PICU PEREMPUAN
RS JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
JAKARTA
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul “Manajemen Perilaku Kekerasan di R. PICU Perempuan RS Jiwa Dr.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memberi dukungan baik
secara moril dan materiil sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini
mengulas secara ilmiah tentang penatalaksanaan pasien perilaku kekerasan dari segi pelayanan
keperawatan yang merupakan suatu uraian dari pengalaman nyata pada praktik keperawatan di RS
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku agresif adalah temuan yang paling umum pada pasien dengan gangguan jiwa.
Perilaku patologis ini terjadi pada berbagai gangguan psikiatrik seperti ganguan bipolar,
skizofrenia dan demensia, Terdapat hubungan yang jelas antara skizofrenia dan kejadian
perilaku agresif (Arseneault L., 2000). Pasien dengan skizofrenia empat kali cenderung
melakukan kekerasan pada orang lain dan sepuluh kali lebih banyak melakukan pembunuhan
Perilaku agresif meliputi ancaman verbal atau penganiayaan, agresi terhadap objek dan
agresi yang diarahkan pada diri sendiri atau lingkungan. Kejadian kekerasan atau perilaku
agresif ini sangat sulit diprediksi pada pasien dengan ganguan jiwa dan lebih rumit jika disertai
agresif didahului dengan kebutuhan pasien tidak terpenuhi kemudian melalui serangkaian
tahapan eskalasi. Pada awal perilaku, pasien merasa bingung dan tidak mampu berpikir jernih
atau tidak memahami apa yang terjadi. Kemudian, fase disorientasi muncul dimana terdapat
peningkatan perasaan inkapasitas disertai dengan keinginan melarikan diri dari situasi. Jika
atau pada situasi apa kekerasan ini terjadi. Data tentang perilaku kekerasan pada pasien
psikiatrik sangat kurang untuk mengkaji jumlah kasus kekerasan secara tepat.
1
2
komprehensif dan tergantung pada berat perilaku dan lingkungan pasien, khususnya
pelayanan kesehatan dan keluarga. Konsep strategi layanan kesehatan ditujukan untuk pasien
risiko agresi dan aktif agresif. Strategi penanganan pasien risiko perilaku kekerasan mencakup
pengkajian risiko, intervensi lingkungan dan penanganan oleh staf terlatih. Pada saat ini
pasien secara paksa di ruang/area terkunci dimana pasien dibatasi zona geraknya dan tidak
farmakologis, atau fisik secara paksa, dimana lebih membatasi gerak pasien dibanding
seklusi).
Dalam makalah ini, akan dibahas review tentang pendekatan asuhan keperawatan yang
tindakan ini berisiko menghilangkan/mencederai hak asasi pasien sebagai manusia, jika tidak
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi angka kredit jabatan fungsional
perawat pada butir kegiatan pengembangan profesi membuat karya tulis/karya ilmiah berupa
tinjauan atau ulasan ilmiah dengan gagasan sendiri di bidang pelayanan keperawatan yang
khususnya pada asuhan keperawatan perilaku kekerasan di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan
Jakarta.
