obat memiliki resistensi insulin. Pada kasus ini digunakan

16
suatu penghambat ACE atau β-bloker selektif. Jika terdapat
kontraindikasi terhadap kelompok ini, dianjurkan untuk obat-obat lain
seperti alfa-bloker dan angiotensin kalsium. Komplikasi yang disertai
gagal jantung dengan diuretika, β-bloker, atau ACE inhibitor.
Hipertensi dengan angina pectoris dengan β-bloker, atau antagonis
kalsium. Reniopati diabetes dengan hipertensi bisa menggunakan
ACE inhibitor. Hipertensi disertai infark jantung menggunakan β-
bloker, atau ACE Inhibitor.
2. Obat Antihipertensi
Antihipertensi adalah agen yang menurunkan tekanan darah
tinggi (Dorland, 2012). Rekomendasi obat antihipertensi menurut
World Health Organization (WHO) 2003 dan The Joint National
Committee (JNC VIII) tahun 2014 adalah :
1) Diuretik adalah obat yang menghambat reabsorbsi natrium dan air
di bagian asenden ansa henle (Dorland, 2012). Diuretika adalah
senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak.
Menghambat reabsorpsi garam di tubulus distal dan membantu
reabsopsi kalium. Jika pada peningkatan ekskesi air, terjadi juga
peningkatan ekskresi garam–garam, maka diuretika ini dinamakan
saluretika atau natriuretika (Gray, Dawkins, Morgan, Simpson,
2005).Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi respon
diuretik. Pertama, diuretik mereabsorpsi sedikit sodium akan
memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik
yang bekerja pada daerah yang mereabsorpsi banyak sodium.
Kedua, status fisiologi organ akan memberikan respons yang
berbeda dengan diuretik. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis
hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi anatara obat dengan
reseptor (Syamsudin, 2011). Jenis diuretika berdasarkan cara
kerjanya menurut Sutedjo (2008) :
a) Menghambat reabsorbsi Natrium dan air dari Tubulus Ginjal
dan Ansa Henle, misalnya: Tiazid dan Derifatnya
(Chlortalidon, Hidroklorotiazid, Indopamid, Sipamid)

17
merupakan Diuretika potensi sedang mampu mengesresikan 5-
10% Natrium yang difiltrasikan Glomerulus, Diuretika Loop
atau High Celling (Furosemid, Bumetanide,Asam Etakrinat)
Diuretik kuat dibanding Tiazid, dapat mengekresikan 15-30%
Natrium yang difiltrasikan Glomerulus, dan bekerja banyak
pada Anse Henle Asenden (Loop).
b) Diuretik osmotik yaitu menarik cairan jaringan peritubuler
menuju tubulus dan menambah jumlah kencing karena adanya
perbedaan tekanan osmotis antara intratubuler dan
peritubuler.Antagonis Aldosteron (spironolakton) digunakan
untuk diuretik, pengurangan oedema, hiperaldosteron primer
maupun sekunder dan jenis obat deuretik lainnya.
2) Penyekat α (α - Blocker)
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat reseptor α,
tetap hambatan reseptor α (alpha) tergantung dari perbedaan profil
farmakokinetiknya. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat
efek vasokonstriktor epinefrin dan norepinefrin. Efek ini
menyebabkan vasodilatasi arteriola dan resistensi vascular perifer
yang lemah. Kombinasi efek penurunan resistensi vascular perifer
dan penurunan kembalinya pembuluh vena menyebabkan
terjadinya hipotensi ortostatik khususnya pada dosis awal (first
dose effect). Efek antihipertensi dari penyekat α dapat menurunkan
tekanan darah 10/10 mmHg dan meningkatkan kadar HDL.
Prazosin dapat digunakan pada penderita asma sebab memiliki efek
sebagai relaksan ringan pada otot polos bronkus. Penyekat α dapat
digunakan pada hipertensi dengan prostatis sebab penyekat α dapat
mengurangi gejala urinary hesitancy dan spasme leher kandung
kemih yang berhubungan dengan hipertrofi prostat.
3) Penyekat b (b- Blocker)
Golongan obat ini memiliki efek kronotropik dan inotropik
negative yang menyebabkan penurunan tekanan darah dan
menurunkan curah jantung dan resistensi vascular perifer. Efek

