Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana senantiasa mendatangkan kerugian dan penderitaan bagi umat manusia.


Akhir-akhir ini dirasakan terjadinya peningkatan bencana yang dialami manusia,
khususnya di Indonesia. Undang-Undang No 24 tentang Penanggulangan Bencana Bab
1 Pasal 1 menyatakan bahwa bencana bisa disebabkan baik karena faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia.
Frekuensi bencana alam terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi,
tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus. Belum lagi
bencana yang secara lebih langsung disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti lumpur
lapindo. Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia tersebut ada yang berskala kecil,
namun banyak yang berskala amat luas dan dahsyat seperti tsunami di NAD (Nangro
Aceh Darussalam) dan gempa bumi tektonik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tsunami
dan gempa bumi ini menyebabkan kerusakan harta benda dan infrastruktur serta korban
jiwa yang sangat besar.
Agar penanggulangan bencana ke depan dapat dilaksanakan secara lebih
sistematis dan memiliki landasan hukum yang jelas, maka pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sesuai UU No 24 tersebut, penyelenggaraan penanggulangan bencana mencakup
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Salah satu unsur penting dalam upaya membangun sistem penanggulangan
bencana alam ini adalah dengan mengevaluasi dan mengambil pelajaran penting dari
kegiatan atau sistem penanggulangan bencana alam yang sudah dilakukan selama ini.
Kekuatan dan keberhasilan maupun kelemahan dan kegagalan dalam penanggulangan
bencana alam yang telah dilakukan akan menjadi pelajaran penting untuk membangun
sistem nasional penanggulangan bencana alam yang lebih baik di masa yang akan
datang. Dengan demikian, kajian yang komprehensif terhadap kegiatan atau sistem
penanggulangan bencana alam sepatutnya dapat dijadikan bahan pelajaran atau lesson
learned untuk membentuk sistem penanggulangan bencana.

1
2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari bencana alam?


2. Apa tujuan program pemantauan pasca bencana?
3. Apa program yang dilakukan pasca bencana?
4. Bagaimana evaluasi pasca bencana?

1.3 Tujuan

1. Tujuan umum:
Mengetahui secara menyeluruh mengenai konsep teori Martha Elizabeth Rogers.
2. Tujuan khusus:
a. Mengetahui definisi dari bencana alam
b. Mengetahui tujuan program pemantauan pasca bencana
c. Mengetahui program yang dilakukan pasca bencana
d. Mengetahui evaluasi pasca bencana

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyelesaian makalah ini, maka penulis menyusun sistematika


Penulisan sebagai berikut :
1. BAB I pendahuluan berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan
sistematika penulisan
2. BAB II Tinjauan Teori, definisi bencana alam, tujuan program pemantauan pasca
bencana, program yang dilakukan pasca bencana, dan evaluasi pasca bencana.
3. BAB IV Penutup, Kesimpulan dan Saran.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bencana Alam

Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang


Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut:
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non
alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut
juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan terror.
Kejadian Bencana adalah peristiwa bencana yang terjadi dan dicatat berdasarkan
tanggal kejadian, lokasi, jenis bencana, korban dan/ataupun kerusakan. Jika terjadi
bencana pada tanggal yang sama dan melanda lebih dari satu wilayah, maka dihitung
sebagai satu kejadian.

2.2 Tujuan Program Pemantauan Pasca Bencana

Tujuannya menangani dampak bruk meliputi kegiatan seperti penyelamatan dan


evakuasi korban serta harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan dan
pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan sarana prasarana.
Penanggulangan bencana bertujuan untuk:

3
4

1. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup.
2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan
korban bencana.
3. Mengembalikan korban bencana dari daerah/lokasi penampunggan/pengungsian ke
daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah/lokasi baru yang layak
huni dan aman.
4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/transportasi, air
minum, listrik, telepon. Termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial
daerah yang terkena bencana.
5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut.
6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
dan rekontruksi dalam konteks pembangunan.
7. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh;
8. Menghargai budaya lokal;
9. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawaan; dan
10. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

