Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN PERILAKU KEKERASAN DI R.

PICU PEREMPUAN
RS JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN
JAKARTA

Dedeh Nurorbani Adrian

RS JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk

menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada

baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat

nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu

berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan

makalah dengan judul “Manajemen Perilaku Kekerasan di R. PICU Perempuan RS Jiwa Dr.

Soeharto Heerdjan Jakarta”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang memberi dukungan baik

secara moril dan materiil sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini

mengulas secara ilmiah tentang penatalaksanaan pasien perilaku kekerasan dari segi pelayanan

keperawatan yang merupakan suatu uraian dari pengalaman nyata pada praktik keperawatan di RS

Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih

banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik

serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah

yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf

yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Februari 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1


A. Latar Belakang ……………………………………………………………………. 1
B. Tujuan Penulisan ………………………………………………………………….. 2
C. Metode Penulisan …………………………………………………………………. 3

BAB II MANAJEMEN PERILAKU KEKERASAN ANTARA TEORI DAN


PEMBAHASAN ………………………………………………………………………….. 4
A. Pengkajian Perilaku ……………………………………………………………….. 4
B. Intervensi Lingkungan ……………………………………………………………. 7
C. Intervensi Individual ……………………………………………………………… 9
D. Intervensi Pelatihan Staf ………………………………………………………...... 16

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………….. 18


A. Kesimpulan ……………………………………………………………………….. 18
B. Rekomendasi ……………………………………………………………………… 18

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku agresif adalah temuan yang paling umum pada pasien dengan gangguan jiwa.

Perilaku patologis ini terjadi pada berbagai gangguan psikiatrik seperti ganguan bipolar,

skizofrenia dan demensia, Terdapat hubungan yang jelas antara skizofrenia dan kejadian

perilaku agresif (Arseneault L., 2000). Pasien dengan skizofrenia empat kali cenderung

melakukan kekerasan pada orang lain dan sepuluh kali lebih banyak melakukan pembunuhan

daripada populasi sehat pada umumnya (Carlsson G., 2006).

Perilaku agresif meliputi ancaman verbal atau penganiayaan, agresi terhadap objek dan

agresi yang diarahkan pada diri sendiri atau lingkungan. Kejadian kekerasan atau perilaku

agresif ini sangat sulit diprediksi pada pasien dengan ganguan jiwa dan lebih rumit jika disertai

factor-faktor seperti penyalahgunaan obat atau alkohol, PHK, gangguan kepribadian

komorbid, ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan riwayat kekerasan sebelumnya. Episode

agresif didahului dengan kebutuhan pasien tidak terpenuhi kemudian melalui serangkaian

tahapan eskalasi. Pada awal perilaku, pasien merasa bingung dan tidak mampu berpikir jernih

atau tidak memahami apa yang terjadi. Kemudian, fase disorientasi muncul dimana terdapat

peningkatan perasaan inkapasitas disertai dengan keinginan melarikan diri dari situasi. Jika

kebutuhan pasien tetap tidak terpenuhi, pasien akan kehilangan kendali.

Penelitian-penelitian yang ada tidak menyajikan informasi identitas target kekerasan

atau pada situasi apa kekerasan ini terjadi. Data tentang perilaku kekerasan pada pasien

psikiatrik sangat kurang untuk mengkaji jumlah kasus kekerasan secara tepat.

1
2

Manajemen perilaku kekerasan memerlukan pendekatan asuhan professional secara

komprehensif dan tergantung pada berat perilaku dan lingkungan pasien, khususnya

pelayanan kesehatan dan keluarga. Konsep strategi layanan kesehatan ditujukan untuk pasien

risiko agresi dan aktif agresif. Strategi penanganan pasien risiko perilaku kekerasan mencakup

pengkajian risiko, intervensi lingkungan dan penanganan oleh staf terlatih. Pada saat ini

pendekatan asuhan pasien perilaku kekerasan masih menggunakan seklusi (penempatan

pasien secara paksa di ruang/area terkunci dimana pasien dibatasi zona geraknya dan tidak

boleh meninggalkan ruangan) atau pengekangan (pemasangan intervensi mekanis,

farmakologis, atau fisik secara paksa, dimana lebih membatasi gerak pasien dibanding

seklusi).