18
penghambatan terhadap reseptor β2 yang terdapat dipermukaan
membrane sel jukstaglomruler dapat menyebabkan penurunan
sekresi renin yang berperan didalam sistem renin angiotensin
aldosteron dan menurunkan tekanan darah.
4) ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor memiliki efek
dalam penurunan tekanan darah melalui penurunan resistansi
perifer tanpa disertai dengan perubahan curah jantung, denyut
jantung, maupun laju filtrasi glomerolus. Penurunan tekanan darah
melalui penghambatan sistem renin angiotensin aldosteron (RAA).
Renin merupakan enzim yang disekresi terutama dari sel
jukstaglomeruler di bagian arteriol aferen ginjal dan menyebabkan
perangsangan pada sitem RAA sehingga menurunkan tekanan
darah, penurunan konsentrasi ion Na+ sehingga dapat menurunkan
tekanan darah, nyeri, dan stres. Pada sistem RAA, kerja ACE
inhibitor adalah menghambat enzim ACE yaitu suatu enzim yang
dapat menguraikan angiotensin I menjadi angitensin II.
Angiotensin II merupakan suatu vasokonstriktor yang pontensial
merangsang korteks adrenal untuk menyitesis dan menyekresi
aldosteron dan secara langsung menekan pelepasan renin. Enzim
ACE juga dapat mendegradasi bradikinin dari bentuk aktif. ACE
Inhibitor dapat menyebabkan bradikinin tidak terdegradasi dan
terakumulasi di saluran pernafasan dan paru sehingga
menimbulkan batuk kering. Batuk kering merupakan efek samping
yang paling sering terjadi, insidennya sampai 10 – 20% lebih sering
pada wanita dan terjadi pada malam hari.
5) Antagonis Reseptor Angiotensin II
Obat-bat yang mempengaruhi jalur sistem renin angiotensin
(RAS) antara lain adalah ACE inhibitor dan A II RA. Tampaknya
A II RA merupakan obat yang mempunyai prospek yang baik
karena obat ini mampu memblok kerja semua angiotensin II yang
terbentuk baik melalui jalur ACE atau non-ACE. A II RA dapat

19
secara selektif memblok kerja Angiotensin II pada reseptor AT,
sehingga A II RA disamping menurunkan tekanan darah juga
mempunyai kemampuan melindungi organ-organ lain (end organ
protection).
Terdapat dua tipe reseptor yaitu AT1 dan AT2 dengan efek
kerja yang berbeda. Angiotensin II yang seharusnya bekerja pada
reseptor AT1 akan diblokade oleh A II RA sehingga terjadi
penurunan tekanan darah, penurunan retensi air dan sodium, serta
penurunan aktivitas seluler yang merugikan (antaralain hiperetrofi
sel dan lain-lain). Angiotensin II yang terakumulasi akan kerja di
reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi dan antiproliferasi.
Akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergis dengan
efek hambatan pada reseptor AT1.
6) Antagonis Kalsium
Penghambat kanal kalsium merupakan senyawa heterogen
yang memiliki efek bervariasi pada otot jantung, nodus, SA,
konduksi AV, pembuluh darah perifer, dan sirkulasi koroner.
Senyawa penghambat kanal kalsium tersebut adalah nifedipin,
nikardipin, nimodipin, felodipin, isradipin, amlodipin, verapamil,
diltiazem, bepridil, dan mibefradil. Ion kalsium berperan penting
dalam mengatur kontraksi otot polos dan rangka, serta tampilan
jantung normal dan sakit. Antagonis kalsium banyak digunakan
untuk pengobatan hipertensi dengan cara mengambat masuknya ion
kalsium kedalam sel otot polos melalui penghambatan kanal ion
kalsium yang bergantung pada tegangan (tipe I). Ada dua macam
kanal ion kalsium pada membrane sel eksitabel yaitu voltage
operated channel (VCO) yang terbuka oleh depolarisasi dan
receptor operated channel (ROC) yaitu kalsium yang terbuka oleh
neurotransmitter tanpa terjadi depolarisasi. Selanjutnya VOC dapat
dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu kanal N(neuronal),
T(transien), dan L (long lasting). Kanal N terutama terutama
terdapat pada jaringan saraf, sedangkan kanal T terdapat pada

