PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
umat Islam. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata
dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu,
Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara mengkaji dan meneliti hadits
dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar validitas hadits sebagai dasar
karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama Islam . Sehingga umat
Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al-qur’an dan
lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan
para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang
yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu. Di antara sekian
banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan
penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan
dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadits Nabi Muhammad SAW.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia Timur; atau berasal
dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Secara geografis
kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa
timur. Sedangkan dalam kamus ilmiah populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang
mempelajari Timur.
adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala sesuatu mengenai
negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada umumnya dan Islam pada
lain.
Timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya. Berikut ini akan dibahas pola
SAW.
1. Ignaz Goldziher
studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan
atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad
2
pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa hadits
dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas
hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain
adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-
Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus
penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-
Zuhri mengatakan: (Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam
bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”) Kata-kata
“ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab
menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang
aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang
berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang
berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat
itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah
ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku. sementara pengertian ucapannya
dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh
metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik
kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya
3
kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural
dan lain-lain. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat
kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan
telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis
yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid,
Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul
dengan menyuruh orang-orang Syam (syria dan sekitarnya) yang sedang melakukan
ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin
Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi
cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin
Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung
ke Nabi Saw dimana isinya umat Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju
tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi
kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab
al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam
kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat Islam, bahkan diakui
sebagai kitab yang paling otentik sesudah al- qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu
sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan
kepercayaan umat Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah
4
2. Josepht Schahct
hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni
hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah
palsu.
sistem isnadmungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad
kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi
Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam enam
poin.
a) Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad
pertama.
koleksi-koleksi klasik.
5
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan
hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis
Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh
karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah
bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan
2) Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana
ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan
gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang
kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka
berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertama kali tanpa
sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu
juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup
dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil
dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad
riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya)
adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat
6
untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar famili
adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang diajukan Schacht
yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya tesis tentang hadits Nabi dilihat dari
teori Projecting back, yang berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-
pikiran tersebut, kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya
saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di bawah ini
4) Jyunboll
Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih
dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of
Jyunbolll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa
penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah
bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya
kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis
itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional
hadis.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan namanya, maka hal
tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab
7
Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan
bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak
menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal
hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu.
Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai teori
fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al-hadis abad
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang
mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu
mereka mengajarkannya (lagi) kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain,
common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang
meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas
isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common
link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur
periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula
periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang
bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang hanya satu jalur (single
8
B. Bantahan Ulama’ Muslim terhadap pemikiran Orientalis
muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar
hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa
Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla
Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature).
Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya
Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid
empat fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa
Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn
Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-buku
fiqh. Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis yang
dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka
Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadis, akan tetapi ditulis
dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri
dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair)
untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa
9
hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari
wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak
rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis
itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadis tersebut tidak
memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan
qiblat pertama bagi ummat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak
semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan,
perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya
oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada
matan.
yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht
adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh
sebagai dasar asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al
Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis
eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya
10
Ja’far Ishaq Anshari dan Azami dalam sanggahannya, Keduanya
dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal
muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah
referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz
Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum
mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang
fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat dan
tabi’in.
hadis : al-Muwatha’karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu
Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis dalam
Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak
yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak mampu
mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para
ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk
11
mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk
menghimpun hadis, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang
sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka.
Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai
doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada
masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi,
dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu
pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak
bersambung ke Nabi.
yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah
Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis Nabi yang terdapat
dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh
(w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw.
Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai
jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah
12
berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks
teorinyaProjecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk
suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami
dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada
rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan
juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi
terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul SAW
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah
Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami,
baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai
contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang
menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah
diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk
menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah
implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis
pada isnad-nya.
13
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat
secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang
periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu
tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common
linksebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur
yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
nilai ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini
umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah dianggap
sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah berarti menggap
bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah hasil yang harus
diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi denga objektif, data yang
valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh kalangan akademis.
memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai murni
kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai sebuah
berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin
manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient). 2) Bahwa Orientalisme itu
telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa
meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan penafsiran
Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup
encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena itu umat Islam perlu bersikap
bijaksana, tidak melulu apresiatif yang berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara
15
membabi buta. Umat Islam perlu bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun, kritik dan saran yang membangun kami butuhkan
16
DAFTAR PUSTAKA
unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html,
Orientalist” Website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=categor
y&layout=blog&id=36&Itemid=57,
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher
17