Anda di halaman 1dari 32

ASKEP KLIEN DENGAN POLYNEUROPATHIES (GUILLAIN BARRE SYNDROME,

BOTULISM, TETANUS, NEUROSYPILIS)

OLEH :

KELOMPOK 10

NUR FUADI NISAH DARWIS C051171306

RAHMA MAULIDIA C051171310

ARMAWATI C051171320

NUR ASYIFA MURSALIM C051171028

ANDI RANI ALFIANI MAHAJAYA C051171516

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca untuk
kedepannya, sehingga dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 9 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guillainbarre syndrome (GBS) adalah penyakit langka dimana sistem kekebalan
seseorang meyerang sistem syaraf tepi yang menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot
bahkan apabila parah bisa menyebabkan kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh bagian tubuh kita itu
rusak. Kerusakan ini menyebabkan kesulitan dalam menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Botulism / botulismus merupakan penyakit yang bersifat neuroparalitik (melumpuhkan
syaraf), dan biasanya berakibat fatal. Penyakit ini dapat menyerang manusia, ungags, hewan
mamalia, ikan yang disebabkan karena paparan toksin dari berbagai biotipe Clostridium
botulinum (C.botulinum). pada manusia telah dikenal food borne botulism (botulismus akibat
tertelannya C.botulinum dan neurotoksinnya bersama makanan), infant botulism (botulismus
akibat tertelannya spora C. botulinum toksigenik), infectious botulism (botulismus akibat
berkembangnya C.botulinum dalam usus setelah proses pembedahan atau luka di daerah perut),
dan inhalation botulism atau botulismus akibat terhirupnya neurotoksin botulinum melalui saluran
pernafasan.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh C. tetani yang ditendai dengan kekuatan otot dan spasme yang periodic dan berat. Tetanus
dapat didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau kontraksi otot yang menyebabkan nyeri
(biasanya ada pada tulang rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab
lain serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.
Neurosypilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifilis koinfeksi
dengan human immunodeficiency virus (HIV). Nerosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier,
tetapi dapat terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Neurosifilis
dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu asimtomatik, meningeal, parenkimatosa dan gumatosa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
2. Apa etiologi dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
3. Apa saja manifestasi klinik dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis?
4. Bagaimana patofisiologi pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis?
5. Apa saja penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis?
6. Apa pemeriksaan penunjang pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
2. Untuk mengetahui Apa etiologi dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
3. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinik dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis
5. Untuk mengetahui Apa saja penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Guillainbarre
syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
6. Untuk mengetahui apa pemeriksaan penunjang pada Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis
7. Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan dari Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Sindrom Guillain-Barre
1. Definisi dan Etiologi
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah serangan autoimun myelin saraf perifer yang
menghasilkan demielinasi segmental akut dan cepat pada saraf perifer dan beberapa saraf kranial,
menghasilkan kelemahan yang meningkat dengan dyskinesia (ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan volunter), hyporeflexia, dan parestesia (mati rasa). Dalam 66% kasus ada
faktor predisposisi, yang paling sring adalah infeksi saluran pernafasan atau gastrointestinal,
meskipun vaksinasi, kehamilan dan operasi juga diindentifikasi sebagai kejadian yang
mendahului. Infeksi dengan campylobacter jejuni (pathogen bakteri gastrointestinal yang relative
umum) mendahului sindrom guillain bare dalam beberapa kasus. Peristiwa anteseden (paling
sering infeksi virus) mempercepat presentasi klinis (Williams & Wilkins, 2010).

2. Manifestasi klinik
 Gambaran klinis klasik GBS termasuk areflexia dan kelemahan, meskipun mungkin ada
variasi dalam presentasi. GBS tidak memengaruhi fungsi kognitif atau tingkat kesadaran.
 Gejala awal meliputi kelemahan otot dan berkurangnya refleks pada ekstremitas bawah;
hyporeflexia dan kelemahan dapat berkembang menjadi tetraplegia; demielinasi saraf
yang menginervasi diafragma dan otot interkostal menyebabkan kegagalan pernapasan.
 Gejala sensorik meliputi parestesia tangan dan kaki dan nyeri yang berhubungan dengan
demielinasi sensorik serat.
 Demielinisasi saraf optik dapat menyebabkan kebutaan.
 Kelemahan otot bulbar yang berhubungan dengan demielinasi saraf glossofaringeal dan
vagus menyebabkan ketidakmampuan menelan atau mengeluarkan sekresi.
 Demielinisasi saraf vagus menyebabkan disfungsi otonom, dimanifestasikan oleh
ketidakstabilan sistem kardiovaskular (takikardia, bradikardia, hipertensi, atau ortostatik
hipotensi).

3. Patofisologi
Myelin adalah substansi kompleks yang membungkus saraf, yang mempercepat konduksi
impuls dari tubuh sel ke dendrit. Sel yang menghasilkan mielin dalam sistem saraf tepi adalah sel
Schwann. Pada kasus Guillain-Barré sel Schwann dapat bertahan yang memungkinkan untuk
remielinasi pada fase pemulihan penyakit.
Guillain-Barré adalah hasil dari serangan kekebalan yang dimediasi sel pada protein
myelin saraf perifer. Teori yang paling diterima adalah bahwa organisme infeksius mengandung
asam amino yang meniru protein myelin saraf perifer. Sistem kekebalan tidak dapat
membedakan antara dua protein dan serangan dan menghancurkan myelin saraf perifer. Studi
menunjukkan bahwa lokasi yang tepat dalam sistem saraf tepi, ganglioside GM1b, adalah target
serangan imun yang paling mungkin. Dengan serangan autoimun terdapat gelombang makrofag
dan agen-agen yang dimediasi kekebalan lain yang menyerang mielin, menyebabkan peradangan
dan kerusakan, dan membuat akson tidak mampu mendukung konduksi saraf.

