Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

“MANUSIA, AGAMA DAN FILSAFAT”

O L E H:

KELOMPOK VI

1. Demetris Cou (513 18 011 029)


2. Erni Herlina (515 18 011 256)
3. Fahril Wahid (513 18 011 164)
4. Nurul Fadilah Sari (513 17 011 159)
5. Resky Amalia (515 18 011 268)
6. Sukma Hamsari (515 18 011 270)

(KELAS KONVERSI E)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR
2018

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb.

Pertama-tama, kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang

Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya, makalah dengan judul “Manusia,

Agama dan Filsafat” ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.

Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan doa dari keluarga, rekan,

relasi, dan teman yang telah mendukung dan meluangkan waktu untuk ikut

berpartisipasi.

Kami memohon maaf yang sedalam-dalamnya apabila selama

menyelesaikan makalah ini telah melakukan kesalahan karena kami juga tidak

lepas dari kekhilafan dan kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Atas perhatian, dukungan, bantuan, serta kerjasama dari pembaca kami

ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Makassar, November 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2

C. Tujuan .......................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 4

A. Manusia ........................................................................................ 4

B. Agama .......................................................................................... 10

C. Filsafat .......................................................................................... 14

D. Hubungan Manusia Dengan Agama ............................................ 17

E. Hubungan Manusia Dengan Filsafat ............................................ 19

F. Hubungan Agama Dengan Filsafat ............................................... 21

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 24

A. Kesimpulan .................................................................................. 24

B. Saran ............................................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika membincangkan relasi antara manusia, filsafat dan agama

maka hal yang menarik untuk kita tilik adalah bagaimana mencari titik temu

antara manusia, filsafat dan agama itu sendiri. Salah satu sebabnya adalah

bahwa kendati manusia, agama dan filsafat masing-masing berangkat dari

titik pijakan yang berbeda, agama berangkat dari landasan keyakinan,

sementara filsafat bermula dari keraguan dan kebertanyaan. Keraguan dan

kebertanyaan yang menjadi ciri khas berfilsafat ini merupakan sebuah

landasan yang berseberangan dengan keyakinan agama, namun

keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pencari kebenaran.

Ketika filsafat berobjekkan manusia, filsafat menjadi ilmu yang mengaji

tentang seluk-beluk manusia. Dalam artian, filsafat akan membahas mengenai

manusia secara mendalam, baik dari unsur dan fungsi hidupnya. Jika dikaitkan

dengan suatu tokoh, itu berarti mengacu pada pemikiran tokoh tersebut

mengenai manusia itu sendiri secara mendalam. Maka dari itu, kajian

menganai filsafat manusia mengarah pada hakikat manusia.

Manusia sebagai makhluk sosial dalam suatu masyarakat pada

dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya

membutuhkan manusia lain di sekelilingnya, atau dengan kata lain bahwa

dalam kehidupnya manusia tidak terlepas dengan manusia lainnya, sehingga

1
hubungan antar manusia tersebut merupakan kebutuhan yang objektif.

Analisa mengenai manusia sebagai makhluk sosial telah banyak dilakukan,

yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.

Hubungan sosial yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dalam

kehidupan masyarakat merupakan suatu kebutuhan yang penting. Hal ini

disebabkan oleh adanya kesadaran dari setiap individu maupun kelompok

akan kehadirannya diantara individu maupun kelompok lainnya. Artinya,

ketika diantara mereka ada perasaan untuk saling berbuat, saling mengakui,

dan saling mengenal (mutual action dan mutual recognition). Hubungan

sosial atau Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya berbagai

aktivitas sosial dalam kehidupan masyarakat. Bentuk lain dari proses sosial

hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial

merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut

hubungan antara orang-orang perorangan dengan kelompok manusia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan manusia?

2. Apa yang dimaksud dengan agama?

3. Apa yang dimaksud dengan filsafat?

4. Bagaimana hubungan antara manusia dengan agama?

5. Bagaimana hubungan antara manusia dengan filsafat?

6. Bagaimana hubungan antara agama dengan filsafat?

2
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu manusia.