Dalam makalah ini, akan dibahas review tentang pendekatan asuhan keperawatan yang

seharusnya dilakukan sebelum digunakan tindakan seklusi dan pengekangan. Mengingat

tindakan ini berisiko menghilangkan/mencederai hak asasi pasien sebagai manusia, jika tidak

dilakukan oleh staf terlatih.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi angka kredit jabatan fungsional

perawat pada butir kegiatan pengembangan profesi membuat karya tulis/karya ilmiah berupa

tinjauan atau ulasan ilmiah dengan gagasan sendiri di bidang pelayanan keperawatan yang

tidak dipublikasikan dalam bentuk makalah.

Makalah ini juga ditujukan sebagai kontribusi dalam pengembangan pelayanan

khususnya pada asuhan keperawatan perilaku kekerasan di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan

Jakarta.
3

C. Metode Penulisan

Metode penulisan dalam makalah ini adalah membandingkan manajemen perilaku

kekerasan di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan dan manajemen perilaku kekerasan berdasarkan

teori-teori yang ditelusuri melalui studi kepustakaan.


BAB II

MANAJEMEN PERILAKU KEKERASAN

ANTARA TEORI DAN PELAKSANAAN

Asuhan keperawatan perilaku kekerasan sering dilakukan terutama pada perawat yang

bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang perawatan intensif PICU Laki-laki maupun

Perempuan di RS Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta (RSJSH). Karena terlalu sering dilakukan,

perawat semakin melupakan prosedur yang seharusnya dilakukan dan melakukan tindakan-

tindakan praktis yang memudahkan meniadakan perilaku kekerasan pasien. Padahal hal ini akan

menjebak perawat pada kondisi malpraktis karena berisiko menghilangkan hak asasi pasien

sebagai manusia. Pada bab ini, penulis mencoba mereview kembali secara teoritis dan

membandingkan dengan pelaksanaannya.

A. Pengkajian Risiko

Pengkajian risiko utamanya berfokus pada strategi preventif untuk menurunkan

kejadian perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa. Pengkajian risiko terstruktur dapat

digunakan di unit psikiatrik sebagai bagian asuhan rutin. Staf dapat mengkaji derajat risiko,

dengan mengkaji jumlah karakteristik khas, perilaku, tanda atau tungkat dimana dapat terjadi

sebelum peristiwa agresif arau kekerasan (mis. konfusi, iritabel, teriak-teriak, ancaman verbal

amaman fisik dan menyerang objek, perilaku negatif, impulsif). Pengkajian risiko jangka

panjang dapat digunakan unuk memprediksi kekerasan atau agresif yang akan muncul saat

pasien kembali ke masyarakat setelah pulang dari RS, dan membuat keputusan tentang

perawatan pasien atau transfer dari ruang perawatan dengan keamanan tingkat tinggi ke

keamanan yang lebih rendah.

4
5

Pasien gangguan jiwa masuk lingkungan rumah sakit harus menggunakan skrining

standar dan seragam untuk risiko kekerasan dan perilaku agresif. Jika mungkin dengan

melibatkan pasien dan keluarganya pengkajian risiko adalah langkah awal dalam merancang

terapi atau rencana intervensi dengan mengenali kondisi unik pasien pemicu dan kebutuhan

perawatan yang juga sangat memikirkan pasien, staf dan orang lain. Semua harus dilakukan

tanpa memberi label pada pasien perilaku kekeraan atau agresif. Proses pengkajian risiko

harus berdasarkan kombinasi pengkajian risiko kuantitatif dan observasi klinis terhadap status

mental pasien. Jika mungkin skrining dan pengkajian risiko harus dikombinasikan dengan

keseluruhan pengkajian kebutuhan pasien, observasi klinis, konsultasi dan komunikasi haus

dilakukan oleh tim kesehatan dan juga orang terdekat pasien tentang status mental atau riwayat

gangguan (mis. Keluarga). Demikian juga, pengkajian berdasarkan pada observasi klinis dapat

juga mempertimbangkan pengalaman merawat pasien oleh staf dalam mencegah risiko,

lingkungan perawatan sepesifik dan perubahan cepat yang dapat terjadi pada risiko ketika

terapi diimplementasikan.

Dokumentasi adalah prinsip utama lain yang menggambarkan proses pengkajian.

Dokumentasi berkelanjutan pada proses pengkajian risiko sangat penting. Dokumentasi juga

mencakup: keseluruhan tingkat bahaya pada orang lain yang diidentifikasi dan factor yang

berkontribusi pada risiko ini, meliputi instrument yang digunakan untuk menginformasikan

pengkajian risiko, factor yang berkontribusi risiko, sebelum riwayat kekerasan atau perilaku

agresif, adanya factor personal yang mungkin berkontribusi terhadap risiko seperti gejala atau

kondisi spesifik, dan pertimbangan lingkungan perawatan, adanya eskalasi pada sifat,

frekuensi, dan intensitas perilaku; sama seperti kondisi pasien saat ini terhadap akibat
6

kekerasan atau perilaku agresif pada lingkungan sekitarnya, target perilaku bertujuan dan

akibatnya.

Komunikasi tentang risiko, mencakup membagi dokumentasi, yang terjadi di dalam

tim kesehatan. Hal ini benar selama transisi perawatan dimana risiko kekerasan atau agresi

dapat meningkat karena kestidakstabilan observasi, pengenalan pemicu baru, atau perubahan

struktur keseharian. Rumah sakit harus mengembangkan proses untuk memastikan bahwa

risiko ini disampaikan pada tim kesehatan.

Skrining pasien perilaku kekerasan di RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan dilakukan

menggunakan nilai PANSS EC untuk pasien skizofrenia. Positive and Negative Syndrome

Scale - Excited Component (PANSS-EC) diukur dengan cara memberikan nilai pada

komponen gaduh gelisah, ketegangan, permusuhan, tidak kooperatif, dan pengendalian

impuls. PANSS-EC adalah instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan

perilaku agresif atau agitasi. Hasil dari evaluasi PANSS-EC dapat digunakan untuk

menentukan pendekatan terapi pada pasien.

Setelah dilakukan penilaian untuk skor masing-masing item penilaian selama

anamnesis, skor dari kelima item penilaian dijumlahkan. Interpretasi skor PANSS-EC yang

digunakan sebagai berikut:

1. Skor ≥ 10 - 14

Skor PANSS-EC > 10 - 14 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 4,

maka ini adalah indikasi untuk dilakukan intervensi medis. Dilakukan de-eskalasi melalui

persuasi verbal. Bila de-eskalasi gagal menenangkan pasien, maka pertimbangkan

pemberian antipsikotik oral


7

2. Skor ≥15 - 19

Skor PANSS-EC > 15 - 19 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 5 atau

risiko menyakiti diri sendiri atau orang lain, maka ini adalah indikasi untuk rawat inap.

3. Skor ≥ 20

Skor PANSS-EC > 20 dan salah satu atau lebih komponen mempunyai skor > 5 adalah

indikasi untuk seklusi dan restrain fisik.

PANSS-EC digunakan di IGD untuk menentukan tindakan pertama pada pasien

agresif. Kemudian digunakan kembali di ruang rawat inap untuk menentukan apakah pasien

dapat ditransfer dari ruang perawatan intensif (PICU) ke ruang perawatan pasien tenang

(ruang intermediat). Pasien juga dapat ditransfer kembali ke PICU jika pada evaluasi

ditemukan peningkatan agresifitas pasien.

B. Intervensi Lingkungan

Lingkungan rawat inap dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengelolaan

perilaku terganggu/kekerasan karena dapat mengurangi risiko insiden kekerasan. Semua

pasien dilakukan pemeriksaan barang-barang pribadi yang dibawa masuk ke ruang rawat inap.

Penelusuran kepala hingga ujung kaki yang sangat hati-hati dilakukan oleh staf di sebagian

besar fasilitas kesehatan mental untuk mencegah barang berbahaya memasuki ruang rawat

demi keselamatan. Televisi dan musik memiliki efek pada lingkungan terapeutik. Program-

program televisi harus bersifat terapeutik dan harus dipantau terhadap adanya program-

program kekerasan. Musik relaksasi bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan

mempromosikan suasana yang menenangkan. Komunikasi antara pasien, staf dan pengasuh

memainkan peran penting dalam pencegahan agresi di antara pasien. Selalu komunikasi

terbuka yang jelas harus dilakukan dengan pasien karena dapat menyelesaikan
8

kesalahpahaman sebelum menjadi masalah perilaku. Fasilitas perawatan kesehatan harus

memiliki area atau ruangan khusus untuk tujuan mengurangi stimulasi; ruang aktivitas dan

ruang, yang mendorong pasien melakukan latihan fisik, interaksi kelompok, terapi dan

rekreasi; dan pasien memiliki akses ke luar ruang perawatan, untuk mendapatkan udara segar

dan cahaya matahari alami. Ruang seklusi harus ditujukan hanya untuk mengisolasi pasien.

Ruangan harus memungkinkan pengamatan yang jelas, terisolasi dengan baik dan

berventilasi, memiliki akses ke fasilitas toilet dan dapat menahan kerusakan. Tempat dekat

atau di sekitar pasien harus memiliki ketersediaan furnitur minimal dan benda-benda lain yang

dapat digunakan sebagai senjata.

Petugas keamanan dipekerjakan di fasilitas perawatan kesehatan mental terkait potensi

insiden. Petugas keamanan harus dilatih tentang cara yang benar untuk menanggapi pasien

agresif. CCTV dan sistem alarm tidak boleh menjadi satu-satunya cara memantau perilaku.

Tombol bantuan dapat dipasang di area berisiko tinggi untuk membantu memanggil bantuan.

Selain itu, telepon seluler juga dapat membantu memeriksa rekan kerja yang berada dalam

situasi berbahaya dan mengirim pesan untuk memperingatkan staf lain yang sedang

mengalami kesulitan. Staffing berperan penting dalam terjadinya insiden kekerasan.

Kekurangan staf dapat menyebabkan terlambatnya pemberian perawatan/terapi, lebih lanjut

menyebabkan pasien frustrasi. Staffing dan kualifikasi staf dalam mengelola kekerasan sangat

penting selama: transfer pasien, tanggap darurat, waktu makan, di malam hari, ketika sedang

memberi pengobatan atau menerima pasien dengan riwayat atau perilaku kekerasan, dan

periode ketika agresi meningkat (sundowning) (Mcknight S, 2014).

PICU perempuan RS Jiwa dr. Soeharto Heerdjan terdiri dari 2 (dua) ruang seklusi dan

1 (satu) ruang rawat gabung dengan kapasitas 11 pasien. Sedangkan perawat yang bertugas 2-
9

3 orang setiap shiftnya. Untuk perbandingan jumlah perawat dan pasien masih belum

memenuhi yaitu 1 : 5 dengan BOR rata-rata 80%. Ruang PICU dilengkapi dengan CCTV,

namun hal ini tidak dapat menggantikan fungsi observasi yang dilakukan oleh perawat terkait

kondisi perilaku agresif pasien. CCTV digunakan sebagai alat bantu mengawasi karena

staffing yang kurang di Ruang PICU. Sarana dan prasarana yang memadai untuk manajemen

perilaku kekerasan termasuk ruang seklusi sesuai standar dan alat pengekangan yang aman

menjadi penting untuk memberikan asuhan yang aman pada penanganan pasien.

Intervensi lingkungan lain tidak tersedia di Ruang PICU, pasien perlu ditransfer ke

ruang rawat lain untuk mendapatkan intervensi lingkungan untuk menurunkan perilaku

kekerasan dan agresifitas. Sesuai clinical pathway, masa rawat di PICU adalah 3-5 hari.

Sehingga pasien dapat memperoleh tindakan lain yang sesuai untuk pencegahan agresifitas

perilaku kekerasan, setelah fase krisisnya selesai.

C. Intervensi Individual

1. De-eskalasi verbal

Strategi de-eskalasi verbal adalah metode non-koersif yang terbukti lebih efisien daripada

metode koersif. Ada tiga langkah dalam strategi ini: pertama, pasien secara verbal terlibat;

kemudian hubungan kolaboratif terjalin; dan, akhirnya, pasien secara verbal terdesesi

keluar dari keadaan gelisah. Keterampilan alami de-eskalasi verbal ada pada suatu

kontinum. Namun, hampir semua orang dapat mempelajari teknik-teknik de-eskalasi dan

berhasil menggunakannya jika terlatih dengan baik dan mengadopsi suatu keahlian

tertentu. Keterampilan yang paling esensial adalah sikap yang baik, dimulai dengan hal

positif bagi pasien dan kapasitas untuk empati. Staf harus dapat mengenali bahwa pasien

melakukan yang terbaik yang dia dapat dalam keadaan itu, yaitu pasien mengalami
10

kesulitan dalam menyesuaikan dengan apa yang diharapkan darinya. Sepuluh domain de-

eskalasi mencakup hal-hal berikut:

a. Hormati ruang pribadi: Saat mendekati pasien yang gelisah, jaga jarak minimal 2

lengan antara Anda dan pasien.