4. Penatalaksanaan
 GBS dianggap sebagai darurat medis; pasien dikelola di unit perawatan intensif.
 Masalah pernapasan mungkin memerlukan terapi pernapasan atau ventilasi mekanis.
 Intubasi elektif dapat dilakukan sebelum timbulnya kelelahan otot pernapasan ekstrem.
 Agen antikoagulan dan stoking antiembolisme atau boot kompresi berurutan dapat
digunakan untuk mencegah trombosis dan emboli paru.
 Plasmapheresis (pertukaran plasma) atau imunoglobulin intravena (IVIG) dapat
digunakan untuk secara langsung memengaruhi tingkat antibodi mielin saraf perifer.
 Pemantauan EKG berkelanjutan: Amati dan rawat jantung disritmia dan komplikasi
otonom labil lainnya penyelewengan fungsi. Takikardia dan hipertensi diobati dengan
obat-obatan yang bekerja singkat seperti agen-agen penghambat alpha-adrenergik.
Hipotensi dikelola dengan meningkatkan jumlah cairan intravena yang diberikan.
6. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya
normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin
dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit dcenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur
jaringan.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)


Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar
protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961,
disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya
jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari
pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai
naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis.
Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.
 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir
minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan
gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%),
konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu
kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal
latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi
elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang
menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang
menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS.
 Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu setelah
awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan
tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
 Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat
limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase lanjut,
infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan demielinasi
segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer dapat terkena
pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun
lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuklear lain juga didapati pada pembuluh
limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13
setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan pada radiks
kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda
equina mengindikasikan kerusakan pada barier darah- saraf. Hal ini dapat terlihat pada
95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien
dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu
pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas
diagnostic tambahan terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil
yang samar.
 Pemeriksaan lain
Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi (EKG) yang
biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan tidak
diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin Kinase biasanya normal atau
meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya
menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi
dan mekanisme ventilasi

7. Pengkajian
 Kaji tehadap gagal pernafasan akut, masalah yang mengancam jiwa
 Kaji terhadap komplikasi termaksuk distritmia jantung, trombosis vena profunda (DVP),
dan embolisme pulmonal.
8. Rencana Keperawatan
Diagnosa Outcome Intervensi
Ketidakseimbangan Status menelan Terapi menelan
nutrisi: kurang dari Kriteria hasil: Aktivitas- aktivitas:
kebutuhan tubuh 1. Dapat mempertahankan 1. Tentukan kemampuan pasien
Batasan Karakteristik: makanan di mulut untuk memfokuskan
1. Kelemahan otot 2. Menangani sekresi mulut perhatian pada belajar/
untuk menelan 3. Peningkatan kemampuan melakukan tugas makan dan
2. Kelemahan otot mengunyah makanan menelan
pengunyah 4. Reflek menelan sesuai 2. Monitor pergerakan lidah
dengan waktunya pasien selama makan
Faktor yang berhubungan: 5. Tidak terjadi batuk, 3. Monitor menutupnya bibir
1. Ketidakmampuan muntah dan tersedak saat selama makan, minum dan
makan makan menelan
6. Perasaan tidak nyaman 4. Monitor tanda-tanda
(NANDA Domain 2. Nutrisi, dengan menelan dapat kelelahan selama makan,
Kelas 1. Makan hlm. 177) berkurang minum dan menelan
5. Monitor berat badan
NOC, hlm. 541 6. Bantu pasien untuk
memposisikan kepala fleksi
menghadap ke depan sebagai
persiapan menelan (dagu
dilipat)
7. Bantu pasien untuk
menempatkan makanan ke
mulut bagian belakang
8. Sediakan periode istirahat
sebelum makan/ latihan untuk
mencegah kelelahan
9. Bantu untuk menjaga intake
cairan dan kalori yang
adekuat
10. Ajari pasien untuk
mengatakan “ahs” untuk
meningkatkan elevasi langit-
langit halus, jika diperlukan
11. Instruksikan pasien/ pemberi
perawatan untuk memantau
gejala pasien tersedak
12. Instruksikan pasien untuk
tidak berbicara selama
makan, jika diperlukan
13. Konsultasikan dengan terapis
dan atau dokter untuk
meningkatkan konsistensi
makan pasien secara bertahap

NIC, hlm. 441-442


Hambatan Mobilitas Fisik Pergerakan sendi: Pasif Terapi Latihan: Mobilitas Sendi
Batasan Karakteristik: Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
1. Keterbatasan rentan 1. Peningkatan pergerakan 1. Tentukan batasan pergerakan
gerak pergelangan tangan sendi dan efeknya terhadap
2. Ketidaknyamanan kanan dan kiri fungsi sendi
2. Peningkatan pergerakan 2. Tentukan level motivasi
Faktor yang berhubungan: bahu dan siku pasien untuk meningkatkan
1. Penurunan kekuatan 3. Peningkatan pergerakan atau memelihara pergerakan
otot pergelangan kaki kanan sendi
2. Nyeri dan kiri 3. Monitor lokasi dan
4. Peningkatan pergerakan kecenderungan adanya nyeri
(NANDA Domain 4. lutut dan panggul dan ketidaknyamanan selama
Aktivitas/ Istirahat, Kelas 2. pergerakan atau aktivitas
Aktivitas/ Olahraga, hlm. NOC, hlm. 456-457 4. Pakaikan baju yang tidak
232) menghambat pergerakan
pasien
5. Inisiasi pengontrolan nyeri
sebelum memulai latihan
sendi
6. Bantu pasien mendapatkan
posisi tubuh yang optimal
untuk pergerakan sendi pasif
maupun aktif
7. Bantu pasien untuk
melakukan pergerakan sendi
yang ritmis dan teratur sesuai
kadar nyeri yang bias
ditoleransi, ketahanan dan
pergerakan sendi
8. Bantu pasien untuk membuat
jadwal latihan ROM aktif
9. Dukung latihan ROM aktif,
sesuai jadwal yang teratur dan
terencana
10. Dukung pasien untuk duduk
di tempat tidur, di smaping
tempat tidur “menjuntai” atau
dikursi, sesuai toleransi
11. Kolaborasi dengan ahli terapi
fisik dalam mengembangkan
dan menerapkan sebuah
program latihan

NIC, hlm. 440-441


Ketidakefektifan Pola Status Pernapasan: ventilasi Monitor Pernafasan
Nafas Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
Batasan karakteristik: 1. Frekuensi pernafasan 1. Monitor kecepatan, irama,
1. Dyspnea 2. Irama pernafasan kedalaman dan kesulitan
2. Pola napas abnormal 3. Kedalaman pernafasan bernafas
(mis, irama, 4. Penggunaan otot bantu 2. Catat pergerkan dada, catat
frekuensi, nafas dapat berkurang ketidaksimetrisan,
kedalaman) 5. Tidak ada suara nafas penggunaan otot-otot bantu
3. Penggunaan otot tambahan nafas
bantu pernafasan 6. Dyspnea saat beristirahat 3. Monitor suara nafas
dapat berkurang tambahan seperti ngorok atau
Faktor yang berhubungan: mengi
1. Keletihan otot NOC, hlm. 519-520 4. Monitor pola nafas
pernafasan 5. Monitor saturasi oksigen
6. Monitor kelelahan otot-otot
(NANDA Domain 4. diafragma
Aktivitas/ Istirahat, Kelas 4. 7. Monitor peningkatan
Respon Kardiovaskular/ kelelahan, kecemasan dan
Pulmonal, hlm. 243) kekurangan udara pada pasien
8. Monitor keluhan sesak nafas
pasien, termasuk kegiatan
yang meningkatkan atau
memperburuk sesak nafas
tersebut
9. Berikan bantuan terapi nafas
jika diperlukan

