Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. LANJUT USIA
1. Pengertian lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam
dkk, 2008). Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan
lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya
kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual
(Efendi, 2009).
2. Batasan lansia
Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi
lansia sebagai berikut:
a. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa
vibrilitas
b. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium
c. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-
batasan umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai
berikut:

5 Poltekkes Kemenkes Palembang


a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal
1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90
tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities)
ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun,
keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof.
Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65
tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old
(75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
3. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada
lansia meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental,
perubahan psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual.
a. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke
semua organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan
integumen.
1) Keseluruhan
Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-
to-lean body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.
b. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan
kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan

6 Poltekkes Kemenkes Palembang


adiposa, kulit pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat
menurunnya aliran darah ke kulit dan menurunnya sel-sel yang
memproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal
dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun rambut wajah meningkat,
rambut menipis atau botak dan warna rambut kelabu, kelenjar
keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit sebagai
proteksi sudah menurun
1) Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya
aktifitas otot.
2) Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang,
pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos
tidak begitu terpengaruh.
3) Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac
output, berkurangnya heart rate terhadap respon stres,
kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat
akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn.
Sanjang dan lekukan, arteria termasuk aorta, intima bertambah
tebal, fibrosis.
4) Sistem perkemiha
Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai
50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu
mempekatkan urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN
meningkat, ambang ginjal terhadap glukosa meningkat,
kapasitas kandung kemih menurun 200 ml karena otot-otot yang

7 Poltekkes Kemenkes Palembang


melemah, frekuensi berkemih meningkat, kandung kemih sulit
dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin meningkat,
pembesaran prostat (75% usia di atas 65 tahun), bertambahnya
glomeruli yang abnormal, berkurangnya renal blood flow, berat
ginjal menurun 39-50% dan jumlah nephron menurun,
kemampuan memekatkan atau mengencerkan oleh ginjal
menurun.
5) Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli
ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen
arteri menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal
oxygen uptake, berkurangnya reflek batuk.
6) Sistem gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar,
rasa lapar menurun, asam lambung menurun, waktu
pengosongan lambung menurun, peristaltik melemah sehingga
dapat mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun,
produksi saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun
pada lambung.
7) Rangka tubuh
Osteoartritis, hilangnya bone substance.
8) Sistem penglihatan
Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh,
meningkatnya ambang pengamatan sinar (daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat cahaya gelap),
berkurangnya atau hilangnya daya akomodasi, menurunnya
lapang pandang (berkurangnya luas pandangan, berkurangnya
sensitivitas terhadap warna yaitu menurunnya daya

8 Poltekkes Kemenkes Palembang


membedakan warna hijau atau biru pada skala dan depth
perception).
9) Sistem pendengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran
timpani menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan
serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin,
perubahan degeneratif osikel, bertambahnya obstruksi tuba
eustachii, berkurangnya persepsi nada tinggi.
10) Sistem syaraf
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel
kortikol, reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap
sentuhan, berkurangnya aktifitas sel T, hantaran neuron motorik
melemah, kemunduran fungsi saraf otonom.
11) Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH,
TSH, FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal
metabolisme menurun, menurunnya produksi aldosteron,
menurunnya sekresi hormon gonads yaitu progesteron, estrogen
dan aldosteron. Bertambahnya insulin, norefinefrin,
parathormon.
12) Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie
dan uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi,
meskipun adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan
seks menetap sampai di atas usia 70 tahun, asal kondisi
kesehatan baik, penghentian produksi ovum pada saat
menopause.
13) Daya pengecap dan pembauan
Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan
pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula,
garam, mentega, asam, setelah usia 50 tahun.

9 Poltekkes Kemenkes Palembang


c. Perubahan kondisi mental
Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan
pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya
kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit atau takut diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Faktor
yang mempengaruhi perubahan kondisi mental yaitu:
1) Perubahan fisik, terutama organ perasa
2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
8) Kehilangan hubungan dengan teman dan famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
d. Perubahan psikososial
Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan
bekerja mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan
masa pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana,
mempersiapkan diri untuk pensiun dengan menciptakan minat untuk
memanfaatkan waktu, sehingga masa pensiun memberikan
kesempatan untuk menikmati sisa hidupnya. Tetapi banyak pekerja
pensiun berarti terputus dari lingkungan dan teman-teman yang
akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk di rumah. Perubahan
psikososial yang lain adalah merasakan atau sadar akan kematian,
kesepian akibat pengasingan diri lingkungan sosial, kehilangan
hubungan dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan
ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan kematian pasangan
hidup.