b. Jangan bersikap provokatif: Petugas kesehatan harus menunjukkan dengan bahasa

tubuh bahwa dia tidak akan membahayakan pasien, bahwa dia ingin mendengarkan,

dan bahwa dia ingin semua orang aman.

c. Tetapkan kontak verbal: Perkenalkan diri Anda kepada pasien dan berikan orientasi

dan kepastian. Strategi yang baik adalah bersikap sopan. Beri tahu pasien jabatan dan

nama Anda. Segera kurangi kekhawatiran pasien tentang peran Anda dengan

menjelaskan bahwa Anda ada di sana untuk membuatnya tetap aman dan pastikan

tidak ada bahaya yang datang kepadanya atau orang lain.

d. Bicara dengan singkat dan sederhana: Karena pasien yang gelisah dapat terganggu

kemampuannya untuk memproses informasi verbal, gunakan kalimat pendek dan

kosakata sederhana.

e. Mulai dari hal-hal yang sederhana: membicarakan hal-hal sederhana dapat membantu

pemeriksa mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pasien. Bicara tentang hal

sederhana memungkinkan untuk menanggapi secara empati dan menyatakan

keinginan untuk membantu pasien mendapatkan apa yang diinginkannya,

memfasilitasi de-eskalasi yang cepat. Hal-hal sederhana meliputi hal-hal sepele yang

dikatakan pasien, bahasa tubuhnya, atau bahkan pertemuan masa lalu yang pernah

dialami pasien.
11

f. Dengarkan baik-baik apa yang dikatakan pasien: Petugas kesehatan harus

menyampaikan melalui pengakuan verbal, percakapan, dan bahasa tubuh bahwa dia

benar-benar memperhatikan pasien dan apa yang dia katakan dan rasakan.

g. Setuju atau sepakati untuk tidak setuju: Petugas kesehatan menunjukkan perilaku

empatik terhadap pasien dengan menemukan sesuatu tentang posisi pasien yang

dapat disetujuinya.

h. Tetapkan hukum dan tetapkan batas yang jelas: Tetapkan batas yang menunjukkan

niat dan keinginan Anda untuk membantu tetapi tidak disalahgunakan oleh pasien.

i. Tawarkan pilihan dan optimisme: Untuk pasien yang tidak memiliki apa-apa selain

berjuang atau melarikan diri, menawarkan pilihan dapat menjadi alat yang kuat.

Bersikap optimis kepada pasien dengan memberikan kerangka waktu yang realistis

untuk memecahkan masalah dan setuju untuk membantu pasien mengatasi masalah.

Biarkan pasien tahu bahwa segala sesuatunya akan membaik dan bahwa mereka akan

aman dan dapat kembali mengendalikan diri.

j. Berikan penjelasan pasien dan staf: Jika pengekangan atau kekuatan perlu digunakan,

penting bahwa staf dan pasien diberi penjelasan tentang tindakan setelah kejadian.

2. Pengekangan dan Seklusi

Istilah pengekangan dalam konteks kedaruratan gangguan jiwa mengacu pada

pembatasan pergerakan pasien atau membatasi keadaan kesadaran secara mental.

Pengekangan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: Lingkungan, Fisik atau Mekanik

dan Kimia. Pengekangan hanya digunakan dalam keadaan darurat karena semua bentuk

pengekangan memiliki pengaruh traumatis pada pasien. Berikut ini adalah beberapa

indikasi untuk seklusi dan pengekangan: Untuk mengurangi stimulasi yang diterima
12

pasien, untuk perawatan sebagai bagian dari rencana terapi perilaku yang berkelanjutan,

untuk mencegah gangguan serius dari program perawatan atau kerusakan signifikan pada

lingkungan fisik, untuk mencegah bahaya yang akan segera terjadi pada pasien atau orang

lain ketika cara pengendalian perilaku lain tidak efektif atau tidak tepat, dan digunakan

atas permintaan pasien.