NIC, hlm. 236-237


Penurunan Curah Jantung Keefektifan Pompa Jantung Perawatan Jantung
Batasan karakteristik: Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
1. Brakikardia 1. Distritmia 1. Monitor tanda-tanda vital
2. Takikardia 2. Denyut jantung apical secara rutin
3. Denyut nadi perifer 2. Monitor distritmia jantung,
Faktor yang berhubungan: 4. Dyspnea saat istirahat termasuk gangguan ritme dan
1. Perubahan irama berkurang konduksi jantung
jantung 3. Monitor toleransi aktivitas
2. Perubahan frekuensi NOC, hlm. 115 pasien
jantung 4. Evaluasi perubahan tekanan
3. Perubahan volume darah
sekuncup 5. Catat tanda dan gejala
penurunan curah jantung
(NANDA Domain 4. 6. Lakukan terapi relaksasi,
Aktivitas/ Istirahat, Kelas 4. sebagaimana mestinya
Respon Kardiovaskular/ 7. Lakukan penilaian
Pulmonal, hlm. 245) komperhensif pada sirkulasi
perifer secara rutin sesuai
kebijakan agen
8. Sediakan terapi antiaritmia
sesuai kebijakan (mis, obat
antiaritmia) sebagaimana
mestinya

NIC, hlm. 364-365

B. Botulism
1. Definisi
boutulisme adalah penyakit paralitik serius yang disebabkan oleh racun saraf yang
diproduksi oleh bakteri Clostridium Botulinum. botulinum adalah substansi paling beracun yang
diketahui. terdapat dua jenis toksin botulinum yang menjadi perhatian dalam bioterorisme, yaitu
bentuk yang disebarkan melalui makanan dan bentuk yang dihirup. Botulisme yang disebarkan
malalui makanan dapat sangat berbahaya karena banyak orang dapat diracuni dengan
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. (Baughman & Hackley, 2000)
Botulisme melalui makanan dapat terjadi dari makanan asam rendah yang terkontaminasi
seperti asparagus, kacang hijau, bit dan jagung. wabah botulsime telah dilaporkan akibat bawang
putih cincang dalam minyak. cabai, tomat, kentang panggang dalam aluminium foil yang tidak
ditangani dengan benar, dan ikan fermentasi atau ikan kalengan rumah.

2. Etiologi
Penyebab botulismus adalah neurotoksin dari Clostridium botulinum yang merupakan
bakteria berspora, berbentuk batang, Gram positif dan bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum
tersebar dalam tanah, tumbuh-tumbuhan, isi usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam
kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang dapat menghasilkan toksin.
Hal ini yang menyebabkan C. botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin dalam
kondisi anaerobik seperti pada bangkai hewan ataupun dalam makanan kalengan. (Natalia &
Priyadi, 2012)
Botulismus merupakan gejala intoksikasi yang terjadi karena aktivitas neurotoksin
botulinum. Ada 8 tipe C. botulinum yaitu A, B, C1, C2, D, E, F dan G yang menghasilkan toksin
berbeda secara imunologis. Botulismus pada manusia disebabkan terutama oleh neurotoksin dari
tipe A, B dan E dan terkadang tipe F. Sedangkan tipe C dan D menyebabkan botulismus pada
hewan (unggas, sapi dan kuda). Tetapi, ada beberapa reaksi silang serum diantara serotipe
tersebut, karena adanya kesamaan beberapa sekuens yang homolog seperti yang terjadi juga pada
toksin tetanus. Clostridial C2 sitotoksin adalah enterotoksin tetapi bukan neurotoksin. Toksin ini
menyerang permeabilitas vaskular multi organ melalui kerusakan seluler dari aksinya pada
polimerisasi actin dalam kerangka sel selular dan telah diimplikasikan sebagai penyakit enterik
yang fatal pada burung air. (Natalia & Priyadi, 2012)

3. Manifestasi klinis botulisme

Manifestasi klinis klasik dari paparan toksin botulinum bergantung pada jumlah toksin
yang diserap kedalam sirkulasi. manifestasi botulisme meliputi penglihatan rendah, penglihtan
ganda, penglihatan kabur, kelopak mata terkulai, bicara tidak jelas, kesulitan menelan, mulut
kering, dan kelemahan otot. semua manifestasi tersebut terjadi akibat paralisis otot yang
disebabkan oleh toksin bakteri. jika tidak diobati, manifestasi ini berlanjut dan menyebabkan
kelumpuhan tangan, kaki, badan, dan oto pernafasan.
Pada botulisme yang terjadi melalui makanan, gejala umumnya dimulai 18- 36 jam
setelah makan makanan yang terkontaminasi tetapi dapat juga terjadi paling cepat 6 jam atau
paling lambat 10 hari. Oleh karena itu, makanan yang diduga terkontaminasi harus didinginkan
sampai diambil oleh petugas departemen kesehatan masyarakat. cara yang paling cepat untuk
memastikan diagnosis botulisme adalah dengan medekteksi toksin botulinum yang ada di dalam
serum atau veses. (Baughman & Hackley, 2000)

4. Patofisiologi
Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui
kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh
dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena
lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang
utuh.
Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan
menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy
chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer. Toksin
kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain dari toksin
menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light
chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protein
yang membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein soluble
Nethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors (SNARE), termasuk
synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin tipe C),
dan synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe A, C, E) (Natalia &
Priyadi, 2012).

Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE sebelum


terjadi pemecahan (BREIDENBACH dan BRUNGER, 2004). Kompleks synaptic fussion akan
menyatukan vesikel synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan membran terminal neuron.
Pecahnya kompleks synaptic fussion mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang
akan mencegah pelepasan acetylcholine ke dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine
neuronal, otot yang berhubungan tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade
pelepasan acetylcholine dapat berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan
lambat melalui kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps
yang baru. Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau
kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Pengaruh langsung botulinum neurotoxin (BoNT) pada sistem syaraf pusat belum dapat
diperlihatkan secara jelas. BoNT tidak dapat melakukan penetrasi ke blood-brain barrier karena
ukurannya yaitu 150kDa, Pengaruh BoNT pada neuromuscular junction dan organ otot dapat
mempengaruhi sistem syaraf pusat secara tidak langsung.