20
pacemaker dan jaringan konduksi. Kanal N dan T tidak sensitive
terhadap antagonis kalsium sedangkan kanal L sangat sensitive
terhadap antagonis kalsium dan terdapat pada otak, jantung, otot
polos, serta otot rangka.Kanal L terdiri atas lima subunit yaitu α1,
α2,β,γ dan δ sedangkan reseptor antagonis kalsium terdapat pada
subunit α1.
Terapi Farmakologi menurut Departemen Kesehatan
(DepKes, 2006) Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi
menjelaskan ada 9 kelas obat antihipertensi : diuretik, penyekat
beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat
reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap
sebagai obat antihipertensi utama.

g. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi
yang berbahaya menurut Price dan Wilson (2006), Corwin (2009),
Vitahealth (2005), Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, dan Syam (2014),
Irianto (2014) seperti :
a) Gagal Jantung
Gagal jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi jantung
tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh. Kondisi
ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau sistem listrik jantung.
b) Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadi stroke, karena
tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah
yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh
darah otak, maka terjadi pendarahan otak yang dapat berakibat
kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan
darah yang macet dipembuluh yang sudah menyempit.
c) Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah
yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh.

21
Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit
cairan dan membuangnya kembali kedarah.
d) Kerusakan pengelihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di
mata, sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi kabur atau buta.
Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi kabur,
kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata untuk
menemukan perubahan yang berkaitan dengan hipertensi yaitu
retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada bagaian otak,
jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan penderita
hipertensi mengalami kerusanan organ mata yaitu pandangan menjadi
kabur.
Komplikasi yang bisa terjadi dari penyakit hipertensi menurut
Departemen Kesehatan (DepKes, 2006) adalah tekanan darah tinggi
dalam jangka waktu yang lama akan merusak endotel arteri dan
mempercepat atherosclerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan
pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk
penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit
arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan
atrial fibrilasi.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hipertensi


a. Pengkajian
Pengkajian Keperawatan adalah suatu komponen dari proses
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam
menggali permasalahan dari pasien meliputi pengumpulan data tentang
status kesehatan pasien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat
dan berkesinambungan. Pengkajian yang dilakukan oleh penulis sesuai
dengan format pengkajian keperawatan Medikal Bedah. Pengkajian
dilakukan secara komprehensif.

