OLEH :
KELOMPOK 10
ARMAWATI C051171320
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca untuk
kedepannya, sehingga dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guillainbarre syndrome (GBS) adalah penyakit langka dimana sistem kekebalan
seseorang meyerang sistem syaraf tepi yang menyebabkan terjadinya kelemahan pada otot
bahkan apabila parah bisa menyebabkan kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi
yang menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh bagian tubuh kita itu
rusak. Kerusakan ini menyebabkan kesulitan dalam menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
Botulism / botulismus merupakan penyakit yang bersifat neuroparalitik (melumpuhkan
syaraf), dan biasanya berakibat fatal. Penyakit ini dapat menyerang manusia, ungags, hewan
mamalia, ikan yang disebabkan karena paparan toksin dari berbagai biotipe Clostridium
botulinum (C.botulinum). pada manusia telah dikenal food borne botulism (botulismus akibat
tertelannya C.botulinum dan neurotoksinnya bersama makanan), infant botulism (botulismus
akibat tertelannya spora C. botulinum toksigenik), infectious botulism (botulismus akibat
berkembangnya C.botulinum dalam usus setelah proses pembedahan atau luka di daerah perut),
dan inhalation botulism atau botulismus akibat terhirupnya neurotoksin botulinum melalui saluran
pernafasan.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh C. tetani yang ditendai dengan kekuatan otot dan spasme yang periodic dan berat. Tetanus
dapat didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau kontraksi otot yang menyebabkan nyeri
(biasanya ada pada tulang rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab
lain serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.
Neurosypilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifilis koinfeksi
dengan human immunodeficiency virus (HIV). Nerosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier,
tetapi dapat terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Neurosifilis
dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu asimtomatik, meningeal, parenkimatosa dan gumatosa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
2. Apa etiologi dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
3. Apa saja manifestasi klinik dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis?
4. Bagaimana patofisiologi pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis?
5. Apa saja penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis?
6. Apa pemeriksaan penunjang pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis ?
7. Bagaimana Asuhan Keperawatan dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
2. Untuk mengetahui Apa etiologi dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
3. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinik dari Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi pada Guillainbarre syndrome, Botulism, Tetanus,
Neurosifilis
5. Untuk mengetahui Apa saja penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada Guillainbarre
syndrome, Botulism, Tetanus, Neurosifilis
6. Untuk mengetahui apa pemeriksaan penunjang pada Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis
7. Untuk mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan dari Guillainbarre syndrome, Botulism,
Tetanus, Neurosifilis
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sindrom Guillain-Barre
1. Definisi dan Etiologi
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah serangan autoimun myelin saraf perifer yang
menghasilkan demielinasi segmental akut dan cepat pada saraf perifer dan beberapa saraf kranial,
menghasilkan kelemahan yang meningkat dengan dyskinesia (ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan volunter), hyporeflexia, dan parestesia (mati rasa). Dalam 66% kasus ada
faktor predisposisi, yang paling sring adalah infeksi saluran pernafasan atau gastrointestinal,
meskipun vaksinasi, kehamilan dan operasi juga diindentifikasi sebagai kejadian yang
mendahului. Infeksi dengan campylobacter jejuni (pathogen bakteri gastrointestinal yang relative
umum) mendahului sindrom guillain bare dalam beberapa kasus. Peristiwa anteseden (paling
sering infeksi virus) mempercepat presentasi klinis (Williams & Wilkins, 2010).
2. Manifestasi klinik
Gambaran klinis klasik GBS termasuk areflexia dan kelemahan, meskipun mungkin ada
variasi dalam presentasi. GBS tidak memengaruhi fungsi kognitif atau tingkat kesadaran.
Gejala awal meliputi kelemahan otot dan berkurangnya refleks pada ekstremitas bawah;
hyporeflexia dan kelemahan dapat berkembang menjadi tetraplegia; demielinasi saraf
yang menginervasi diafragma dan otot interkostal menyebabkan kegagalan pernapasan.
Gejala sensorik meliputi parestesia tangan dan kaki dan nyeri yang berhubungan dengan
demielinasi sensorik serat.
Demielinisasi saraf optik dapat menyebabkan kebutaan.
Kelemahan otot bulbar yang berhubungan dengan demielinasi saraf glossofaringeal dan
vagus menyebabkan ketidakmampuan menelan atau mengeluarkan sekresi.