a. Seklusi

Pengendalian lingkungan termasuk yang berikut: penempatan pasien di ruang

terpisah yang dikunci (yaitu, seklusi) membatasi akses di luar kamar pasien (yaitu,

ruang terkunci) dan membatasi akses di luar unit (yaitu, unit terkunci). Seklusi adalah

memisahkan pasien dalam ruang khusus secara involunter di mana pasien secara fisik

dibatasi zona geraknya. Seklusi digunakan ketika seseorang tidak dapat

mengendalikan emosi kekerasannya dan berpotensi akan melakukan perilaku

berbahaya pada diri sendiri atau orang lain. Ruang ini dirancang melindungi

keamanan pasien (yaitu bebas dari bahaya menyakiti dirinya sendiri) dan mudah

diobservasi oleh staf klinis. Dalam beberapa kasus, di mana ruang seklusi tidak

tersedia, seklusi juga dapat dilakukan di kamarnya sendiri. Seklusi adalah tindakan

sementara dan tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kecendrungan keinginan

bunuh diri atau berisiko membahayakan diri sendiri (misalnya, membenturkan kepala

ke dinding). Seklusi bisa memperburuk distress pasien dan memunculkan ide bunuh

diri. Seklusi juga tidak boleh digunakan pada orang yang memiliki kondisi medis

yang memerlukan pemantauan ketat (mis. seseorang dengan masalah jantung atau

pernapasan dan mengalami tanda samar distress fisik yang mungkin terlewatkan).

Ruang seklusi harus dapat memfasilitasi staf untuk melakukan observasi dan
13

berkomunikasi dengan pasien, terisolasi dengan baik, ventilasi baik, kontrol suhu di

luar ruangan, memiliki akses ke toilet dan tempat mandi, memiliki furnitur, jendela

dan pintu dirancang dapat menahan kerusakan. Pastikan seklusi dilakukan sesingkat

mungkin. Kaji kebutuhan seklusi sedikitnya setiap dua jam dan sampaikan pada

pasien. Lakukan observasi secara periodik. Pastikan staf terlatih dalam melakukan

observasi, dan upayakan tidak terlihat oleh pasien. Pastikan pasien seklusi terjaga

penggunaan pakaiannya juga barang-barang pribadinya, termasuk kebutuhan

kegiatan ibadah dan rutinitasnya, kecuali yang membahayakan keselamatan diri atau

orang lain. Ruang seklusi digunakan untuk memastikan keselamatan pasien yang

berisiko mencederai diri atau orang lain dengan membatasi meninggalkan unit

kecuali dengan pengawasan yang tepat.

b. Pengekangan fisik

Pengekangan fisik sebaiknya tidak digunakan dan tidak boleh menjadi bagian dari

program perawatan rutin. Metode pengekangan fisik untuk membatasi pergerakan

pasien sementara. Metode ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir karena pasien

tidak dapat mengontrol perilaku setelah teknik de-eskalasi verbal tidak dapat

digunakan. Penggunaan pengkangan fisik perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati

untuk mencegah terjadinya cedera. Pengendalian fisik dilakukan oleh staf terlatih

yang bekerja sama dalam tim krisis. Setiap staf harus memahami peran masing-

masing dan dengan komando yang jelas. Ketika menggunakan pengekangan manual,

hindari menjatuhkan pasien ke lantai. Tetapi jika diperlukan, lakukan dengan posisi

supinasi (menghadap ke atas) jika mungkin atau jika posisi rawan (menghadap ke

bawah) diperlukan, lakukan dengan cepat dan hati-hati. Pengekang tidak boleh
14

mengganggu kemampuan pasien untuk berkomunikasi, misalnya dengan

menghalangi mata, telinga atau mulut. Pastikan pengekangan sesuai dengan standar

operasional prosedur yang berlaku, manusiawi, tepat, wajar, dan sesingkat mungkin.

Prosedur harus dijelaskan pada pasien, termasuk tujuan, manfaat dan prosedur yang

dilakukan.

Pengekangan mekanis adalah alat atau aplikasi yang dapat membatasi kebebasan

pergerakan. Alat ini termasuk pengekangan pinggang, panggul, pengekangan

pergelangan, dan selimut. Ekstermitas tungkai yang dilakukan pengekangan secara

mekanis harus secara teratur dimonitor terhadap adanya tanda hambatan aliran darah.

Kaji area tekan dan lakukan perawatan pada area tonjolan tulang yang berisiko terjadi

luka tekan (tulang ekor, tumit dan siku). Penuhi kebutuhan pasien untuk makan dan

minum dan BAB BAK.

Mengakhiri Pengekangan Fisik

Keputusan untuk mengakhiri pengekangan fisik harus direncanakan. Melepsakan

pengekangan didahului dengan reasesmen dan komunikasi dengan pasien, sehingga

perawat dapat menilai pengendalian emosi pasien dari pola komunikasi yang

dilakukan. Perawat bersama pasien menetapkan batas yang jelas tentang perilaku

pengendalian emosi yang diharapkan jika pengekangan dilepaskan. Jika terjadi

kesepakatan perilaku. Alat pengekang dilepaskan secara bertahap, dilonggarkan

kemudian dilepaskan, dimulai dari ektremitas yang tidak dominan ke dominan.

Amati kemampuan pengendalian emosi, saat melepaskan pengekangan. Perawat

perlu mendampingi individu selama waktu tertentu untuk memberikan dukungan dan

memperkuat perilaku positif (National Institute for Clinical Excellence, 2005).


15

c. Pengekangan Kimia

Dalam perawatan gangguan jiwa, terdapat obat-obat yang diformulasikan untuk

mengobati gejala dan mengelola keadaan kedaruratan perilaku. Pengekangan kimia

adalah pemberian obat psikotropika dalam situasi pasien kehilangan kontrol perilaku

atau risiko kehilangan kontrol perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri, orang

lain atau lingkungan. Pemberian obat-obatan oral harus mendapat prioritas di atas

pemberian obat-obatan induk. Kategori obat yang banyak digunakan adalah

antipsikotik dan benzodiazepin. Obat-obatan yang paling umum digunakan adalah

IV lorazepam dan IM haloperidol yang dikombinasikan dengan promethiazine.

Keuntungan dari antipsikotik generasi pertama termasuk efikasi antipsikotik yang

baik, efek sedatif dalam dosis yang lebih tinggi dan cara pemberiannya. Keterbatasan

obat-obat ini adalah efek samping yang terkenal termasuk dystonia akut, gejala

ekstrapiramidal (EPS), akatisia, hipotensi dan nyeri saat injeksi pada agens potensi

rendah seperti klorpromazin dan risiko sindrom neuroleptic maligna. Benzodiazepin

digunakan dalam pengobatan agitasi psikotik untuk efek sedatif dan ansiolitik

sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan obat antipsikotik.

Antipsikotik generasi kedua umumnya efektif dan aman dalam pengelolaan perilaku

gelisah. Clozapine secara luas diakui sebagai obat antiagresif yang sangat efektif

dalam pengobatan agresi dan agitasi pada pasien psikiatri, terlepas dari diagnosis

psikiatri (Brieden T., et al., 2002). Namun, penggunaannya terbatas karena masalah

keamanan mengenai risiko agranulositosis. Obat lain seperti olanzapine dan

Ziprasidone juga digunakan dalam fase maintenance pasien perilaku agresif. Setelah

pemberian obat, pasien harus dimonitor untuk efek samping dan nadi pasien, tekanan
16

darah, laju pernapasan, suhu, tingkat hidrasi dan tingkat kesadaran setidaknya setiap

jam sampai stabil.

Intervensi individual dilakukan oleh tim kesehatan. Berdasarkan hasil asesmen

terintegrasi, masing-masing profesi kesehatan bekerja sama dalam tim baik dalam penanganan

krisis sampai dengan pencegahan krisis dan maintenance-nya. Pasien perilaku kekerasan atau

agresif dilakukan pendekatan secara persuasif lebih dahulu, de-eskalasi verbal oleh perawat

terlatih diharapkan dapat menurunkan tingkat agresif. Jika tidak dapat, maka pasien dapat

dilakukan tindakan krisis dari pengekangan kimiawi, seklusi sampai dengan pengekangan

fisik. Jika pasien sudah melalui fase krisisnya, perawat akan melatih kemampuan koping

mengendalikan agresifitasnya untuk mencegah perilaku kekerasan, dengan disertai

psikofarmaka. PICU perempuan akan merekomendasikan untuk mentransfer pasien ke ruang

intermediat jika skor PANSS-EC ≤ 15, dan dilanjutkan latihan di ruang intermediat.