22
Karakteristik nyeri dibagi dalam beberapa metode P, Q, R, S, T, yaitu:
1. Faktor Pencetus (P: provocate), perawat mengkaji tentang
penyebab atau stimulasi nyeri pada pasien. Perawat melakukan
observasi dibagian tubuh yang mengalami cidera. Apabila perawat
mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat dapat
mengeksplorasikan perasaan pasien dengan menanyakan perasaan
apa yang dapat mencetus nyeri.
2. Kualitas (Q: quality), kualitas nyeri adalah hal yang subjektif yang
diungkapkan pasien, pasien sering mendeskripsikan nyeri dengan
kalimat: berdenyut, tajam, tumpul, bepindah-pindah, perih, seperti
tertindih, tertusuk. Tiap-tiap pasien berbeda dalam melaporkan
kualitas nyeri yang dirasakan.
3. Lokasi (R: region), mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta
pada pasien untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang
dirasakan nyeri oleh pasien. Untuk melokalisi nyeri lebih spesifik,
maka perawat dapat meminta pasien untuk melacak daerah nyeri
dari titik yang paling nyeri, apabila nyeri bersifat difus (menyebar)
maka kemungkinan akan sulit untuk dilacak.
4. Keparahan (S: severe), tingkat keparahan pasien tentang nyeri
merupakan karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini
pasien disuruh menggambarkan nyeri yang dirasakannya sebagai
nyeri ringan, sedang, berat. Kesulitannya adalah makna dari setiap
istilah berbeda bagi perawat dan pasien, tidak ada batasan khusus
yang membedakan antara nyeri ringan, sedang, berat. Ini juga
disebabkan karena pengalaman nyeri setiap orang berbeda-beda.
5. Durasi (T: time), perawat menanyakan pada pasien untuk
menentukan durasi, awitan, dan rangkaian nyeri, misalnya
menanyakan “kapan nyeri mulai dirasakan?”, “sudah berapa lama
nyeri dirasakan?”, “apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu
yang sama setiap hari?”, “seberapa sering nyeri kambuh?”.

23
b. Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Hipertensi
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon
individu, keluarga, komunitas, terhadap masalah kesehatan yang aktual
dan potensial, atau proses kehidupan (Potter dan Perry. 2005).
Perumusan yang umum pada penderita hipertensi adalah nyeri akut,
.perubahan nutrisi, dan intoleransi aktivitas. Menentukan prioritas
masalah bergantung pada urgensi dari masalah, sifat dari pengobatan
yang diberikan dan interaksi diantara diagnosis keperawatan.
1. Nyeri akut berhubungan dengan tekanan vaskuler serebral.
2. Perubahan Nutrisi : masukan berlebihan sampai dengan kebutuhan
metabolik.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen.

c. Rencana Keperawatan Pada Pasien Hipertensi


Nyeri akut berhubungan dengan tekanan vaskuler serebral.
1) Tujuan : Nyeri hilang.
2) Kriteria hasil :
a) Melaporkan nyeri / ketidakseimbangan hilang / terkontrol.
b) Mengungkapkan metode yang memberikan pengurangan.
c) Mengikuti regimen farmokologi yang dijerapkan.
3) Intervensi :
a) Pertahankan tirah baring selama fase akut.
b) Ajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam.
c) Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
d) Hilangkan/minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat
meningkatakan sakit (beri kompres hangat).
4) Rasionalisasi :
a) Meminimalkan stimulasi.
b) Tindakan yang menrunkan tekana vaskuler serbral dan
mempertahankan respon simpatis dalam menghilangkan
sakit kepala.

24
c) Pusing dan penglihatan kabur sering menghubungkan
dengan sakit kepala.
d) Aktivitas yang meningkat vasokontriksi menyebabkan sakit
kepala pada adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral.

C. Konsep Masalah Nyeri Akut Pada Pasien Hipertensi


a. Definisi nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
baik secara aktual maupun potensial (Asmadi,2008).

b. Fisiologi Nyeri
Nyeri muncul apabila reseptor nyeri (Nociceptor) yang merupakan
ujung-ujung saraf bebas memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki
myelin yang tersebar pada persendian. Reseptor nyeri dapat memberikan
respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan,selanjutnya stimulasi yang
diterima reseptor tersebut ditransmisikan berupa impuls nyeri ke sumsum
tulang belakang, kemudian impuls nyeri melewati sumsum tulang
belakang yang tersambung ke jalur spinothalamus yang membawa
informasi tentang sifat dan lokasi nyeri (Hidayat,2009).

c. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan awitan nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
nyeri akut dan kronik.
1. Nyeri akut
Biasanya timbul secara mendadak dengan durasi yang singkat,
terbatas dan pada umumnya berhubungan dengan suatu lesi yang dapat
diidentifikasi.
2. Nyeri kronik
Sifatnya menetap dan melampaui batas kesembuhan penyakit
dan biasanya tidak ditemukan suatu penyakit atau kerusakan jaringan.
Nyeri kronik pada lansia dapat menyebabkan lansia sangat tergantung

25
pada orang lain, depresi dan kehilangan rasa percaya diri
(Zakiyah,2015).