3
C. Metode Penulisan
kekerasan di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan dan manajemen perilaku kekerasan berdasarkan
Asuhan keperawatan perilaku kekerasan sering dilakukan terutama pada perawat yang
bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif PICU Laki-laki maupun
Perempuan di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta (RSJSH). Karena terlalu sering dilakukan,
perawat semakin melupakan prosedur yang seharusnya dilakukan dan melakukan tindakan-
tindakan praktis yang memudahkan meniadakan perilaku kekerasan pasien. Padahal hal ini akan
menjebak perawat pada kondisi malpraktis karena berisiko menghilangkan hak asasi pasien
sebagai manusia. Pada bab ini, penulis mencoba mereview kembali secara teoritis dan
A. Pengkajian Risiko
kejadian perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa. Pengkajian risiko terstruktur dapat
digunakan di unit psikiatrik sebagai bagian asuhan rutin. Staf dapat mengkaji derajat risiko,
dengan mengkaji jumlah karakteristik khas, perilaku, tanda atau tungkat dimana dapat terjadi
sebelum peristiwa agresif arau kekerasan (mis. konfusi, iritabel, teriak-teriak, ancaman verbal
amaman fisik dan menyerang objek, perilaku negatif, impulsif). Pengkajian risiko jangka
panjang dapat digunakan unuk memprediksi kekerasan atau agresif yang akan muncul saat
pasien kembali ke masyarakat setelah pulang dari RS, dan membuat keputusan tentang
perawatan pasien atau transfer dari ruang perawatan dengan keamanan tingkat tinggi ke
4
5
Pasien gangguan jiwa masuk lingkungan rumah sakit harus menggunakan skrining
standar dan seragam untuk risiko kekerasan dan perilaku agresif. Jika mungkin dengan
melibatkan pasien dan keluarganya pengkajian risiko adalah langkah awal dalam merancang
terapi atau rencana intervensi dengan mengenali kondisi unik pasien pemicu dan kebutuhan
perawatan yang juga sangat memikirkan pasien, staf dan orang lain. Semua harus dilakukan
tanpa memberi label pada pasien perilaku kekeraan atau agresif. Proses pengkajian risiko
harus berdasarkan kombinasi pengkajian risiko kuantitatif dan observasi klinis terhadap status
mental pasien. Jika mungkin skrining dan pengkajian risiko harus dikombinasikan dengan
keseluruhan pengkajian kebutuhan pasien, observasi klinis, konsultasi dan komunikasi haus
dilakukan oleh tim kesehatan dan juga orang terdekat pasien tentang status mental atau riwayat
gangguan (mis. Keluarga). Demikian juga, pengkajian berdasarkan pada observasi klinis dapat
juga mempertimbangkan pengalaman merawat pasien oleh staf dalam mencegah risiko,
lingkungan perawatan sepesifik dan perubahan cepat yang dapat terjadi pada risiko ketika
terapi diimplementasikan.
Dokumentasi berkelanjutan pada proses pengkajian risiko sangat penting. Dokumentasi juga
mencakup: keseluruhan tingkat bahaya pada orang lain yang diidentifikasi dan factor yang
berkontribusi pada risiko ini, meliputi instrument yang digunakan untuk menginformasikan
pengkajian risiko, factor yang berkontribusi risiko, sebelum riwayat kekerasan atau perilaku
agresif, adanya factor personal yang mungkin berkontribusi terhadap risiko seperti gejala atau
kondisi spesifik, dan pertimbangan lingkungan perawatan, adanya eskalasi pada sifat,
frekuensi, dan intensitas perilaku; sama seperti kondisi pasien saat ini terhadap akibat
6
kekerasan atau perilaku agresif pada lingkungan sekitarnya, target perilaku bertujuan dan
akibatnya.
tim kesehatan. Hal ini benar selama transisi perawatan dimana risiko kekerasan atau agresi
dapat meningkat karena kestidakstabilan observasi, pengenalan pemicu baru, atau perubahan
struktur keseharian. Rumah sakit harus mengembangkan proses untuk memastikan bahwa
menggunakan nilai PANSS EC untuk pasien skizofrenia. Positive and Negative Syndrome
Scale - Excited Component (PANSS-EC) diukur dengan cara memberikan nilai pada
impuls. PANSS-EC adalah instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
perilaku agresif atau agitasi. Hasil dari evaluasi PANSS-EC dapat digunakan untuk
anamnesis, skor dari kelima item penilaian dijumlahkan. Interpretasi skor PANSS-EC yang
1. Skor ≥ 10 - 14
Skor PANSS-EC > 10 - 14 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 4,
maka ini adalah indikasi untuk dilakukan intervensi medis. Dilakukan de-eskalasi melalui
2. Skor ≥15 - 19
Skor PANSS-EC > 15 - 19 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 5 atau
risiko menyakiti diri sendiri atau orang lain, maka ini adalah indikasi untuk rawat inap.
3. Skor ≥ 20
Skor PANSS-EC > 20 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 5 adalah
agresif. Kemudian digunakan kembali di ruang rawat inap untuk menentukan apakah pasien
dapat ditransfer dari ruang perawatan intensif (PICU) ke ruang perawatan pasien tenang
(ruang intermediat). Pasien juga dapat ditransfer kembali ke PICU jika pada evaluasi
B. Intervensi Lingkungan
Lingkungan rawat inap dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan
pasien dilakukan pemeriksaan barang-barang pribadi yang dibawa masuk ke ruang rawat inap.