2. Untuk mengetahui apa itu agama.

3. Untuk mengetahui apa itu filsafat.

4. Untuk mengetahui hubungan antara manusia dengan agama.

5. Untuk mengetahui hubungan antara manusia dengan filsafat.

6. Untuk mengetahui hubungan antara agama dengan filsafat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Manusia

1. Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Manusia sebagai makhluk individu. Dalam bahasa latin individu

berasal dari kata individuum, artinya yang tak terbagi. Dalam bahasa

inggris individu berasal dari kata in dan divided. Kata in salah satunya

mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi

individu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan. Selama manusia hidup

ia tidak akan terlepas dari pengaruh masyarakat, di rumah, di sekolah, dan

di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang

lain. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai mkhluk sosial, yaitu

makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh

manusia lain.

Di dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, setiap orang

akan mengenal orang lain. Oleh karena itu perilaku manusia selalu

terkait dengan orang lain, ia malakukan sesuatu di pengaruhi faktor dari

luar dirinya, seperti tunduk pada aturan, tunduk pada norma masyarakat,

dan keinginan mendapat respon positif dari orang lain.

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial dikarenakan pada diri

manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain.

Ada kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok dengan orang lain.

4
Kebutuhan untuk berteman dengan orang lain, sering kali didasari atas

kesamaan ciri atau kepentingannya masing- masing. Misalnya, orang kaya

cenderung berteman lagi dengan orang kaya. Orang yang berprofesi

sebagai artis, cenderung untuk mencari teman sesama artis lagi.

Dengan demikian, akan terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam

masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan.

Pada umumnya di tengah-tengah masyarakat pasti akan

bermunculnya suatu masalah atau gejala sosial. Masalah sosial

merupakan realitas sosial yang komplek sehingga sumber masalahnya juga

bersifat komplek. Masalah sosial terjadi karena ada sesuatu yang “salah”

dalam kehidupan sosial. Dengan demikian mendiagnosis masalah

sosial berarti mencari apa dan siapa yang dianggap “bersalah” dalam

realitas kehidupan sosial tersebut. Oleh sebab itu sumber penyebab

masalah dapat berasal dari level individu maupun sistem. Guna

penanganan masalah sosial yang lebih komprehensif, kedua pendekatan

tersebut dapat digunakan secara bersama sama dalam mendiagnosis

masalah. Apabila sumber masalahnya berasal pada level sistem, maka

pemecahan masalahnya tidak akan efektif jika hanya merupakan

penanganan pada individu penyandang masalah.

2. Dinamika Kehidupan Sosial

Masalah-masalah pokok yang menghinggapi dan selalu menjerat

kemajuan masyarakat di negara-negara berkembang termasuk indonesia-

berkisar pada tingkat hidup yang rendah, kemiskinan dan pengangguran,

5
kepincangan pada perataan pendapatan, dan sebagainya. Penanggulangan

masalah-masalah tersebut seyogianya merupakan sasaran utama

pembangunan nasional tidak hanya menyangkut pembangunan fisik dan

ekonomi, melainkan menuntut perubahan-perubahan dalam berbagai segi

kehidupan dan struktur masyarakat, serta mencakup dimensi permasalahan

kenegaraan yang amat luas dan kompleks. Kesemuanya itu satu sama lain

memerlukan wawasan berdasarkan pendekatan yang komprehensif.

Pada hakikatnya tingkat hidup tercermin dalam tingkat dan pola

konsumsi yang meliputi unsur pangan, sandang, pemukiman, kesehatan

dan pendidikan. Lima jenis kebutuhan pokok ini bagi kebanyakan

penduduk dunia masih kurang terpenuhi (baik secara kuantitatif maupun

kualitatif) untuk dapat mempertahankan derajat kehidupan manusia secara

wajar. Peningkatan taraf hidup dan perataan pendapatan antar golongan

masyarakat merupakan dua masalah yang kait mengait. Peningkatan

taraf hidup berarti memenuhi kebutuhan konsumsi nyata secara kwantitatif

maupun kwalitatif. Di lihat dari beberapa ciri yang menonjol pada

masyarakat kota, yaitu:

a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan

keagamaan di desa. Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya tampak di

tempat- tempat peribadatan, seperti: mesjid, gereja.

b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa

bergantung pada orang-orang lain. Di kota-kota kehidupan keluarga

sering sukar untuk disatukan, sebab perbedaan kepentingan, paham

6
politik, perbedaan agama, dan lain sebagainya.

c. Perbedaan kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan

mempunyai batas-batas yang nyata.

d. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih

banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa.

e. Jalan pikiran rasional masyarakat perkotaan menyebabkan interaksi

lebih didasarkan faktor kepentingan dari pada faktor pribadi.

f. Pentingnya faktor waktu bagi warga kota mengharuskan warga

mengalokasikan waktu secara teliti.

g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota,

sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh

dari luar.