10 Poltekkes Kemenkes Palembang


e. Perubahan kognitif
Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah:
1) Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang
membutuhkan kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan
memori jangka pendek.
2) Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.
3) Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan
menetap bila tidak ada penyakit.
f. Perubahan spiritual
1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam
kehidupannya.
2) Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler:
universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara
mencintai dan keadilan

B. DERMATITIS ATOPIK
a. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis residif
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak,
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal dan umumnya sering terjadi selama masa bayi dan
anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita. Kelainan kulit
berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
likenifikasi, tempatnya dilipatan atau fleksural..

11 Poltekkes Kemenkes Palembang


Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat
kronik residif disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan
remisi, dengan etiologi yang multifaktorial. Penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan penyakit alergi lain seperti asmabronkial dan
rhinokonjungtivitis alergi (Djuanda, 2009).
b. Epidemiologi
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis dermatitis atopik
menyebabkan perbedaan pravelensi di berbagai tempat.Oleh karena
definisi secara klinis tidak ada yang tepat,maka untuk menginterpretasi
hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai penelitian
menyatakan bahwa pravelensi dermatitis atopik makin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan yang besar.
Di Amerika Serikat,Eropa,Jepang, Australia dan negara industri
lain pravelensi dermatitis atopik pada anak mencapai 10 sampai 20 %
,sedangkan pada dewasa kira-kira 1 sampai 3 % .Di negara agraris,
misalnya Cina,Eropa Timur,Asia Tengah, pravelensi dermatitis atopik
cenderung lebih rendah.Rasio gender sangat bervariasi antara studi,
dilaporkan lebih banyak terjadi pada wanita dengan perbandingan 1,3:1.
Berdasarkan penelitian Boediardja SA mendapatkan perbandingan
pravelensi dermatitis atopik pada wanita dan pria adalah 1:0,75.
Sementara itu Indian Journal Of Dermatologymelaporkanberbeda
yaitudominasipenderita dermatitis atopik di India,dominanlaki-laki
2.13:1 untuk bayi dan 1.09:1 untuk anak-anak7,10.Pada suatu penelitian
di Inggris yang melibatkan 1760 anak-anak dengan usia 1-5 tahun,
didapatkan 84% kasus ringan, 14% kasus sedang dan 2% kasus berat.

c. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan
patogenesisnya sangat komplek ,tetapi terdapat beberapa faktor yang
dianggap berperan sebagai faktor pencetus kelainan ini misalnya faktor
genetik,imunologik,lingkungan dan gaya hidup, dan psikologi.

12 Poltekkes Kemenkes Palembang


a) Faktor genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang
mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33
mengandung kumpulanfamilygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-
CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2 Ekspresi gen IL-4 memainkan
peranan penting dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan genetik
aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi presdiposisi dermatitis
atopik.Ada hubungan yang erat antara polimorfisme spesifik gen
kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma
bronkial atau rhinitis alergik.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak
diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah.
Sejumlah survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak
yang memiliki atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik,
daripada ayahnya. Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang
ibunya atopik atau memiliki IgE yang tinggi, sedangkan atopik
paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan dengan kenaikan
darah tali pusat IgE.
b) Faktor imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum
tulang. Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada
dermatitis atopik, seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-
80% kasus meningkat, adanya IgE spesifik terhadap bermacam
aerolergen dan eosinofilia darah serta diketemukannya molekul IgE
pada permukaan sel langerhans epidermal.Terbukti bahwa ada
hubungan secara sistemik antara dermatitis atopikdan alergi saluran
napas, karena 80%anak dengan dermatitis atopikmengalami asma
bronkial atau rhinitis alergik.

13 Poltekkes Kemenkes Palembang


Pada individu yang normalterdapat keseimbangan sel T seperti
Th1, Th2, Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi
ketidakseimbangan sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan
dibandingkan Th1 yang menurun.Hal ini menyebabkan produksi
darisitokinTh 2 seperti interleukin IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan
lebih banyak diekspresikan oleh sel-sel sehingga terjadipeningkatan
IgE dari sel plasma dan penurunan kadar interferon-gamma.Dermatitis
atopik akut berhubungan dengan produksi sitokin tipe Th2, IL-4 dan
IL-13, yang membantu immunoglobulin tipe isq berubah menjadi
sintesa IgE, dan menambah ekspresi molekul adhesi pada sel-sel
endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan
ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik kronis.
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan
pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh
antigen presenting celluntuk kemudian disajikan kepada sel limfosit T
untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan
bantuan molekul MHC kelas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi
aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T cell reseptor. Setelah
paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2
karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B
untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di
sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil.Pada
paparan alergen berikutnya IgE telah bersedia pada permukaan sel
mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.Ikatan ini
akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan
mengeluarkanmediator baik yang telah tersedia seperti histamine yang
akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator baru yang
dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2dan lain sebagainya.
Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam
pathogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor

14 Poltekkes Kemenkes Palembang


pada permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta
mensekresi berbagai sitokin 5.Inflamasi kulit atopik dikendalikan
olehekspresi lokal dari sitokin dan kemokin pro-inflamatori. Sitokin
seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α ) dan interleukin 1 (IL-1) dari
sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel dendritik mengikat
reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal seluler yang
mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel vaskular.
Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan
pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang
meradang ke atas kulit. Sekali sel-sel yang inflamasi telah infiltrasi ke
kulit, sel-sel tersebut akan merespon kenaikan kemotaktik yang
ditimbulkan oleh kemokin yang diakibatkan oleh daerah yang luka
atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh
bakteri, virus,dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas
TH1 menurun). Staphylococcus aureusditemukan lebih dari 90% pada
kulit penderita dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%.
Bakteri ini membentuk koloni pada kulit penderita dermatitis atopik,
dan eksotosin yang dikeluarkannya merupakan superantigen yang
diduga memiliki peran patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas
sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit
yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel
mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan
lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik dan
menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah
dermatitis atopik.
c) Faktor lingkungan dan gaya hidupBerbagai
faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap pravelensi
dermatitis atopik.Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada
status sosial yang tinggi daripada status sosial yang
rendah.Penghasilan meningkat, pendidikan ibu makin tinggi, migrasi

15 Poltekkes Kemenkes Palembang


dari desa ke kota dan jumlah keluarga kecil berpotensi menaikkan
jumlah penderita dermatitis atopik
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen
mungkin memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan
polutan dan alergen tersebut adalah:
a. Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian
pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan
penurunan kelembaban udara, penggunaan pendingin ruangan
b. Alergen
a) Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah,
serbuk sari buah, bulu binatang, jamur kecoa
b) Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan
gandum
c) Mikroorganisme: Staphylococcus aureus, Streptococcus sp,
P.ovale, Candida albicans,Trycophyton sp.
d) Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, balsam.
d) Faktor psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi,
merasa tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun
teori ini masih belum jelas.

d. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi merupakan hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat)
yang terdiri dari 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan elisitasi:
1. Fase sensitisasi
Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali
antara alergen dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan
dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika sel T naive
dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifik antigen.
Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul
rendah (<500 dalton), larut dalam lemak dan memiliki reaktivitas yang

16 Poltekkes Kemenkes Palembang


tinggi. Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang
biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke stratum korneum dan
selanjutnya akan berpnetrasi ke alpisan bawah epidermis dan akhirnya
ditangkap oleh sel langerhans kemudian akan terjadi beberapa proses,
seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi
nonlisosomal dari alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida
antigen dnegan HLA-DR. Paparan dari alergen ini dapat menurunkan
jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak kurang lebih 50%
yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari
epidermis. Di dalam sel, hapten akan berikatan dengan enzim sitosolik
dan selanjutnya menjadi antigen lengkap yang akan diekspresikan pada
permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat berfungsi sebagai
makrofag walaupun masih memiliki kemampua terbatas untuk
menstimulasi limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR
pada limfosit T helper yang akan mengekresikan molekul CD4,
dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel T
CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen kelas II dan alergen.
Pengenalan antigen yang telah diproses dalam sel langerhans oleh
limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3 dan dapat
juga dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh CD8.
Selannjutnya limfossit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke
daerah parakortikal kelenjar getah bening regional untuk
berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian
akan kembali ke kulit dan ke sistem limfoid tersebar ke seluruh tubuh
dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit
tubuh.
2. Fase elisitasi
Fase ini melibatkan beberapa substansi, seperti sitokin, histamin,
serotonin, dan prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga
terlibat seperti calcitonin related peptidae dan alpha melanocyte

