Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS POLI

Carpal Tunnel Syndrome

Pembimbing :
dr. Hernawan, Sp.S

Disusunoleh :
Dewi Wahyu Wulandari G4A016064

SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSTITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
Carpal Tunnel Syndrome

Pada tanggal, Januari 2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Kesehatan Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Dewi Wahyu Wulandari G4A016064

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hernawan, Sp.S


I. Pendahuluan

Carpal tunnel (terowongan karpal) terletak di bagian bawah pergelangan tangan


yang terdiri dari tulang-tulang karpal di median, dorsal, dan sisi lateral dan
terselubungi secara ventral oleh fleksor retinakulum. Carpal Tunnel Syndrome
(CTS) atau disebut juga Entrapment Neuropathy adalah keadaan dimana nervus
medianus tertekan di daerah pergelangan tangan sehingga menimbulkan rasa nyeri,
parastesia, dan kelemahan pada pergelangan tangan. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan tangan yang eksesif tak terbatas dan trauma repetitif akibat paparan
okupasi berkelanjutan. Beberapa penyebabnya yang telah diketahui seperti trauma,
infeksi, gangguan endokrin dan lain-lain, tetapi sebagian tetap tidak diketahui
penyebabnya (idiopatik) (Verina, 2006).
CTS lebih umum dijumpai pada wanita, dengan puncak usia 42 tahun (40-60
tahun). Resiko untuk menderita CTS sekitar 10% pada usia dewasa. Sindrom ini
biasanya timbul pada orang-orang yang sering bekerja menggunakan tangan
(memanipulasi tangan), seperti memeras baju, merajut/menjahit, orang yang sering
bertepuk (guru TK), pengendara motor, mengetik, olahraga taichi, sering bermain
game. Ras kaukasia memiliki resiko tertinggi terkena CTS jika dibandingkan
dengan ras yang lain. Perempuan beresiko lebih tinggi dibandingkan laki – laki
dengan tingkat perbandingan sebesar 3:1 pada usia antara 45 – 60 tahun. Hanya
sebesar 10% kasus CTS yang dilaporkan ditemukan pada usia yang lebih muda di
usia 30-an tahun. Kaum perempuan diduga memiliki ukurang canalis carpi yang
lebih kecil dibandingkan kaum laki – laki (Selter, 2009).
II. Tinjauan Pustaka

A. Anatomi
Secara anatomis, canalis carpi (carpal tunnel) berada di dalam dasar
pergelangan tangan. Sembilan ruas tendon fleksor dan N. Medianus berjalan di
dalam canalis carpi yang dikelilingi dan dibentuk oleh tiga sisi dari tulang –
tulang carpal. Nervus dan tendon memberikan fungsi, sensibilitas dan
pergerakan pada jari – jari tangan. Jari tangan dan otot – otot fleksor pada
pergelangan tangan beserta tendon – tendonnya berorigo pada epikondilus
medial pada regio cubiti dan berinsersi pada tulang – tulang metaphalangeal,
interphalangeal proksimal dan interphalangeal distal yang membentuk jari
tangan dan jempol. Canalis carpi berukuran hampir sebesar ruas jari jempol
dan terletak di bagian distal lekukan dalam pergelangan tangan dan berlanjut
ke bagian lengan bawah di regio cubiti sekitar 3 cm (Mumenthaler, Mark. et
al., 2006).
Penekanan terhadap N. Medianus yang menyebabkannya semakin masuk di
dalam ligamentum carpi transversum dapat menyebabkan atrofi eminensia
thenar, kelemahan pada otot fleksor pollicis brevis, otot opponens pollicis dan
otot abductor pollicis brevis yang diikuti dengan hilangnya kemampuan
sensorik ligametum carpi transversum yang dipersarafi oleh bagian distal N.
Medianus. Cabang sensorik superfisial dari N. Medianus yang
mempercabangkan persarafan proksimal ligamentum carpi transversum
berlanjut mempersarafi bagian telapak tangan dan ibu jari (Pecina, 2010).
Terowongan karpal dibentuk oleh :
1. Atas : ligamentum carpi transversum (bagian dari. flexor retinaculum
yang membentang dari Os. Scapoideum dan trapezoideum ke arah
medial menuju Os. Piriformis & hamatum)
2. Lateral (radial) : Os naviculare dan tuberculum os trapezium.
3. Medial (ulnar) dibatasi oleh : Os. pisiformis dan os hamatum.
Terowongan karpal berisi :
1. 4 Fleksor Digitorum Superfisialis,
2. 4 Fleksor Digitorum Profundus,
3. 1 Fleksor Pollicis longus,
4. 1 N Medianus.
Anatomi Nervus Medianus
Serabut - serabut saraf yg
membentuk N. medianus berasal
dari saraf spinal C5-C8 dan Th 1
dari pleksus brakhialis, dibentuk
oleh cabang lateralis fasciculus
medialis dan cabang medial dari
fasciculus lateralis dimana
kedua cabang tersebut bersatu
pada tepi bawah M. Pectoralis
minor (Mumenthaler, Mark. et
al., 2006).
Serabut motorik N. medianus mempersyarafi otot lengan bawah:
1. M. Pronator teres
2. M. Palmaris longus
3. M. Fleksor Carpi Radialis
4. M. Fleksor digitorum superficialis
5. M. Fleksor digitorum profundus
6. M. Pronator kuadratus
7. M. Fleksor Polisis longus
Serabut motorik N. Medianus yg mempersyarafi otot – otot tangan M.
Fleksor polisis brevis, M. Oponen polisis, M. abductor polisis brevis, Mm.
Lumbricalis I dan II
Serabut sensorik N. Medianus:
1. Bagian Palmar ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan bagian radial jari
manis, serta ujung – ujung distal dari jari yang sama.
2. Bagian dorsal tangan sampai dengan Phalang kedua jari telunjuk, jari
tengah dan setengah dari jari manis.
Di dalam terowongan karpal tersebut N. Medianus terletak langsung di
bawah ligamentum karpi transversum dan sebelumnya terletak di belakang dari
tensor palmaris longus (Mumenthaler, Mark. et al., 2006).