Dari uraian di atas cukup jelas betapa perluasan kesempatan kerja

seharusnya merupakan salah satu sasaran pokok dalam rangka

kebijaksanaan pembangunan. Oleh sebab itu usaha untuk menanggulangi

secara fundamental masalah tingkat hidup yang rendah dan tertekan

haruslah berpangkal pada kebijaksanaan untuk merubah kepincangan dan

keganjilan yang bersifat strukturil itu. Dalam arti inilah, proses

pembangunan merupakan suatu proses perombakan strukturil. Keganjilan

dan kepincangan tadi merupakan serangkaian faktor dinamika intern,

artinya : dinamika dalam pergolakkan masyarakat yang akan

menentukan perkembangannya (internal social dynamics).

7
3. Perubahan Sosial

Suatu perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di setiap

masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat akan

menimbulkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur sosial yang ada di

dalam masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang

tidak sesuai fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.

Perubahan sosial sebagai “perubahan struktur sosial, perilaku, dan

interaksi sosial”. Setiap perubahan yang terjadi dalam struktur

masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial disebut perubahan

sosial. Perubahan sosial berbeda dengan perubahan kebudayaan.

Perubahan kebudayaan mengarah pada perubahan unsur-unsur

kebudayaan yang ada. Contoh perubahan sosial: perubahan peranan

seorang istri dalam keluarga modern, perubahan kebudayaan

contohnya: adalah penemuan baru seperti radio televisi, komputer yang

dapat mempengaruhi lembaga sosial.

Perubahan sosial dapat dikatakan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat atau dalam hubungan interaksi, yang meliputi berbagai aspek

kehidupan. Sebagai akibat adanya dinamika anggota masyarakat, dan

yang telah didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat, merupakan

tuntutan kehidupan dalam mencari kestabilannya. Ditinjau dari tuntutan

stabilitas kehidupan perubahan sosial yang dialami masyarakat adalah hal

yang wajar. Kebalikannya masyarakat yang tidak berani melakukan

perubahan-perubahan, tidak akan dapat melayani tuntutan dan

8
dinamika anggota-anggota yang selalu berkembang kemauan dan

aspirasinya.

Analisis perubahan sosial ini yang menelaah syarat-syarat dan

keadaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam suatu sistem

masyarakat. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian sistem

masyarakat dan membawa pula perubahan pada bagian lain, sering

menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan sebelumnya bahkan

sampai menimbulkan konflik.

Walaupun konsep dari perubahan sosial adalah termasuk ke dalam

fenomena sosial, akan merupakan hal yang sulit untuk meneliti perubahan

tanpa tahu dimana perubahan itu terjadi. Sehingga, level perubahan akan

mengubah lokasi dalam sistem sosial dimana perubahan sosial tertentu

sedang terjadi. Ada beberapa level perubahan sosial yang dapat

ditemukan, yaitu Pada level individu, kelompok, organisasi, institusi,

dan masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individual

akan meliputi perubahan-perubahan dalam sikap, kepercayaan,

aspirasi, dan motivasi. Pada level kelompok, akan mungkin terjadi

perubahan dalam pola interaksi, komunikasi, metode-metode

penyelesaian konflik, kohesi/keterikatan, kesatuan, kompetisi, serta

pola-pola penerimaan dan penolakan. Pada level organisasi, ruang

lingkup perubahan akan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi

dari organisasi, perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan,

produktivitas, rekrutmen, pengakhiran / terminasi, dan pola-pola

9
sosialisasi. Pada level institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan

pola perkawinan dan keluarga, pendidikan, dan praktek-praktek

keagamaan. Pada level masyarakat, perubahan dipandang sebagai

modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi, dan sistem politik.