2.3 Program yang Dilakukan Pasca Bencana

1. Pembentukan pos komando dan koordinasi tanggap darurat


Terbentuknya Komando Tanggap Darurat Bencana meliputi tahapan yang
terdiri dari:
a. Informasi Kejadian Awal Kejadian Bencana
b. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC) dan Tim Assesment
c. Penetapan Status/Tingkat Bencana
d. Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana
Tahapan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana tersebut harus
dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem komando yang
terpadu. Rincian masing-masing tahapan tersebut adalah:
a. Informasi Kejadian Awal Bencana
Informasi awal kejadian bencana diperoleh melalui berbagai sumber antara
lain pelaporan, media massa, instansi/lembaga terkait, masyarakat, internet, dan
5

informasi lain yang dapat dipercaya. BNPB dan/atau BPBD melakukan


klarifikasi kepada instansi/lembaga/masyarakat di lokasi bencana. Informasi
yang diperoleh dengan menggunakan rumusan pertanyaan terkait bencana yang
terjadi, terdiri dari:
1) Apa : jenis bencana
2) Bilamana : hari, tanggal, bulan, tahun, jam, waktu setempat
3) Dimana : tempat/lokasi/daerah bencana
4) Berapa : jumlah korban, kerusakan sarana dan prasarana
5) Penyebab : penyebab terjadinya bencana
6) Bagaimana : upaya yang telah dilakukan
b. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC)
1) Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, BNPB dan/atau BPBD
menugaskan Tim Reaksi Cepat (TRC) tanggap darurat bencana, untuk
melaksanakan tugas pengkajian secara cepat, tepat, dan dampak bencana,
serta serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka penanganan
darurat bencana.
2) Hasil pelaksanaan tugas TRC tanggap darurat dan masukan dari berbagai
instansi/lembaga terkait merupakan bahan pertimbangan bagi :
a) Kepala BPBD Kabupaten/Kota untuk mengusulkan kepada
Bupati/Walikota dalam rangka menetapkan status/tingkat bencana
skala kabupaten/kota.
b) Kepala BPBD Provinsi untuk mengusulkan kepada Gubernur dalam
rangka menetapkan status/tingkat bencana skala provinsi.
c) Kepala BNPB untuk mengusulkan kepada Presiden RI dalam rangka
menetapkan status/tingkat bencana skala nasional.
c. Penetapan Status / Tingkat Bencana
1) Bupati/Walikota menetapkan status/tingkat bencana skala kabupaten/kota.
2) Gubernur menetapkan status/tingkat bencana skala provinsi.
3) Presiden RI menetapkan status/tingkat bencana skala nasional.
4) Tindak lanjut dari penetapan status/tingkat bencana tersebut, maka Kepala
BNPB/BPBD Provinsi/BPBD Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangannya menunjuk seorang pejabat sebagai komandan penanganan
tanggap darurat bencana sesuai status/tingkat bencana skala
nasional/daerah.
6

d. Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana


Kepala BNPB/BPBD Provinsi/BPBD Kabupaten/Kota sesuai status/tingkat
bencana dan tingkat kewenangannya :
1) Mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Komando Tanggap Darurat
Bencana.
2) Melaksanakan mobilisasi sumberdaya manusia, peralatan dan logistik serta
dana dari instansi/lembaga terkait dan/atau masyarakat.
3) Meresmikan pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana.
2. Pencarian dan penyelamatan korban
Evakuasi dan penyelamatan meliputi kegiatan pencarian korban, mengangkut
korban ke lokasi yang lebih aman, korban yang sakit ke pos kesehatan serta
memakamkan yang meninggal.
Dilakukan bersama SAR, TNI, POLRI, PMI, Relawan yang bergerak dibidang
evakuasi dan penyelamatan. Tindakan penyelamatan korban ini diantaranya
pemeriksaan status kesehatan korban, memberikan pertolongan pertama,
mempersiapkan korban untuk tindakan rujukan.
SOP Penyelamatan Korban Bencana
a. Tanggapan Baku
Setelah menerima panggilan untuk penyelamatan bencana, petugas akan
mengumumkan pesan lewat media perlu adanya penyelamatan korban bencana.
b. Strategi
Suatu penyelamatan bencana terbagi menjadi 4 tahapan, yaitu tahap kesatu
berupa memobilisasi petugas dan alat pendukungnya ke tempat kejadian, mulai
perintah dan penilaian lapangan. Tahap kedua berupa pra operasi penyelamatan
untuk mempersiapkan petugas penyelamat dalam menyelamatkan korban
bencana. Tahap ketiga berupa operasi penyelamatan dan memindahkan korban
ke tempat yang aman, dan tahap keempat berupa tahap akhir kejadian
penyelamatan.
c. Mobilisasi
1) Danton setelah sampai di lokasi bencana, harus mengambil langkah-
langkah dan penilaian situasi lapangan.
2) Mengamankan pihak – pihak terkait dari proses penyelamatan bencana.
3) Menilai bahaya atau ancaman bencana.
4) Menentukan tindakan penyelamatan dan pemulihan.
7