6. Penatalaksanaan botulisme
 Terapi untuk botulisme dianggap sebagai terapi pendukung dengan imunisasi pasif
menggunakan anti toksin equine.
 Pemberian antibodi penetralisasi secara tepat waktu akan membantu meminimalkan
kerusakan saraf dan tingkat keparahan penyakit , tetapi tidak akan menyembuhkan
paralisis yang sudah terjadi. Perawatan suportif dapat mencakup pemberian nutrisi
enternal atau parenteral, perawatan intensif, dan ventilasi mekanik.
 ,Gagal nafas dan kelumpuhan yang terjadi pada botulisme yang parah dapat
membutuhkan ventilasi mekanis selama berminggu-minggu.
 Botulisme yang ditularkan melalui makanan dan luka dapat diobati dengan anti toksin
yang menghambat kerja toksin. Makanan terkontaminasi yang masih berada di dalam
usus dapat dikeluarkan sebagian dengan menginduksi muntah atau menggunakan enema.
 Luka harus diobati yang biasanya melalui pembedahan untuk menghilangkan sumber
bakteri yang menghasilkan toksin.
 Setelah terpapar infeksi yang diduga botulisme, pakaian dan kulit harus dicuci dengan
sabun dan air. Permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan larutan
hipoklorit 0,1%

7. Rencana Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Ketidakefektifan Pola Napas Status Pernafasan (0415) Monitor Pernafasan (3350)
(00032) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- Irama pernafasan normal - Monitor saturasi oksigen pada
Domain 4 : Aktivitas/Istirahat - Kedalamam inspirasi pasien yang tersedasi sesuai
Kelas 4 : Respons Kardiovaskuler normal dengan protocol yang ada
/ Pulmonal - Tes fungsi paru normal - Monitor nilai fungsi paru,
Batasan karakteristik: NOC Hal 556 terutama kapasitas vital paru,
- Penrunan kapatisas vital volume inspirasi maksimal,
- Pola nafas abnormal ( Status Pernafasan : Petukaran volume ekspirasi maksimal
mis. Irama, frekuensi, Gas (0402) selama 1 detik sesuai dengan
kedalaman) Kriteria hasil : data yang tersedia
- Tidak ada dispnea saat - Monitor keluhan sesak nafas
Faktor yang Berhubungan : istirahat pasien, termkasuk kegiatan yang
- Disfungsi neuromuscular - Tidak ada perasaan kurang meningkatkan atau
NANDA Hal 243 istirahat memperburuk sesak nafas
- Tekanan parsial oksigen di tersebut
darah arteri normal NIC Hal 236
NOC Hal 559 Terapi Oksigen (3320)
Aktivitas-aktivitas :
Kelelahan : efek yang - Berikan oksigen tambahan
mengganggu (0008) seperti yang diperintahkan
Kriteria Hasil : - Monitor efektifitas terapi
- Penurunan energy ringan oksigen misalnya tekanan
NOC Hal 122 oksimetri dengan tepat
NIC Hal 444

Stabilisasi dan Membuka Jalan Nafas


(3120)
Aktivitas-aktivitas :
- Bantu pemasngan tube
endotrakeal dengan
mengumpulkan peralatan
intubasi dan peralatan darurat
yang dibutuhkan, atur posisi
pasien, berikan pengobatan
sesuai resep, dan monitor pasien
akan adanya komplikasi saat
pemasangan
- Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentan prosedur
intubasi
- Monitor satu rasioksigen dengan
tekanan oksimetri yang tidak
invasive dan deteksi karbon
dioksida
NIC Hal 423

Manajemen Jalan Napas Buatan


(3180)
Aktivitas-aktivitas :
- Mempertahankan perkembangan
balon endotrakeal/trakeostoma
pada tekanan 15 mmHg selama
ventilasi mekanik, selama dan
setelah pemberian makan
- Lakukan penyedotan endotrakeal
jika diperlukan
- Monitor warna, jumlah, dan
konsistensi mucus/secret
- Jika diperlukan lakukan
perlindungan ntuk mencegah
deknulasi spontan (misalnya ;
berikan tali atau plester berikan
obat sedated dan agen pelumpuh
otot, memasangkan pengekang
pada lengan)
NIC Hal 186

Hambatan Mobilitas Fisik Pergerakan (0208) Terapi latihan : Kontrol Otot ( 0226)
(00085) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- KInerja pengaturan tubuh - Bantu pasien untuk berada pada
Domain 4 : Aktivitas / Istirahat tidak terganggu posisi duduk atau berdiri untuk
Kelas 2 : Aktivitas/ Olahraga - Gerakan otot normal melakukan protocol latihan,
Batasan karateristik : - Koordinasi tidak terganggu sesuai kebutuhan
- Penurunan kemampuan NOC Hal 452 - Dorong pasien untuk
melakukan keterampilan mempraktikkan latihan secara
motorik kasar Koordinasi Pergerakan (0212) mandiri, sesuai kebutuhan
- Penurunan kemampuan Kriteria Hasil : - Monitor emosi pasien,
melakukan keterampilan - Kecepatan gerakan normal kardiovaskuler, dan respon
motorik halus - Kehalusan gerakan normal ufngsional terhadap protocol
Faktor yang Berhubungan : - Kontrol gerakan tidak latihan
- Gangguan neuromuscular terganggu - Berikan dukungan positif
NANDA Hal 232 - Keseimbangan gerakan terhadap usaha pasien dalam
baik latihan dan aktivitas fisik
NOC Hal 280 NIC Hal 439
Kemampuan Berpindah (0210)
Kriteria Hasil : Terapi Latihan : Mobilitas
- Berpindah dari tempat tidur (pergerakan) sendi (0224)
ke kursi Aktivitas-aktivitas :
NOC Hal 124 - Bantu pasien mendaparkan
posisi tubuh yang optimal untuk
Toleransi Terhadap Aktivitas pergerakan sendi pasif maupun
(0005) aktif
Kriteria Hasil : - Dukung pasien untuk duduk
- Frekuensi nasi ketika ditempat tidur, disamping tempat
beraktivitas tidak terganggu tidur, atau dikursi, sesuai
- Kemudahan bernafas ketika kebutuhan
beraktivitas - Sediakan dukungan positif
NOC Hal 582 dalam melakukan latihan sendi
NIC Hal 440

