Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIK

NAMA KELOMPOK 1

1. Amanda Rahayu D (18003)


2. Aprilia (18006)
3. Arul Ervansyah (18007)
4. Ayu Lestari (18008)
5. Deta Nurmalitasari (18012)
6. Dewi Noviana R (18013)
7. Galih Ari Hidayah (18024)
8. Giyan Prima A P (18026)
9. Intan Saputri K D (18029)
10. Marantika L (18032)

AKADEMI KEPERAWATAN INSAN HUSADA


SURAKARTA
2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIK

A. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas
karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat
progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.
Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun,
dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis
paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (Mansjoer,
2010).
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambtan
aliran udara disaluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit
paru – paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang
membentuk suatu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah bronchitis kronis,
emfisema paru – paru dan asma bronchialle (S Meltzer, 2011).

B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Mansjoer (2010) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2012) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru
obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan
telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko
penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok.
Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan
dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan
peningkatan resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas
kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya
PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan
resiko morbiditas PPOK.

C. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaiu ventilasi,difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa perukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedankan perfusi adalah ditribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
anguan obsruksi berupa perlambaan aliran udara disaluran napas. Parameter yang
sering dipakai unuk meliha gangguan reriksi adalah kapasitas vital (KV) sedankan
untuk gangguan obsruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1), dan rasio volume ekpirasi paksa detik pertma terhadap kapsitas
vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood,2011)
Faktor resiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen – komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serts
meaplasia. Perubahan – perubahan pada sel-sel penhasilmukus dan silia ini
menggangu sistem eskalator mukosiliarisdan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas.mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksidan
menjajdi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi etrutama ekspirasi terhambat. Imbul hiperkapnia akibat dari
ekpirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan (GOLD,2009) .
Komponen – komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran
udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkrang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan(recoil) paru secra pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap didalam paru dan saluran
udara kolaps(GOLD, 2009)
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil,komposisi seluler pada inflamsi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neurofil. Kelainan ventilasi berhubungna dengan adanya inflmasi
jalan napas,edema,bronkonstriksi, dan hipersekresi mukus,kelainan perfusi
berhubungan dnegna konstriksi hipoksik pada areriol (chojnowski,2013).
D. Pathways
Faktor predisposisi

Edema, spasme bronkus, peningkatan secret bronkiolus

Bersihan jalan udara terperangkap dalam alveolus


Nafas tidak efektif

Suplai O2 PaO2 rendah sesak nafas,


Jaringan Rendah Pa02 tinggi nafas pendek

Kompensasi Gangguan Gangguan


Kardiovaskuler metabolisme pertukaran gas
Hipoksemi jaringan

Hipertensi Metabolisme
Pulmonal anaerob insufisiensi/gagal nafas
pola
nafas
Tidak
Gagal Produksi ATP efekif
Jantung menurun
Kanan Resiko perubahan
Defisit energi nutrisi kurang dari
Kebutuhan
Lelah,lemah

Intoleransi Gangguan kurang


Aktivitas pola tidur perawatan diri
Sumber : Soematri (2009), dan Ikawati (2011)
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2011) pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau
mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk
bernafas.

Reeves (2011) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
1. Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah
malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin
menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi
nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami
perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.
2. Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut
tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah
tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien
mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
3. Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan
tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem
(GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Doenges (2010) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi
atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil
normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan
derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma,
penurunan emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat
dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH
normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,
kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa
yang terlihat pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P
(asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead
II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji
derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2010) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.

3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :


a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan
edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma
adalah untuk meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala
kekambuhan, mencegah serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.
Tujuan utama dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah
untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan
berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah merupakan proses
fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat inhalasi
beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak
menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih
dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi steroid akan menjadi
lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan
fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah.
Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan
terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis
yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika
individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas
sudah terjadi sedemikian besar.
c. Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan.
Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene
respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu
mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
d. Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan
bronkoskopi untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT
Scan dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala meski telah
mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan ini adalah untuk
memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya dilakukan
segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama
dilakukan pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh
perbaikan yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
e. Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas hidup,
memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2013)
mencakup tindakan pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan
menurunkan upaya bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi
fisik untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara
kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan pernafasan dan dukungan
psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang berkesinambungan.
H. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2010)
adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena
keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal. Reeves (2011)
menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu
penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah
bagi pasien penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen
arterial PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida
arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau
keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut
dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara
mekanik.
2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi
paru-paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun. Cor
pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini
akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru
obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler
paru-paru yang kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari.
Efek domino dari perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru
mengakibatkan ventrikel kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-
kelamaan otot ventrikel kanan menjadi hipertrofi atau membesar. Perawatan
penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah dibatasi
hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan
istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik
ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel
kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga
menderita gagal jantung kiri.
3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti
udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga
pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni
berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi
cairan pleural adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan
mulus selama pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam
rongga pleural, maka kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara
normal, menjadi melemah dan hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas
vital dan hipoksemia.
4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya
yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang
terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara
terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat
menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif.
Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal
yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu berlangsungnya
pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam alveoli semakin meluas
maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di dinding alveolar.
I. Konsep Askep
1. Pengkajian
a) Identitas klien
Nama, umur, alamat, agama, suku, pendidikan, pekerjaan.
b) Riwayat Penyakit
1. Keluhan Utama : Keluhan yang paling dirasakan oleh
klien.
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Riwayat penyakit yang sedang
dialami oleh klien.
3. Riwayat Penyakit Terdahulu: Riwayat penyakit yang pernah
diderita klien.
4. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit keturunan seperti
DM, Hipertensi.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkoplasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi/kelemahan.
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek, mukus,
brankokontriksi, dan iritasi jalan nafas.
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan fentilasi
perfusi.
d) Gangguan nutrisi berhubungan dengan anoreksia.
e) Gangguan pola tidur berhubungan dengan batuk menetap.
f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay O2.
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa
Tujuan / KH Intervensi
Dx Keperawatan
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji TTV.
nafas tidak efektif keperawatan selama 3 x 24 2. Monitor status
berhubungan jam diharapkan pasien oksigen pasien.
dengan akan mempertahankan 3. Berikan posisi yang
bronkosplasma, jalan nafas yang paten nyaman (posisi
peningkatan dengan bunyi nafas bersih semi fowler).
produksi sekret, atau jelas dengan kriteria 4. Berikan klien
sekresi tertahan, hasil: minum air hangat.
tebal, sekresi 1. Mendemonstrasikan 5. Berikan tindakan
kental, penurunan batuk efektif dan suara Postural
energi atau nafas yang bersih, tidak drainage/Fisioterapi
kelemahan. ada sianosis dan dada.
dyspneu (mampu 6. Ajarkan teknik
mengeluarkan sputum, relaksasi distraksi.
mampu bernafas dengan 7. Kolaborsi dengan
mudah). dokter tentang
2. Menunjukkan jalan terapi oksigen yang
nafas yang paten (pasien diberikan
tidak merasa tercekik, (Nebulizer,
irama nafas, frekuensi Bronkodilator,
pernafasan dalam Mukolitik).
rentang normal, tidak
ada suara nafas
abnormal).
3. Mampu
mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang
dapat menghambat jalan
nafas.
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor respirasi
efektif keperawatan selama 3 x 24 dan status oksigen.
berhubungan jam diharapkan pasien 2. Monitor adanya
dengan nafas menunjukkan keefektifan kecemasan pasien
pendek, mukus, pola nafas dengan kriteria terhadap oksigenasi.
brankokontriksi, hasil : 3. Monitor pola nafas.
dan iritasi jalan 1. Mendemonstrasikan 4. Monitor adanya
nafas batuk efektif dan suara kecemasan pasien
nafas yang terhadap oksigenasi.
bersih,tidak ada 5. Periksa TTV.
sianosis dan dyspneu. 6. Bersihkan mulut,
2. Menunjukkan jalan hidung, dan sekret
nafas yang paten. trakea.
7. Lakukan fisioterapi
dada jika perlu.
8. Pertahankan jalan
nafas yang paten.
9. Auskultasi suara
nafas dan catat
adanya suara
tambahan.
10. Posisikan pasien
untuk
memaksimalkan
ventilasi.
11. Anjurkan pasien
untuk mengeluarkan
sekret dengan batuk
efektif atau suction.
12. Ajarkan bagaimana
cara batuk efektif.
13. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian obat.
3 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi,
pertukaran gas keperawatan selama 3 x 24 kedalaman
berhubungan jam diharapkan pasien pernafasan. Catat
dengan menunjukkan perbaikan penggunaan otot
ketidaksamaan ventilasi dan oksigenasi aksesori, nafas
fentilasi perfusi. dengan kriteria hasil: bibir,
1. Frekuensi nafas ketidakmampuan
normal (16- berbicara atau
24x/menit) berbincang.
2. Tidak ada dispneu 2. Pantau pasien
terhadap dispnea
dan hipoksia.
3. Pantau pemberian
oksigen.
4. Tinggikan kepala
tempat tidur, bantu
pasien untuk
memilih posisi yang
mudah untuk
bernafas.
5. Berikan terapi
aerosol sebelum
waktu makan, untuk
membantu
mengencerkan
sekresi sehingga
ventilasi paru
mengalami
perbaikan.
6. Kolaborasi dengan
dokter tentang obat-
obatan yang
diberikan kepada
pasien (obat-obatan
bronkodilator dan
kortikostiroid dengan
tepat dan waspada
kemungkinan efek
sampingnya).
4 Gangguan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji pola makan
kurang dari keperawatan selama 3 x 24 pasien.
kebutuhan jam diharapkan Gangguan 2. Kaji mual muntah
berhubungan nutrisi kurang dari pasien.
dengan anoreksia kebutuhan berhubungan 3. Timbang berat badan
dengan anoreksia dapat pasien setiap hari.
terpenuhi dengan kriteria 4. Anjurkan pasien
hasil : makan sedikit tapi
1. nutrisi pasien terpenuhi sering.
2. pasien tidak mual 5. Anjurkan pasien
muntah makan dalam
3. berat badan normal keadaan masih
4. pasien dapat hangat.
mempertahan pola 6. Kolaborasi dengan
makan yang adekuat ahli gizi dalam
pemberian diiet yang
tepat.
7. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pemberian obat.
5 Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola tidur
tidur berhubungan keperawatan selama 3 x 24 pasien.
dengan batuk jam diharapkan kebutuhan 2. Bantu pasien latihan
menetap. tidur pasien terpenuhi relaksasi ditempat
dengan kriteria hasil: tidur.
1. Pasien tidak tidur 3. Jelaskan pentingnya
terjaga. menjaga pola tidur.
2. Pasien mendapat jam 4. Batasi penerimaan
istirahat tidur yang pengunjung agar
berkualitas. pasien dapat
beristirahat dengan
cukup.
5. Kolaborasi dengan
tim medis tentang
pemberian obat yang
tepat.