B. Definisi CTS
Carpal Tunnel Syndrome merupakan suatu kumpulan gejala yang
disebabkan karena tekanan pada nervus medianus di Carpal Tunnel. Adapun
definisi lain yaitu neuropati tekanan atau jeratan terhadap nervus medianus di
dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinakulum. Dulu, sindroma ini juga disebut dengan nama Acroparesthesia,
Median Thenar Neuritis atau Partial Thenar Atrophy (Latov, 2007).
Terowongan karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di
mana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui
oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia
membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan
atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan
palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang
karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan
menyebabkan tekanan pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu
nervus medianus (Bahrudin, 2014).

C. Epidemiologi
Menurut penelitian CTS lebih sering terjadi pada wanita. CTS adalah
entrapment neuropathy yang paling sering dijumpai. Nervus medianus
mengalami tekanan pada saat berjalan melalui terowongan karpal di
pergelangan tangan menuju ke tangan. Penyakit ini biasanya timbul pada usia
pertengahan. Umumnya pada keadaan awal bersifat unilateral tetapi kemudian
bisa juga bilateral. Biasanya lebih berat pada tangan yang dominan. Pada
beberapa keadaan tertentu, misalnya pada kehamilan, prevalensinya sedikit
bertambah (Rambe, 2008).
Prevalensi CTS bervariasi. Di Mayo Clinic, pada tahun 1976-1980
insidensnya 173 per 100.000 pasien wanita/tahun dan 68 per 100.000 pasien
pria/tahun. Di Maastricht, Belanda, 16% wanita dan 8 % pria dilaporkan
terbangun dari tidurnya akibat parestesi jari-jari. 45% wanita dan 8% pria yang
mengalami gejala ini terbukti menderita CTS setelah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan elektrodiagnostik 1°. Pada populasi Rochester, Minnesota,
ditemukan rata-rata 99 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sedangkan
Hudson dkk menemukan bahwa 62% entrapment neuropathy adalah CTS
(Misbach et al., 2007)