Penelusuran kepala hingga ujung kaki yang sangat hati-hati dilakukan oleh staf di sebagian
besar fasilitas kesehatan mental untuk mencegah barang berbahaya memasuki ruang rawat
demi keselamatan. Televisi dan musik memiliki efek pada lingkungan terapeutik. Program-
program televisi harus bersifat terapeutik dan harus dipantau terhadap adanya program-
mempromosikan suasana yang menenangkan. Komunikasi antara pasien, staf dan pengasuh
memainkan peran penting dalam pencegahan agresi di antara pasien. Selalu komunikasi
terbuka yang jelas harus dilakukan dengan pasien karena dapat menyelesaikan
8
memiliki area atau ruangan khusus untuk tujuan mengurangi stimulasi; ruang aktivitas dan
ruang, yang mendorong pasien melakukan latihan fisik, interaksi kelompok, terapi dan
rekreasi; dan pasien memiliki akses ke luar ruang perawatan, untuk mendapatkan udara segar
dan cahaya matahari alami. Ruang seklusi harus ditujukan hanya untuk mengisolasi pasien.
Ruangan harus memungkinkan pengamatan yang jelas, terisolasi dengan baik dan
berventilasi, memiliki akses ke fasilitas toilet dan dapat menahan kerusakan. Tempat dekat
atau di sekitar pasien harus memiliki ketersediaan furnitur minimal dan benda-benda lain yang
insiden. Petugas keamanan harus dilatih tentang cara yang benar untuk menanggapi pasien
agresif. CCTV dan sistem alarm tidak boleh menjadi satu-satunya cara memantau perilaku.
Tombol bantuan dapat dipasang di area berisiko tinggi untuk membantu memanggil bantuan.
Selain itu, telepon seluler juga dapat membantu memeriksa rekan kerja yang berada dalam
situasi berbahaya dan mengirim pesan untuk memperingatkan staf lain yang sedang
menyebabkan pasien frustrasi. Staffing dan kualifikasi staf dalam mengelola kekerasan sangat
penting selama: transfer pasien, tanggap darurat, waktu makan, di malam hari, ketika sedang
memberi pengobatan atau menerima pasien dengan riwayat atau perilaku kekerasan, dan
PICU perempuan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan terdiri dari 2 (dua) ruang seklusi dan
1 (satu) ruang rawat gabung dengan kapasitas 11 pasien. Sedangkan perawat yang bertugas 2-
9
3 orang setiap shiftnya. Untuk perbandingan jumlah perawat dan pasien masih belum
memenuhi yaitu 1 : 5 dengan BOR rata-rata 80%. Ruang PICU dilengkapi dengan CCTV,
namun hal ini tidak dapat menggantikan fungsi observasi yang dilakukan oleh perawat terkait
kondisi perilaku agresif pasien. CCTV digunakan sebagai alat bantu mengawasi karena
staffing yang kurang di Ruang PICU. Sarana dan prasarana yang memadai untuk manajemen
perilaku kekerasan termasuk ruang seklusi sesuai standar dan alat pengekangan yang aman
menjadi penting untuk memberikan asuhan yang aman pada penanganan pasien.
Intervensi lingkungan lain tidak tersedia di Ruang PICU, pasien perlu ditransfer ke
ruang rawat lain untuk mendapatkan intervensi lingkungan untuk menurunkan perilaku
kekerasan dan agresifitas. Sesuai clinical pathway, masa rawat di PICU adalah 3-5 hari.