6 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji TTV.


berhubungan keperawatan selama 3 x 24 2. Kaji tingkat
dengan jam diharapkanpasien ketergantungan
ketidakseimbangan menunjukkan peningkatan pasien.
supply O2. toleransi terhadap aktivitas 3. Pantau nadi dan
dengan kriteria hasil: frekuensi nafas
1. Pasien tidak terasa sebelum dan sesudah
lemas. beraktivitas.
2. Aktivitas pasien dapat 4. Sediakan oksigen
dilakukan sendiri. sebagaimana
diperlukan sebelum
dan selama
menjalankan aktivitas
untuk berjaga-jaga.
5. Anjurkan untuk
aktivitas yang ringan.
6. Kolaborasi dengan
tenaga rehabilitasi
medik dalam
merencanakan
program terapi yang
tepat.
J. Daftar Pustaka
Manjoer, Arif. 2008. Kapita Selecta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.
Smeltzer, S. C, and Bare, B.G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : EGC.
https://www.academia.edu/30868326/asuhan_keperawatan_ppok (3 Oktober
2019).
http://gadiespingitan.blogspot.com/2014/08/asuhan-keperawatan-pada-
pasien-dengan.html?m=1 (3 Oktober 2019).
http://blognuraziz.blogspot.com/2017/05/asuhan-keperawatan-ppok-penyakit-
paru.html?m=1 (4 Oktober 2019).

Anda mungkin juga menyukai