B. Agama

Menurut Elizabeth K. Nottingham dalam buku Jalaludin, agama adalah

gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana”, dan agama berkaitan

dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari

keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama

dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga

perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya suatu

dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya

dalam masalah-maslaah kehidupan sehari-hari di dunia.

Menurut Goode dalam buku Bryan S. Turner secara umum, perdebatan

tentang definisi afama bisa dilihat dari berbagai sisi dasar konseptual.

Misalnya, ada perbedaan mendasar antara perspektif reduksionis dengan nom-

reduksionis. Perspektif yang pertama cenderung melihat agama sebagai

epifenomena, sebuah refleksi atau ekpresi dari sisi yang lebih dasariah dan

permanen yang ada dalam prilaku individu dan masyarakat manusia. Penulis-

penulis semacam Pareto, Lenin, Freud dan Engels memnadang agama sebagai

produk atau refleksi mental dari kepentingan ekonomi, kebutuhan biologis

atau pengalaman ketertindasan kelas. Implikasi pandangan reduksionis ini

adalah kesimpulan yang mengatakan keyakinan-keyakinan religius sama

10
sekali keliru, karena yang diacu adalah kriteria-kriteria saintifik atau

positifistik. Oleh karena itu memegang keyakinan religius adalah tindakan

irrasional, karena yang dirujuk adalah kriteria logis pemikiran. Implikasi

terakhir reduksionisme kaum positivistik adalah bahwa agama dilihat sebagai

aktifitas kognitif nalar individu yang, karena satu dan lain sebab, telah salah

kaprah memahami hakikat kehidupan empiris dan sosial.

Definisi ini mengindikasikan bahwa hanya ada satu cara agar manusia

bisa meyakini keberadaan Yang Mahatinggi, yakni dengan menemukan

sesuatu yang bisa membantu mereka melewati batasan- batasan nalar dan

yang tidak mereka pahami melalui sebuah proses intelektual. Definisi Muller

yang mengesampingkan sisi praktikal dan elemen pemujaan dari agama ini

bisa dibilang sangat fatal. Hal ini karena sebuah agama tidak akan muncul

tanpa ada keduanya. Pada karya-karya berikutnya, Muller mengoreksi

definisinya tersebut setelah mendapat kritikan dari sejumlah ilmuwan. Ia

memodifikasi definisi tersebut menjadi, “Agama terbentuk dalam pikiran

sebagai sesuatu yang tak tampak yang dapat memengaruhi karakter moral

dari seorang manusia”.

Dalam definisi ini, Muller mengakui bahwa pemujaan atau kegiatan-

kegiatan praktis di mana manusia menunjukkan karakter moralnya dalam

bentuk ketakutan, rasa terima kasih, cinta, rasa bersalah ini semua adalah

bagian esensial dari agama, dan persepsi manusia tentang sesuatu yang tidak

terbatas itu hanyalah salah satu sisi dari agama. Namun demikian, definisi

Muller ini telah berpengaruh terlampau besar dalam sejarah kajian kita ini

11
sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengabaikannya begitu saja.

Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai

yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut

menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan

dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama

memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan

sebagai bentuk ciri khas.

Agama juga berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu

untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan

latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta

ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk

berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan

sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang

boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.

Para cendikiawan yang lain telah menjelaskan agama sebagai bentuk

tindakan yang didorong oleh keingintahuan pikiran manusia, dorongan yang

membuat manusia tergerak untuk mencari tahu penyebab dari sesuatu,

terutama penyebab atau pencipta pertama dari segala sesuatu. Di sinilah

kita sampai pada beragam fitur agama ; agama selalu ditunjukan untuk

dapat menjelaskan tentang dunia, dan untuk menyatukan kembali

pikiran manusia dengan cara membersihkannya dari berbagai persoalan yang

mendera. Agama juga membimbing manusia melalui suatu pandangan yang

memungkinkannya memandang seluruh bagian dunia dan kehidupan

12
sebagaimana mestinya.