17 Poltekkes Kemenkes Palembang


stimulating hormon yang dapat menurunkan regulasi dari fase elisitasi
ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh dari sel
penyaji antigen. Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang
antara kulit dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten akan
ditangkap dan kemudian akan dipresentasikan pada permukaan sel
langerhans, satu – satunya sel epidermal yang mengekspresikan
antigen HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel
langerhans akan mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan
menstimulasi limfosit T untuk menghasilkan interleukin-2 dan
mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T
teraktifasi akan mensekresikan IFN gamma yang akan mengaktifkan
keratinosit untuk mengekspresikan intercellular adhesion molecule I
(ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR. Sitokin tidak
hanya diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat juga
diproduksi oleh sel keratinosit, sel mast dan makrofag yang terlibat
patogenesis dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai peranan
penting pada molekul-molekul adhesi yang mengatur jalur sel
langerhans, sel T dan sel-sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu,
ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel langerhans dan sel
T dapat mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk.
HLA-DR pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4
melalui molekul ICAM-1. Selain itu, ekspresi HLA-DR dapat
menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif
juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6, dan
GMSCF yang selanjutnya akan mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya
IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi eicosanoid
yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang
berasal dari sel mast dan keratinosit serta infiltrasi lekosit
menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas terhadap
berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut

18 Poltekkes Kemenkes Palembang


merupakan respon kulit pada dermatitis kontak alergi yang meliputi
inflamasi, destruksi selular dan proses perbaikan.
Beberapa teori mengungkapkan kemungkinan beberapa faktor
yang bertanggungjawab dalam proses migrasi sel T helper ke kulit,
antara lain sitokin-sitokin kemotaktik yang secara lokal akan bertindak
pada keadaan – keadaan kulit tertentu, adanya peningkatan regulasi
molekul-molekul adherens pada kulit (pada endotelium pembuluh
darah, sel stromal dan sel-sel epidermis) serta sel langerhans pada
epidermis yang berfungsi sebagai bantalan untuk antigen yang transit
di epidermis sebelum antigen tersebut ditranmisikan ke kelenjar getah
bening yang akan membantu sel T helper untuk berikatan dengan
antigen pada kulit.

e. Tanda dan Gejala


Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi,
membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis
atopik ialah pruritus,dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya
lebih hebat pada malam hari.Akibatnya, penderita akan menggaruk
sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta.Kulit penderita
dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat
Lesi akut pada dermatitis atopik berupa eritema dengan papul,
vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk.Sedangkan pada
stadium kronik berupa penebalan kulit atau yang disebut likenifikasi.
Selain itu, dapat terjadi fisura yang nyeri terutama pada fleksor,telapak
tangan,jari dan telapak kaki.Pada orang berkulit hitam atau coklat dapat
ditemukan likenifikasi folikular.

19 Poltekkes Kemenkes Palembang


f. Klasifikasi
Secara klinis dermatitis atopik dibagi menjadi 3 fase yaitu:
a) Fase infatil (0-2 tahun)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama
kehidupan,biasanya setelah usia 2 bulan.Lesi mulai di muka (dahi,
pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal
digosok, pecah, eksudatif, akhirnya terbentuk krusta dan dapat
menjadi infeksi sekunder.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.Pada sebagian
besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun,mungkin juga
sebelumnya, sebagian lagi akan berlanjut menjadi bentuk
anak.Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila
makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuhnya
penyakit itu

b) Fase anak (usia 2 -12 tahun)


Merupakan kelanjutan bentuk infatil atau timbul sendriri (de
novo)Lesi pada dermatitis atopik anak berjalan kronis akan
berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada
lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan tanga, Jari-jari tangan
sering terkena dengan lesi eksudatif dan kadang-kadang terjadi
kelainan kuku.Pada umumnya kelainan kulit pada dermatitis atopik
anak tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi
likenifikasi.Perubahan pigmen kulit bisa terjadi dengan
berlanjutnya lesi, menjadi hiperpigmentasi dan kadang
hipopigmentasi
c) Fase Dewasa ( > 12 tahun)
Pada dermatitis atopik bentuk dewasa mirip dengan lesi
anak usia lanjut (8-12 tahun) ,didapatkan likenifikasi terutama pada
daerah lipatan-lipatan tangan, Lesi kering, agak menimbul, papul
datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan

20 Poltekkes Kemenkes Palembang


sedikit skuama, sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena
garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Selain gejala utama
yang telah diterangkan, juga ada gejala lain yang tidak selalu
terdapat. Pada fase dewasa distribusi lesi kurang karakteristik ,
sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula
ditemukan setempat, misalnya bibir, vulva, puting susu,atau
skalp.Kadang erupsi meluas, dan paling parah di
lipatan,mengalami likenifikasi.
g. Diagnosis
Diagnosis dermatitis atopik berdasarkan keluhan dan gambaran
klinis.Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan atas berbagai
fenomena klinis yang tampak, terutama gejala gatal.George Rajka
menyatakan bahwa diagnosis dermatitis atopik tidak dapat dibuat tanpa
adanya riwayat gatal. Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis
untuk dermatitis atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor
yang sampai sekarang masih banyak digunakan
Hanifin Rajka telah membuat kriteria diagnosis untuk dermatitis
atopik yang didasarkan pada kriteria mayor dan minor yang sampai
sekarang masih banyak digunakan :

Major characteristics ( ≥ 3) Minor characteristics (≥ 3)


1. Pruritus 1. Xerosis (dry skin) 14. Food intolerance/
2. Typical morphology and 2. Accentuated lines or allergy
distribution (ie, flexural grooves below the 15. Immediate (type 1)
lichenification in older margin of the lower skin test reactivity
children; facial and extensor eyelid (Dennie-Morgan 16. Susceptibility to
involvement in infants and fold) cutaneous
young children) 3. Darkening beneath the infection (eg, with
3. Tencency toward chronic or eyes (allergic Staph aureus,
chronically relapsing shiners/Orbital HSV, other
dermatitis darkening) viruses, warts,
4. Personal or family history of 4. Facial pallor/facial molluscum,
atopy (eg, asthma, alergic erytherma dermatophytes)
rhinitis, atopic dermatitis 5. Pityriasis alba 17. Perifollicular
6. Keratosis pilaris accentuation
7. Ichthyosis vulgaris 18. Early age of onset

21 Poltekkes Kemenkes Palembang


8. Hyperlinearity of 19. Impaired cell-
palms and soles mediated
9. White dermographism immunity
(white line appear on 20. Anterior neck
skin within 1 minute of folds
being stroked with 21. Course influenced
blunt instrument) by environment/
10. Conjunctivitis emotional factors
11. Keratoconus 22. Pruritus with
12. Anterior subcapsular sweating
cataracts 23. Intolerance to
13. Elevated total serum wool and lipid
IgE solvents
24. Peripheral blood
eosinophilia
25. Hand and/or foot
dermatitis
26. Cheilitis
27. Nipple eczema

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah
sakit (hospital based)dan eksperimental,tetapi tidak dapat dipakai pada
penelitian berbasis populasi karena kriteria minor umumnya ditemukan
pada kelompok kontrol, disamping itu belum divalidasi terhadap diagnosis
dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability).
Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di
bidang imunologi maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai
dimasukkan uji alergi sebagai kriteria diagnosis. Pemeriksaan atau uji
alergik tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest) terhadap bahan alergen
inhalan dan pemeriksaan IgE total didalam serum penderita.
h. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan
dasar , selain mengobati gejala utama gatal untuk meringankan
penderitaan penderita. Penatalaksanaan ditekankan padakontrol jangka
waktu lama (long term control), bukan hanyauntuk mengatasi

22 Poltekkes Kemenkes Palembang


kekambuhan. Pengobatan dermatitis atopik kronik pada prinsipnya adalah
sebagai berikut:
a) Menghindari bahan iritan
Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang
memicu dan memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan
kimiawi, rokok, pakaian kasar,,suhu yang ekstrem dan
lembab.Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun atau
pembersih kulityang mengandung antiseptik atau antibakteri yang
digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada
infeksisekunder, Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih dahulu
sebelum dipaka idengan deterjen untuk menghindari formaldehid
atau bahan kimia.Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat
iritan seperti wol atau sintetikyang menyebabkan gatal, lebih baik
menggunakan katun.Pemakaian tabir surya juga perlu untuk
mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan.
b) Mengeliminasi alergen yang telah terbukti
Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus
dihindari, seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang
laut dan gandum), debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman
dan sebagainya
c) Pengobatan Topikal
a. Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya
transepidermal water loss yang meningkat.Oleh karena itu
hidrasi penting dalam keberhasilan terapi, biasanya
menggunakan pelembab. Pemaikan pelembab dapat
memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan mengurangi
kebutuhan steroid topika. Sebuah studi menunjukkan bahwa
pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan
pemakaiankortikosteroid topikal