D. Etiologi
Sebagian besar kasus CTS (>50%) bersifat idiopatik, tetapi berbagai kondisi
dapat berkontribusi sebagai penyebab, yaitu (Misbach et al., 2007):
1. Kondisi kesehatan lain seperti artritis reumatoid, kelainan hormonal
tertentu seperti diabetes, kelainan tiroid, menopause, retensi cairan pada
kehamilan.
2. Karakteristik fisik. Secara anatomi terowongan karpal seseorang dapat lebih
sempit daripada populasi umum.
3. Proses penuaan normal dengan peningkatan massa di tenosinovium.
4. Tekanan langsung atau lesi desak ruang di dalam carpal tunnel dapat
meningkatkan tekanan pada nervus medianus dan menyebabkan CTS.
5. Tenosinovitis, yaitu peradangan membran musin tipis yang menyelimuti
tendon.
6. Sindrom double crush, kompresi atau iritasi nervus medianus di atas
pergelangan tangan.
7. Aktifitas yang membutuhkan penggunaan tangan dengan kombinasi
gerakan berulang pergelangan tangan atau jari, dan pekerjaan yang
menggunakan alat yang menimbulkan getaran.
8. Faktor keturunan.

E. Patogenesis
Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk
menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling populer
adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori getaran.
Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena kompresi nervus
medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari teori ini adalah bahwa
teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi tidak menjelaskan
etiologi yang mendasari kompresi mekanik. Kompresi diyakini dimediasi oleh
beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hiperfungsi, ekstensi
pergelangan tangan berkepanjangan atau berulang (Bahrudin, 2011).
Teori insufisiensi mikro-vaskular mennyatakan bahwa kurangnya
pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang
menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik akhirnya
berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera, perubahan saraf
dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS terutama kesemutan,
mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan konduksi saraf akut dan
reversible dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah studi oleh Seiler (dengan
Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa normalnya aliran darah
berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1 menit dari saat
ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah penelitian eksperimental
mendukung teori iskemia akibat kompresi diterapkan secara eksternal dan
karena peningkatan tekanan di karpal tunnel. Gejala akan bervariasi sesuai
dengan integritas suplai darah dari saraf dan tekanan darah sistolik. Hasil studi
Kiernan menemukan bahwa konduksi melambat pada median saraf dapat
dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan mungkin tidak selalu disebabkan
myelinisasi yang terganggu (Bahrudin, 2011).
Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari
penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal
tunnel. Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam beberapa
hari berikut paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa
mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia (Bahrudin, 2011).
Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular
memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan
tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama
akan mengakibatkan peninggian tekanan intravesikuler. Akibatnya aliran
darah vena intravesikuler melambat. Kongesti yang terjadi ini akan
mengganggu nutrisi intravesikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan merusak
endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein
sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana
keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau pagi hari
akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut, mungkin
akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila kondisi ini
terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak serabut saraf.
Semakin lama hal itu terjadi, saraf dapat mengalami atrofi dan digantikan oleh
jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara
menyeluruh (Tana, 2004).
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler
akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik saraf.
Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan intravesikuler
yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi
vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar darah-saraf terganggu
yang berkibat terjadi kerusakan pada saraf tersebut (Tana, 2004).
Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan bahwa CTS
terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum karpal transversal
berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT
yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik untuk proteksi fungsi
nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25 lebih mungkin untuk
terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang mempunyai berat badan
ramping. American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari
penderita CTS memiliki kelebihan berat badan. Resiko CTS meningkat setiap
peningkatan IMT sebanyak 8% (Tana, 2004).
Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan aktif.
Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan, dibentuk
8 tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal transversalis.
Di dalam tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara rapat fleksor
digitorum profunda dan superficialis, fleksor ligitorum dan nervus medianus
(Kurniawan, 2008).
Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang
diakibatkan oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus di
daerah pergelangan tangan. Banyak faktor yang dapat mengawali timbulnya
sindrom ini, baik sistemik maupun lokal, namun khusus bagi para pemakai
komputer, faktor iritasi lokal terhadap nervus medianus inilah yang tampaknya
perlu mendapat perhatian lebih banyak (Darno, 2011).
Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan
secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan-gerakan
tangan akan mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan
dengan saraf medianus secara berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi yaitu
adanya bagian persendian tangan yang mengalami tekanan atau regangan yang
berlebih dan sebagai mekanisme kompensasi, tubuh berusaha memperkuat
bagian yang mendapat beban tidak fisiologis ini antara lain dengan
mempertebal ligamentum karpi transversum. Penebalan ini akan
mempersempit terowongan tempat lalunya saraf dan urat, dan lebih berat lagi
akan menjepit saraf (Darno, 2011).
Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus
medianus di daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum,
tanpa diikuti oleh penebalan ligamentumnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah
ataupun bersamaan. Nervus medianus sendiri mulai dari daerah pergelangan
tangan, 94% merupakanserabut perasa / sensoris, sedangkan 6% merupakan
serabut motoris yang ke arah ibu jari. Dengan demikian, pada awalnya gejala
lebih banyak ditandai dengan kejadian parestesia (seperti kesemutan, rasa
terbakar), sampai ke hipoanestesia (baal-baal sampai hilangnya rasa raba). Bila
sudah ada gejala motorik (otot pangkal ibu jari tangan mulai mengecil,
kekuatan berkurang), maka iritasi kemungkinan sudah berlangsung sejak lama
(Verina, 2006).