Sehingga pasien dapat memperoleh tindakan lain yang sesuai untuk pencegahan agresifitas
C. Intervensi Individual
1. De-eskalasi verbal
Strategi de-eskalasi verbal adalah metode non-koersif yang terbukti lebih efisien daripada
metode koersif. Ada tiga langkah dalam strategi ini: pertama, pasien secara verbal terlibat;
kemudian hubungan kolaboratif terjalin; dan, akhirnya, pasien secara verbal terdesesi
keluar dari keadaan gelisah. Keterampilan alami de-eskalasi verbal ada pada suatu
kontinum. Namun, hampir semua orang dapat mempelajari teknik-teknik de-eskalasi dan
berhasil menggunakannya jika terlatih dengan baik dan mengadopsi suatu keahlian
tertentu. Keterampilan yang paling esensial adalah sikap yang baik, dimulai dengan hal
positif bagi pasien dan kapasitas untuk empati. Staf harus dapat mengenali bahwa pasien
melakukan yang terbaik yang dia dapat dalam keadaan itu, yaitu pasien mengalami
10
kesulitan dalam menyesuaikan dengan apa yang diharapkan darinya. Sepuluh domain de-
a. Hormati ruang pribadi: Saat mendekati pasien yang gelisah, jaga jarak minimal 2
tubuh bahwa dia tidak akan membahayakan pasien, bahwa dia ingin mendengarkan,
c. Tetapkan kontak verbal: Perkenalkan diri Anda kepada pasien dan berikan orientasi
dan kepastian. Strategi yang baik adalah bersikap sopan. Beri tahu pasien jabatan dan
nama Anda. Segera kurangi kekhawatiran pasien tentang peran Anda dengan
menjelaskan bahwa Anda ada di sana untuk membuatnya tetap aman dan pastikan
d. Bicara dengan singkat dan sederhana: Karena pasien yang gelisah dapat terganggu
kosakata sederhana.
e. Mulai dari hal-hal yang sederhana: membicarakan hal-hal sederhana dapat membantu
memfasilitasi de-eskalasi yang cepat. Hal-hal sederhana meliputi hal-hal sepele yang
dikatakan pasien, bahasa tubuhnya, atau bahkan pertemuan masa lalu yang pernah
dialami pasien.
11
menyampaikan melalui pengakuan verbal, percakapan, dan bahasa tubuh bahwa dia
benar-benar memperhatikan pasien dan apa yang dia katakan dan rasakan.
g. Setuju atau sepakati untuk tidak setuju: Petugas kesehatan menunjukkan perilaku
empatik terhadap pasien dengan menemukan sesuatu tentang posisi pasien yang
dapat disetujuinya.
h. Tetapkan hukum dan tetapkan batas yang jelas: Tetapkan batas yang menunjukkan
niat dan keinginan Anda untuk membantu tetapi tidak disalahgunakan oleh pasien.
i. Tawarkan pilihan dan optimisme: Untuk pasien yang tidak memiliki apa-apa selain
berjuang atau melarikan diri, menawarkan pilihan dapat menjadi alat yang kuat.
Bersikap optimis kepada pasien dengan memberikan kerangka waktu yang realistis
untuk memecahkan masalah dan setuju untuk membantu pasien mengatasi masalah.
Biarkan pasien tahu bahwa segala sesuatunya akan membaik dan bahwa mereka akan
j. Berikan penjelasan pasien dan staf: Jika pengekangan atau kekuatan perlu digunakan,
penting bahwa staf dan pasien diberi penjelasan tentang tindakan setelah kejadian.
dan Kimia. Pengekangan hanya digunakan dalam keadaan darurat karena semua bentuk
pengekangan memiliki pengaruh traumatis pada pasien. Berikut ini adalah beberapa
indikasi untuk seklusi dan pengekangan: Untuk mengurangi stimulasi yang diterima
12
pasien, untuk perawatan sebagai bagian dari rencana terapi perilaku yang berkelanjutan,
untuk mencegah gangguan serius dari program perawatan atau kerusakan signifikan pada
lingkungan fisik, untuk mencegah bahaya yang akan segera terjadi pada pasien atau orang
lain ketika cara pengendalian perilaku lain tidak efektif atau tidak tepat, dan digunakan
a. Seklusi
terpisah yang dikunci (yaitu, seklusi) membatasi akses di luar kamar pasien (yaitu,
ruang terkunci) dan membatasi akses di luar unit (yaitu, unit terkunci). Seklusi adalah
memisahkan pasien dalam ruang khusus secara involunter di mana pasien secara fisik
berbahaya pada diri sendiri atau orang lain. Ruang ini dirancang melindungi
keamanan pasien (yaitu bebas dari bahaya menyakiti dirinya sendiri) dan mudah
diobservasi oleh staf klinis. Dalam beberapa kasus, di mana ruang seklusi tidak
tersedia, seklusi juga dapat dilakukan di kamarnya sendiri. Seklusi adalah tindakan
sementara dan tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kecendrungan keinginan
bunuh diri atau berisiko membahayakan diri sendiri (misalnya, membenturkan kepala
ke dinding). Seklusi bisa memperburuk distress pasien dan memunculkan ide bunuh
diri. Seklusi juga tidak boleh digunakan pada orang yang memiliki kondisi medis
yang memerlukan pemantauan ketat (mis. seseorang dengan masalah jantung atau
pernapasan dan mengalami tanda samar distress fisik yang mungkin terlewatkan).
Ruang seklusi harus dapat memfasilitasi staf untuk melakukan observasi dan
13
berkomunikasi dengan pasien, terisolasi dengan baik, ventilasi baik, kontrol suhu di
luar ruangan, memiliki akses ke toilet dan tempat mandi, memiliki furnitur, jendela
dan pintu dirancang dapat menahan kerusakan. Pastikan seklusi dilakukan sesingkat
mungkin. Kaji kebutuhan seklusi sedikitnya setiap dua jam dan sampaikan pada
pasien. Lakukan observasi secara periodik. Pastikan staf terlatih dalam melakukan
observasi, dan upayakan tidak terlihat oleh pasien. Pastikan pasien seklusi terjaga
kegiatan ibadah dan rutinitasnya, kecuali yang membahayakan keselamatan diri atau
orang lain. Ruang seklusi digunakan untuk memastikan keselamatan pasien yang
berisiko mencederai diri atau orang lain dengan membatasi meninggalkan unit
b. Pengekangan fisik
Pengekangan fisik sebaiknya tidak digunakan dan tidak boleh menjadi bagian dari
pasien sementara. Metode ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir karena pasien
tidak dapat mengontrol perilaku setelah teknik de-eskalasi verbal tidak dapat
digunakan. Penggunaan pengkangan fisik perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati
untuk mencegah terjadinya cedera. Pengendalian fisik dilakukan oleh staf terlatih
yang bekerja sama dalam tim krisis. Setiap staf harus memahami peran masing-
masing dan dengan komando yang jelas. Ketika menggunakan pengekangan manual,
hindari menjatuhkan pasien ke lantai. Tetapi jika diperlukan, lakukan dengan posisi
supinasi (menghadap ke atas) jika mungkin atau jika posisi rawan (menghadap ke
bawah) diperlukan, lakukan dengan cepat dan hati-hati. Pengekang tidak boleh
14
menghalangi mata, telinga atau mulut. Pastikan pengekangan sesuai dengan standar
operasional prosedur yang berlaku, manusiawi, tepat, wajar, dan sesingkat mungkin.
Prosedur harus dijelaskan pada pasien, termasuk tujuan, manfaat dan prosedur yang
dilakukan.
Pengekangan mekanis adalah alat atau aplikasi yang dapat membatasi kebebasan
mekanis harus secara teratur dimonitor terhadap adanya tanda hambatan aliran darah.
Kaji area tekan dan lakukan perawatan pada area tonjolan tulang yang berisiko terjadi
luka tekan (tulang ekor, tumit dan siku). Penuhi kebutuhan pasien untuk makan dan
perawat dapat menilai pengendalian emosi pasien dari pola komunikasi yang
dilakukan. Perawat bersama pasien menetapkan batas yang jelas tentang perilaku
perlu mendampingi individu selama waktu tertentu untuk memberikan dukungan dan
c. Pengekangan Kimia
adalah pemberian obat psikotropika dalam situasi pasien kehilangan kontrol perilaku
atau risiko kehilangan kontrol perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri, orang
lain atau lingkungan. Pemberian obat-obatan oral harus mendapat prioritas di atas
baik, efek sedatif dalam dosis yang lebih tinggi dan cara pemberiannya. Keterbatasan
obat-obat ini adalah efek samping yang terkenal termasuk dystonia akut, gejala
ekstrapiramidal (EPS), akatisia, hipotensi dan nyeri saat injeksi pada agens potensi
digunakan dalam pengobatan agitasi psikotik untuk efek sedatif dan ansiolitik
Antipsikotik generasi kedua umumnya efektif dan aman dalam pengelolaan perilaku
gelisah. Clozapine secara luas diakui sebagai obat antiagresif yang sangat efektif
dalam pengobatan agresi dan agitasi pada pasien psikiatri, terlepas dari diagnosis
psikiatri (Brieden T., et al., 2002). Namun, penggunaannya terbatas karena masalah
Ziprasidone juga digunakan dalam fase maintenance pasien perilaku agresif. Setelah
pemberian obat, pasien harus dimonitor untuk efek samping dan nadi pasien, tekanan
16
darah, laju pernapasan, suhu, tingkat hidrasi dan tingkat kesadaran setidaknya setiap
terintegrasi, masing-masing profesi kesehatan bekerja sama dalam tim baik dalam penanganan
krisis sampai dengan pencegahan krisis dan maintenance-nya. Pasien perilaku kekerasan atau
agresif dilakukan pendekatan secara persuasif lebih dahulu, de-eskalasi verbal oleh perawat
terlatih diharapkan dapat menurunkan tingkat agresif. Jika tidak dapat, maka pasien dapat
dilakukan tindakan krisis dari pengekangan kimiawi, seklusi sampai dengan pengekangan
fisik. Jika pasien sudah melalui fase krisisnya, perawat akan melatih kemampuan koping
intermediat jika skor PANSS-EC ≤ 15, dan dilanjutkan latihan di ruang intermediat.
Pelatihan staf dalam teknik de-eskalasi sangat penting dalam program manajemen
agresi (Mcknight S., 2014). Pelatihan harus memungkinkan staf mengembangkan pendekatan
yang berpusat pada pasien. Pelatihan staf tentang manajemen perilaku agresif bervariasi
membahas faktor-faktor berikut: memahami teori agresi dan kekerasan pada pasien gangguan
jiwa, menilai bahaya dan tindakan pencegahan pada pasien, keterampilan pencegahan agresi
Staf yang terlibat dalam tim krisis harus benar terlatih dalam manajemen perilaku
kekerasan atau agresif, termasuk petugas keamanan yang memberikan bantuan. Kesalahan
17
bertindak dapat menyebabkan cedera akibat perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien
baik pada pasien sendiri, pada orang lain termasuk petugas kesehatan dan petugas keamanan,
maupun pada lingkungan sekitarnya. Pelatihan harus diperbaharui setidaknya 3 (tiga) tahun
sekali. Petugas kesehatan baik dokter dan perawat serta petugas keamanan yang baru
ditugaskan di IGD maupun PICU harus mendapatkan pelatihan yang adekuat terkait
manajemen perilaku kekerasan ini, sehingga dapat melaksanakan sesuai standar dan menjamin
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku agresif yang ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa di rumah sakit dapat
dicegah dengan asesmen awal dan strategi intervensi. Setiap rumah sakit harus memiliki
rencana pencegahan kekerasan yang menjamin keselamatan pasien dan staf. Rencana tersebut
harus bersifat holistik dan mencakup strategi manajemen untuk pasien yang berisiko agresi
dan agresif aktif. Penerapan rencana tersebut akan membantu dalam terapi dan pemulihan
pasien.
berpotensi menimbulkan trauma psikologis dan fisik pada pasien. Teknik-teknik de-eskalasi
diminimalkan.
kekerasan yang adekuat juga. Hal ini akan menjamin keselamatan pasien dan staf yang terlibat
dalam penanganannya. Sarana dan prasarana yang memadai juga mendukung pelaksanaan
B. Rekomendasi
(agresif aktif) dan risiko perilaku kekerasan, baik dalam bentuk formal dan informal.
19
pasien gangguan jiwa khususnya pengekangan serta menyediakan sarana dan prasarana
Arseneault L., et al. “Mental disorders and violence in a total birth cohort: results from the Dunedin
Mcknight S. “The Nature of Violence: Origins and Prevention of Healthcare Violence”. Journal
20