Definisi ini juga belum menjelaskan apa itu yang dimaksud

dengan agama. Rasa penasaran dan keinginan untuk mencari tahu tidak

sekedar bersifat religius, tapi lebih cenderung bersifat filsafati. Motif-motif

selain itu memiliki kaitan dengan ilmu pengetahuan yang muncul sejak

manusia pertama kali melakukan persembahan. Rasa ingin tahu mendorong

manusia untuk mencari tahu apakah penyebab pertama dari segalanya: dalam

agama dia menemukan sesuatu yang bisa menjanjikan penjelasan tentang

dunia kepadanya, dan yang dapat menjelaskan hal itu kepada dirinya sendiri.

Tapi, butuh lebih dari sekedar rasa ingin tahu untuk membuat manusia

menemukan bahwa awal mula dari segalanya ketika dia telah berhasil

menemukannya- adalah Tuhan, yang kemudian membuatnya melakukan

persembahan dan memberikan pengurbanan. Lantas, apa motif dibalik

pemujaan atau peribadatan? Tak diragukan lagi, kekaguman selalu muncul

dalam ritual pemujaan, tapi apa sesungguhnya yang ada di balik kekaguman

ini? Tidak ada definisi tentang agama yang dianggap cukup memadai untuk

menjawab motif yang mana itu. Inilah inti masalahnya. Harus ada sebuah

kualitas moral sekaligus intelektual yang kemudian menjadi karakteristik dari

agama. Apakah agama itu jika dipandang dari segi moralitas? Praktik-praktik

pemujaan mungkin bisa dipilah-pilih berdasarkan kualitas moral yang

berupaya ditunjukkan melalui ritual-ritual tersebut. Motif-motif yang paling

bertolak belakang, yakni kebanggaan, kemarahan, belas dendam, rasa takut,

kelaparan, atau rasa bersalah; semuanya dapat dijumpai dalam ritual

13
pemujaan. Tetapi jika agama adalah wujud rasa sentimen sekaligus tindak-

tanduk manusia, ritual-ritual pemujaan seperti ini belum bisa dibandingkan

dengan agama, juga tidak bisa digunakan untuk menjawab apa definisi

agama yang tengah kita cari.

Definisi ini menimbulkan pertentangan yang beragam. Definisi ini

mengidikasikan bahwa hanya ada satu cara agar manusia bisa meyakini

keberadaan Yang Maha tinggi, yakni dengan menemukan sesuatu yang bisa

membantu mereka melewati batasan-batasan nalar dan yang tidak mereka

pahami melalui sebuah proses intelektual. Definisi Muller yang

mengesampingkan sisi praktikal dan elemen pemujaan dari agama ini bisa

dibilang sangat fatal. Hal ini karena sebuah agama tidak akan muncul

tanpa keduanya. Pada karya-karya berikutnya, Muller mengkoreksi

definisnya tersebut setelag mendapat kritikan dari sejumblah ilmuwan.

Ia memodifikasinya menjadi seperti ini : “Agama terbentuk dalam pikiran

sebagai sesuatu yang tak tampak yang dapat mempengaruhi karakter moral

dari seorang manusia”. Dalam definisi in, Muller mengakui bahwa

pemujaan atau kegiatan-kegiatan praktis di mana manusia menunnukkan

karakter moralnya dalam bentuk ketakutan, rasa terima kasih, cinta, rasa

bersalah, semuanya adalah esesial dari agama.

C. Filsafat

Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan

filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman

Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat. Dari

14
Yunanilah kata filsafat ini berasal, yaitu dari kata philos dan sophia. Philos

artinya cinta yang sangat mendalam, dan sophia artinya kebijakan atau

kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam

kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam

penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup

(individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat

(masyarakat). Mungkin anda pernah bertemu dengan seseorang dan

mengatakan: filsafat hidup saya adalah hidup seperti oksigen, menghidupi

orang lain dan diri saya sendiri. Atau orang lain lagi mengatakan: Hidup

harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia. Ini adalah contoh sederhana

tentang filsafat seseorang.

Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat

kelompok. Oleh karena manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia

akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang

diyakini bersama. Inilah yang disebut filsafat atau pandangan hidup. Bagi

bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa.

Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajian-

kajiannya menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan

bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau

aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai

pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat

pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada

pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang

15
menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian

menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan.

Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-

jawaban filsafat bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya:

Keadilan adalah keadaan seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang

selalu berusaha untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan

pandangan sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang

diberikan berlaku umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain,

filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta (termasuk

manusia di dalamnya) secara sistematis.

Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai ―berpikir reflektif dan kritis

(reflective and critical thinking). Namun, Randall dan Buchler sebagaimana

dikutip oleh Uyoh Sadulloh (2007:17) memberikan kritik terhadap

pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak

memuaskan, karena beberapa alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan

karakteristik yang berbeda antara berpikir filsafati dengan fungsi-fungsi

kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga berpikir reflektif dan kritis,

padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli hukum, ahli ekonomi

juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif dan kritis, padahal

mereka bukan filsuf atau ilmuwan.

Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki

peran penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam

kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifn dan

16
kebajikan. Kearifan merupakan hasil dari filsafat dari usaha mencapai

hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan dan menentukan

implikasinya, baik yang tersurat maupun yang tersurat dalam kehidupan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat merupakan

kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk

mencari kearifan, kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu.

Berfilsafat berarti berpikir merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok atau

dasar-dasar dari hal yang ditelaahnya.

D. Hubungan Manusia Dengan Agama

Agama dapat dilihat sebagai kepercayaan dan pola perilaku yang

dimiliki oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting dan aspek-

aspek alam semesta yang tidak dapat dikendalikannya dengan teknologi

maupun sistem organisasi sosial yang dikenalnya. Pengertian agama yang lain

yaitu agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi melalui

mitos dan menggerakkan kekuatan-kekuatan supranatural dengan tujuan untuk

mencapai atau menghindari terjadunya perubahan keadaan pada manusia atau

alam semesta. Agama memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi sosial dan

fungsi psikologis. Secara psikologis, agama dapat mengurangi kegelisahan

manusia dengan memberikan penerangan tentang hal-hal yang tidak diketahui

dan tidak dimengerti olehnya di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lebih

mudah dimengerti, misalnya tentang kematian. Selain itu, agama juga

memberi ketenangan pada manusia karena dapat memberikan sebuah harapan

bahwa ada sebuah kekuatan supranatural yang dapat menolong manusia pada

17
saat menghadapi bahaya atau tertimpa suatu musibah.

Ditinjau secara sosial, agama mempunyai sanksi bagi seluruh perilaku

manusia yang beraneka ragam. Agama juga menanamkan pengertian tentang

kebaikan dan kejahatan dengan memberikan semacam pedoman tentang

perilaku hidup dan berinteraksi. Dalam hal ini, agama dapat dikatakan sebagai

pemelihara ketertiban sosial. Selain itu, agama juga sebagai alat yang efektif

untuk meneruskan tradisi lisan dalam sebuah masyarakat. Dilihat dari

pengertian pentingnya agama bagi manusia, terdapat dua konsep mendasar

agama bagi kehidupan manusia, yaitu agama dalam arti what religion does dan

what is religion. Pengertian pertama menunjuk pada apa kegunaan agama bagi

kehidupan manusia, sedangkan pengertian yang kedua menunjuk pada apa

makna agama bagi manusia, yaitu sebagai pedoman untuk bertindak di dalam

menjalankan seluruh aktivitas kehidupannya.

Dari segi pragmatisme (aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang

benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar

dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara

praktis), seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh

fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga

kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai

dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:

1. Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia

Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana

ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia (sebagai satu

18
keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan

bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia,

melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam

menerangkan kepada umatnya bahawa dunia.

2. Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia

Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan

soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan

kehidupan selepas mati, matlamat menarik dan untuk menjawabnya adalah

perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.

3. Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia

Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok

manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman

bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan

dunia dan nilai yang sama.

4. Memainkan fungsi kawanan sosial

Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan.

Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kode etika

yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama

memainkan fungsi kawanan sosial.

E. Hubungan Manusia Dengan Filsafat

Filsafat mengandung pengertian berpikir secara sadar dan bertanggung

jawab, dengan pertanggungjawaban pertama terhadap diri sendiri. Hal ini

dilakukan dalam rangka mencari kebenaran hakiki sejak dari akar-akarnya

19
(radikal). Kebenaran dalam pengetahuan akan diterima filsafat apabila isi

pengetahuan yang diusahakan sesuai dengan objek yang diketahui yang

didasari oleh kebebasan berpikir (diatur oleh logika) untuk menyelidiki atau

tata pikir yang bermetode, bersistem, dan berlaku universal. Dengan demikian,

filsafat merupakan ilmu yang berusaha mencari ketetapan dan sebab-sebab

yang sedalamdalamnya bagi segala sesuatu (seluruh dunia dan alam ini)

sebagai pandangan dunia. Apabila pandangan ini mengenai manusia, yaitu

pikiran, budi, tingkah laku, dan nilai-nilainya, serta tujuan hidup manusia,

baik di dunia maupun sesuadah dunia ini tiada yang kemudian disebut

“pedoman hidup”. Filsafat sebagai usaha berpikir, bukan berarti untuk

merumuskan suatu doktrin final, konklusif, dan tidak bisa diganggu gugat.

Demikian pula filsafat dalam corak religius bukan berarti disamakan dengan

agama atau pengganti keududukan agama, walaupun filsafat dapat menjawab

segala pertanyaan yang diajukan. Kedudukan agama tetaplah lebih tinggi

dibandingkan filsafat, karena dalam ajaran agama terdapat kebenaran tak

terbantahkan dan hanya dapat diketahui karena diwahyukan. Adapun filsafat

karena penyelidikan sendiri. Filsafat memiliki kedudukan yang penting dalam

kehidupan manusia. Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Memberikan pengertian dan kesadaran kepada manusia akan arti

pengetahuan tentang kenyataan yang diberikan oleh filsafat.

2. Berdasarkan atas dasar-dasar hasil kenyataan itu, maka filsafat

memberikan pedoman hidup kepada manusia. Pedoman itu mengenai

sesuatu yang terdapat di sekitar manusia sendiri, seperti kedudukan dalam

20
hubungannya dengan yang lain. Kita juga mengetahui bahwa alat-alat

kewajiban manusia meliputi akal, rasa, dan kehendak. Dengan akal,

filsafat memberikan pedoman hidup untuk berpikir guna memperoleh

pengetahuan. Dengan rasa dan kehendak, maka filsafat memberikan

pedoman tentang kesusilaan mengenai baik dan buruk.

F. Hubungan Agama Dengan Filsafat

Objek forma filsafat adalah mencari sebab yang sedalam- dalamnya.

Dalam hal ini berbedalah dengan ilmu. Dalam alat dan kemampuan berpikir,

filsafat mempergunakan pikiran (budi betul dalam mencari sesuatu sebab itu

dikatakan tanpa membatasi diri, tetapi juga ada batasannya juga, ialah budi

itu sendiri, atau boleh juga dikatakan bahwa kodrat manusia yang berbudi).

Rumusan filsafat yang sesuai dengan definisi di atas ada

baiknya, karena sekaligus tercantum objek formanya, juga alat penerangan

untuk menyoroti objek forma itu. Alat penerangan yang ada dalam agama

disebut wahyu. Dengan budinya manusia itu mencoba memahami hal-hal yang

diwahyukan, berusaha pula untuk mengambil kesimpulan dari kebenaran-

kebenaran yang difirmankan oleh Tuhan itu, bukti-bukti kebenaran lalu juga

bukan kodrati maupun indrawi juga melainkan adi kodrati, artinya dasar-

dasarnya, ialah kalau benar-benar diwahyukan, maka benarlah ini usaha

manusia untuk merenungkan kebenaran dalam ajaran yang disebut teologi.

Oleh karena itu, filsafat menyelidiki segala sesuatunya, pertemuan

penyelidikan dengan teologi banyak juga. Demi tugas ini filsafat menyelidiki

dan mempelajari pendapat tentang Tuhan, adanya sifatNya, hubungannya bagi

21
manusia dan dunia. Semuanya itu dicapai melalui budi yang dimiliki demi

kodratnya, maka pengetahuan filsafat tentang Tuhan dalam hal ini adalah

pengetahuan kodrati. Adapun pengetahuan tentang yang sama mungkin

luas dan mendalaminya berlainan yang diterima dari firman Tuhan yang

mengetahui kodrat kami, disebut adi kodrati. Oleh karena itu filsafat itu

menyelidiki segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja agama

yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau dari dasar filsafat.