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Lingkungan
Lingkungan yang tidak nyaman akan memperkuat persepsi nyeri.
Suasana ribut, panas, dan kotor akan membuat pasien merasa
intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya jika suasana tenang,
nyaman, dan bersih akan membantu menciptakan perasaan rileks
sehingga rasa nyeri dapat dikurangi.
2. Usia
Umur juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri.
Anak anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri
dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat
mengkomunikasikan apa yang dirasakannya, sehingga kemungkinan
perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri
secara adekuat.
3. Kelelahan
Kelelahan dapat membuat orang merasakan nyeri lebih kuat. Hal ini
disebabkan karena kekurangan energi untuk melawan stimulus nyeri
Lelah juga mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap nyeri.
Semakin diterima rasa nyeri akan semakin berkurang begitu juga
sebaliknya.
4. Riwayat sebelumnya
Riwayat sebelumnya berpengaruh tehadap persepsi seseorang tentang
nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan
lebih siap menerima perasaan nyeri, sehingga dia akan merasakan
nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya
5. Mekanisme pemecahan masalah
Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi perasaan nyeri
seseorang. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk menurunkan

26
rasa nyeri. Ini sangat membantu orang tersebut untuk menurunkan
nyerinya, misal seseorang terbiasa membayangkan hal-hal yang
menyenangkan untuk mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri
6. Budaya
Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri,
bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang
mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalam
suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri
karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu
yang dapat ditahan.
7. Orang-orang yang memberi dukungan.
Adanya orang-orang yang memberi dukungan berpengaruh terhadap
nyeri yang dirasakannya, misalnya seorang anak tidak akan berfokus
pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada didekat kedua orang
tuanya (Zakiyah,2015).

e. Penilaian Rasa Nyeri ( Pain Assessment)


Untuk pasien yang mengalami nyeri kronis maka pengkajian
yang lebih baik adalah dengan menfokuskan pengkajian pada dimensi
perilaku, afektif, kognitif
1. Karakteristik nyeri (Metode P,Q,R,S,T)
1) Faktor pencetus (P: Provocate)
Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus
nyeri pada klien, apabila perawat mencurigai adanya nyeri
psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien
dan menanyakan perasaan-perasaan apa yang dapat mencetus nyeri
2) Kualitas (quality)
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subjektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendeskripsikan nyeri
dengan kalimat kalimat tajam, tumpul, berdenyut, berpindah-
pindah, seperti tertindih, perih, tertusuk dan lain-lain, dimana tiap-

27
tiap klien mungkin berbeda-beda dalam melaporkan kualitas nyeri
yang dirasakan.
3) Lokasi (R: Region)
Untuk mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta klien untuk
menunjukkan semua bagian/ daerah yang dirasakan tidak nyaman
oleh klien. Untuk melokalisasi nyeri lebih spesifik, maka perawat
dapat meminta klien untuk melacak daerah nyeri dari titik yang
paling nyeri, kemungkinan hal ini akan sulit apabila nyeri yang
dirasakan bersifat difus (menyebar).
4) Keparahan (S: Severe)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik
yang paling subjektif. Pada pengkajian ini klien diminta untuk
menggambarkan nyeri yang ia rasakan sebagai nyeri ringan, nyeri
sedang atau berat. Namun kesulitannya adalah makna dari istilah
istilah ini berbeda bagi perawt dan klien serta tidak adanya batasan
batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang dan
berat. Hal ini juga bisa disebabkan karena memang pengalaman
nyeri pada masing-masing individu berbeda-beda.
a) Verbal Numerical Rating Scale (VNRS)
Sama dengan VAS hanya diberi skor 0-10 daerah yang
paling sakit dan kemudian diberi skala.