23 Poltekkes Kemenkes Palembang


Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab
humektan, oklusif , dan emolien. Pelembab humektan
merupakan bahan aktif dalam komestik yang ditujukan untuk
meningkatkan kandungan air pada epidermis. Bahan-bahan
yang termasuk ke dalam humektan terutama bahan-bahan
yang bersifathigroskopis yang dapat digunakan secara khusus
untuk tujuan melembabkan kulit, contoh humektan adalah
gliserin. Pelembab oklusif adalah bahan aktif kosmetik yang
menghambat terjadinya penguapan air dari permukaan kulit.
Dengan menghambat terjadinya penguapan air pada
permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat meningkatkan
kandungan air dalam kulit. Contoh oklusif adalah
petrolatum.Pelembab yang digunakan bisa berbentuk cairan,
krim atau salep.Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat
pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya.Bila
memakai pelembab yang mengandung asam laktat,
konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena dapat mengiritasi
bila dermatitisnya masih aktif
c. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak
digunakan sebagai anti inflamasi.Selain itu dapat berguna pada
saat ekserbasi akut, anti pruritus dan sebagai anti mitotik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C, dkk
menggunakan kortikosteroid topikal pada83 pasien dermatitis
atopik dengan menggunakan simple randomized controltrials
hasil dari penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu
bulan 80% menunjukkan pemulihan sangat baik.
Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi
yang paling lemah yang masih efektif, karena semakin
kuatpotensi semakin banyak efek sampingnya.Potensi dari

24 Poltekkes Kemenkes Palembang


kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan potensi
vasokontriksi pembuluh darah.

i. Komplikasi
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal,
penurunanproduksipeptidaantimikrobaendogen, semua presdiposisi
mempengaruhi penderita dermatitis atopik terkena infeksi sekunder.Infeksi
kutan ini dapat menimbulkan lebih resiko yang serius pada bayi danpada
waktu mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik. Penderita
dermatitis atopik juga sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling
berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran luas dapat
mengakibatkan ekzema hepetikumyang dapat terjadi pada semua usia.
Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis
kelopak mata dan blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan
dermatitis atopik dandapat mengakibatkangangguan penglihatan dari
jaringan parut kornea.Kerato konjungvitis atopik biasanya bilateral dan
dapat memiliki symptom seperti rasa gatal dan terbakar pada mata, mata
berair dan mengeluarkan diskret yang mukoid

25 Poltekkes Kemenkes Palembang


C. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Menurut Tucker (2007) pengkajian sistem integumen adalah
sebagai berikut:
1. Data Subjektif
Mengkaji kulit meliputi Gatal, nyeri, ruam, kasar, kering,
bengkak, perubahan warna kulit.
2. Data Objektif
Mengkaji keutuhan, elastisitas, ruam, kelembaban,
kebersihan, eksudat, pigmentasi.Lesi likenifikasi (epidermis
tebal dan kasar), erosi adanya lembab, ekskoriasi (abrasi)
kehilangan lapisan epidermis.
3. Riwayat kesehatan keluarga
4. Riwayat psikososial
5. Riwayat Penyakit penyerta Alergia atau sensitif terhadap
alergen internal atau eksternal.
6. Medikasi yang digunakan
Obat-obat yang digunakan; krim, losion, salep.
7. Riwayat Praktik Higiene
8. Pemeriksaan diagnostik
Pewarnaan gram untuk mendeteksi organisme, kultur darah,
dan skin scrapping.
b. DiagnosaKeperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan
imunologi : hipersensitivitas
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis : proses
peradangan
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan
4. Risiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
terhadap patogen akibat adanya lesi kulit

26 Poltekkes Kemenkes Palembang


5. Resiko gangguan body image berhubungan dengan kelainan/
lesi kulit yang tampak.
c. Intervensi
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan imunologi :
hipersensitivitas
1)
- NOC : Tissue intergrity: skin and mucous membranes
2) Tujuan : pasien mampu mencapai integritas kulit dan mukosa
membran secara adekuat
3) Outcomes
(1) Meningkatkan kenyamanan pada verbalisasi kulit
(2) Berkurangnya kulit yang terkelupas dan pembersihan kerak
(3) Berkurangnya kemerah-merahan
(4) Berkurangnya nyeri pada kulit yang tergores
(5) Penyembuhan pada bagian yang rusak
(6) Kulit utuh
3) NIC
(1) Skin care : topical treatments
(2) Skin surveillance
4) Intervensi :
(1) Sekurang-kurangnya mandi satu kali dalam sehari selama 15
sampai 20 menit. Setelah itu memakai pelembab yang tepat atau
sesuai dengan yang dianjurkan.
Rasional : Merendam secara penuh sel kulit mati. Pemakaian
pelembab 2 sampai 4 menit setelah mandi
merupakan hal penting dalam mencegah hidrasi pada
lapisan kulit terluar
(2) Gunakan air hangat –tidak panas.
Rasional : Air panas menyebabkan vasodilatasi yang dapat
meningkatkan pruritus.

