Anda di halaman 1dari 33

CASE BASED DISCUSSION

ASMA, TENSION TYPE HEADACHE, HIPOKALEMI

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi


salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Anydhia Fitriana Afiuddin (6120018025)
Fithrotun Nisak (6120018013)

Pembimbing :
dr. Muzaijadah Retno Arimbi, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM JEMURSARI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA
2019

1
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
2.1 Asma...................................................................................................
2.1.1 Definisi...................................................................................
2.1.2 Epidemiologi...........................................................................
2.1.3 Etiologi...................................................................................
2.1.4 Kriteria Asma.........................................................................
2.1.5 Faktor Risiko..........................................................................
2.1.6 Patofisiologi............................................................................
2.1.7 Diagnosis................................................................................
2.1.8 Tatalaksana.............................................................................
2.2 Tension Type Headache.....................................................................
2.2.1 Definisi...................................................................................
2.2.2 Epidemiologi...........................................................................
2.2.3 Manifestasi Klinis...................................................................
2.2.4 Patofisiologi............................................................................
2.2.5 Tatalaksana.............................................................................
2.3 Hipokalemi.........................................................................................
2.2.1 Definisi...................................................................................
2.3.2 Etiologi...................................................................................
2.3.3 Manifestasi Klinis...................................................................
2.3.4 Tatalaksana.............................................................................
BAB III LAPORAN KASUS.........................................................................
3.1 Identitas pasien...................................................................................
3.2 Anamnesis..........................................................................................
3.3 Pemeriksaan fisik................................................................................
3.4 Pemeriksaan penunjang......................................................................
3.5 Assesment...........................................................................................
3.6 Planning..............................................................................................
3.7 Follow up 1.........................................................................................
3.8 Follow up 2.........................................................................................
3.9 Follow up 3.........................................................................................
3.10 Follow up 4.........................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang


reversible. Asma menyebabkan episode berulang wheezing , sesak napas, batuk
terutama pagi dan malam hari. Asma menjadi salah satu masalah kesehatan utama
baik di negara maju maupun di negara berkembang (Sudoyo, 2015).
Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016
memperkirakan 235 juta penduduk dunia saat ini menderita penyakit asma dan
kurang terdiagnosis dengan angka kematian lebih dari 80% di negara
berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiatif for Asthma (GINA) tahun
2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai negara adalah 1-18%
dan diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di dunia menderita asma.
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan
asma. Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi
maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema (sundari, 2006). Diagnosis
asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel (dyspnea), serta ditemukan adanya wheezing pada pemeriksaan fisik.
Tatalaksana pada pasien asma berguna untuk menjaga saturasi oksigen
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran
pernapasan dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat, selain itu untuk
mengurangi inflamasi saluran pernapasan, dan mencegah kekambuhan (Sudoyo,
2015).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
reversible. Sel inflamasi yang berperan adalah sel mast, limfosit, neutrofil, dan
eosinofil. Asma menyebabkan episode berulang wheezing , sesak napas, batuk
terutama pagi dan malam hari (Sudoyo, 2015).
2.1.2 Epidemiologi
Asma menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiatif for
Asthma (GINA) tahun 2017 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai
negara adalah 1-18% dan diperkirakan terdapat 300 juta penduduk di dunia
menderita asma. Prevalensi asma menurut World Health Organization (WHO)
tahun 2016 memperkirakan 235 juta penduduk dunia saat ini menderita penyakit
asma dan kurang terdiagnosis dengan angka kematian lebih dari 80% di negara
berkembang. Di Amerika Serikat menurut National Center Health Statistic
(NCHS) tahun 2016 prevalensi asma berdasarkan umur, jenis kelamin, dan ras
berturut-turut adalah 7,4% pada dewasa, 8,6% pada anak-anak, 6,3% laki-laki,
9,0% perempuan, 7,6% ras kulit putih, dan 9,9% ras kulit hitam (NCHS, 2016).
2.1.3 Etiologi
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan
asma. Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi
maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula
disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang
terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam
serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi
antigen spesifik (sundari, 2006).
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus
tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebut secara biologis dapat
merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang
selanjutnya menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel.
Sekali fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat
dengan mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina propia.
Penyusun daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas
protease ini dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih
dalam di saluran pernafasan (Miglino, 2011).
2.1.4 Kriteria Asma
Derajat Asma Berdasarkan Serangan
Parameter Ringan Sedang Berat Status
asmatikus
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata
kalimat
Kesadaran Mungkin Irritable Irritable Delirium
irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Akhir Inspirasi dan Terdengar Silent chest
ekspirasi ekspirasi nyaring tanpa
dengan dengan stetoskop
stetoskop stetoskop
Otot bantu Tidak ya ya Paradoksal
nafas torako-
abdominal
Respiratory <20x/mnt <20-30x/mnt >30x/mnt -
rate
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

I. Intermitten Bulanan ≤ 2x/bulan  APE ≥ 80%


 VEP1 ≥ 80% nilai
 Gejala < 1x/minggu prediksi
 Tanpa gejala diluar  APE ≥ 80% nilai
serangan terbaik
 Serangan singkat  Variabilitas APE <
20%

II.Persisten mingguan > 2x/bulan  APE ≥ 80%


Ringan  VEP1 ≥ 80% nilai
 Gejala > 1x/minggu, tapi
<1x/hari prediksi
 Serangan dapat  APE ≥ 80% nilai
mengganggu aktivitas dan terbaik
tidur  Variabilitas APE
 Membutuhkan 20-30%
bronkodilator setiap hari
III. Persisten Harian >1x/minggu  APE 60-80%
Sedang  VEP1 60-80% nilai
 Gejala setiap hari
prediksi
 Serangan menggangu
 APE 60-80% nilai
aktivitas dan tidur
terbaik
 Membutuhkanbronkodilat
 Variabilitas APE >
or setiap hari
30%
IV. Persisten Kontinyu Sering  APE ≤ 60%
Berat  VEP1 ≤ 60% nilai
 Gejala terus menerus
prediksi
 Sering kambuh
 APE≤ 60% nilai
 Aktivitas fisik terbatas
terbaik
 Variabilitas APE >
30%

Derajat Kekambuhan/serangan Terapi


Step 1 Kurang dari 1 kali dalam Obat reliever: Beta agonis
Intermitten seminggu inhaler
Asimtomatis dan PEF
normal di antara serangan
Step 2 Satu kali kambuh atau lebih Obat kontroller: steroid
Mild Persistent dalam 1 minggu inhaler low dose
(Budesonide200-400ug)
Obat reliever: SABA
Step 3 Setiap hari Obat kontroller:
Moderate Persistent Menggunakan B2 agonis Kombinasi steroid inhaler
setiap hari low medium dose
Serangan mempengaruhi (budesonide 400-800ug) dan
aktivitas LABA
Obat reliever: SABA
Step 4 Terus menerus Obat kontroller:
Severe Persistent Aktivitas fisik terbatas Kombinasi high dose steroid
inhaler (budesonide
>800ug)+LABA + ≥ 1
dibawah ini: teofilin slow
release, steroid sistemik,
leukotrien modifier
Obat reliever: beta agonis
inhaler

2.1.5 Faktor Risiko


Faktor risiko asma menurut Sudoyo (2015) antara lain:
 Paparan alergen (debu rumah, serbuk sari, kotoran hewan)
 Iritasi pekerjaan
 Asap tembakau
 Infeksi respirasi (virus)
 Aktivitas fisik
 Emosi
2.1.6 Patofisiologi
Pada asma awal terjadinya diakibatkan adanya pemicu, pemicu tersebut
berbeda-beda tiap individu. Beberapa hal diantaranya adalah alergen, polusi
udara, infeksi saluran napas, kecapekan, perubahan cuaca, makanan, dan bisa juga
karena adanya penyakit lain seperti rinitis, menstruasi, GERD, bahkan kehamilan.
Pemicu atau alergen tersebut akan menyebabkan IgE dependent terlepas, dan
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrin keluar sehingga
terjadi kontraksi otot polos (Sudoyo, 2015).
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap
berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme
dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan
dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya
proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas
disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”. Proses
inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak
dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan
yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada
asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek
yang dikenal dengan airway remodelling. Inflamasi kronis yang terjadi pada
bronkus menyebabkan kerusakan jaringan yang menyebabkan proses perbaikan
(repair) yang terjadi berulang-ulang. Proses remodeling ini yang menyebabkan
terjadinya asma. Namun, pada onset awal terjadinya proses ini kadang-kadang
sebelum disebakan oleh inflamasi eosinofilik, dikatakan proses remodeling ini
dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses dari remodeling ini
dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular matrik di dalam
dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel atau
hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan
nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
 Bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
 Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
 Gejala timbul/memburuk di malam hari.
 Respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga
(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan
penyakit dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat
meningkatkan kecurigaan terhadap asma adalah :
 Di dengarkan suara mengi (wheezing)
 Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi
diagnosis asma, apabila terdapat :
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
 Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
 Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
 Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma
atau penyakit atopi
 Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
 Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran


nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada
sebagian penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi
walaupun pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas
(Mangunegoro, 2004).
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah
pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi).
Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus (Mangunegoro, 2004).
2.1.8 Tatalaksana
Tatalaksana asma berguna untuk menjaga saturasi oksigen arteri tetap
adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan
pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat, selain itu untuk mengurangi
inflamasi saluran pernapasan, dan mencegah kekambuhan (PAPDI, 2015).
1. Tatalaksana non farmakologi
Tatalaksana non farmakologi pada asma adalah dengan pemberian
oksigen. Pemberian oksigen ini diberikan sebesar 1-3 L/menit dengan kanul nasal
atau masker, dan dipantau saturasi oksigen, dengan target saturasi 95% (PAPDI,
2015).
2. Tatalaksana farmakologi
Tatalaksana farmakologi menurut GINA (2018) pada asma dibagi menjadi
dua yaitu reliever dan controller.
a. Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol adalah:
o Glukokortikosteroid inhalasi
o Glukokortikosteroid sistemik
o LABA (long acting b2 agonis)
o Metilsantin
o Leukotriene modifiers
b. Pelega adalah obat yang digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma, seperti:
o SABA (short acting b2 agonis)
o Metilsantin
o Antikolinergik
o Adrenalin

Berdasarkan GINA (2018) terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai


secapat mungkin setelah diagnosis asma ditegakkan untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik, berdasarkan bukti klinis sebagai berikut :
- Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi
paru lebih baik dibandingkan jika pemberiaannya dilakukan setelah muncul
gejala selam 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut makan
dibutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi.
- Pasien yang tidak menggunakan ICS dan mengalami eksasebasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebar daripada pasien yang
telah menggunakan ICS
- Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari alergen, iritan,
dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

2.2 Tension Type Headache (TTH)


2.2.1 Definisi
Tension type headache merupakan nyeri kepala bilateral yang menekan,
mengikat, tidak berdenyut, tidak dipengaruhi atau diperburuk oleh aktivitas fisik,
dapat bersifat ringan hingga sedang (Anurogo, 2014).
2.2.2 Epidemiologi
Tension type headache merupakan jenis nyeri kepala yang paling sering, dengan
prevalensi 63% pada pria dan 86% pada wanita selama waktu estimasi 1 tahun.
Onset awal TTH terjadi pada masa dini kehidupan, dan puncaknya pada usia 20
dan 50 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dewasa, dengan rasio wanita dan
pria 4:3.
2.2.3 Manifestasi Klinis
Pada tension type headachae karakteristik nyeri kepalanya adalah bilateral,
rasa tertekan atau mengikat, tidak berdenyut, dengan intensitas ringan sampai
sedang, selain itu ada rasa tegang di sekitar leher dan kepala belakang. Tidak ada
mual dan muntah. Durasi nyeri bisa lebih lama. TTH kronis biasanya muncul
karena penyakit ini sering diabaikan, karena rasa nyerinya tidak seberat migren.
Gejala pada yang kronis antara lain insomnia, nyeri kepala di pagi hari, penurunan
berat badan, susah berkosentrasi, dan mudah lelah (Aninditha, 2017).
2.2.4 Patofisiologi
Munculnya penyakit ini diakibatkan karena terlalu lama menekuk kepala
ke bawah atau karena posisi tidur yang tidak baik sehingga otot belakang leher
tegang. Kontraksi otot leher yang terus menerus menyebabkan turunnya perfusi
darah dan lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat, asam piruvat). Substansi
tersebut menstimulasi saraf menghasilkan sensasi nyeri pada otot dan ligamen
yang dipersarafi. Nyeri tersebut bersifat tumpul. Pada otot dan ligamen yang tidak
terlalu banyak mendapat persarafan sensasi yang dirasakan adalah pegal-pegal
(Aninditha, 2017).
2.2.5 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan adalah reduksi frekuensi dan intensitas nyeri kepala
(terutama TTH) dan menyempurnakan respon terhadap terapi abortive. Terapi
dapat dimulai lagi bilanyeri kepala berulang. Masyarakat sering mengobati sendiri
TTH dengan obat analgesic yang dijual bebas, produk berkafein, pijat, atauterapi
chiropractic (Bendtsen, 2009).
Terapi TTH episodik pada anak adalah parasetamol, aspirin, dan
kombinasi analgesik. Parasetamol aman untuk anak. Asam asetilsalisilat tidak
direkomendasikan pada anak berusia kurang dari 15 tahun, karena kewaspadaan
terhadap sindrom Reye. Pada dewasa, obat golongan anti-inflamasi non steroidef
ektif untuk terapi TTH episodik. Hindari obat analgesik golongan opiat (misal:
butorphanol). Pemakaian analgesik berulang tanpa pengawasan dokter, terutama
yang mengandung kafein atau butalbital, dapatmemicu rebound
headaches(Bendtsen, 2009).
Beberapa obat yang terbukti efektif: ibuprofen (400 mg), parasetamol
(1000 mg), ketoprofe (25 mg). Ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol.
Kafein dapat meningkatkan efek analgesik. Analgesik sederhana, non steroidal
anti-inflammatory drugs (NSAIDs). Suntikan botulinum toxin (Botox) diduga
efektif untuk nyeri kepala primer, seperti: tension- type headache, migren kronis,
nyeri kepala harian kronis (chronic daily headache). Botulinum toxin adalah
sekelompok protein produksi bakteri Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat pelepasan asetilkolin disambungan otot, menyebabkan
kelumpuhan flaksid. Botox bermanfaat mengatasi kondisi di mana hiperaktivitas
otot berperan penting.Riset tentang Botox masih berlangsung (Bendtsen, 2009).
Intervensi nonfarmakologis misalnya: latihan relaksasi, relaksasi progresif,
terapi kognitif, biofeedback training, cognitive-behaviouraltherapy atau
kombinasinya. Solusi lain adalah modifikasi perilaku dan gaya hidup. Misalnya:
istirahat di tempat tenang atau ruangan gelap. Peregangan leher dan otot bahu 20-
30 menit, idealnya setiap pagi hari, selama minimal seminggu. Hindari terlalu
lama bekerja didepan komputer, beristirahat 15 menit setiap 1 jam bekerja,
berselang-seling, iringi dengan instrumen musik alam/klasik. Saat tidur, upayakan
dengan posisi benar, hindari suhu dingin. Bekerja, membaca, menonton TV
dengan pencahayaan yang tepat. Menuliskan pengalaman bahagia. Terapi tawa.
Salat-berdoa (Bendtsen, 2009).

2.3 Hipokalemia
2.3.1 Definisi
Berdasarkan Hines (2008) hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium
dalam plasma lebih rendah dari 3,5 mEq/L dan terjadi karena:
1. Perpindahan antar kompartemen dari kalium
2. Meningkatanya kehilangan kalium. Atau
3. Asupan kalium yang tidak adekuat
Hubungan kadar kalium dalam plasma berhubungan kurang baik dengan
defisit total kalium. Menurunnya kadar kalium dalam plasma dari 4 mEq/L
menjadi 3 mEq/L biasanya mereprentasikan defisit 100 – 200 mEq, sedangkan
kadar kalium dalam plasma di bawah 3 mEq/L bisa menggambarkan defisit
sebesar 200 mEq dan 400 mEq (Hines, 2008).
2.3.2 Etiologi
Excess renal loss
Mineralocorticoid excess
Primary hyperaldosteronism (Conn's syndrome)
Glucocorticoid-remediable hyperaldosteronism
Renin excess
Renovascular hypertension
Bartter's syndrome
Liddle's syndrome
Diuresis
Chronic metabolic alkalosis
Antibiotics (Carbenicillin, Gentamicin, Amphotericin
B)
Renal tubular acidosis

Gastrointestinal losses
Vomiting
Diarrhea, particularly secretory diarrheas
ECF - ICF shifts
Acute alkalosis
Hypokalemic periodic paralysis
Barium ingestion
Insulin therapy
Vitamin B12 therapy
Thyrotoxicosis (rarely)
Inadequate intake

2.3.3 Manifestasi Klinis


Hipokalemia bisa menyebabkan disfungsi organ. Kebanyakan pasien tidak
mempunyai gejala sampai kadar kalium plasma dibawah 3 mEq/L. Efek
kardiovaskuler merupakan yang paling menonjol dan termasuk abnormalitas
EKG, aritmita, menurunnya kontraktilitas jantung dan tekanan darah yang labil
karena disfungsi autonomik. Hipokalemia kronik dilaporkan juga bisa
menyebabkan fibrosis miokardial. Manifestasi yang terdapat dalam EKG
disebabkan tertundanya repolarisasi dan termasuk gelombang T yang mendatar
dan terbalik, meningkatnya gelombang U, depresi segmen ST, meningkatnya
amplitudo gelombang P dan interval P-R yang memanjang. Meningkatnya
automatisasi sel miokardial dan tertundanya repolarisasi menimbulkan aritmia
baik atrium maupun ventrikel (Marino, 2007).
Efek neuromuskular dari hipokalemia termasuk kelelahan otot – otot skelet
(terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani dan yang lebih jarang yaitu
rhabdomyolysis. Hipokalemia disebabkan karena diuretik seringkali berhubungan
dengan alkalosis metabolik; dimana ginjal mengabsorbsi natrium untuk
mengkompensasi deplesi volume intravaskular dan dalam diuretik yang
disebabkan hipokloremia, bikarbonat diabsorbsi kembali (Kristen, 2011).
Efek hipokalemia antara lain:
 Kardiovaskular : perubahan pada EKG / aritmia, disfungsi miokard
 Neuromuskular : skeletal muscle weakness, tetany, rhabdomyolisis,
 Renal : poliuria, peningkatan produksi amonia, peningkatan reabsorbsi
bikarbonat
 Hormonal : penurunan sekresi insulin dan aldosteron
 Metabolik : ensefalopati pada pasien dengan penyakit hati
2.3.4 Tatalaksana
Penggantian secara oral dengan kalium klorida merupakan yang teraman
(60 – 80 mEq/hari). Pengganti dengan oral biasanya membutuhkan beberapa hari.
Selain kalium klorida, bisa digunakan cairan kalium fosfat (berisi 4,5 mEq kalium
dan 3 μM fosfat per mL) yang dipilih untuk menggantikan kalium pada penyakit
ketoasidosis diabetik (karena deplesi fosfat yang menyertai ketoasidosis) (Kristen,
2011)..
Tabel 2.2 Defisit kalium pada Hipokalemia
Serum Potassium Deficit
Potassium mEq % total body K
(mEq/L)
3,0 175 5
2,5 350 10
2,0 470 15
1,5 700 20
1,0 875 25

Estimasi defisit pada dewasa dengan berat badan 70 kg dengan total


kalium dalam tubuh sebesar 50 mEq/kg (Kristen, 2011). Penggantian secara intra-
vena dengan kalium klorida biasanya diperlukan untuk pasien dengan atau tanpa
manifestasi kardio yang serius. Tujuan terapi melalui intra-vena adalah
menyelamatkan pasien agar tidak dalam kegawatan dan tidak dibutuhkan koreksi
seluruh defisit kalium. Kecepatan penggantian secara Intravena di vena perifer
seharusnya tidak lebih dari 8 mEq/ jam karena efek iritatifnya pada vena – vena
perifer. Dosis bisa dinaikkan hingga 40 mEq/ jam jika memang diperlukan
(seperti pada keadaan kadar kalium dalam plasma dibawah 1,5 mEq/L atau
aritmia yang serius). Cairan yang isinya dekstrosa harus dihindari karena
berakibat pada hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder akan menyebabkan
turunnya kadar kalium dalam plasma (Kristen, 2011).
Kalium Klorida merupakan pilihan saat alkalosis metabolik terjadi karena
cairan tersebut juga meng-koreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau
ekuivalennya (K+ asetat atau K+ sitrat) lebih dipilih untuk pasien – pasien dengan
asidosis metabolik(Kristen, 2011).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
No rekam medis : 315093
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 55 th
Alamat : pinggir pacitan
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Status pernikahan : sudah menikah
Suku : jawa
Agama : islam
Waktu masuk RS : 12 Maret 2019
Waktu pemeriksaan : 13 Maret 2019
Tempat pemeriksaan : ruang teratai RSI jemursari surabaya
3.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Sesak nafas
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak pagi sebelum
MRS. Sesak timbul setelah pasien melakukan aktivitas. Sebelum ke IGD,
pasien sempat berobat ke klinik tapi tidak membaik. Sesak diperingan
dengan istirahat seperti tidur dengan dua bantal dikepala dan diperberat
dengan kelelahan. Pasien mempunyai alergi seafood, daging sapi, debu,
dingin, dan asap. Setiap terpapar alergen tersebut pasien langsung gatal
dan dada terasa berat untuk bernafas. Pasien juga mengeluhkan sulit untuk
jalan karena tambah sesak, jika dibuat berbicara terasa berat sehingga
hanya sepenggal saja. Pasien juga merasa pusing nyut-nyutan, lemas, dan
sulit untuk tidur. Batuk juga dikeluhkan tetapi tidak sering, demam hanya
sumer-sumer semalam. Mual muntah juga dikeluhkan.
Pasien dulu pernah sakit seperti ini tetapi tidak sampai opname sekitar
1 tahun yang lalu. Ayah pasien mempunyai alergi seafood dan daging sapi.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Asma terakhir kambuh 1 tahun yang lalu, hipertensi disangkal, DM
disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah pasien mempunyai alergi seafood dan daging sapi
 Riwayat Kebiasaan:
Pasien mengaku memakan makan makanan yang di masak sendiri, sehari-
hari bekerja sebagai ibu rumah tangga, merokok disangkal, minum alkohol
disangkal
 Riwayat Pengobatan:
Minum obat dari klinik (lupa namanya)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran : Compos mentis, 456
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernafasan : 30x/menit
Temperature : 360C
Kepala/Leher : Anemis (-), Ikterus (-), Cyanosis (-), Dyspneu (+),
Pernafasan cuping hidung (-), Pembesaran kelenjar getah
bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), peningkatan vena
jugular (-), faring hiperemis (-), mukosa mulut kering (-),
mata cowong (-), nyeri telan (-)
Thoraks : Pulmo → Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada retraksi,
pergerakan dada simetris
Palpasi : pengembangan paru simetris,
fremitus raba hemithoraks simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler/vesikuler, rhonki-/,
wheezing +/+
Cor → Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak
terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan parasternal
kanan ICS 4, batas jantung kiri
ICS 5 MCL kiri
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Flat, tidak ada operasi, tidak ada massa
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : soepel, nyeri tekan di epigastrium (-), hepar, renal, lien
tidak teraba
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Esktremitas :
Hangat kering merah, oedema di semua ekstremitas (-), CRT < 2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
 Darah Lengkap
Pemeriksaan Nilai Hasil rujukan
Leukosit 8.77 3,6-11
Basofil 0,423 0-1
Neutrofil 89.00 39,3-73,7
Limfosit 5,814 25-40
Eosinofil 0,167 2-4
Monosit 4.567 2-8
Trombosit 244 150-440
Eritrosit 4,58 3,80-5,20
Hemoglobin 13,11 11,7-15,5
Hematokrit 38,0 35-47
MCV 83,2 80-100
MCH 28,7 26-34
MCHC 34,5 32-36

 Serum Elektrolit
Pemeriksaan Nilai Hasil rujukan
Na 135.40 135-147
K 3.28 3,5-5
Cl 104.70 95-105

 Gula darah puasa 71mg/daL


 Glukosa darah 1 jam PP 97mg/dL

 Faal ginjal
Pemeriksaan Nilai Hasil rujukan
BUN 11,3 10-20
Creatinin 0,77 0,45-0,75

RESUME
Nama : Ny. S
No rekam medis : 315093
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 55 th
Alamat : pinggir pacitan
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Status pernikahan : sudah menikah
Suku : jawa
Agama : islam
Keluhan utama : sesak nafas
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak pagi
sebelum MRS. Sesak timbul setelah pasien melakukan aktivitas. Sebelum
ke IGD, pasien sempat berobat ke klinik tapi tidak membaik. Sesak
diperingan dengan istirahat seperti tidur dengan dua bantal dikepala dan
diperberat dengan kelelahan. Pasien mempunyai alergi seafood, daging
sapi, debu, dingin, dan asap. Setiap terpapar alergen tersebut pasien
langsung gatal dan dada terasa berat untuk bernafas. Pasien juga
mengeluhkan sulit untuk jalan karena tambah sesak, jika dibuat berbicara
terasa berat sehingga hanya sepenggal saja. Pasien juga merasa pusing
nyut-nyutan, lemas, dan sulit untuk tidur. Batuk juga dikeluhkan tetapi
tidak sering, demam hanya sumer-sumer semalam. Mual muntah juga
dikeluhkan. Dari riwayat penyakit dahulu pasien menderita asma dan
terakhir kambuh sekitar 1 tahun yang lalu tanpa opname. Riwayat penyakit
DM dan hipertensi disangkal. Dari riwayat penyakit keluarga, ayah pasien
mempunyai alergi seafood dan daging sapi.
Dari pemeriksaan tanda-tanda vital, keadaan umumnya pasien
tampak lemah, kesadarannya compos mentis dengan GCS 456, nadi
88x/menit, Pernafasan 30x/menit, suhu 360C, tekanan darah 140/90
mmHg.
Dari pemeriksaan fisik, pada pemeriksan jantung didapatkan batas
jantung batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung kiri
ICS 5 MCL kiri. Pada pemeriksaan paru didapatkan whezzing dari kedua
lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan ekstremitas, semuanya dalam batas normal.
Dari pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan jumlah
neutrofil sebesar 89,00% dan penurunan limfosit sebesar 5,814% dan
eosinofil sebesar 0,167% dan MPV 6.5800 fl. Pada pemeriksaan serum
elektrolit didapatkan hasil kalium yang menurun yaitu sebesar 3,28
mEq/L.
o Assesment
Daftar Masalah Sementara Daftar Masalah Permanen Initial Assesment
(TPL) (PPL) (Diagnosis)
 Sesak nafas  Dispneau
 Sesak timbul setelah  Batuk
aktivitas, membaik dengan  tight of chest
tidur 2 bantal di kepala  alergi debu,anging,
 Alergi seafood, daging asap,seafood dan daging
Asma Bronchiale
sapi, debu, dingin, asap sapi
 Jika sesak, sulit untuk  rx atopi
berjalan dan berbicara  retraksi dada +
 Nyeri kepala seperti  whezzing +/+
tertekan  RR 30x/mnt
 Batuk tidak sering, mual  Chepalgia
muntah, demam sumer  Sulit tidur Tension Type Headache
 RPD: sesak 1 tahun yang  TD 140/90 mmHg
lalu
 Kalium 3,28 mEq/L Hipokalemia
 RPK: ayah alergi seafood
dan daging sapi
 Pemeriksaan fisik:
KU lemas, TD 140/90
mmHg, RR 30x/mnt,
retraksi dada +, whezzing
+/+
 Pemeriksaan penunjang:
Neutrofil 89.00%, limfosit
5.841%, eosinofil 0.167%,
mpv 6.580fl, kalium 3.28
mEq/L
o Planning

Planning Diagnostik Terapi Monitoring Edukasi

 DL  TTV
 Oksigen  Tidur posisi
 Foto thorax  SPO2
nasal 1-2 tpm kepala
 Pemeriksaan  Pem.
 Metal ditingikan
faal paru Spirometri
prednisolon  Hindari
 Uji reversible VEP1
ASMA 3x125mg stress
dengan
BRONKHIALE  Ambroxol  Menghindari
bronkodilator
3x1 tab factor
 Pem. Arus
 Nebul pencetus
puncak
combivent 2  Control
ekspirasi
vial teratur

 DL  Inf. RL  TTV
 Istirahat
 LED  Inj.  Keluhan
yang cukup
 CT Scan Ketorolac pasien
Tension Type  Ekg 3x1 amp
Headache  Paracetamol
3x500 mg
 Amlodipin 5
mg
Inf. KCl 25 mEq SE ulang Makan makanan
Hipokalemia Serum Elektrolit dalam 500cc PZ setelah tinggi kalium
dalam 24 jam koreksi (pisang)
FOLLOW UP 1
14 Maret 2019
S : pasien mengatakan sesak belum berkurang, berjalan ke kamar mandi
sedikit sesak, lebih enak posisi setengah duduk, makan lumayan
banyak, nyeri kepala sedikit diikat, susah tidur sejak tadi malam.

O : KU: lemah

TTV : TD : 160/80 mmHg


SPO2 : 86%
N : 88 x/menit
RR : 25 x/menit
K/L
: Pernapasan
A/I/C/D cuping hidung
-/-/-/+ (-/-)
Pembesaran tiroid (-) Pembesaran KGB (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)


Sonor
+ +
+ +
+ +
Vesikuler
+ +
+ +
+ +
Ronkhi
- -
- -
- -
Wheezing
+ +
+ +
+ +

Abdomen : Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar , lien,
ginjal tidak teraba, turgor normal, timpani

Extremitas : Hangat Kering Merah


+ +
+ +
Edema
- -
- -

FOLLOW UP 2
15 Maret 2019
S : Pasien mengatakan sesak sudah mulai berkurang, dibuat berbicara
sudah tidak sesak, nyeri dada tidak ada, batuk mulai mengeluarkan dahak,
nyeri kepala masih terasa tapi mulai berkurang, semalam sudah bias tidur,
makan minum lumayan banyak
O : KU: baik
TTV TD : 130/70 mmHg
T : 36,5 °C
N : 76 x/menit
RR : 22 x/menit
K/L : A/I/C/D -/-/-/+ Pernapasan cuping hidung (-/-)
Pembesaran tiroid (-) Pembesaran KGB (-)
T : Simetris, retraksi (-)
Sonor
+ +
+ +
+ +
Ronkhi basah halus
- -
- -
- -
Wheezing
+ +
+ +
+ +
Abdomen : Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar , lien,
ginjal tidak teraba, turgor normal, timpani

Extremitas : Hangat Kering Merah


+ +
+ +
Edema
- -
- -

FOLLOW UP 3
16 Maret 2019
S : Pasien mengatakan keadaan mulai membaik, sesak berkurang, nyeri
kepala berkurang, tadi pagi gemetar bagian tangan kemudian minum teh
manis hangat mulai membaik
O : KU: cukup
TTV : TD : 110/65 mmHg
T : 36,5 °C
N : 78 x/menit
RR : 20 x/menit

K/L : A/I/C/D -/-/-/+ Pernapasan cuping hidung (-/-)


Pembesaran tiroid (-) Pembesaran KGB (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Sonor
+ +
+ +
+ +
Vesikuler
+ +
+ +
+ +
Ronkhi
- -
- -
- -

Wheezing
+ +
+ +
+ +

Abdomen : Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar , lien,
ginjal tidak teraba, turgor normal, timpani

Extremitas : Hangat Kering Merah


+ +
+ +
Edema
- -
- -
FOLLOW UP 4
18 Maret 2019
S : Pasien mengatakan keadaan mulai membaik, sesak berkurang, nyeri
kepala berkurang, batuk mulai berkurang, tidur nyenyak semalam.
O : KU: cukup
TTV : TD : 110/65 mmHg
T : 36,5 °C
N : 78 x/menit
RR : 20 x/menit

K/L : A/I/C/D -/-/-/+ Pernapasan cuping hidung (-/-)


Pembesaran tiroid (-) Pembesaran KGB (-)

Thorax : Simetris, retraksi (-)

Sonor
+ +
+ +
+ +
Vesikuler
+ +
+ +
+ +
Ronkhi
- -
- -
- -

Wheezing
+ +
+ +
+ +
Abdomen : Flat, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), hepar , lien,
ginjal tidak teraba, turgor normal, timpani

Extremitas : Hangat Kering Merah


+ +
+ +
Edema
- -
- -
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Asma Bronkhiale


Pada pasien didiagnosis asma bronkhiale karena dalam anamnesis
didapatkan sesak nafas, batuk, rasa berat di dada. Selain itu pasien mempunyai
riwayat asma 1 tahun yang lalu, dan alergi debu, angin, seafood, daging sapi. Dari
hasil pemeriksaan didapatkan retraksi dada, dan wheezing pada kedua lapang
paru.
4.2 Tension Type Headache
Pada pasien didiagnosis Tension Type Headache karena dari anamnesis
pasien mengeluh pusing berputar.
4.3 Hipokalemia
Pada pasien didiagnosis hipokalemia karena dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan kaliumnya 3,38 mEq/L.
DAFTAR PUSTAKA

Aninditha, T. Wirawatman, W. 2017. Buku Ajar Neurologi Buku 2. Jakarta:


Penerbit Kedokteran Indonesia.
Anurogo, D. 2014. Tensio Type Headache. CDK-214. 41(3): 186 – 191.
Bendtsen L, Jensen R. Tension-Type Headache. Neurol Clin 2009;27:525–35.
Global Initiatif for Asthma. 2017. Global strategy for asthma management and
Prevention.
Hines & Marschall, 2008. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease,fifth
edition.Churchill Livingstone Elsevier. Chapter 15.
Kristen M. Rhoda, 2011 .Fluid and Electrolyte Management : Putting a Plan in
Motion JPEN J Parenter Enteral Nutr 35: 675.
Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto,
E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Marino, Paul L., 2007. The ICU book, third edition. Lippincott Williams and
Wilkins. Chapter 33.
National Center Health Statistic. 2016. Asthma.
http://www.cdc.gov/nchs/fastats/asthma.htm. ─ Diakses maret 2019.
N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract
downregulates C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur
Respir J 2011; 38: 50–58
Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, I. Alwi. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing.
Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252
WHO (2016). Asthma. http://www.who.int/mediacentre/factsheets.html. ─
Diakses Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai

  • Proposal Student Project
    Proposal Student Project
    Dokumen7 halaman
    Proposal Student Project
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • 27.4.3 Mastitis Tuberkulosa: 27.5.2 Fibroadenoma
    27.4.3 Mastitis Tuberkulosa: 27.5.2 Fibroadenoma
    Dokumen1 halaman
    27.4.3 Mastitis Tuberkulosa: 27.5.2 Fibroadenoma
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • METODE
    METODE
    Dokumen3 halaman
    METODE
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • ANS - CBD - TUMOR COLON - Dinda
    ANS - CBD - TUMOR COLON - Dinda
    Dokumen76 halaman
    ANS - CBD - TUMOR COLON - Dinda
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Cbd-Bab I
    Cbd-Bab I
    Dokumen1 halaman
    Cbd-Bab I
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen13 halaman
    Bab Ii
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Jur
    Jur
    Dokumen2 halaman
    Jur
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Maternal Complications With Vaginal Birt
    Maternal Complications With Vaginal Birt
    Dokumen8 halaman
    Maternal Complications With Vaginal Birt
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Metabolisme Kalsium
    Metabolisme Kalsium
    Dokumen8 halaman
    Metabolisme Kalsium
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan Soft Tissue Tumor
    Laporan Pendahuluan Soft Tissue Tumor
    Dokumen7 halaman
    Laporan Pendahuluan Soft Tissue Tumor
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • 1
    1
    Dokumen1 halaman
    1
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • 2
    2
    Dokumen1 halaman
    2
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • 10 13 1 SM
    10 13 1 SM
    Dokumen16 halaman
    10 13 1 SM
    Fikriatul Fadhilah Marala
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii PDF
    Bab Ii PDF
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii PDF
    Indah Nevhita L
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Penyuluhan Hemoroid Revisi
    Leaflet Penyuluhan Hemoroid Revisi
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Penyuluhan Hemoroid Revisi
    Eka Lesmana
    100% (1)
  • Refrat
    Refrat
    Dokumen13 halaman
    Refrat
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • CBD
    CBD
    Dokumen16 halaman
    CBD
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Herpes Zoster
    Herpes Zoster
    Dokumen14 halaman
    Herpes Zoster
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Psikiatri Kelompok F
    Lapsus Psikiatri Kelompok F
    Dokumen33 halaman
    Lapsus Psikiatri Kelompok F
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Tulang Hidung
    Fraktur Tulang Hidung
    Dokumen23 halaman
    Fraktur Tulang Hidung
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • CR Rifai Tifoid
    CR Rifai Tifoid
    Dokumen26 halaman
    CR Rifai Tifoid
    Analis Kesehatan 3
    Belum ada peringkat
  • PKRS
    PKRS
    Dokumen2 halaman
    PKRS
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • PKRS
    PKRS
    Dokumen2 halaman
    PKRS
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Web Pkrs Jiwa
    Web Pkrs Jiwa
    Dokumen1 halaman
    Web Pkrs Jiwa
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat
  • Psikiatri
    Psikiatri
    Dokumen2 halaman
    Psikiatri
    Bahtiar Nawabig H
    Belum ada peringkat