5) Menentukan rencana aksi penyelamatan.


d. Pra Operasi
1) Mengamankan daerah bencana secara umum.
2) Mengamankan daerah penyelamatan.
3) Memutuskan jenis situasi pra penyelamatan atau pemulihan.
4) Mempertimbangkan kondisi lokasi kejadian bencana.
5) Mempertimbangkan dampak bencana.
6) Membentuk pusat informasi atau media massa sebagai call center.
e. Penyelamatan
1) Penyelamatan diri sendiri.
2) Penyelamatan dengan bantuan sarana penolong.
f. Tahap Akhir
Perintah untuk mengakhiri misi penyelamatan dilakukan setelah seluruh
korban bisa terselamatkan dan dipindahkan ketempat yang aman, mendapatkan
perawatan yang memadai oleh petugas kesehatan atau tim medis bagi yang
memerlukannya. Setelah itu, memeriksa seluruh lokasi dalam proses
penanggulangan dan penyelamatan bencana, untuk keperluan laporan,
informasi, sakis-saksi, dokumentasi atau hal lain yang dipergunakan untuk
keperluan penangulangan bencana.
Setelah selesai, petugas dan tim melaporkan kepada Kasie darlog dan
laporan kepada Kalak BPBD untuk diberlakukan kegiatan selanjutnya atau
penanggulangan selesai sesuai prosedur yang ada.
Tahapan yang dilakukan adalah:
1) Mendokumentasikan pertanggungjawaban dalam penanggulangan dan
penyelamatan korban bencana.
2) Menjaga kelengkapan perlengkapan, kendaraan dan logistik petugas serta
para korban.
3) Menjaga keamanan dan keselamatan di lokasi bencana dibantu dengan
pihak yang terkait.
4) Pengembalian perangkat perlengkapan setelah kegiatan penanggulangan
bencana dinyatakan berakhir dan selesai.
3. Penampungan sementara
Penampungan darurat adalah kegiatan suatu kelompok manusia yang memiliki
kemampuan untuk menampung korban bencana dalam jangka waktu tertentu,
8

dengan menggunakan bangunan yang telah ada atau tempat berlindung yang dapat
dibuat dengan cepat seperti tenda, gubuk darurat, dan sebagainya. Tujuannya
menyelamatkan atau mengamankan penderita dengan menjauhkannya dari tempat
bencana yang dianggap berbahaya, ketempat yang aman agar dapat memudahkan
pemberian bantuan dan pertolongan secara menyeluruh dan terpadu tanpa
menimbulkan kesulitan baru yang sukar diatasi.
Untuk menampung korban bencana diperlukan tempat penampungan sementara
berupa :
a. Bangunan yang sudah tersedia yang bisa dimanfaatkan. Contoh : gereja, masjid,
sekolahan, balai desa, gudang.
b. Tenda ( penampungan darurat yang paling praktis). Contoh : tenda pleton, tenda
regu, tenda keluarga, tenda pesta.
c. Bahan seadanya. Contoh : kayu, dahan , ranting, pelepah kelapa dll.
4. Penilaian cepat kesehatan (RHA)
Serangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan informasi subyektif dan
obyektif guna mengukur kerusakan dan mengidentifikasi kebutuhan dasar penduduk
yang menjadi korban dan memerlukan ketanggap-daruratan. Penilaian ini dilakukan
secara cepat karena harus dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, selama atau
segera sesudah suatu kedaruratan. (Sumber: WHO).
Dilakukan untuk mengetahui besaran masalah kesehatan yang dihadapi dan
kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah bencana. Hasil penilaian cepat ini dapat
digunakan untuk memantapkan berbagai upaya kesehatan pada tahap tanggap
darurat. Ruang lingkup penilaian cepat kesehatan (RHA) yaitu:
a. Aspek Medis
1) Puskesmas setempat dan sekitar : segera mengerahkan dan menyiapkan
petugas kesehatan untuk menangani korban.
2) Rumah Sakit : Rumah sakit siap siaga dalam menindaklanjuti dan
menerima rujukan bencana.
3) Dinas Kesehatan Kota : Memerintahkan semua puskesmas untuk
melibatkan/mengirim tenaga kesehatan.
b. Aspek Epidemiologi
1) Kemungkinan munculnya luka infeksi
2) Kemungkinan munculnya penyakit menular akibat mayat yang mulai
membusuk.
9

3) Kemungkinan munculnya penyakit pernapasan.


4) Kemungkinan kejadian kelaparan akibat limpuhnya sektor perekonomian.
c. Aspek Lingkungan
1) Tempat pengungsian yang aman
2) Dapur umum
3) Air bersih
4) Toilet
5) Pembuangan sampah
5. Pelayanan kesehatan rujukan
Diberikan melalui Pos-pos Kesehatan dan Puskesmas, Rumah Sakit rujukan
yang telah ditetapkan Pemerintah dan diberikan secara cuma-cuma kepada para
korban bencana baik yang rawat inap maupun rawat jalan berikut obatnya.
6. Pelayanan kesehatan darurat
Akses pada pelayanan kesehatan adalah penentu kritis keberlangsungan hidup
pada tahap awal tanggap darurat. Bencana hampir selalu membawa dampak besar
pada kesehatan masyarakat dan kesejahteraan penduduk yang terkena bencana.
Dampak terhadap kesehatan masyarakat dapat bersifat langsung (misalnya kematian
akibat kekerasan atau cedera) atau tidk langsung (misalnya meningkatnya penyakit
infeksi dan/atau kurang gizi).
Pelayanan kesehatan darurat sangat diperlukan untuk menangani masalah
kesehatan yang timbul akibat dari bencana alam dan mencegahnya agar tidak timbul
masalah kesehatan yang dapat berdampak buruk bagi masyarkat. Pelayanan
kesehatan darurat dilakukan petugas kesehatan seperti dokter, perawat, tenaga
kesmas, dan lain-lain.
Hal yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu melakukan berbagai
pengobatan dan persiapan terhadap suatu penyakit yang mungkin dialami pengungsi
selama di pengungsian dan melakukan pemantauan status gizi dan menanganinya
apabila terdapat kasus gizi kurang pada korban bencana.
7. Mobilisasi bantuan kesehatan, pangan, dan bantuan sosial.
Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dalam keadaan tanggap darurat bencana.
Bantuan kebutuhan dasar yang diberikan antara lain tempat penampungan/hunian
sementara, bantuan pangan, bantuan non pangan, bantuan sandang, sanitasi dan air
bersih, serta layanan kesehatan.
10

Rincian standar bantuan:


a. Penampungan/Hunian Sementara
1) Berukuran 3 meter persegi per orang.
2) Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan.
3) Memiliki akses menuju fasilitas umum.
4) Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok usia.
b. Bantuan Pangan
1) Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau bahan
makanan pokok lainnya dan lauk pauk.
2) Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji sebanyak 2
kali makan sehari.
3) Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo kalori
(kcal).
c. Bantuan Non Pangan
1) Peralatan memasak dan makan:
a) Piranti pokok: 1 panci besar, 1 panci sedang, 1 baskom, 1 pisau dapur
dan 2 centong kayu.
b) 1 ember tertutup dengan kapasitas 40 liter dan ember terbuka dengan
kapasitas 20 liter.
c) Jerigen dengan kapasitas 20 liter.
d) Setiap orang memiliki masing-masing 1 piring, sendok dan gelas.
e) Pemberian botol susu bayi untuk kasus-kasus tertentu.
2) Kompor, bahan bakar dan penerangan:
a) Kompor dan bahan bakar yang tersedia secara rutin.
b) Tempat penyimpanan bahan bakar yang aman.
c) Alat penerangan; lampu lentera, lilin, atau penerangan lain yang
memadai.
3) Alat-alat perkakas:
a) Kemudahan untuk mendapatkan alat-alat perkakas yang dibutuhkan.
b) Pelatihan dan bimbingan dalam menggunakan alat perkakas.
d. Bantuan Sandang
1) Perlengkapan pribadi
11

a) Satu perangkat pakaian lengkap sesuai ukuran dan peralatan tidur yang
layak.
b) Perempuan, anak gadis dan anak-anak setidaknya memiliki 2 perangkat
pakaian lengkap.
c) Anak yang masih sekolah setidaknya memiliki 2 rangkap pakaian
sekolah sesuai usia dan jenis kelamin.
d) Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinan.
e) Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.
f) Bayi dan anak-anak yang berusia di bawah 2 tahun harus memiliki
selimut berukuran 100x70 cm.
g) Setiap orang harus memiliki alas tidur yang memadai.
h) Setiap kelompok rentan memiliki pakaian dan alat bantu yang sesuai
dengan kebutuhannya.
2) Kebersihan pribadi
a) Setiap orang memiliki sabun mandi.
b) Setiap orang memiliki sabun cuci.
c) Perempuan memiliki bahan pembalut.
d) Bayi memiliki setidaknya 12 popok cuci.
e) Setiap orang memiliki sikat dan pasta gigi.
e. Bantuan Air Bersih dan Sanitasi
1) Air bersih
a) Air bersih diberikan sebanyak 7 liter pada tiga hari pertama, selanjutnya
15 liter per orang per hari.
b) Jarak terjauh penampungan ke jamban adalah 50 meter.
c) Jarak terjauh penampungan ke sumber air terdekat adalah 500 meter.
2) Air minum
a) Air minum bersih diberikan sebanyak 2,5 liter per orang per hari.
b) Air yang diberikan layak minum dan tidak menyebabkan masalah
kesehatan.
3) Sanitasi
a) Tempat sampah berukuran 100 liter untuk 10 keluarga.
b) Penyemprotan vektor sesuai kebutuhan.
12

c) Satu jamban digunakan oleh maksimal 20 orang.


d) Jarak jamban dan penampung kotoran berjarak sekurang-kurangnya 30
meter dari sumber air bawah tanah.
e) Dasar penampung kotoran sedekat-dekatnya 1,5 meter di atas air tanah,
pembuan limbah cair tidak merembes ke manapun.
f) Satu tempat yang digunakan untuk mencuci pakaian dan peralatan rumah
tangga, dipakai oleh maksimal 100 orang.
f. Bantuan kesehatan
1) Pelayanan kesehatan dasar dan klinis
a) Pelayanan kesehatan berdasarkan prinsip kesehatan primer.
b) Semua korban bencana memperoleh informasi tentang pelayanan
kesehatan.
c) Pelayanan kesehatan diberikan dalam sistem kesehatan pada tingkat
yang tepat; keluarga, puskesmas dan rumah sakit.
d) Pelayanan dan intervensi kesehatan menggunakan teknologi yang tepat.
e) Jumlah, tingkat dan lokasi pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
korban.
f) Tiap klinik memiliki staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai
untuk melayani kebutuhan korban.
g) Korban memperoleh pelayanan obat-obatan sesuai kebutuhan.
h) Korban meninggal diperlakukan dan dikuburkan dengan cara yang
layak.
2) Pengendalian penyakit menular
a) Pemberian vitamin dan imunisasi.
b) Deteksi, diagnosa dan perawatan yang efektif untuk penyakit menular
yang berpotensi menimbulkan kematian atau rasa sakit berlebih.
3) Pengendalian penyakit tidak menular (misal: cedera, kesehatan reproduksi,
kejiwaan dan penyakit kronis)
a) Korban mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, yang dapat
memenuhi kebutuhannya.
8. Penanganan Post Traumatic Stress
Pemulihan trauma pasca bencana akan mencegah munculnya gangguan
psikologis yang lebih berat. Selain itu, pemberian pelayanan psikologis yang intensif
13

dalam level individu, kelompok atau komunitas bagi korban bencana dapat
meningkatkan ketahanan (resiliensi) sehingga kelak mereka menjadi lebih tangguh
dan siap menghadapi permasalahan yang ada.
Pemulihan trauma berarti mengatasi rasa bersalah, kecemasan, ketakutan dan
menyediakan mekanisme coping (penyelesaian) terhadap pikiran dan perasaan
negatif yang muncul.
Penanganan post traumatic stress diperlukan dalam mengatasi trauma atau stress
yang dialami oleh korban bencana dengan kegiatan trauma healing diantaranya
senam pagi, panggung gembira, pertunjukan seni, dan kegiatan yang dapat
menghibur lainnya.
Pihak yang paling rentan mengalami trauma akibat bencana adalah anak dan
remaja. Hal ini disebabkan karena mereka belum memiliki kapasitas yang memadai
dalam mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah secara adaptif. Setelah
bencana terjadi, anak harus pindah dari situasi dan rutinitas keseharian yang
membuatnya aman dan nyaman. Ada yang kehilangan orang tua atau saudara. Ada
yang pindah dari rumah dan tinggal sementara waktu di tempat pengungsian. Malah,
ada yang tidak bisa bersekolah, bermain dan mendapatkan istirahat yang cukup.
Oleh karena itu, diperlukan metode dan media yang tepat untuk membantu anak
mengekspresikan rasa takut, cemas, pesimis dan menumbuhkan harapan serta
optimisme mengenai masa yang akan datang.
Florence Halstead, seorang peneliti Geografi Manusia (Antropogeografi) dari
Universitas Hull, Inggris menyarankan cara memfasilitasi anak dalam pemulihan
trauma pasca bencana bagi orang tua, guru, pekerja sosial, atau pihak yang terlibat
langsung dalam penanganan bencana. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :
a. Mendorong anak untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya
Anak yang menjadi korban bencana alam seringkali menyampaikan bahwa
keluarga dan sekolah tidak mendengarkan kekuatiran atau masalah yang mereka
alami. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak ingin membebani keluarga
dan guru dengan kekuatiran yang mereka rasakan. Meskipun anak tampak baik-
baik saja dari luar, namun belum tentu demikian dengan perasaan yang di dalam
diri anak.
Orang tua, guru atau pekerja sosial perlu peka dalam melihat kondisi dan
kebutuhan anak. Yakinkan anak bahwa perasaan adalah hal yang penting untuk
disampaikan. Berikan kesempatan bagi anak untuk berbicara mengenai perasaan
14

dan pengalaman yang mereka alami terkait dengan bencana. Rancanglah aktivitas
semenarik mungkin yang dapat membuat anak merasa nyaman dan terbuka untuk
bercerita, misalnya dengan menggambar, menulis, bercerita dengan boneka.
b. Menjadi role model yang positif dan optimis bagi anak
Orang tua, guru atau pekerja sosial dan pihak lainnya perlu menyadari bahwa
anak memandang orang dewasa sebagai role model (teladan) dalam menghadapi
kesulitan yang terjadi pasca bencana.
Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat membuat anak merasa takut.
Sebaliknya, tunjukkan sikap dan perilaku yang optimis bahwa hari yang akan
datang akan lebih baik. Yakinkan pada anak untuk mengetahui bahwa mereka
akan tetap aman dengan bantuan dan perlindungan yang tersedia.
c. Mengedukasi anak mengenai bencana
Fakta mengenai bencana dapat menjadi suatu pengetahuan dan wawasan baru
bagi anak. Sampaikanlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dapat
dipahami oleh anak. Misalnya, penyebab terjadinya gempa atau cara melindungi
diri dan orang lain bila gempa terjadi lagi. Hal ini akan membantu anak untuk
merasa lebih berdaya dan percaya diri untuk mengatasi masalah-masalah akibat
bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
d. Menciptakan rutinitas sederhana bagi anak
Meminta anak untuk melakukan rutinitas, apalagi saat tinggal di tempat
pengungsian merupakan hal yang agak sulit. Namun, hal ini dapat dimulai dengan
memberlakukan rutinitas sehari-hari seperti jam makan dan jam tidur. Selain itu,
berikan waktu pada anak untuk tetap berinteraksi dan bermain dengan teman-
temannya. Dengan menjalankan rutinitas dapat membantu mengurangi rasa
cemas atau kebosanan yang mungkin dirasakan oleh anak karena kehilangan
mainan yang dimiliki atau karena ditutupnya sekolah.
9. Pelayanan Masyarakat
Disediakannya sarana dan komunikasi seperti telepon umum, radio, televisi, dan
sarana transportasi untuk memudahkan korban bencana.
10. Pendidikan
Permasalahan lain yang muncul dari bencana alam adalah masalah pendidikan,
terutama menyangkut pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Dalam
konteks pelayanan pendidikan, anak yang menjadi korban bencana alam dapat
dikategori sebagai anak yang memiliki kelainan sosial; dan oleh karenanya mereka
15

berhak memperoleh pendidikan khusus dari penyelenggara negara alias pemerintah.


Konkretnya, meskipun daerah atau pemukimannya sedang terkena musibah bencana
alam namun demikian anak-anak yang bermukim di daerah tersebut harus tetap
mendapat perhatian atas kelangsungan pendidikannya. Dengan kata lain pendidikan
anak di daerah bencana alam tidak boleh diabaikan.
Karena itu, evaluasi untuk keberlanjutan pendidikan jangan terjebak dengan
formalitas pendidikan. Proses belajar-mengajar tidak harus dilakukan di dalam
ruangan. Di mana saja dan kapan saja proses pendidikan bisa berlangsung. Hal
terpenting sekarang adalah bagaimana menyiapkan anak-anak korban bencana agar
tidak kehilangan masa depannya. Sungguh sangat disayangkan apabila potensi dan
kecerdasan mereka harus sirna gara-gara tidak adanya sarana dan prasarana
pendidikan. Dapat dilakukan dengan cara menyisipkan pada sekolah terdekat denga
tempat pengungsian, atau mendirian sekolah tenda berkoordinasi dengan Dinas
Pendidikan Setempat.
11. Logistik dan Transportasi
Dukungan logistik sangat diperlukan pada tahap tanggap darurat, dalam upaya
menanggulangi bencana alam yang terjadi di negeri ini tentunya akan membutuhkan
berbagai peralatan logistic, berikut ini beberapa kebutuhan logistic yang dibutuhkan
dan siap pakai saat bencana terjadi:
a. Alat transportasi baik darat, laut, dan udara
b. Alat-alat berat
c. Tenda yang berukuran besar maupun kecil
d. Peralatan medis dan obat-obatan
e. Makanan instant
f. Alat penyedia air bersih
Peralatan diatas merupakan suatu yang vital karena tanpa adanya peralatan-
peralatan tersebut, penanggulangan bencana akan sangat sulit dilakukan.

2.4 Evaluasi Pasca Bencana

1. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Rehabilitasi
16

dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana, perbaikan


prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat,
pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik,
pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan
fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan adalah
sebagai berikut :
a. Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga
sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
b. Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan
terintegrasi dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pemulihan dini
serta kegiatan rekonstruksi.
c. “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera setelah
terjadi bencana.
d. Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai
dengan Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan Bencana) dan diakhiri
setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
Ruang Lingkup Pelaksanaan
a. Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik
untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan
gedung. Indikator yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah
kondisi lingkungan yang memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan
budaya serta ekosistem.
b. Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum
Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur dan fasilitas
fisik yang menunjang kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat.
Prasarana umum atau jaringan infrastruktur fisik disini mencakup : jaringan
jalan/ perhubungan, jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan komunikasi,
jaringan sanitasi dan limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian.
Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup : fasilitas
kesehatan, fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran
pemerintah, dan fasilitas peribadatan.
17

c. Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah Masyarakat


Yang menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban
bencana yang rumah/ lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga
tingkat sedang akibat bencana, dan masyarakat korban berkehendak untuk tetap
tinggal di tempat semula. Kerusakan tingkat sedang adalah kerusakan fisik
bangunan sebagaimana Pedoman Teknis (DepPU, 2006) dan/ atau kerusakan
pada halaman dan/ atau kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu
penyelenggaraan fungsi huniannya. Untuk bangunan rumah rusak berat atau
roboh diarahkan untuk rekonstruksi.
Tidak termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah rumah/
lingkungan dalam kategori:
1) Pembangunan kembali (masuk dalam rekonstruksi)
2) Pemukiman kembali (resettlement dan relokasi)
3) Transmigrasi ke luar daerah bencana
d. Pemulihan Sosial Psikologis
Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat
yang terkena dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal.
Sedangkan kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen
masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara normal.
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang sudah terlatih.
Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan
tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami
dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan
mental.
e. Pelayanan Kesehatan
Pemulihan pelayanan kesehatan adalah aktivitas memulihkan kembali
segala bentuk pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai kondisi seperti
sebelum terjadi bencana.
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang
dilakukan untuk memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang
meliputi : SDM Kesehatan, sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan
masyarakat.
18

f. Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik


Kegiatan rekonsiliasi adalah merukunkan atau mendamaikan kembali
pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan konflik.
Sedangkan kegiatan resolusi adalah memposisikan perbedaan pendapat,
perselisihan, pertengkaran atau konflik dan menyelesaikan masalah atas
perselisihan, pertengkaran atau konflik tersebut.
Rekonsiliasi dan resolusi ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah
bencana untuk menurunkan eskalasi konflik sosial dan ketegangan serta
memulihkan kondisi sosial kehidupan masyarakat.
g. Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya
Pemulihan sosial ekonomi budaya adalah upaya untuk memfungsikan
kembali kegiatan dan/ atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di
daerah bencana. Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan
untuk menghidupkan kembali kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat di daerah bencana seperti sebelum terjadi bencana.
h. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pemulihan keamanan adalah kegiatan mengembalikan kondisi keamanan
dan ketertiban masyarakat sebagaimana sebelum terjadi bencana dan
menghilangkan gangguan keamanan dan ketertiban di daerah bencana.
Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan untuk membantu
memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah bencana
agar kembali seperti kondisi sebelum terjadi bencana dan terbebas dari rasa
tidak aman dan tidak tertib.
i. Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Indikator yang harus dicapai pada pemulihan fungsi pemerintahan adalah :
1) Keaktifan kembali petugas pemerintahan.
2) Terselamatkan dan terjaganya dokumen-dokumen negara dan
pemerintahan.
3) Konsolidasi dan pengaturan tugas pokok dan fungsi petugas pemerintahan.
4) Berfungsinya kembali peralatan pendukung tugas-tugas pemerintahan.
5) Pengaturan kembali tugas-tugas instansi/lembaga yang saling terkait.
19

j. Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik


Pemulihan fungsi pelayanan publik adalah berlangsungnya kembali
berbagai pelayanan publik yang mendukung kegiatan/ kehidupan sosial dan
perekonomian wilayah yang terkena bencana.
Pemulihan fungsi pelayanan publik ini meliputi : pelayanan kesehatan,
pelayanan pendidikan, pelayanan perekonomian, pelayanan perkantoran
umum/pemerintah, dan pelayanan peribadatan.
2. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah
nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan masyarakat
kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Dan yang
terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit dalam
mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita harapan dapat
terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya untuk pemulihan pasca bencana
dapat dilakukan dengan secepatnya.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang akan digunakan sebagai acuan
bagi penyelenggaraan program rekonstruksi pasca-bencana, yang memuat
informasi gambaran umum daerah pasca bencana meliputi antara lain informasi
kependudukan, sosial, budaya, ekonomi, sarana dan prasarana sebelum terjadi
bencana, gambaran kejadian dan dampak bencana beserta semua informasi tentang
kerusakan yang diakibatkannya, informasi mengenai sumber daya, kebijakan dan
strategi rekonstruksi, program dan kegiatan, jadwal implementasi, rencana
anggaran, mekanisme/prosedur kelembagaan pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi adalah semua unit kerja yang terlibat dalam kegiatan
rekonstruksi, di bawah koordinasi pengelola dan penanggungjawab kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana pada lembaga yang berwenang
menyelenggarakan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah.
20

Lingkup Pelaksanaan Rekonstruksi


a. Program Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan kondisi fisik
melalui pembangunan kembali secara permanen prasarana dan sarana
permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat (kesehatan, pendidikan
dan lain-lain), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan perhubungan, air
bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan telekomunikasi dan lain-lain),
prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya dan lain-lain.) yang rusak akibat
bencana, agar kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik dari kondisi
sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas pada,
kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana fisik dengan lebih baik
dari hal-hal berikut:
1) Prasarana dan sarana
2) Sarana sosial masyarakat;
3) Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana.
b. Program Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki atau
memulihkan kegiatan pelayanan publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta
kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan, pendidikan,
perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan kondisi
mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali ke kondisi
pelayanan dan kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari kondisi
sebelumnya. Cakupan kegiatan rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
1) Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan sosial
dan budaya masyarakat.
2) Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha, dan masyarakat.
3) Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat.
4) Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam masyarakat.
5) Kesehatan mental masyarakat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi
konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban,
pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan publik.
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata
yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara
permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan
program rekonstruksi non fisik.

3.2 Saran

1. Bagi mahasiswa keperawatan, semoga makalah ini mapu menambah informasi


tentang teori dalam keperawatan gawat darurat.
2. Bagi mahasiswa keperawatan, semoga makalah ini mampu membantu mahasiswa
dalam praktik di dalam tatanan keperawatan gawat darurat sehingga mampu
memberikan asuhan keperawatan gawat darurat yang baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

Mulyono Abdulrahman (2003).Landasan Pendidikan Sekolah rawan bencana dan


Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK. Makalah disajikan dalam pelatihan
penulisan buku ajar bagi dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti.
Yogyakarta, 26 Agustus

Suharsimi, Arikounto. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Suyoso, Juli Astono, Dadan Rosana (2009). Model kesiapsiagaan bencana (disaster
preparedness) Dalam bentuk pembelajaran sekolah darurat dengan Pendekatanfun
learning menggunakan media Pembelajaran dari limbah rumah tangga untuk
Penanganan pendidikan di daerah pasca bencana. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta, 16 Mei 2009

22

Anda mungkin juga menyukai