Bantuan Perawatan Diri : Transfer


(1806)
Aktivitas-aktivitas :
- Pertimbangkan kemampuan
klien saat ini untuk
memindahkan diri sendiri (
misalnya tingkat mobilitas,
keterbatasan gerak, kemampuan
untuk berdiri danmenahan berat)
- Pilih teknik transfer atau
perpindahan yang cocok bagi
klien
- Pertimbangkan jumlah dan tipe
bantuan yang dibutuhkan
- Angkat dan gerakkan klien
dengan hidrolik pengangkat jika
dibutuhkan
- Evaluasi klien terkait dengan
kesejajaran tubuh yang baik
diakhir perpindahan, tidak
adanya sumbatan dalam selang,
sprei yang kusutm dan mampu
memencet bel sesuai jangkauan
NIC Hal 83

Manajemen Energi (0180)


Aktivitas-aktivitas :
- Monitor sistem kardiorespirasi
pasien selama kehiatan
(misalnya takikardi, disritmia,
dyspnea, pucat, tekanan
hemodinamik, frekuensi
pernafasan)
NIC Hal 177

Risiko Disfungsi Motilitas Eliminasi Usus (0501) Pemberian obat (2300)


Gastrointestinal (00197) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- Pola eliminasi tidak - Monitor klien terhadap efek
Domain 3 : Eliminasi dan terganggu terapeutik untuk semua obat-
Pertukaran - Tidak ada suara bising usus obatan
Kelas 2 : Fungsi Gastrointestinal NOC Hal 86 - Dokumentasikan pemberian obat
Faktor Risiko : dan respon klien sesuai dengan
- Penyiapan yang kurang Fungsi Gastrointestinal (1015) protokol
higienis Kriteria Hasil : NIC Hal 253
NANDA Hal 218 - Toleransi terhadap
makanan Manajemen Muntah (1570)
- Jumlah residu cairan Aktivitas-aktivitas :
lambng ketika aspirasi - Ukur atau perkirakan volume
- Refluks lambung emesis
NOC Hal 87 -Berikan obat antiemetik yang
efektif diberikan untuk
Respon Pengobatan (2301) mencegah muntah bila
Kriteria Hasil : memnugnkinkan
- Efek terapeutik yang - Monitor keseimbanagn cairan
diharapkan dan elektrolit
NOC Hal 519 NIC Hal 196

Perawatan Tabung : Gastrointestinal


(1874)
Aktivitas-aktivitas :
- Pantau terkait penempatan
tabung yang benar
- Sambungkan selang ke suction
jika diperlukan
- Monitoe adanya sensasi
kenyang, mual dan muntah
- Monitor jumlah warna dan
konsistensi output nasogastric
NIC Hal 388

C. Tetanus
1. Definisi
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin
(tetanuspasmin) bakteri clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang anaerob,
sporanya dapat bertahan ditanah dalam menginfeksi luka yang terkontaminasi. C.tetani dapat
menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanopasmin. Efek tetanolisisn mash
belum diketahui pasti. Tetanopasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis
penyebab tetanus (Surya, 2016).

2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum (Surya, 2016).

3. Manifestasi klinis
Periode inkubasi bervarisasi 3-21 hari dengan rata-rata 8 hari. Makin jauh lokasi luka dari
SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi berkaitan dengan peningkatan
resiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga
ke-14 setelah melahirkan dengan rerata 7 hari. Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot
rangka dalam bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter , tonik,
sedangkan spasme merupakan kontraki oto yang berlangsung lebih singkat, dpaat dirangsang oleh
peregangan otot atau stimulasi sensori sehingga disebut sebagai refleks spasme.

Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, local, dam sefalik. Sekitar 80%
tetanus merupakan tipe generalisata. Tetanus lokal jarang dengan presentasi kontraski oto
persisten di area anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini dapat menjadi awal dari
tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitasr 1% menjadi fatal. Tetanus sefalik jarang
terjadi, biasanya pada otitis atau pasca trauma kepala dengan gejala terutama di area facial.
Tetanus generalisata tampak dengan pola menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus
diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan regiditas otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit
terpengaruh; jika terdapat opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti
posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu, berkeringat, peningkatan tekanan darah,
dan takikardi episodic. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin
yang dapat berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.
Toksin tetanus dapat menyerang saraf sesori yang menyebabkan perubahan sensasi seperti nyeri
dan alodinia. Toksin tidak dapat menyebrangi ganglia sensori spinal, sehingga efek sensori
seharusnya terjadi diperifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensori terjadi
sentral di medulla spinalis atau batang otak. Paradox ini merefleksikan bahwa perubahan sensasi
dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus (Surya, 2016).

4. Patofisiologi
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine) terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya


aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa
kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam susunan syaraf pusat.

Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari
sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui
darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic (Surya, 2016).
6. Pentalaksanaan
a. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan diruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari stimulasi
taktil ataupun auditorik.
b. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskler (IM) dengan dosis human tetanus immunoglobulin (TIG)
3000-10000 U dibagi 3 dosis yang sama diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi
British National Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia,
dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena
dan 50.000 unit IM.Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas,
sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin.
Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui
akson dan trans-sinaps serta
memecah VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM.
Pasien yang tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
c. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam intravena
atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi 2-4 dosis.
Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin,
atau kloramfenikol.
d. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan dosis mulai dari
5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol
spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal
atau kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom
dengan dosis loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme.
e. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
f. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat
menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin.
Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi
spasme dan memperburuk napas.
g. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status
metabolik dan katabolik.

7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis tetanus.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus.
 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus, walaupun
dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk
menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia. Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau
urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada pasien
tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida.
 Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak, hasil kultur yang
positif Clostridium Tetani juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita tetanus.