27 Poltekkes Kemenkes Palembang


(3) Gunakan sabun yang cair (Dove atau Basis) atau sabun untuk kulit
yang sensitif (Neutrogena, Moisturel, Aveeno, Oilatum, Purpose)
hindari gelembung busa.
Rasional : Penggunaan sabun batangan dapat mengatasi
masalah pada kulit. Sabun cair kurang mengandung
unsur basa dan kurang mengeringkan kulit.
(4) Oleskan pelembab atau sesuai yang ditentukan dua sampai tiga kali
dalam sehari.
Rasional : Salep dan krim yang mengandung air dapat
memberikan kelembaban pada kulit. Pelembab
khusus yang dipilih disesuaikan dengan selera pasien
dan apakah bahannya dapat menyebabkan iritasi
pada kulit.
(5) Jelaskan gejala gatal-gatal yang berkaitan dengan penyebabnya
(Contohnya kekeringan pada kulit) dan prinsip dari terapi pilihan
(hidrasi) dan siklus gatal-goresan-gatal.
Rasional : Memahami proses psikologis prinsip-prinsip gatal dan
meningkatkan kerjasama dalam pengobatan
(6) Kerja dan tidur di lingkungan dengan suhu yang konstan.
Pengaturan suhu udara di dalam rumah, secara khusus di dalam
kamar tidur mungkin dapat bermanfaat.
Rasional : Suhu yang ekstrim mengakibatkan tambahan frekuensi
pruritus untuk vasolidasi dan meningkatkan aliran darah
pada kulit. Selain memberikan lingkungan yang sejuk,
AC dapat menurunkan paparan aeroallergen.
(7) Perhatikan jari kuku agar tetap pendek, halus dan bersih
Rasional : Kuku yang selalu dipotong mencegah kerusakan dan
infeksi pada kulit.
(8) Penggunaan antihistamin dapat mengurangi rasa gatal sampai
tingkat tertentu
Rasional : Histamine adalah perantara gatal yang paling umum

28 Poltekkes Kemenkes Palembang


diketahui. antihistamin dapat membantu
menenangkan.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis : proses peradangan


1) NOC : Pain control
2) Tujuan : pasien mampu mengontrol nyeri secara adekuat
3) Outcomes
(1) Berkurangnya pengamatan dan laporan terhadap goresan pada kulit
(2) Berkurangnya rasa nyeri pada kulit akibat goresan
(3) Berkurangnya kegelisahan selama tidur
(4) Meningkatnya verbalisasi kenyamanan kulit.
4) NIC :
(1) Pain management
(2) Simple relaxation therapy
(3) Distraction
5) Intervensi :
(1) Kaji tipe, lokasi, kualitas, dan berat nyeri atau ketidaknyamanan
yang dirasa pasien.
Rasional : Pengalaman nyeri bervariasi dengan luasnya lesi.
sebagai penyembuhan luka dimulai, pasien dapat
mengeluh gatal. menyembuhkan rasa ini penting
karena menggaruk dapat mengganggu kulit baru
rapuh.
(2) Kaji faktor yang dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri
(contohnya adanya kecemasan)
Rasional : Mengetahui faktor-faktor etiologi yang berbeda
dapat membimbing terapi yang efektif
(3) Monitor TD, HR, RR, pola tidur dan kemampuan berfokus.
Rasional : Peningkatan rasa nyeri dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, frekuensi pola nafas dan
denyut jantung yang bersifat sementara. Memberikan

29 Poltekkes Kemenkes Palembang


perhatian lebih terhadap peningkatan tanda-tanda
vital tersebut dapat membantu perawat melakukan
evaluasi terhadap nyeri.
(4) Evaluasi dan dokumentasikan kefektifan dan metode kontrol nyeri
yang digunakan.
Rasional : Mengubah efektivitas pengobatan nyeri diharapkan.
luka bakar parsial-ketebalan yang sangat
menyakitkan, nyeri akan berkurang dari waktu ke
waktu dan dengan penyembuhan. luka bakar
ketebalan penuh tidak menimbulkan rasa sakit
karena kerusakan saraf, tetapi sebagai saraf
regenerasi, nyeri akan meningkat

3. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan terhadap patogen


akibat adanya lesi kulit
1) NOC : Infection status
2) Tujuan : pasien mampu terhindar dari infeksi
3) Outcomes
(1) Tidak adanya bisul atau jerawat, eksudat, atau pengerasan
(2) Bebas dari infeksi sekunder yang ditunjukkan dengan kulit utuh,
tanpa kemerahan atau lesi
(3) Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.
4) NIC :
(1) Infection protection
(2) Wound care
5) Intervensi :
(1) Kaji kondisi luka
Rasional : Untuk menentukan terapi yang tepat.
(2) Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
Rasional : Untuk memberikan tindak lanjut perawatan dan
pengobatan.

30 Poltekkes Kemenkes Palembang


(3) Kaji temperatur.
Rasional : Demam mengindikasikan adanya infeksi. Kecuali
pada pasien dengan penurunan imunitas dan
diabetes.
(4) Menjelaskan kepada pasien tentang tanda infeksi dan memastikan
bahwa tanda-tanda tersebut membutuhkan intervensi medis.
Rasional : Secara potensial, komplikasi penularan sangat serius
dari gangguan kulit yang terbuka.
(5) Memastikan bahwa pasien mengerti akan pentingnya pasien tidak
mengobati diri sendiri dengan sisa obat-obatan di rumah.
Rasional : Sisa obat mungkin sudah kadaluarsa dan tidak pantas
digunakan untuk pengobatan. Obat dapat
terkontaminasi dan menyebabkan infeksi atau
kehilangan daya tahan tubuh.
(6) Melaksanakan pemberian terapi antibiotik topikal sesuai instruksi.
Rasional : Memberi pengobatan terhadap infeksi.

4. Resiko gangguan bodi image berhubungan dengan kelainan/ lesi kulit


yang tampak
1) NOC : Body image
2) Tujuan : Pasien mampu mendapatkan bodi image yang positif
3) Outcomes
(1) Pasien mendemonstrasikan bodi image yang positif, yang
ditunjukkan dengan : mampu melihat, berbicara dan merawat lesi
(2) Pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari
4) NIC :
(1) Body image enhancement
(2) Coping enhancement
5) Intervensi :
(1) Kaji persepsi terhadap perubahan penampilan
Rasional : Karena jalannya wabah dapat bertahan selama

31 Poltekkes Kemenkes Palembang


beberapa minggu, pasien biasanya perlu bekerja dan
/ atau melaksanakan rutinitas seperti biasa, mereka
mungkin memerlukan pendampingan menghadapi
perubahan dalam penampilan.
(2) Perhatikan referensi verbal untuk lesi kulit.
Rasional : Jaringan parut dapat terjadi dengan wabah berulang
atau jika lesi terinfeksi.
(3) Bantu pasien dalam mengartikulasikan tanggapan terhadap
pertanyaan dari orang lain tentang lesi dan risiko infeksi.
Rasional : Latihan tanggapan diatur untuk diantisipasi dapat
memberikan beberapa kepastian
(4) Sarankan pasien penggunaan pakaian untuk menyembunyikanlesi
sehingga lesi dapat dengan mudah ditutupi
Rasional : Hal ini dapat membantu pasien yang mengalami
masalah menyesuaikan diri dengan perubahan citra
tubuh
(5) Motivasi pasien untuk mengajarkan kepada orang lain bahwa
eczema tidak menular kecuali terinfeksi parah
Rasional : Eczema dapat salah untuk impetigo atau dapat
sebagaiindikasi dari kekotoran, menyebabkan
keterasingan sosial.
(6) Motivasi pasien dan orang lain untuk saling menceritakan perasaan
mereka mengenai penampilan dan sifat kronis dari eczema.
Rasional : Ketakutan dan kekuatiran yang tidak teridentifikasi
dapat menghalangi relasi interpersonal.
(7) Meyakinkan pasien tentang identitas dan kemampuan diri.
Mendorong pengelolaan diri terhadap eczema dan memahami bahwa
mengontrol garukan akan lebih baik memperkecil luka.
Rasional : Membiarkan pasien untuk menentukan model
pengobatan untuk meningkat konsep diri yang
positif.

32 Poltekkes Kemenkes Palembang


33 Poltekkes Kemenkes Palembang

Anda mungkin juga menyukai