F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti
terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4
sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadang-
kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari (Salter, 2009).
Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis.
Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan
tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan
gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk
kronis mempunyai gejala baik disfungsi sensorik yang mendominasi atau
kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin
ada dalam carpal tunnel syndrome (Pecina, 2010).
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam
hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini
umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-
gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang
lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak
mengistirahatkan tangannya (Rambe, 2008).
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi
kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan
pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang
penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi
otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-
otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Mark, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita
dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom
tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu
menegakkan diagnosa CTS adalah (Katz, 2011):
a. Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif
untuk menegakkan diagnosa CTS.
b. Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas
tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose (Katz, 2011).
c. Tinel's Sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri pada
daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz,
2011).
d. Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
e. Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot
thenar (Katz, 2011).
f. Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer (Katz, 2011).
g. Wrist Extension
Test Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
h. Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011).
i. Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnose (Katz, 2011).
j. Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus,
tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz, 2011).
k. Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit
yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus
medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS (Katz, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik,
gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot
thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot
lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan Hantar
Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang lainnya
KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency) memanjang,
menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan
tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik
(Latov, 2007).
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu
melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos
leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra.
USG, CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama
yang akan dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur luas penampang
dari saraf median di carpal tunnel proksimal yang sensitif dan spesifik
untuk carpal tunnel syndrome (Rambe, 2004).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda
tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid ataupun
darah lengkap (Rambe, 2004).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan
intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk
penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer
harus diobati (Bahrudin, 2011).
1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang masih
dipergunakan hingga saat ini, antara lain (George, 2009):
a. Injeksi Kortikosteroid Lokal
Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala CTS
secara temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon atau
hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk
menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi
peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus.
Pengobatan ini tidak bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu yang
panjang (George, 2009).
Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm
ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon
musculus palmaris longus. Sementara suntikan dapat diulang dalam
7 sampai 10 hari untuk total tiga atau empat suntikan. Tindakan operasi
dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi
3 kali suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien
di bawah usia 30 tahun (George, 2009)
b. Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS
adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian
piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi beberapa penulis
lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin tidak bermanfaat
bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan dalam dosis besar.
Namun pemberian dapat berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri (George,
2009).
c. Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)
Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi
awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan
naproxen (George, 2009).
2. Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non-steroid
(OAINS) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan yang
mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,
terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang. Jika tidak
efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan
untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi
atas 2 kelompok, yaitu (Bahrudin, 2011):
a. Terapi langsung terhadap CTS
1) Terapi konservatif (Bahrudin, 2011)
a) Istirahatkan pergelangan tangan.
b) Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan.
Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam
hari selama 2-3 minggu.
c) Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang
menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur sepanjang
saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-latihan ini
didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf
perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan
meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi
melalui perubahan dalam aliran pembuluh darah dan
axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan dapat dilakukan
oleh pasien setelah instruksi singkat.

Gambar 2. 3 Nerve Gliding


d) Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi
pergelangan tangan.
2) Terapi operatif
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan
sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS
bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang
paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.
Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan
bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-otot thenar,
sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah hilangnya
sensibilitas yang persisten.
Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara terbuka dengan
anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan teknik operasi
secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi
penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi
karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf.
Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali
maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi
secara terbuka (Bahrudin, 2011).
b. Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS
Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus
ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS
kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang
repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS atau
mencegah kekambuhannya antara lain (Bahrudin, 2011):
1) Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan
repetitif, getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
2) Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat
kerja.
3) Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
4) Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
5) Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang
sering mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik
pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita
yang sering dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali
akibat tumor hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi,
penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan
tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi
cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal
(Bahrudin, 2011).