8. Rencana Keperawatan

Diagnosa Outcome Intervensi


Nyeri Akut Kontrol Nyeri Manajemen Nyeri
Aktivitas-aktivitas:
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil:  Lakukan pengkajian nyeri
 Bukti nyeri menggunakan  Menggunakan tindakan komprehensif yang meliputi
standar daftar periksa nyeri pengurangan [nyeri] tanpa lokasi, karakteristik,
untuk pasien yang tidak dapat analgesik onset/durasi, frekuensi,
mengungkapkannya  Menggunakan analgesik yang kualitas, intensitas atau
 Perilaku ekspresif direkomendasikan beratnya nyeri dan faktor
 Ekspresi wajah nyeri pencetus
 Keluhan tentang intensitas  Pilih dan implementasikan
menggunakan standar skala NOC hal. 247 tindakan ynag beragam
nyeri (misalnya, farmakologis,
 Keluhan tentang karakteristik nonfarmakologi,
nyeri dengan menggunakan interpersonal) untuk
standar instrument nyeri memfasilitasi penurunan
nyeri, sesuai dnegna
Faktor yang berhubungan : kebutuhan
 Agens cedera biologis  Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
 Dorong pasien untuk
NANDA memonitor nyeri dan
Domain 12. Kenyamanan menangani nyerinya dengan
Kelas 1. Kenyamanan Fisik tepat
 Ajarkan penggunaan teknik
Hal. 445 non farmakologis
 Dorong pasien untuk
menggunakan obat-obatan
penurun nyeri ynag adekuat
 Berikan individu penurun
nyeri yang optimal dengan
peresepan analgesik

NIC hal. 198

Pemberian Analgesik
Aktivitas-aktivitas:
 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
 Cek perintah pengobatna
meliputi obat, dosisi, dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
 Cek adanya riwayat alergi
obat
 Berikan kebutuhan
kenyamanan dan aktivitas
lain yang dapat membantu
relaksasi untuk memfasilitasi
penurunan nyeri
 Kolaborasikan dengan dokter
apakah obat, dosisi, rute
pemberian, atau perubahan
interval dibutuhkan, buat
rekomendasi khusus
berdasrakan prinsip analgesik

NIC hal. 247


Hambatan Mobilitas Fisik Pergerakan Peningkatan latihan: Latihan
kekuatan
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
 Gerakan spastik  Gerakan otot sedikit  Lakukan skrining kesehatan
 Gerakan tidak terkoordinasi terganggu sebelum memulai latihan
 Penurunan keterampilan untuk mengodentifikasi risiko
motorik halus NOC hal. 558 dengan menggunakan skala
 Penurunan keterampilan kesiaan latihan fisik
motorik kasar terstandar atau melengkapi
pemeriksaan riwayat
Faktor yang berhubungan : kesehatan dan fisik
 Penurunan kekuatan otot  Dapatkan persetujuan medis
 Penurunan kendali otot untuk memuali program
latihan kekuatan, jika
diperlukan
NANDA  Beri informasi mengenai jenis
Domain 4. Aktivitas/istirahat [latihan] daya tahan otot yang
Kelas 2. Aktivitas/olahraga bisa dilakukan
 Instruksikan untuk
Hal. 237 melakukan sesi latihan pada
kelompok otot tertentu secara
berselang-seling setiap
harinya untuk memfasilitasi
adaptasi otot terhadap latihan
 Evaluasi ualng tingkat
kebugaran otot setiap bulan

NIC hal. 339-340

Risiko Cedera Kontrol Risiko Pencegahan Jatuh


Aktivitas-aktivitas:
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil:  Identifikasi kekurangan baik
 Pajanan pada pathogen  Mengidentifikasi faktor risiko kognitif atau fisik pada
 Pajanan zat kimia toksik  Memodifikasi gaya hidup lingkungan tertentu
 Hambatan fisik untuk mengurasi risiko  Identifikasi perilaku dan
faktor yang mempengaruhi
NOC hal. 248 risiko jatuh
NANDA  Identifikasi karakteristik dari
Domain 11. lingkungan yang mungkin
Keamanan/perlindungan meningkatkan potensi jatuh
Kelas 2. Cedera fisik  Letakkan tempat tidur
mekanik pada posisi yang
Hal. 393 palinng rendah
 Sediakan permukaan tidur
yang dekat dengan lantai,
sesuai kebutuhan

NIC hal. 274

Pencegahan Kejang
Aktivitas-aktivitas:
 Sediakan tempat tidur ynag
rendah, dengan tepat
 Monitor pengelolaan obat
 Monitor tingkat pengobatan
antiepileptik, dengan tepat
 Gunakan penghalang tempat
tidur yang lunak
 Jag apenghalang tempat tidur
tetap dinaikkan
 Instruksikan pasien untuk
memanggil jika dirasa tanda
akan terjadinya kejang

NIC hal. 275


Ketidakseimbangan nutrisi: Status menelan Terapi menelan
kurang dari kebutuhna tubuh Aktivitas-aktivitas:
Kriteria hasil:  Kolaborasikan dengna
Batasan Karakteristik :  Kemampuan mengunyah anggota tim kesehatan yang
 Kram abdomen meningkat lain untuk menyediakan
 Tonus otot menurun  Reflek menelan sesuai rencana terapi yang berlanjut
 Kelemahan otot mengunyah dengan waktunya pada pasien
 Kelemhana otot untuk menelan  Tentukan kemampuan pasien
NOC hal. 541 untuk memfokuskan
Faktor yang berhubungan : perhatian pada
 Asupan diet kurang belajar/melakukan tugas
makan dan menelan
 Jelaskan rasionalisasi latihan
NANDA menelan ini pada
Domain 2. Nutrisi pasien/keluarga
Kelas 1. Makan  Bantu pasien untuk duduk
tegak untuk makan/latihan
Hal. 153 makan
 Bantu pasien untuk
memposisikan kepala fleksi
menghadap ke depan sebagai
persiapan menelan
 Instruksikan pasien untuk
tidak bicara selama makan,
jika diperlukan
 Sediakan permen tusuk/loli
untuk dihisap pasien dengan
tujuan untuk meningkatkan
kekuatan lidah, jika
diperlukan
 Konsultasikan dengan terapis
dan atau dokter untuk
meningkatkan konsistensi
makanan pasien secara
bertahap

NIC hal. 441

Hipertermia Status neurologi Perawatan demam


Aktivitas-aktivitas:
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil:  Pantau suhu dan tanda-tanda
 Kejang  Hipertemia tidak ada vital lainnya
 Kulit terasa hangat  Monitor warna kulit dan suhu
 Takipnea NOC hal. 545  Beri obat atau cairan IV
(misalnya antipiretik, agen
NANDA antibakteri, dan agen anti
Domain 11. menggingil)
Keamanan/perlindungan  Fasilitasi istirahat, terapkan
Kelas 6. Termoregulasi pembatasan aktivitas: jika
diperlukan
Hal. 434  Pantau komplikasi-
komplikasi yang
berhubungan dnegna demam
serta tanda dan gejala kondisi
penyebab demam