D. Intervensi Pelatihan Staf

Pelatihan staf dalam teknik de-eskalasi sangat penting dalam program manajemen

agresi (Mcknight S., 2014). Pelatihan harus memungkinkan staf mengembangkan pendekatan

yang berpusat pada pasien. Pelatihan staf tentang manajemen perilaku agresif bervariasi

tergantung pada kebutuhan masing-masing lembaga. Program pelatihan dasar harus

membahas faktor-faktor berikut: memahami teori agresi dan kekerasan pada pasien gangguan

jiwa, menilai bahaya dan tindakan pencegahan pada pasien, keterampilan pencegahan agresi

secara verbal, dan pelatihan pertahanan diri.

Staf yang terlibat dalam tim krisis harus benar terlatih dalam manajemen perilaku

kekerasan atau agresif, termasuk petugas keamanan yang memberikan bantuan. Kesalahan
17

bertindak dapat menyebabkan cedera akibat perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien

baik pada pasien sendiri, pada orang lain termasuk petugas kesehatan dan petugas keamanan,

maupun pada lingkungan sekitarnya. Pelatihan harus diperbaharui setidaknya 3 (tiga) tahun

sekali. Petugas kesehatan baik dokter dan perawat serta petugas keamanan yang baru

ditugaskan di IGD maupun PICU harus mendapatkan pelatihan yang adekuat terkait

manajemen perilaku kekerasan ini, sehingga dapat melaksanakan sesuai standar dan menjamin

keselamatan pasien serta petugas yang menanganinya.


18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perilaku agresif yang ditunjukkan oleh pasien gangguan jiwa di rumah sakit dapat

dicegah dengan asesmen awal dan strategi intervensi. Setiap rumah sakit harus memiliki

rencana pencegahan kekerasan yang menjamin keselamatan pasien dan staf. Rencana tersebut

harus bersifat holistik dan mencakup strategi manajemen untuk pasien yang berisiko agresi

dan agresif aktif. Penerapan rencana tersebut akan membantu dalam terapi dan pemulihan

pasien.

Pengekangan harus menjadi upaya terakhir intervensi untuk digunakan karena

berpotensi menimbulkan trauma psikologis dan fisik pada pasien. Teknik-teknik de-eskalasi

verbal harus digunakan semaksimal mungkin sehingga penggunaan pengekangan

diminimalkan.

Strategi secara manajerial adalah staffing yang adekuat di ruang-ruang yang

menangani pasien perilaku kekerasan/agresif ditunjang dengan pelatihan manajemen perilaku

kekerasan yang adekuat juga. Hal ini akan menjamin keselamatan pasien dan staf yang terlibat

dalam penanganannya. Sarana dan prasarana yang memadai juga mendukung pelaksanaan

manajemen perilaku kekerasan baik di IGD dan PICU.

B. Rekomendasi

1. Meningkatkan kemampuan perawat dalam penanganan pasien perilaku kekerasan

(agresif aktif) dan risiko perilaku kekerasan, baik dalam bentuk formal dan informal.
19

2. Melakukan upaya peningkatan kemampuan perawat dalam pelaksanaan keperawatan

pasien gangguan jiwa khususnya pengekangan serta menyediakan sarana dan prasarana

yang memadai dalam penatalaksanaan keperawatan pasien perilaku kekerasan.


DAFTAR PUSTAKA

Arseneault L., et al. “Mental disorders and violence in a total birth cohort: results from the Dunedin

study”. Archives of General Psychiatry 57.10 (2000).

Mcknight S. “The Nature of Violence: Origins and Prevention of Healthcare Violence”. Journal

of Nursing Care 3 (2014).

National Institute for Clinical Excellence. “Violence: The short-term management of

disturbed/violent behavior on psychiatric inpatient setting and emergency departments:

Nice guideline” (2005).

Brieden T., et al. “Psychopharmacological treatment of aggression in schizophrenic patients”.

Pharmacopsychiatry 35.3 (2002).

20

Anda mungkin juga menyukai