Hubungan intelek (al-aql) dan spirit (al-ruh) sebagai perpaduan antara

agama dan filsafat dapat di jelaskan sebagai berikut, yaitu dalam perspektif

Islam bahwa intelek dan spirit memiliki hubungan yang sangat erat serta

merupakan hubungan dua muka secara tradisional yang dipahami dan yang

konsen dengan pengetahuan dalam ḥasanah kultur Islam diperhatikan dalam

dunia spirit membentuk paguyuban tunggal disertai tarik menarik yang

sangat kuat dalam satu agama. Kenyataan ini secara pasti, benar pada faktor-

faktor Islam yang telah dianggap sebagai elemen-elemen anti intelektual

dalam dunia Islam. Filsafat Islam merupakan suatu komponen penting pada

tradisi intelektual Islam, dan para Filsuf memiliki spiritual yang sama dengan

pengetahuan (gnostik) diantara para sufi. Lebih dari itu Filsafat Islam telah

memainkan suatu permainan penting dalam perkembangan kalam, tidak

sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti matematika, astronomi, kedokteran yang

terinspirasi dari filsafat.

Intelek ini seperti seluruh instrumen wahyu sebagaimana tergambar

dalam hati sebagai wahyu makrokosmik yang memberikan sebuah kader

22
secara objektif. Para filsuf menganggap bahwa panggilan kebenaran menjadi

panggilan tertinggi dalam filsafat, tetapi itu tidak berarti ketertundukan wahyu

pada penalaran, seperti pendapat sebagian orang. Lebih tepat itu diartikan

sebagai jalan untuk mencapai kebenaran puncak wahyu melalui pengetahuan.

23
BAB III

PENUTUP

A. Penutup

Manusia dewasa ini dihadapkan dengan berbagai tantangan dan isu

global yang menuntut pesan universal agama untuk berperan aktif dalam

mewujudkan tatanan dunia baru yang lebih berpihak pada perdamaian,

keadilan dan kemanusiaan. Agama adalah satu-satunya kebenaran mutlak

dan universal merupakan hal yang sudah menjadi keyakinan pemeluknya,

namun masih perlu dipertanyakan apakah ungkapan pengalaman keagamaan

yang selama ini dilakukan pemeluk agama selama ini telah benar-benar

mencerminkan esensinya sebagai kebenaran universal. Jika belum, maka

artinya pemeluk agama, harus terus membuka diri untuk mempertanyakan

secara radikal seperti apa paradigma pengungkapan pengalaman keagamaannya

yang seharusnya agar mengidentikkan diri dengan esensi kebenaran wahyu

itu sendiri. Di sinilah arti pentingnya filsafat yang menawarkan ketajaman

dalam menghasilkan pertanyaan radikal terhadap agama yang memang

terbingkai oleh bingkai keyakinan dan keimanan yang termapankan, sehingga

filsafat dalam konteks ini menjadi sebuah alat yang tepat dan benar untuk

menghantarkan manusia pada tujuan yang dikehendaki agama seperti yang

diyakininya.

Tujuan akhir dari agama bagi manusia, adalah mengembalikan manusia

kepada keadaan sebelum ia ada, dan ini melibatkan upaya pencarian identitas

24
dan nasib terakhirnya, dengan melakukan perbuatan yang benar. Makna

“kembali” di sini sesungguhnya adalah hidup itu sendiri, yang mencakup

pencarian ilmu (pengetahuan) yang benar, pemahaman terhadap tanda dan

lambang Tuhan.

B. Saran

Demikian makalah ini kami susun. Kami menyadari dalam pembuatan

makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, kritik dan Saran yang

membangun sangat kami harapkan demi menjadikan makalah ini lebih baik.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi

yang membacanya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Allan, M. 2014. Sejarah Agama Agama. Forum: Yogyakarta.

Amsal B. 2009. Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan


Manusia. Rajawali Pers: Jakarta.

Anshari, Endang S. 1982. Ilmu, Filsafat dan Agama. Bina Ilmu: Surabaya.

Elly M. Setiadi. 2006. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Prenada Media Group:
Jakarta.

Jalaludin. 2012. Psikologi Agama. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Soetomo. 2011. Efektifitas Kebijakan Sosial Dalam Pemecahan Masalah Sosial.


Dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 15, Nomor
1, Juli 2011.

26

Anda mungkin juga menyukai