NIC hal. 355

Hambatan Komunikasi Verbal Komunikasi: mengekspresikan Peningkatan komunikasi:


kurang bicara
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
 Kesulitan mengekspresikan  Meningkatknya kejelasan  Monitor kecepatan bicara,
pikiran secara verbal bicara tekanan, kecepatan, kuantitas,
 Ketidakmampuan volume, dan diksi
menggunakan ekspresi wajah NOC hal. 230  Sediakan metode alternatif
 Sulit berbicara untuk berkomunikasi dengan
berbicara
 Instruksikan psien untuk
NANDA bicara pelan
Domain 5. Persepsi/kognisi  Kolaborasi bersama keluarga
Kelas 5. Komunikasi dan ahli/terapis bahasa
patologis untuk
Hal. 261 mengembangkan rencana
agar bisa berkomunikasi
secara efektif
NIC hal. 335

Ketidakefektifan Bersihan Status Pernapasan: Kepatenan Manajemen Jalan Nafas


Jalan Napas jalan napas Aktivitas-aktivitas:
 Posisikan pasien untuk
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil: memaksimalkan ventilasi
 Sputum dalam jumlah yang  Akumulasi sputum ringan  Identifikasi kebutuhan
berlebihan actual/potensial pasien untuk
 Batuk yang tidak efektif NOC hal. 558 memasukkan alat membuka
 Kesulitan verbalisasi jalan nafas
 Lakukan fisioterapi dada,
Faktor yang berhubungan : sebagaimana mestinya
 Mukus berlebihan  Buang sekret dengan
 Sekresi yang tertahan memotivasi pasine untuk
melakukan batuk atau
Kondisi Terkait : menyedot lendir
 Spasme jalan napas  Instruksikan bagaimana agar
bisa melakukan batuk efektif
NANDA  Monitor status pernapasan
Domain 11. dan oksigen, sebaimana
Keamanan/perlindungan mestinya
Kelas 2.
NIC hal. 186
Hal. 384
Ketidakefektifan Pola Napas Status Pernapasan Terapi Oksigen
Aktivitas-aktivitas:
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil:  Bersihkan mulut, hidung, dan
 Penggunaan otot bantu  Frekuensi pernapasan normal sekresi trakea dengan tepat
pernapasan  Siapkan peralatan oksigen
 Pernapasan cuping hidung NOC hal. 557 dan berikan melalui sistem
humidifier
Faktor yang berhubungan :  Berikan oksigen tembahan
 Keletihan otot pernapasan seperti yang diperintahkan
 Monitor aliran oksigen
 Monitor posisi perangkat
NANDA
[alat] pemberian oksigen
Domain 4. Aktivitas/istirahat
Kelas 4.  Periksa perangkat [alat]
pemberian oksigen secara
Hal. 228 berkala untuk memastikan
bahwa konsentrasi [yang
telah] ditentukan sedang
diberikan
 Pantau adanya tanda-tanda
keracunan oksigen dan
atelectasis
 Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa alat
tersebut tidak mengganggu
upaya pasien untuk bernapas
 Monitor kerusakan kulit
terhadap adanya gesekan
perangkat oksigen
 Konsultasi dengan tenaga
kesehatan lain mengenai
penggunaan oksigen
tambahan selama kegiatan
dan/atau tidur

NIC hal. 444

D. Neurosyfilis
1. Definisi dan etiologi
Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema palidum. Merritt dkk mengelompokkan neurosifilis menjadi
4 jenis yaitu : asimtomatik, meningeal, parenkimatosa, dan gumatosa. Pada neurosifilis
asimtomatik, tidak ditemukan tanda dan gejala kerusakan sistem saraf pusat.
Infeksi HIV dapat mempercepat dan mengubah perjalanan klinis neurosifilis. Pada era
setelah ditemukan penisilin, neurosifilis jarang ditemukan. Namun, sejak banyak ditemukan
kasus HIV, neurosifilis banyak ditemukan dengan bentuk neurosifilis dini terutama pada
pasien HIV tersebut (Febrina et al., 2017).

2. Manifestasi klinis
Bentuk manifestasi yang ditimbulkan dari neurosifilis dapat berupa neurosifilis dini yang
terdiri dari neurosifilis parenkimatosa dan gumatosa. Pada neurosifilis asimtomatik tidak
ditemukan tanda dan gejala kerusakan sistem saraf pusat. Diagnosis neurosifilis asimtomatik
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinal) yang menunjukkan tes
serologis VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) yang reaktif, peningkatan jumlah
leukosit dan jumlah protein total. Neurosifilis asimtomatik dapat mengawali perkembangan
neurosifilis kearah simptomatik dengan puncak kejadian 12-18 bulan setelah terinfeksi. Pada
neurosifilis meningeal didapatkan tanda dan gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala,
kaku kuduk, kejang, delirium dan kelumpuhan saraf kranialis. Pada neuro sifilis meningeal
dapat terjadi stroke dengan manifestasi hemiparesis dan hemiplegia, afasia, da kejang, yang
disebut neurosfilis meningovaskuler.
a. Neurosifilis parenkimatosa terdiri dari paresis generalis, tabes dorsalis, atau campuran
keduanya yang disebut tabuparesis. Manifestasi klinis pada
 paresis generalis dapat berupa dementia yang berkembang dengan cepat dan
disertai perubahan kepribadian.
 Pada tabes dorsalis memiliki gejala berupa ataksia sensoris, disfungsi pada usus
dan kndung kemih serta tanda berupa argyllrobertson pupil dan atrofi optic
b. Neurosifilis gumatosa merupakan bentuk yang jarang terjadi, bahkan pada era sebelum
antibiotik ditemukan. Guma dapat terjadi dimanapun pada otak atau medula spinalis dan
manifestasi klinis bergantung pada lokasi guma(Febrina et al., 2017).