Demielinisasi saraf vagus menyebabkan disfungsi otonom, dimanifestasikan oleh
ketidakstabilan sistem kardiovaskular (takikardia, bradikardia, hipertensi, atau ortostatik
hipotensi).
3. Patofisologi
Myelin adalah substansi kompleks yang membungkus saraf, yang mempercepat konduksi
impuls dari tubuh sel ke dendrit. Sel yang menghasilkan mielin dalam sistem saraf tepi adalah sel
Schwann. Pada kasus Guillain-Barré sel Schwann dapat bertahan yang memungkinkan untuk
remielinasi pada fase pemulihan penyakit.
Guillain-Barré adalah hasil dari serangan kekebalan yang dimediasi sel pada protein
myelin saraf perifer. Teori yang paling diterima adalah bahwa organisme infeksius mengandung
asam amino yang meniru protein myelin saraf perifer. Sistem kekebalan tidak dapat
membedakan antara dua protein dan serangan dan menghancurkan myelin saraf perifer. Studi
menunjukkan bahwa lokasi yang tepat dalam sistem saraf tepi, ganglioside GM1b, adalah target
serangan imun yang paling mungkin. Dengan serangan autoimun terdapat gelombang makrofag
dan agen-agen yang dimediasi kekebalan lain yang menyerang mielin, menyebabkan peradangan
dan kerusakan, dan membuat akson tidak mampu mendukung konduksi saraf.
4. Penatalaksanaan
GBS dianggap sebagai darurat medis; pasien dikelola di unit perawatan intensif.
Masalah pernapasan mungkin memerlukan terapi pernapasan atau ventilasi mekanis.
Intubasi elektif dapat dilakukan sebelum timbulnya kelelahan otot pernapasan ekstrem.
Agen antikoagulan dan stoking antiembolisme atau boot kompresi berurutan dapat
digunakan untuk mencegah trombosis dan emboli paru.
Plasmapheresis (pertukaran plasma) atau imunoglobulin intravena (IVIG) dapat
digunakan untuk secara langsung memengaruhi tingkat antibodi mielin saraf perifer.
Pemantauan EKG berkelanjutan: Amati dan rawat jantung disritmia dan komplikasi
otonom labil lainnya penyelewengan fungsi. Takikardia dan hipertensi diobati dengan
obat-obatan yang bekerja singkat seperti agen-agen penghambat alpha-adrenergik.
Hipotensi dikelola dengan meningkatkan jumlah cairan intravena yang diberikan.
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya
normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal, haemoglobin
dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit dcenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur
jaringan.
7. Pengkajian
Kaji tehadap gagal pernafasan akut, masalah yang mengancam jiwa
Kaji terhadap komplikasi termaksuk distritmia jantung, trombosis vena profunda (DVP),
dan embolisme pulmonal.
8. Rencana Keperawatan
Diagnosa Outcome Intervensi
Ketidakseimbangan Status menelan Terapi menelan
nutrisi: kurang dari Kriteria hasil: Aktivitas- aktivitas:
kebutuhan tubuh 1. Dapat mempertahankan 1. Tentukan kemampuan pasien
Batasan Karakteristik: makanan di mulut untuk memfokuskan
1. Kelemahan otot 2. Menangani sekresi mulut perhatian pada belajar/
untuk menelan 3. Peningkatan kemampuan melakukan tugas makan dan
2. Kelemahan otot mengunyah makanan menelan
pengunyah 4. Reflek menelan sesuai 2. Monitor pergerakan lidah
dengan waktunya pasien selama makan
Faktor yang berhubungan: 5. Tidak terjadi batuk, 3. Monitor menutupnya bibir
1. Ketidakmampuan muntah dan tersedak saat selama makan, minum dan
makan makan menelan
6. Perasaan tidak nyaman 4. Monitor tanda-tanda
(NANDA Domain 2. Nutrisi, dengan menelan dapat kelelahan selama makan,
Kelas 1. Makan hlm. 177) berkurang minum dan menelan
5. Monitor berat badan
NOC, hlm. 541 6. Bantu pasien untuk
memposisikan kepala fleksi
menghadap ke depan sebagai
persiapan menelan (dagu
dilipat)
7. Bantu pasien untuk
menempatkan makanan ke
mulut bagian belakang
8. Sediakan periode istirahat
sebelum makan/ latihan untuk
mencegah kelelahan
9. Bantu untuk menjaga intake
cairan dan kalori yang
adekuat
10. Ajari pasien untuk
mengatakan “ahs” untuk
meningkatkan elevasi langit-
langit halus, jika diperlukan
