Anda di halaman 1dari 3

SISTEM MOSALEI

Sistem mosalei dilakukan pada saat akan memulai membuka lahan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara
menebang pepohonan kecil disekitar areal yang akan dijadikan sebagai lahan perladangan. Alat yang
umum digunakan dalam sistem mosalei ini berupa parang (o’pade), kapak (o’pali) dan arit (kandao).

Sebelum melakukan mosalei, pengetahuan peladangan akan cuaca berladang menjadi sangat penting.
Sistem ini digunakan oleh masyarakat Tolaki untuk mengetahui waktu yang tepat untuk menebang
pohon, mengeringlan dan membakar ladang. Petunjuk Pesuri mbondau ini dapat membantu peladang
untuk meminimalisir terjadinya kebakaran ladang dan hutan. Pesuri mbondau merupakan penentuan
musim berladang dan bukan musim berladang dalam menghindari kegagalan untuk memperoleh hasil
ladangnya. Penentuan cuaca berladang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan keturunan dengan
orang-orang tua terdahulu yang biasa melakukannya (Tuheteru, 2008).

Dasar pertimbangan pelaksanaan Pesuri mbondau adalah pada dua tanda alam dan atau pada dua
musim. Dua tanda alam yang dimaksud adalah 1) tanda-tanda kematian, kecelakaan hampa, bahaya,
tidak beruntung. Tanda-tanda ini biasanya ditandai dengan kematian binatang. Dan 2) tanda-tanda
hidup, keberuntungan, keberhasilan, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan dua musim adalah musim
kemarau dan hujan. Petani akan memulai membuka lahan hutan pada musim kemarau yang diawali
dengan kegiatan pembersihan akar, semak dan pohon-pohon kecil dan besar dilanjutkan dengan
membakar semak atau pohon yang sudah kering. Biasanya aktivitas pembersihan lahan selesai pada
penghujung musim kemarau dan atau awal musim hujan. Petani akan memulai menanam pada saat
awal musim hujan (Tuheteru, 2008).

SISTEM MEKERE

Mekere didefenisikan sebagai suatu cara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki ketika
hendak membakar hutan atau ladang yang akan dijadikan sebagai tempat bercocok tanam dengan
membuat batas lingkaran (baca : sekat bakar) di seluruh wilayah yang akan dibakar. Lebar batas
lingkaran umumnya antara 3 (tiga) sampai 4 (empat) meter (Sarmadan & Tawulo, 2007 dalam Tuheteru,
2008). Ukuran tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai ukuran standar yang dapat mencegah
menyebarnya api yang disulut ke lahan atau hutan lainnya. Mekere dilakukan pada saat matahari tidak
terlalu panas yaitu mulai 08.00 – 11.00 dan waktu sore hari mulai pukul 14.00 – 17.00. Umumnya
anggota tim mekere berjumlah 12 orang dewasa yang terbagi dalam tiga kelompok besar yang masing-
masing kelompok terdiri dari empat orang yang mewakili atau refresentatif dari empat penjuru mata
angin, yaitu utara, selatan, timur dan barat. Tim mekere ini biasanya diketuai oleh orang yang dituakan
yang mempunyai pengetahun pesuri mbondau dan arah mata angin. Tim mekere dapat berasal dari
anggota keluarga yang sudah dewasa dan atau dari kelompok – kelompok peladang yang saling
berdekatan (Suyuti dan Koodoh, 2007 dalam Tuheteru, 2008).

Kegiatan mekere (pembuatan batas lingkaran) diawali dengan membersihkan rumput, rerantingan,
dedaunan dan akar atau tunggak yang dikhawatirkan mudah terbakar sehingga api yang disulut tidak
menjalar kemana-mana. Biasanya sebelum pembuatan batas lingkaran oleh petani atau peladang,
didahului dengan pengetahuan awal tentang arah angin oleh orang yang dituakan berdasarkan prinsip
pesuri mbondau. Pengetahuan awal dilakukan untuk menjawab arah angin mana yang harus dihindari
oleh peladang dan penentuan batas lingkaran yang tepat. Jika kegiatan mekere sudah selesai dikerjakan
langkah selanjutnya adalah pembakaran lahan atau ladang (humunu) (Tuheteru, 2008).

Selain sistem mekere dimana pembersihan lahan dari rumput dan bahan bakar lainnya, masyarakat
tolaki terutama masyarakat adat Moronene juga mengenal istilah Mebende. Mebende merupakan
bentuk sekat bakar dalam bentuk pembuatan parit (Suyuti dan Sarmadan, 2007 dalam Tuheteru, 2008).
Tidak ada informasi yang pasti tentang berapa lebar dan kedalaman parit yang dipakai. Asumsi dasar
mebende ini adalah bagaimana memotong jalur api dengan membuat parit sehingga api tidak menjalar
ke ladang lainnya. Pesan moral yang dapat dipetik dari kearifan mekere dan mebende masyarakat Tolaki
ini adalah pengetahuan lokal yang sudah turun temurun diwariskan kepada anak suku bangsa Tolaki
yang dapat mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup (baca = hutan) yang tidak diinginkan
bersama. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengendalikan kebakaran skala kecil sehingga
kebakaran tersebut tidak mengarah ke kebakaran dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian,
bencana kebakaran hutan di Indonesia yang menjadi langganan setiap tahun dapat diminimalisir
(Tuheteru, 2008).

SISTEM HUMUNU

Humunu merupakan kegiatan pembakaran bahan bakar berupa kayu dari batang – batang pohon serta
bahan bakar lainnya yang sudah kering yang telah ditebang beberapa hari atau minggu sebelumnya
untuk persiapan menjadi ladang atau kebun. Menurut keyakinan masyarakat Tolaki, bahwa hari yang
baik untuk humunu adalah 1) Leleanggia artinya api akan sangat menyala, 2) O kawe yang berarti angin
yang bertiup akan sangat kuat serta 3) Tindo yang berarti api yang menyala akan sangat telaten (Taridala
& Adijaya, 2002 dalam Tuheteru, 2008).

Peralatan yang dipakai untuk pembakaran diantaranya korek api, alat pemukul api yang diambil dari
ranting dari pohon yang memiliki daun-daun yang masih hidup, air serta daun kelapa kering. Daun
kelapa diikat bundar sehingga berbentuk obor yang dapat digunakan untuk membakar bahan bakar.
Biasanya sebelum pembakaran diawali dengan doa permohonan agar api dapat membakar bahan bakar
dan api tidak menjalar ke tempat atau ladang lainnya (Syamsumarlin, 2007 dalam Tuheteru, 2008).
Selain itu, ada seseorang yang dipercayai dan dianggap sebagai pemimpin kegiatan pembakaran yang
bertugas memberikan aba-aba atau kode sebagai tanda bahwa kegiatan pembakaran akan segera
dimulai. Tanda-tanda akan dimulai pembakaran dilakukan dengan cara melambai-lambaikan ranting
yang memiliki dedaunan hidup (Tuheteru, 2008).

Peladang sebelum melakukan pembakaran harus dengan cermat dan hati-hati memperhatikan arah
angin bertiup untuk membuat titik api. Penentuan titik api sangat menentukan hangus (pembakaran
sempurna) atau tidaknya bahan bakar yang dibakar. Penyulutan api pertama dilakukan searah angin
bertiup. Pembakaran biasanya dilakukan sore hari dan secara serentak yang melibatkan seluruh
peladang untuk menjaga-jaga mengelilingi lokasi perladangan pada saat pembakaran akan dan sedang
berlangsung sampai selesai. Sebelum meninggalkan lahan yang sudah terbakar, peladang harus
memastikan bahan bakar sudah terbakar sempurna, jika tidak terbakar sempurna biasanya para
peladang mengumpulkan bahan-bahan bakar untuk dibakar kembali (Tuheteru, 2008).
SISTEM MO’ENGGAI

Mo’enggai merupakan tahapan terakhir dalam sistem pembukaan lahan, Dimana selesai kegiatan
humunu masih terdapat sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon yang belum habis terbakar. Oleh
karena itu untuk membersikan sisa-sisa ranting-ranting dan batang pohon tersebut maka dilakukan
mo’enggai, yakni dengan cara mengumpulkan sisa-sisa humunu tersebut disuatu tempat kemudian
membakarnya kembali.

Peralatan yang digunakan dalam system tersebut tidak jauh berbeda dengan peralatan yang digunakan
dalam sistem humunu.

SISTEM MEWALA

Mewala merupakan teknik pemagaran pada lahan yang sudah diolah dengan tujuan untuk
mencegah hewan-hewan pengganggu o beke (babi), o sapi (sapi), karambau (kerbau) dan hewan-hewan
pengganggu lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman.

Peralatan yang digunakan dalam system ini yaitu o pade (parang), gamal, kowuna (bambu), dan o
ue (rotan) sebagai pengikat.

Anda mungkin juga menyukai