Gambar 2.1 : Skala Intensitas Nyeri Numerik (0-10)


(Hidayat, 2009 )

28
b) Grafik Verbal Rating Scale

Gambar 2.2 : Skala Deskriptif Verbal (Hidayat, 2009)


Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan
Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-6 : Nyeri Sedang
Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri Berat Terkontrol
Secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri Berat Tidak Terkontrol
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

3. Wong - Baker Faces Pain Rating Scale

Gambar 2.3 : Skala nyeri wajah Wong & Baker (Zakiyah, 2015)

29
Jika klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat
menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan
atau ditunjukan padanya dapat diseleksi dengan hati -hati,
maka setiap instrument tersebut dapat menjadi valid dan dapat
dipercaya.
5) Durasi (T : Time)
Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan,
durasi, dan rangkaian nyeri. Perawat menyakan : “Kapan nyeri
mulai dirasakan?”, “Sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “Apakah
nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari?”,
“Seberapa sering nyeri kambuh?” atau dengan kata-kata lain yang
semakna.
2. Respon fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke
batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respon stres, stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologi.

Respon fisiologis terhadap Nyeri


Respon simpatik Peningkatan frekuensi pernapasan
Peninngkatan frekuensi denyut jantung
Vasokontriksi perifer (Pucat, peningkatan
tekanan darah) Peningkatan tegangan otot
Respon parasimpatik Pucat Ketegangan otot Pernapasan cepat
dan tidak teratur Kelemahan atau
kelelahan
Tabel 2.3 : Respon Fisiologis terhadap Nyeri (Hidayat, 2009).
3. Respon prilaku
Respon prilaku terhadap nyeri yang biasa ditunjukkan oleh pasien
antara lain : merubah posisi tubuh, menngusap bagian yang sakit,
menopang bagian nyeri yang sakit, menggeretakkan gigi,

30
menunjukkan ekspresi wajah meringis, mengerutkan alis, ekspresi
verbal menangis, mengerang,mengaduh, menjerit, meraung.
4. Respon Afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam
melakukan pengkajian. Ansietas (kecemasan) perlu digali dengan
menanyakan pada pasien.
5. Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien
Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan
dalam kegiatan sehari-harinya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam berpartisipasi
terhadap kegiatan sehari-hari, sehingga perawat juga mengetahui
sejauh mana ia dapat membantu progran aktivitas pasien.
Perubahan-perubahan yang perlu dikaji antara lain : perubahan pola
tidur (apakah nyeri mengganggu pola tidur klien), pengaruh nyeri
pada aktivitas sehari-hari misal : makan,minum, mandi BAK atau
BAB, serta perubahan pola interaksi terhadap orang lain (apakah
nyeri mengganggu dalam berinteraksi terhadap orang disekitarnya).
6. Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri
Terkadang individu memiliki cara masing-masing dalam
beradaptasi terhadap nyeri. Perawat dalam hal ini perlu mengkaji
cara-cara apa saja yang biasa klien gunakan untuk menurunkan
nyeri yang ia alami, mengkaji keefektifan cara tersebut dan apakah
bisa digunakan saat klien menjalani perawatan di rumah sakit.
Apabila cara tersebut dapat digunakan, perawat dapat
memasukkannya dalam rencana tindakan (Zakiyah,2015).

f. Implementasi Keperawatan Pada Masalah Nyeri Akut


1. Mempertahankan tirah baring selama fase akut
1) Pengertian : Melakukan tindakan keperawatan dengan cara
melakukan perubahan posisi dari miring kiri,, terlentang dan
miring kanan yang dilaksanakan pada pasien tidak sadar atau
pasien tirah baring lama.

31
2) Tujuan : Memberikan rasa nyaman pada pasien dan
mencegah terjadinya dekubitus.
3) Prosedur Tindakan :
a) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
b) Bawa kedua bantal dekat pasien
c) Rapikan alat-alat tenun yang ada padapasien.
d) Angkat pasien kearah salah satu tempat tidur, kemudian
miringkan pasien kearah sisi lain, punggung pasien diganjal
dengan bantal.
e) Kedua lutut pasien ditekuk, diantara kedua lutut tersebut
diletakkan bantal.
f) Atur posisi tangan pasien memeluk bantal dan kepala
ditinggikan 20 derajat dengan menggunakan bantal atau
handuk
g) Rapikan selimut pasien dan pasang bed plang / bed rail side
h) Lakukan observasi tanda-tanda vital pasien saat
memiringkan dan lakukan observasi selanjutnya 30 menit
berikutnya.
i) Catat tindakan keperawatan yang telah dilakukan
j) Evaluasi respon pasien setelah pemberian obat.
k) Dokumentasikan tindakan dan respon pasien pada catatan
keperawatan.
2. Mengajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam
1) Pengertian : Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa
nyeri pada pasien yang mengalami nyeri. Rileks sempurna
yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh,
kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri
2) Tujuan : Untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri
3) Prosedur tindakan :
a) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
b) Atur posisi pasien agar rileks tanpa beban fisik

32
c) Instruksikan pasien untuk tarik nafas dalam sehingga
rongga paru berisi udara
d) Instruksikan pasien untuk bernafas dalam tahan selama tiga
detik, kemudian menghembuskan secara perlahan dan
merasakan saat ini udara mengalir dari tangan, kaki, menuju
keparu-paru kemudian rasakan udara mengalir keseluruh
tubuh
e) Minta pasien untuk memusatkan perhatian pada kaki dan
tangan, udara yang mengalir dan merasakan keluar dari
ujung-ujung jari tangan dan kaki dan rasakan kehangatanya
f) Instruksiakan pasien untuk mengulangi teknik-teknik ini
apa bila rasa nyeri kembali lagi
g) Setelah pasien merasakan ketenangan, minta pasien untuk
melakukan secara mandiri.
3. Membantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
1) Pengertian : Memindahkan klien dari satu tempat ke tempat
lainnya berdasarkan kebutuhannya, misalnya dari tempat tidur
ke kursi roda ataupun sebaliknya.
2) Tujuan : Memindahkan pasien dan memberi rasa
nyaman pada pasien
3) Prosedur Tindakan :
a) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
b) Membantu klien duduk di sisi tempat tidur
c) Meletakkan kursi roda pada posisi sudut 450 pada tempat
tidur, mengunci rodanya dan membuka tatakan kakinya.
d) Memastikan klien stabil
e) Melebarkan kakinya (membuka jarak antara kedua kaki)
f) Memfleksikan pinggul dan kedua lutut (lutut perawat dan
klien sejajar).
g) Meletakkan tangan perawat di skapula klien.
h) Menegakkan klien untuk bediri pada hitungan ketiga
dengan meluruskan pinggul dan tungkai.

33
i) Memutar kaki yang terjauh dari kursi roda.
j) Meminta klien menggunakan lengan bersandar pada kursi
untuk topangan.
k) Memfleksikan pinggul dan lutut selama menurunkan klien
ke kursi.
l) Mengkaji kesejajaran klien yang sesuai untuk duduk.
m) Menurunkan tatakan kaki kursi roda dan meletakkan
kedua kaki klien diatasnya.
4. Menghilangkan/meminimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat
meningkatakan sakit kepala (beri kompres hangat).
1) Pengertian : Suatu tindakan non farmakologi untuk
menghilangkan rasa sakit pada kepala melalui mekanisme
pemberian kompres air hangat.
2) Tujuan : Untuk menghilangkan rasa sakit pada kepala
3) Prosedur Tindakan :
a) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
b) Masukan air hangat ke dalam waskom
c) Ambil waslap lalu celup waslap ke dalam air hangat,
kemudian peras.
d) Letakkan waslap basah pada dahi pasien.
e) Ganti waslap bila sudah dingin.
f) Ulangi tindakan hingga nyeri klien berkurang

34

Anda mungkin juga menyukai