11. Instruksikan pasien/ pemberi
perawatan untuk memantau
gejala pasien tersedak
12. Instruksikan pasien untuk
tidak berbicara selama
makan, jika diperlukan
13. Konsultasikan dengan terapis
dan atau dokter untuk
meningkatkan konsistensi
makan pasien secara bertahap
B. Botulism
1. Definisi
boutulisme adalah penyakit paralitik serius yang disebabkan oleh racun saraf yang
diproduksi oleh bakteri Clostridium Botulinum. botulinum adalah substansi paling beracun yang
diketahui. terdapat dua jenis toksin botulinum yang menjadi perhatian dalam bioterorisme, yaitu
bentuk yang disebarkan melalui makanan dan bentuk yang dihirup. Botulisme yang disebarkan
malalui makanan dapat sangat berbahaya karena banyak orang dapat diracuni dengan
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. (Baughman & Hackley, 2000)
Botulisme melalui makanan dapat terjadi dari makanan asam rendah yang terkontaminasi
seperti asparagus, kacang hijau, bit dan jagung. wabah botulsime telah dilaporkan akibat bawang
putih cincang dalam minyak. cabai, tomat, kentang panggang dalam aluminium foil yang tidak
ditangani dengan benar, dan ikan fermentasi atau ikan kalengan rumah.
2. Etiologi
Penyebab botulismus adalah neurotoksin dari Clostridium botulinum yang merupakan
bakteria berspora, berbentuk batang, Gram positif dan bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum
tersebar dalam tanah, tumbuh-tumbuhan, isi usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam
kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang dapat menghasilkan toksin.
Hal ini yang menyebabkan C. botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin dalam
kondisi anaerobik seperti pada bangkai hewan ataupun dalam makanan kalengan. (Natalia &
Priyadi, 2012)
Botulismus merupakan gejala intoksikasi yang terjadi karena aktivitas neurotoksin
botulinum. Ada 8 tipe C. botulinum yaitu A, B, C1, C2, D, E, F dan G yang menghasilkan toksin
berbeda secara imunologis. Botulismus pada manusia disebabkan terutama oleh neurotoksin dari
tipe A, B dan E dan terkadang tipe F. Sedangkan tipe C dan D menyebabkan botulismus pada
hewan (unggas, sapi dan kuda). Tetapi, ada beberapa reaksi silang serum diantara serotipe
tersebut, karena adanya kesamaan beberapa sekuens yang homolog seperti yang terjadi juga pada
toksin tetanus. Clostridial C2 sitotoksin adalah enterotoksin tetapi bukan neurotoksin. Toksin ini
menyerang permeabilitas vaskular multi organ melalui kerusakan seluler dari aksinya pada
polimerisasi actin dalam kerangka sel selular dan telah diimplikasikan sebagai penyakit enterik
yang fatal pada burung air. (Natalia & Priyadi, 2012)
Manifestasi klinis klasik dari paparan toksin botulinum bergantung pada jumlah toksin
yang diserap kedalam sirkulasi. manifestasi botulisme meliputi penglihatan rendah, penglihtan
ganda, penglihatan kabur, kelopak mata terkulai, bicara tidak jelas, kesulitan menelan, mulut
kering, dan kelemahan otot. semua manifestasi tersebut terjadi akibat paralisis otot yang
disebabkan oleh toksin bakteri. jika tidak diobati, manifestasi ini berlanjut dan menyebabkan
kelumpuhan tangan, kaki, badan, dan oto pernafasan.
Pada botulisme yang terjadi melalui makanan, gejala umumnya dimulai 18- 36 jam
setelah makan makanan yang terkontaminasi tetapi dapat juga terjadi paling cepat 6 jam atau
paling lambat 10 hari. Oleh karena itu, makanan yang diduga terkontaminasi harus didinginkan
sampai diambil oleh petugas departemen kesehatan masyarakat. cara yang paling cepat untuk
memastikan diagnosis botulisme adalah dengan medekteksi toksin botulinum yang ada di dalam
serum atau veses. (Baughman & Hackley, 2000)
4. Patofisiologi
Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui
kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh
dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena
lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang
utuh.
Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan
menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy
chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer. Toksin
kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain dari toksin
menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light
chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protein
yang membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein soluble
Nethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors (SNARE), termasuk
synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin tipe C),
dan synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe A, C, E) (Natalia &
Priyadi, 2012).
6. Penatalaksanaan botulisme
Terapi untuk botulisme dianggap sebagai terapi pendukung dengan imunisasi pasif
menggunakan anti toksin equine.
Pemberian antibodi penetralisasi secara tepat waktu akan membantu meminimalkan
kerusakan saraf dan tingkat keparahan penyakit , tetapi tidak akan menyembuhkan
paralisis yang sudah terjadi. Perawatan suportif dapat mencakup pemberian nutrisi
enternal atau parenteral, perawatan intensif, dan ventilasi mekanik.
,Gagal nafas dan kelumpuhan yang terjadi pada botulisme yang parah dapat
membutuhkan ventilasi mekanis selama berminggu-minggu.
Botulisme yang ditularkan melalui makanan dan luka dapat diobati dengan anti toksin
yang menghambat kerja toksin. Makanan terkontaminasi yang masih berada di dalam
usus dapat dikeluarkan sebagian dengan menginduksi muntah atau menggunakan enema.
Luka harus diobati yang biasanya melalui pembedahan untuk menghilangkan sumber
bakteri yang menghasilkan toksin.
Setelah terpapar infeksi yang diduga botulisme, pakaian dan kulit harus dicuci dengan
sabun dan air. Permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan larutan
hipoklorit 0,1%
7. Rencana Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Ketidakefektifan Pola Napas Status Pernafasan (0415) Monitor Pernafasan (3350)
(00032) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- Irama pernafasan normal - Monitor saturasi oksigen pada
Domain 4 : Aktivitas/Istirahat - Kedalamam inspirasi pasien yang tersedasi sesuai
Kelas 4 : Respons Kardiovaskuler normal dengan protocol yang ada
/ Pulmonal - Tes fungsi paru normal - Monitor nilai fungsi paru,
Batasan karakteristik: NOC Hal 556 terutama kapasitas vital paru,
- Penrunan kapatisas vital volume inspirasi maksimal,
- Pola nafas abnormal ( Status Pernafasan : Petukaran volume ekspirasi maksimal
mis. Irama, frekuensi, Gas (0402) selama 1 detik sesuai dengan
kedalaman) Kriteria hasil : data yang tersedia
- Tidak ada dispnea saat - Monitor keluhan sesak nafas
Faktor yang Berhubungan : istirahat pasien, termkasuk kegiatan yang
- Disfungsi neuromuscular - Tidak ada perasaan kurang meningkatkan atau
NANDA Hal 243 istirahat memperburuk sesak nafas
- Tekanan parsial oksigen di tersebut
darah arteri normal NIC Hal 236
NOC Hal 559 Terapi Oksigen (3320)
Aktivitas-aktivitas :
Kelelahan : efek yang - Berikan oksigen tambahan
mengganggu (0008) seperti yang diperintahkan
Kriteria Hasil : - Monitor efektifitas terapi
- Penurunan energy ringan oksigen misalnya tekanan
NOC Hal 122 oksimetri dengan tepat
NIC Hal 444
Hambatan Mobilitas Fisik Pergerakan (0208) Terapi latihan : Kontrol Otot ( 0226)
(00085) Kriteria Hasil : Aktivitas-aktivitas :
- KInerja pengaturan tubuh - Bantu pasien untuk berada pada
Domain 4 : Aktivitas / Istirahat tidak terganggu posisi duduk atau berdiri untuk
Kelas 2 : Aktivitas/ Olahraga - Gerakan otot normal melakukan protocol latihan,
Batasan karateristik : - Koordinasi tidak terganggu sesuai kebutuhan
- Penurunan kemampuan NOC Hal 452 - Dorong pasien untuk
melakukan keterampilan mempraktikkan latihan secara
motorik kasar Koordinasi Pergerakan (0212) mandiri, sesuai kebutuhan
- Penurunan kemampuan Kriteria Hasil : - Monitor emosi pasien,
melakukan keterampilan - Kecepatan gerakan normal kardiovaskuler, dan respon
motorik halus - Kehalusan gerakan normal ufngsional terhadap protocol
Faktor yang Berhubungan : - Kontrol gerakan tidak latihan
- Gangguan neuromuscular terganggu - Berikan dukungan positif
NANDA Hal 232 - Keseimbangan gerakan terhadap usaha pasien dalam
baik latihan dan aktivitas fisik
NOC Hal 280 NIC Hal 439
Kemampuan Berpindah (0210)
Kriteria Hasil : Terapi Latihan : Mobilitas
- Berpindah dari tempat tidur (pergerakan) sendi (0224)
ke kursi Aktivitas-aktivitas :
NOC Hal 124 - Bantu pasien mendaparkan
posisi tubuh yang optimal untuk
Toleransi Terhadap Aktivitas pergerakan sendi pasif maupun