4. Penatalaksanaan

Terapi standar untuk neurosifilis adalah Penicillin G intravena, 12-24 juta unit infus IV terus menerus
selama 10-14 hari diikuti oleh Benzathine penicillin, 2,4 juta unit intramuskuler sekali seminggu untuk
tiga minggu. Pengobatan alternatif adalah dengan Penicillin G prokain intramuskular, 2,4 juta unit qd,
ditambah Probenecid 500 mg per oral empat kali sehari selama 10-14 hari. Setelah perawatan,
pemeriksaan klinis lanjutan dan CSF harus dijadwalkan pada 3-6 bulan. (Bologa, Lionte, & Halit, 2017)

5. Rencana Keperawatan

Diagnosa Outcome Intervensi

Hambatan Mobilitas Fisik Pergerakan Peningkatan latihan: Latihan


kekuatan
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
 Gerakan spastik  Gerakan otot sedikit  Lakukan skrining kesehatan
 Gerakan tidak terkoordinasi terganggu sebelum memulai latihan
 Penurunan keterampilan untuk mengodentifikasi risiko
motorik halus NOC hal. 558 dengan menggunakan skala
 Penurunan keterampilan kesiaan latihan fisik
motorik kasar terstandar atau melengkapi
pemeriksaan riwayat
Faktor yang berhubungan : kesehatan dan fisik
 Penurunan kekuatan otot  Dapatkan persetujuan medis
 Penurunan kendali otot untuk memuali program
latihan kekuatan, jika
diperlukan
NANDA  Beri informasi mengenai jenis
[latihan] daya tahan otot yang
Domain 4. Aktivitas/istirahat bisa dilakukan
Kelas 2. Aktivitas/olahraga  Instruksikan untuk
melakukan sesi latihan pada
Hal. 237 kelompok otot tertentu secara
berselang-seling setiap
harinya untuk memfasilitasi
adaptasi otot terhadap latihan
 Evaluasi ualng tingkat
kebugaran otot setiap bulan

NIC hal. 339-340

Hambatan Komunikasi Verbal Komunikasi: mengekspresikan Peningkatan komunikasi:


kurang bicara
Batasan Karakteristik : Kriteria hasil: Aktivitas-aktivitas:
 Kesulitan mengekspresikan  Meningkatknya kejelasan  Monitor kecepatan bicara,
pikiran secara verbal bicara tekanan, kecepatan, kuantitas,
 Ketidakmampuan volume, dan diksi
menggunakan ekspresi wajah NOC hal. 230  Sediakan metode alternatif
 Sulit berbicara untuk berkomunikasi dengan
berbicara
 Instruksikan psien untuk
NANDA bicara pelan
Domain 5. Persepsi/kognisi  Kolaborasi bersama keluarga
Kelas 5. Komunikasi dan ahli/terapis bahasa
patologis untuk
Hal. 261 mengembangkan rencana
agar bisa berkomunikasi
secara efektif

NIC hal. 335

Gangguan Eliminasi Urin Eliminasi urin (0503) Manajemen cairan (4120)


(00016) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- Jumlah urin tidak - Jaga intake/asupan yang
Domain 3 : Eliminasi dan terganggu akurat dan catat output
Pertukaran NOC Hal 85 - Masukkan kateter urin
Kelas 1 : Fungsi urinarius - Berikan terapi IV jika
Batasan Karakteristik : Keseimbangan Cairan (0601) diperlukkan
- Retensi urin Kriteria Hasil : - Berikan diuretic yang
- Oliguria - Keseimbanagn intake diresepkan
Faktor yang Berhubungan : dan output dalam 24 jam NIC Hal 157
- Gangguan sensori tidak terganggu
motorik NOC Hal 192 Monior cairan (4130)
NANDA Hal 199 Aktivitas-aktivitas :
- Tenukn faktor risiko
yang mungkin
meyebabkan
keridakseimbangan
cairan
- Periksa turgor kulit
- Monitor kadar serum
dan albumin da protein
total
- Monitor tekanan darah,
denyut jantung, dan
status pernafasan
NIC Hal 229

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
boutulisme adalah penyakit paralitik serius yang disebabkan oleh racun saraf yang
diproduksi oleh bakteri Clostridium Botulinum. botulinum adalah substansi paling
beracun yang diketahui. terdapat dua jenis toksin botulinum yang menjadi perhatian
dalam bioterorisme, yaitu bentuk yang disebarkan melalui makanan dan bentuk yang
dihirup
Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema palidum. Merritt dkk mengelompokkan neurosifilis
menjadi 4 jenis yaitu : asimtomatik, meningeal, parenkimatosa, dan gumatosa. Pada
neurosifilis meningeal didapatkan tanda dan gejala meningitis seperti demam, nyeri
kepala, kaku kuduk, kejang, delirium dan kelumpuhan saraf kranialis.
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah serangan autoimun myelin saraf perifer yang
menghasilkan demielinasi segmental akut dan cepat pada saraf perifer dan beberapa saraf
kranial, menghasilkan kelemahan yang meningkat dengan dyskinesia (ketidakmampuan
untuk melakukan gerakan volunter), hyporeflexia, dan parestesia (mati rasa). Guillain-
Barré adalah hasil dari serangan kekebalan yang dimediasi sel pada protein myelin saraf
perifer. Teori yang paling diterima adalah bahwa organisme infeksius mengandung asam
amino yang meniru protein myelin saraf perifer.
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin
(tetanuspasmin) bakteri clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang
anaerob, sporanya dapat bertahan ditanah dalam menginfeksi luka yang terkontaminasi.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum. Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja
pada beberapa level dari susunan syaraf pusat
B. Saran
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Isi makalah kami masih memiliki
banyak kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran yang baik agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D. C., & Hackley, J. C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Bulechek G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi Keenam. Jakarta:
EGC
Bologa, C., Lionte, C., & Halit, D. (2017). Neurosyphilis Masquerading as Sroke in an 84-year-
old. The Journal Of Critical Care Medicine, 3(2), 70-72.
Febrina, D., Cahyawari, D., Roslina, N., & dkk. (2017, September). Laporan Kasus : Neurosifilis
pada pasien sifilis sekunder dengan koinfeksi human immunodeficiency virus. Syifa
MEDIKA, 8(1).
Ismanoe G. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K, Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, 2009, vol. 1, p.1799-1807
Moorhead Sue, dkk. 2013. Nursing Outcmes Classification (NOC) Edisi Kelima. Jakarta:
EGC.

Nanda. 2017. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11 editor Theather
Herdman, Shigemi Komitsuru. Jakarta : EGC.
Natalia, L., & Priyadi, A. (2012). Botulismus : Patogenesis, Diagnosis, Dan Pencegahan.
Wartazoa, 22(3), 127-140.
Roper MH, Wassilak SGF, Tiwari TSP, Orenstein WA. in Vaccines. ed. Plotkin SA, Orenstein
WA, Offit PA. Elsevier Inc, Philadelphia, 2013, p.747-772
Tanto C. In Kapita Selekta Kedokteran. ed. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Media
Aesculapius Publisher, Jakarta, 2014, p.982-983

Anda mungkin juga menyukai