H. Diagnosis Banding
Berikut adalah perbedaan masing-masing diagnosis banding dari CTS
(Rambe, 2008) :
1. Cervical radiculopathy. Biasanya keluhannya berkurang hila leher
diistirahatkan dan bertambah hila leher bergerak. Oistribusi gangguan
sensorik sesuai dermatomnya.
2. lnoracic outlet syndrome. Dijumpai atrofi otot-otot tangan lainnya selain
otot-otot thenar. Gangguan sensorik dijumpai pada sisi ulnaris dari tangan
dan lengan bawah.
3. Pronator teres syndrome. Keluhannya lebih menonjol pada rasa nyeri di
telapak tangan daripada STK karena cabang nervus medianus ke kulit
telapak tangan tidak melalui terowongan karpal.
4. de Quervain's syndrome. Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor
pollicis longus dan ekstensor pollicis brevis, biasanya akibat gerakan tangan
yang repetitif. Gejalanya adalah rasa nyeri dan nyeri tekan pada pergelangan
tangan di dekat ibu jari. KHS normal. Finkelstein's test : palpasi otot
abduktor ibu jari pada saat abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri
bertambah.

I. Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosa
baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan
operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi juga baik, tetapi
karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang sudah lama menderita
CTS penyembuhan post operatifnya bertahap (Bahrudin, 2011).
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh perbaikan
maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini (Bahrudin, 2011):
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan terhadap
nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat
edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.
Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup
baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi
kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi
kembali.

J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa
carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali
(Ashworth, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Orthopaedic Surgeons. Clinical Practice Guideline on the


Treatment of Carpal Tunnel Syndrome. 2008.
Bahrudin, Mochamad. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7
No. 14. Diakses melalui: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed
/article/view/1090 (diakses 27 Oktober 2014).
Darno. 2011. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Gerakan Berulang dengan
Kejadian CTS pada Pemetik Daun Teh di PT. Rumpun Sari Kemuning.
Surakarta : UNS. Skripsi.
George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009;h.120-123
George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009;h.120-123
Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill ; 2000.p.599-601.
Gorsché, R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian Journal of CME. 2001,
101-117.
Jagga, V. Lehri, A. et al. 2011. Occupation and its association with Carpal
Tunnel syndrome- A Review. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy. Vol. 7, No. 2: 68-78.
Katz, Jeffrey N., et al. 2011. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med. Vol. 346,
No. 23.
Kurniawan Bina, jayanti Siswi, Setyaningsih Yuliani. Faktor Risiko Kejadian CTS
pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Kesehatan
dan Keselamatan Kerja FKM UNDIP. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia
Vol. 3/No. 1/ Januari. 2008
Kurniawan, Bina, et al. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 3, No. 1. 2008.
Latov, Norman. Peripheral Neuropathy. New York: Demos Medical Publishing.
2007.
Lusan Maria, Pudjowidyanto Handojo. Karakteristik Penderita Sindrom Terowong
Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik Rs Dr. Karyadi
Semarang 2006. Media Medika Indonesia Vol. 43, No.1, 2008
M Brust, John C. Current Diagnosis and Treatment Neurology. Edisi kedua. Lange.
2012;h.296-297
Misbach, Jusuf. Sitorus, Freddy. AS Ranakusuma, Teguh, et al. Panduan Pelayanan
Medis Departemen Neurologi RSCM. 2007;h.76
Mumenthaler, Mark. Et al. 2006. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard:
Thieme.
Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2010. Tunnel Syndromes: Peripheral
Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS.
Rambe, Aldi S. 2008. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK USU.
Salter, R. B. 2009. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
System. 2nd ed. Baltimore: Williams&Wilkins Co; p. 274-275.
Tana, Lusianawaty et al. Carpal Tunnel Syndrome Pada Pekerja Garmen di
Jakarta. Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82.
Tana, Lusianawaty. Sindrom terowongan karpal pada pekerja: pencegahan dan
pengobatannya. J Kedokter Trisakti. September-Desember 2003, Vol 22 No.3
Verina YD. 2006. Hubungan Karakteristik Pekerja, Frekuensi Gerakan berulang
dan Faktor Kesehatan dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome pada
Pemetik Melati. Semarang: UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai