Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ILMU PENYAKIT PARU

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Pembimbing:

dr. Afan Fatkhur, Sp.P

Penyusun:

Firza N. Z. (2019.04.2.0084)

Florencia A. (2019.04.2.0085)

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS HANG TUAH
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan Judul:

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Yang disusun oleh:

Firza N. Z. (2019.04.2.0084)

Florencia A. (2019.04.2.0085)

Disetujui dan diterima sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSAL Dr. Ramelan Surabaya

Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya

Surabaya, 9 September 2019

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

dr. Afan Fatkhur, SpP

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai
tugas kepaniteraan klinik tentang penyakit paru obstruktif kronik.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin mengucapkan terimakasih yang


sebesar – besarnya kepada dr. Afan Fatkhur, SpP selaku dokter
pembimbing yang memberi arahan serta masukan kepada penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan referat ini

Dalam penulisan referat ini penulis menyadari adanya keterbatasan


kemampuandan pengetahuan yang dimiliki, sehingga referat ini masih jauh
dari kata sempurna untuk itu kritik dan saran sangat kami perlukan untuk
kesempurnaan referati ini. Akhir kata, semoga referat ini berguna bagi kita
semua. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih

Surabaya, 9 September 2019

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Saluran pernapasan merupakan jalur pernapasan yang paling


penting pada lingkungan industri. Berbagai jenis zat dapat terbawa dalam
udara lingkungan kerja. Efek paparan zat melalui saluran pernapasan
sangat beragam, tergantung pada konsentrasi dan lamanya pemaparan
serta status kesehatan orang yang terpapar. Umumnya gangguan
kesehatan sebagai akibat pencemaran udara terjadi pada saluran
pernapasan dan organ penglihatan. Salah satu dampak kronis dari
pencemaran udara adalah bronchitis dan emphysema. (Mulia, 2005).

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari


kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5
sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab
tersering kematian di Indonesia. (PDPI, 2003)

Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK


merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia dan akan
menempati urutan ke-tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Pada tahun 2002, 2004 dan 2005 Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat
PPOK di beberapa negara maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan
3,9%. Di negara berkembang masingmasing sebesar 7,6%, 7,45% dan
8,1% serta di negara miskin masing-masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%.
Angka-angka tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kematian
akibat PPOK di dunia. Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak
201 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal
akibat PPOK pada tahun 2005.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang


umum, dapat dicegah dan dapat diobati ditandai dengan gejala pernafasan
yang persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh jalan
nafas dan/atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh pemaparan
yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. (GOLD, 2019).

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh


gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi brinkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu,
akibat inflamasi kronik yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan
saluran napas kecil dan penurunan elastisitas rekoil paru. Bronkitis kronik
dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena : emfisema
merupakan diagnosis patologik dan bronkitis kronis adalah diagnosis klinis.
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara
dalam saluran napas (PDPI, 2016)

2.2. Epidemiologi

Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta


manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat
PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan
menjadi penyebab ke-tiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2008). Di
Indonesia, penduduk yang didiagnosis PPOK oleh tenaga kesehatan tahun
2013 adalah 3.7 persen. Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa
Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat,
dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Berdasarkan karakteristik
penduduk, prevalensi PPOK cenderung meningkat dengan bertambahnya
umur, pada pendidikan rendah, petani/buruh. (Kemenkes RI, 2013)

5
2.3. Faktor Resiko

Resiko perkembangan PPOK berkaitan dengan faktor-faktor berikut :

 Asap Rokok

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang


terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan
seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan
derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan
berat ( >600) (PDPI, 2016).

 Polusi Udara
- Polusi dalam ruangan : Asap rokok, asap dapur (kompor, kayu,
arang, dll)
- Polusi luar ruangan : Gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan
- Polusi di tempat kerja : Bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

 Infeksi Saluran Napas Berulang


Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar
timbulnya hiperaktivitas bronkus yang merupakan faktor resiko pada
PPOK.

 Sosial Ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan di luar ruangan, pemukiman padat, nutrisi
buruk dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi,
kemungkinan dapat menjelaskan ini.
 Tumbuh Kembang Paru

6
Studi menganalisa mennyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai
VEP1 pada masaanak.
 Genetik
Faktor resiko genetik yang paling sering adalah mutasi gen Serpina-1 yang
mengakibatkan kekurangan α-1 antitripsin sebagai inhibitor dari proteasi
serin.
 Jenis Kelamin
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa angka kesakitan dan kematian
PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, namun saat
ini angka kejadian hampir sama antara keduanya, terkait dengan
bertmbahnya jumlah perokok perempuan. (PDPI, 2016)

2.4. Patogenesis

Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran


napas, parenkim, dan vaskular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi
kronis terjadi karena peningkatan sel inflmasi kronis di berbagai bagian paru
yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan
perbaikan berulang.

Tabel 2.1 Perubahan patologis pada PPOK


Suara napas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2mm)
Perubahan struktural: sel goblet ↑, pembesaran kelenjar submukosa
(keduanya menyebabkan hipersekresi lendir) metaplasia sel epitel
skuamosa
Saluran napas perifer (bronkiolus diameter < 2mm)
Parenkim paru (bronchioles pernapasan dan alveoli)
Perubahan struktural: kerusakan dinding alveolus, apoptosis sel epitel
dan endotel
 Emfisema sentrilobular: dilatasi dan kerusakan bronkiolus; paling
sering terlihat pada perokok
 Emfisema panacinar: perusakan alveolus dan bronkiolus; paling
sering terlihat pada kekurangan α-1 antitrypsin

7
Pembuluh darah paru
Perubahan struktural: penebalan intima, disfungsi sel endotel, penebalan
otot polos (hipertensi pulmonal).

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang


melibatkan peningkatan jumlah sel CD8+ (sitotoksik) Limfosit T yang hanya
terjadi pada perokok, bersama sel neutrofil, makrofag melepaskan mediator
inflamasi dan enzim yang berinteraksi dengan sel saluran napas, parenkim
paru dan vaskular paru. (PDPI, 2016)

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi


karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,

8
fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama
obstruksi jalan napas. (PDPI, 2003)

2.5. Diagnosis PPOK

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan
gejala ringan hingga berat. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul
tanda dan gejala yang secara rinci dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2.2 Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya
waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Menetap sepanjang hari
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai “perlu usaha
untuk bernapas.”
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
Batuk kronik Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
berdahak PPOK
Riwayat terpajan Asap rokok
faktor resiko Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur
Riwayat keluarga
menderita PPOK

Bila salah satu indikator pada Tabel di atas ditemukan maka


pertimbangkan diagnosis PPOK dan uji spirometri untuk memastikan
diagnosa. (PDPI, 2016). PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang
menderita dispnea, batuk kronis atau produksi sputum, Dan / atau riwayat
terpapar faktor risiko penyakit. Riwayat medis rinci tentang pasien baru
yang diketahui, atau diduga, memiliki PPOK sangat penting. Spirometri
diperlukan untuk membuat diagnosis dalam konteks klinis ini; Kehadiran

9
post-bronchodilator FEV1 / FVC <0.70 mengkonfirmasikan adanya
pembatasan aliran udara persisten. Spirometri merupakan pengukuran
yang objektif terhadap terbatasnya aliran udara. Pengukuran Peak
expiratory flow (PEF) saja tidak dapat diandalkan sebagai tes diagnostik,
karena walaupun memilik sensitifitas yang baik, tapi spesifitasnya rendah.
(GOLD, 2017)

2.6. Gambaran Klinis

A. Anamnesis (Jindal, 2004)

1) Ada faktor risiko

 Usia > 45 tahun

 Riwayat pajanan: Asap rokok, polusi udara, polusi tempat

kerja

2) Gejala

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan

respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali

dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses

penuaan.

 Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang

tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.

 Berdahak kronik

Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus

menerus tanpa disertai batuk

 Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas

10
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak

nafas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak

dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan

ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 2.3 Skala sesak (Jindal, 2004).


Skala sesak Keluhan sesak berkaitan dengan aktivitas

0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik

tangga 1 tingkat

2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah

beberapa menit

4 Sesak bila mandi atau berpakaian

B. Pemeriksaan Fisik (PDPI, 2016)

1) Inspeksi

 Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut

mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi

sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO 2

yang terjadi pada gagal napas kronik.

11
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

sebanding)

 Penggunaan otot bantu napas

 Hipertropi otot bantu napas

 Pelebaran sela iga

 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis di leher dan edema tungkai

2) Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

3) Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak

diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

4) Auskultasi

 Suara napas vesikuler normal, atau melemah

12
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa

atau pada ekspirasi paksa

 Ekspirasi memanjang

 Bunyi jantung terdengar jauh

C. Pemeriksaan penunjang (PDPI, 2016)).

1) Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran:

 Hiperinflasi

 Hiperlusen

 Ruang retrosternal melebar

 Diafragma mendatar

 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye

drop appearance)

Pada bronkitis kronik:

 Normal

 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2) Pemeriksaan darah rutin

3) Faal paru: spirometri

- Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP

o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan

atau VEP1/KVP (%).

13
o Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75%.

o VEP1 % merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau

perjalanan penyakit.

o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat

dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti

harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

Pemeriksaan spirometer (PDPI, 2016).

14
- Uji bronkodilator

o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak

ada gunakan peak flow meter.

o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 4-

8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan

nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE

<20% nilai awal dan <200 ml

Uji brokodilator pada PPOK

15
2.7. Diagnosis Banding

Beberapa penyakit paru atau di luar paru bisa memberikan


gambaran menyerupai PPOK (PDPI, 2016). Diagnosa banding yang
utama adalah asma. Pada beberapa pasien dengan asma kronik.
Diagnosa banding lain nya antara lain, Tuberculosis, Pneumotoraks,
Gagal jantung kongestif, Bronkiektasis, Bronchiolitis. (GOLD, 2017)

16
2.8. Klasifikasi

Klasifikasi PPOK berdasarkan tingkat keparahan limitasi udara.


Spirometri harus dilakukan setelah pemberian dosis yang cukup sedikitnya
satu bronkodilator inhalasi short-acting untuk meminimalkan variabilitas.
Perlu dicatat bahwa hanya ada korelasi lemah antara FEV1, gejala dan
penurunan status kesehatan pasien. Untuk alasan ini, penilaian gejala
formal juga diperlukan. (GOLD, 2017)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD) 2017, dibagi atas 4 derajat :

Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).


Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%
Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa
fungsi parunya abnormal.

17
Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%;


50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas.
Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena
sesak nafas yang dialaminya.

Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang


semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% ; VEP1 < 50% prediksi).
Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan
dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup
pasien.

Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <


70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik.

2.9.Manajemen

Tujuan penatalaksanaan pada PPOK diantaranya : mengurangi dan


menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan dan kualitas hidup,
mengurangi resiko yakni mencegah progresifitas penyakit,mencegah dan
mengobati eksaserbasi, dan mengurangi kematian. (PDPI, 2016).

Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi :

18
 Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan
progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru (PDPI, 2016)
 Berhenti Merokok
Berhenti merokok merupakan intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi resiko berkembangnya PPOK. Strategi untuk membantu
pasien berhenti merokok 5A. : Ask, Advise, Asses, Assist, Arrange.

 Obat-Obatan
. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga
jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek
panjang (long acting). (GOLD, 2017)

2.9.1. Bronkodilator

Bronkodilator dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari


ketiga jenis bronkodilator dan sesuaikan dengan klasifikasi derajatvberat
penyakit. (PDPI, 2016). Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi
eksaserbasi PPOK adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon
segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan
antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih
kontroversial. (GOLD, 2009).

2.9.2. Terapi Oksigen

19
Indikator terapi oksigen apabila PaO2 < 55 mmHg Sat O2 < 88%
dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfirmasi dua kali selama periode
tiga minggu. Dan apabila PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 >
89%diserati cor pulmonal, perubahan P pulmonal, Ht > 55% dan tanda-
tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.

Macam terapi oksigen yaitu pemberian oksigen jangka panjang


(Long Term Oxygen Therapy= LTOT), pemberian oksigen pada waktu
aktivitas, pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak, dan
pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas (PDPI, 2016).

2.9.3. Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanis pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan


gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. (PDPI, 2016).

Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV),


baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan
ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi.
(GOLD, 2009).

2.10. Komplikasi

Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit


yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel, seperti : Gagal napas,
Infeksi berulang, hipertensi pulmoner, cor pulmoner, gagal jantung
kongestif, dan pneumothoraks (PDPI, 2016). Pada pasien PPOK produksi
sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Komplikasi yang lain adalah Kor pulmonale yang ditandai oleh Hematokrit
> 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan. (PDPI, 2003)

2.11. Preventif

20
PPOK dapat dicegah menghindari faktor resikonya seperti dengan
menghindari asap rokok (berhenti merokok), menghindari polusi udara, dan
menghindari infeksi saluran napas berulang. (PDPI, 2003)

21
DAFTAR PUSTAKA
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2019. Global Strategy for
The Diagnosis, Management,and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2017. Pocket Guide to
COPD Diagnosis, Management, and Prevention.

Jindal SK, Gupta D, Anggarwal AN, 2004. Guidelines for Management of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) in India. Indian J Chest Dis Allied
Sci [Internet]. [cited 15 August 2017]. Available from :
http://medind.nic.in/iae/t04/i2/iaet04i2p137.pdf

Kementrian Kesehatan RI. “Riset Kesehatan Dasar”. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI; 2013.

Mulia R.M.2005. Kesehatan Lingkungan.Yogyakarta. Graha Ilmu.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. “Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan PPOK di Indonesia”.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2016. “Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan PPOK di Indonesia”.

World Health Organization, 2008. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)


In: http://www.who.int/respiratory/copd/en/. Diakses : 5 Agustus 2017

World Health Organization, 2017. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)


In: http://www.who.int/respiratory/copd/en/. Diakses : 5 Agustus 2017

22

Anda mungkin juga menyukai