(0005) aktif
Kriteria Hasil : - Dukung pasien untuk duduk
- Frekuensi nasi ketika ditempat tidur, disamping tempat
beraktivitas tidak terganggu tidur, atau dikursi, sesuai
- Kemudahan bernafas ketika kebutuhan
beraktivitas - Sediakan dukungan positif
NOC Hal 582 dalam melakukan latihan sendi
NIC Hal 440
C. Tetanus
1. Definisi
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin
(tetanuspasmin) bakteri clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang anaerob,
sporanya dapat bertahan ditanah dalam menginfeksi luka yang terkontaminasi. C.tetani dapat
menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanopasmin. Efek tetanolisisn mash
belum diketahui pasti. Tetanopasmin merupakan neurotoksin penyebab manifestasi klinis
penyebab tetanus (Surya, 2016).
2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini berspora,
dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang
terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan
beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus
neonatorum (Surya, 2016).
3. Manifestasi klinis
Periode inkubasi bervarisasi 3-21 hari dengan rata-rata 8 hari. Makin jauh lokasi luka dari
SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi berkaitan dengan peningkatan
resiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga
ke-14 setelah melahirkan dengan rerata 7 hari. Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot
rangka dalam bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter , tonik,
sedangkan spasme merupakan kontraki oto yang berlangsung lebih singkat, dpaat dirangsang oleh
peregangan otot atau stimulasi sensori sehingga disebut sebagai refleks spasme.
Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, local, dam sefalik. Sekitar 80%
tetanus merupakan tipe generalisata. Tetanus lokal jarang dengan presentasi kontraski oto
persisten di area anatomi yang mengalami trauma. Tetanus tipe ini dapat menjadi awal dari
tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitasr 1% menjadi fatal. Tetanus sefalik jarang
terjadi, biasanya pada otitis atau pasca trauma kepala dengan gejala terutama di area facial.
Tetanus generalisata tampak dengan pola menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus
diikuti spasme leher, kesulitan menelan, dan regiditas otot abdominal. Tungkai biasanya sedikit
terpengaruh; jika terdapat opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan ekstensi kaki seperti
posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu, berkeringat, peningkatan tekanan darah,
dan takikardi episodic. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin
yang dapat berujung pada nekrosis miokardial. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.
Toksin tetanus dapat menyerang saraf sesori yang menyebabkan perubahan sensasi seperti nyeri
dan alodinia. Toksin tidak dapat menyebrangi ganglia sensori spinal, sehingga efek sensori
seharusnya terjadi diperifer. Akan tetapi, pelepasan neurotransmitter dari saraf sensori terjadi
sentral di medulla spinalis atau batang otak. Paradox ini merefleksikan bahwa perubahan sensasi
dapat terlihat di daerah kepala seperti daerah saraf trigeminus (Surya, 2016).
4. Patofisiologi
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine) terjadi karena toksin mengganggu
fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa
kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari
sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui
darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic (Surya, 2016).
6. Pentalaksanaan
a. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan diruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari stimulasi
taktil ataupun auditorik.
b. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskler (IM) dengan dosis human tetanus immunoglobulin (TIG)
3000-10000 U dibagi 3 dosis yang sama diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi
British National Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia,
dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit intravena
dan 50.000 unit IM.Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus bebas,
sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat ditangani dengan antitoksin.
Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui
akson dan trans-sinaps serta
memecah VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM.
Pasien yang tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
c. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam intravena
atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi 2-4 dosis.
Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin,
atau kloramfenikol.
d. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan dosis mulai dari
5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga tercapai kontrol
spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal
atau kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom
dengan dosis loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme.
e. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
f. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat
menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin.
Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi
spasme dan memperburuk napas.
g. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status
metabolik dan katabolik.
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis tetanus.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus.
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium darah biasanya normal pada pasien tetanus, walaupun
dapat ditemukan sedikit leukositosis. Pemeriksaan elektrolit dapat digunakan untuk
menyingkirkan spasme otot akibat hipokalsemia. Pemeriksaan kadar striknin dalam darah atau
urin dapat dilakukan untuk menyingkirkan spasme akibat keracunan striknin, bila pada pasien
tidak ditemukan port d’entree dan ada riwayat penggunaan pestisida.
Kultur sekret luka belum tentu memberikan hasil yang positif. Di lain pihak, hasil kultur yang
positif Clostridium Tetani juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak menderita tetanus.
8. Rencana Keperawatan
Pemberian Analgesik
Aktivitas-aktivitas:
Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
Cek perintah pengobatna
meliputi obat, dosisi, dan
frekuensi obat analgesik yang
diresepkan
Cek adanya riwayat alergi
obat
Berikan kebutuhan
kenyamanan dan aktivitas
lain yang dapat membantu
relaksasi untuk memfasilitasi
penurunan nyeri
Kolaborasikan dengan dokter
apakah obat, dosisi, rute
pemberian, atau perubahan
interval dibutuhkan, buat
rekomendasi khusus
berdasrakan prinsip analgesik
Pencegahan Kejang
Aktivitas-aktivitas:
Sediakan tempat tidur ynag
rendah, dengan tepat
Monitor pengelolaan obat
Monitor tingkat pengobatan
antiepileptik, dengan tepat
Gunakan penghalang tempat
tidur yang lunak
Jag apenghalang tempat tidur
tetap dinaikkan
Instruksikan pasien untuk
memanggil jika dirasa tanda
akan terjadinya kejang
D. Neurosyfilis
1. Definisi dan etiologi
Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema palidum. Merritt dkk mengelompokkan neurosifilis menjadi
4 jenis yaitu : asimtomatik, meningeal, parenkimatosa, dan gumatosa. Pada neurosifilis
asimtomatik, tidak ditemukan tanda dan gejala kerusakan sistem saraf pusat.
Infeksi HIV dapat mempercepat dan mengubah perjalanan klinis neurosifilis. Pada era
setelah ditemukan penisilin, neurosifilis jarang ditemukan. Namun, sejak banyak ditemukan
kasus HIV, neurosifilis banyak ditemukan dengan bentuk neurosifilis dini terutama pada
pasien HIV tersebut (Febrina et al., 2017).
2. Manifestasi klinis
Bentuk manifestasi yang ditimbulkan dari neurosifilis dapat berupa neurosifilis dini yang
terdiri dari neurosifilis parenkimatosa dan gumatosa. Pada neurosifilis asimtomatik tidak
ditemukan tanda dan gejala kerusakan sistem saraf pusat. Diagnosis neurosifilis asimtomatik
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinal) yang menunjukkan tes
serologis VDRL (Venereal Disease Research Laboratory) yang reaktif, peningkatan jumlah
leukosit dan jumlah protein total. Neurosifilis asimtomatik dapat mengawali perkembangan
neurosifilis kearah simptomatik dengan puncak kejadian 12-18 bulan setelah terinfeksi. Pada
neurosifilis meningeal didapatkan tanda dan gejala meningitis seperti demam, nyeri kepala,
kaku kuduk, kejang, delirium dan kelumpuhan saraf kranialis. Pada neuro sifilis meningeal
dapat terjadi stroke dengan manifestasi hemiparesis dan hemiplegia, afasia, da kejang, yang
disebut neurosfilis meningovaskuler.
a. Neurosifilis parenkimatosa terdiri dari paresis generalis, tabes dorsalis, atau campuran
keduanya yang disebut tabuparesis. Manifestasi klinis pada
paresis generalis dapat berupa dementia yang berkembang dengan cepat dan
disertai perubahan kepribadian.
Pada tabes dorsalis memiliki gejala berupa ataksia sensoris, disfungsi pada usus
dan kndung kemih serta tanda berupa argyllrobertson pupil dan atrofi optic
b. Neurosifilis gumatosa merupakan bentuk yang jarang terjadi, bahkan pada era sebelum
antibiotik ditemukan. Guma dapat terjadi dimanapun pada otak atau medula spinalis dan
manifestasi klinis bergantung pada lokasi guma(Febrina et al., 2017).
4. Penatalaksanaan
Terapi standar untuk neurosifilis adalah Penicillin G intravena, 12-24 juta unit infus IV terus menerus
selama 10-14 hari diikuti oleh Benzathine penicillin, 2,4 juta unit intramuskuler sekali seminggu untuk
tiga minggu. Pengobatan alternatif adalah dengan Penicillin G prokain intramuskular, 2,4 juta unit qd,
ditambah Probenecid 500 mg per oral empat kali sehari selama 10-14 hari. Setelah perawatan,
pemeriksaan klinis lanjutan dan CSF harus dijadwalkan pada 3-6 bulan. (Bologa, Lionte, & Halit, 2017)
5. Rencana Keperawatan
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
boutulisme adalah penyakit paralitik serius yang disebabkan oleh racun saraf yang
diproduksi oleh bakteri Clostridium Botulinum. botulinum adalah substansi paling
beracun yang diketahui. terdapat dua jenis toksin botulinum yang menjadi perhatian
dalam bioterorisme, yaitu bentuk yang disebarkan melalui makanan dan bentuk yang
dihirup
Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh invasi
sawar darah otak oleh treponema palidum. Merritt dkk mengelompokkan neurosifilis
menjadi 4 jenis yaitu : asimtomatik, meningeal, parenkimatosa, dan gumatosa. Pada
neurosifilis meningeal didapatkan tanda dan gejala meningitis seperti demam, nyeri
kepala, kaku kuduk, kejang, delirium dan kelumpuhan saraf kranialis.
Sindrom Guillain-Barré (GBS) adalah serangan autoimun myelin saraf perifer yang
menghasilkan demielinasi segmental akut dan cepat pada saraf perifer dan beberapa saraf
kranial, menghasilkan kelemahan yang meningkat dengan dyskinesia (ketidakmampuan
untuk melakukan gerakan volunter), hyporeflexia, dan parestesia (mati rasa). Guillain-
Barré adalah hasil dari serangan kekebalan yang dimediasi sel pada protein myelin saraf
perifer. Teori yang paling diterima adalah bahwa organisme infeksius mengandung asam
amino yang meniru protein myelin saraf perifer.
Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh eksotoksin
(tetanuspasmin) bakteri clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang
anaerob, sporanya dapat bertahan ditanah dalam menginfeksi luka yang terkontaminasi.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum. Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja
pada beberapa level dari susunan syaraf pusat
B. Saran
Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Isi makalah kami masih memiliki
banyak kekurangan, kami mengharapkan kritik dan saran yang baik agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, D. C., & Hackley, J. C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Bulechek G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi Keenam. Jakarta:
EGC
Bologa, C., Lionte, C., & Halit, D. (2017). Neurosyphilis Masquerading as Sroke in an 84-year-
old. The Journal Of Critical Care Medicine, 3(2), 70-72.
Febrina, D., Cahyawari, D., Roslina, N., & dkk. (2017, September). Laporan Kasus : Neurosifilis
pada pasien sifilis sekunder dengan koinfeksi human immunodeficiency virus. Syifa
MEDIKA, 8(1).
Ismanoe G. in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata K, Setiati S, Interna Publishing, Jakarta, 2009, vol. 1, p.1799-1807
Moorhead Sue, dkk. 2013. Nursing Outcmes Classification (NOC) Edisi Kelima. Jakarta:
EGC.
Nanda. 2017. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11 editor Theather
Herdman, Shigemi Komitsuru. Jakarta : EGC.
Natalia, L., & Priyadi, A. (2012). Botulismus : Patogenesis, Diagnosis, Dan Pencegahan.
Wartazoa, 22(3), 127-140.
Roper MH, Wassilak SGF, Tiwari TSP, Orenstein WA. in Vaccines. ed. Plotkin SA, Orenstein
WA, Offit PA. Elsevier Inc, Philadelphia, 2013, p.747-772
Tanto C. In Kapita Selekta Kedokteran. ed. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Media
Aesculapius Publisher, Jakarta, 2014, p.982-983