Anda di halaman 1dari 19

1

a. Skenario
SKENARIO 1
Badan Terasa Lemas

Seorang perempuan berusia 48 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan


badannya terasa lemas sejak 7 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan polidipsia,
poliuria, dan polifagia. Riwayat sejak setahun yang lalu pasien sering
mengkonsumsi minuman manis 3 – 4 botol sehari untuk mengimbangi
kesibukannya saat bekerja. Pasien juga jarang berolahraga. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda vital normal. Pada pemeriksaan lab didapatkan GDS 500mg/dl
GD puasa 210mg/dl dan GD 2 jam PP 450mg/dl dan HbA1c 8.2% pemeriksaan
urine proteinuria (+). Dokter memberikan terapi OAD dan edukasi.

b. Klarifikasi Istilah
STEP 1
1. Polifagia : Banyak makan disebabkan oleh glukosa tidak sampai ke sel.
2. Poliuria : keinginan untuk berkemih berkali kali dengan volume berlebih.
3. Polidipsia : merasakan haus berlebih.

c. Rumusan Daftar Masalah


STEP 2
1. Mengapa pasien merasa lemas sedangkan dia mengkonsumsi minuman manis?
2. Mengapa pasien mengalami polidipsi, poliuri, dan polifagia?
3. Bagaimana penegakan diagnosis keluhan pasien serta interpretasi hasil lab?
4. Bagaimana tatalaksana dan edukasi pasien?

d. Analisis Masalah
STEP 3
1. Minuman manis : Glukosa → sumber energi
Terasa lemas hubunganya dengan insulin
2

Insulin dapat mengubah glukosa menjadi energi dan ditransport ke sel


Kelainan insulin : Trasa lemas

Secara fisiologi tubuh dapat mengkompensasi → lama kelamaan mengalami →
insulin terganggu → DM
2. Polidipsia : penuaan, infeksi, gaya hidup → sel beta pankreas rusak, glukosa ↑
Kadar glukosa ↑ →glukosa dikeluarkan melalui urin → poliuria → - konsumsi
diuretik - intake cairan↑
Hiperglikemi → tekanan osmolaritas ↑ → menarik cairan intra sel → sel
keluarkan cairan → polidipsia
3. Tanda kardinal :
- GDP → >126
- GDS → >200
- GD2PP → >200
Nilai Normal :
- Belum makan : > 0 – 130
- Sudah makan : < 180
- Puasa 8 jam : < 100
- Menjelang tidur : 100 – 140
Keluhan pasien :
- Lemas
- Pucat
- Polidipsia
- Poliuria
- Polifagia

Anamnesis : kebiasaan, gaya hidup, genetik/keturunan, riwayat penyakit

Pemeriksaan fisik : tergantung patologi penyakit

4. Edukasi
3

- Diet → pengaturan pola makan : diet seimbang sesuai kebutuhan


( karbohidrat 75%, lemak 20 – 25%, protein 10 – 15%)
- Olahraga → aerob

Farmakologi : terapi insulin dan terapi obat hipoglikemik oral

Terapi tipe 1 : insulin

Terapi tipe 2 : sulfonilurea

STEP 4
1. Kelainan insulin
Kompensasi saat ↑glukosa darah → ↑meningkat
Glukosa lebih banyak → hiperglikemi
DM tipe 1 :
- Genetik → HLA tidak mengenal sel β pankreas → destruksi
- Destruksi sel β

DM tipe 2 : Gaya hidup dan banyak konsumsi muniman manis

↑ glukosa → kompensasi melalui ginjal → poliuri

Insulin menghambat rasa lapar

Pembentukan insulin → sel β pankreas → proinsulin di RE → proinsulin


menjadi insulin dirubah oleh enzim peptidase. Oleh peptida disekresi ke
membran sel. Insulin disimpan dan dikeluarkan jika ada rangsangan.

Reseptor insulin insensitivitas

Glukosa ↑ et causa minum manis berkepanjangan→ insulin terus diproduksi →


kompensasi harus dimasukan kedalam jaringan → insulin selalu sering
berikatan dengan reseptor → lemak reseptor insulinn tidak sensitive lagi
dengan insulin → resistensi insulin/insensitivitas reseptor insulin.
4

2. Makanan → glukosa darah meningkat → masuk ke sel → fosforilasi oleh


glukonase → masuk mitokondria → pembentukan atp → saluran K˖
→depolarisasi sel β → influx Ca₂˖ → voltase Ca₂˖ → lamina basalis sel β →
sensitivitas insulin → resistensi insulin → kompensasi hiperinsulinimia →
diuretik → ↑eksresi garam dan air.
3. Tanda kardinal :
- GDP → >126
- GDS → >200
- GD2PP → >200

Nilai Normal :

- Belum makan : > 0 – 130


- Sudah makan : < 180
- Puasa 8 jam : < 100
- Menjelang tidur : 100 – 140

Keluhan pasien :

- Lemas
- Pucat
- Polidipsia
- Poliuria
- Polifagia

Anamnesis : kebiasaan, gaya hidup, genetik/keturunan, riwayat penyakit

Pemeriksaan fisik : tergantung patologi penyakit.

4 . Terapi

OAD → memperbaiki kerja insulin


5

Mind Map
Etiologi
Tipe
1
klasifikasi
patofisiologi
Tipe 2

DIABETES
MELITUS

Penegakan
diagnosis
tatalaksana

P.penunjang anamnesis

p. fisik

e. Sasaran Belajar
STEP 5
1. Patofisiologi terjadinga DM dihubungkan dengan faktor resiko
2. Mekanisme terjadinya gejala dan tanda pada diabetes melitus
3. Algoritma penegakan diagnosis
4. Terapi farmakologi, algoritma, penggolongan obat, dan terapi non farmakologi
5. Komplikasi Diabetes Mellitus

f. Belajar Mandiri

STEP 6
Belajar mandiri
6

g. Penjelasan
STEP 7
1. Patofisiologi terjadinya DM dihubungkan dengan faktor resiko

Diabetes Melitus Tipe I

Diabetes tipe I merupakan penyakit autoimun dengan kerusakan pulau


Langerhans terutama disebabkan oleh sel efektor imun yang bereaksi terhadap
antigen sel beta endogen. Diabetes tipe I paling sering berkembang pada masa
anak-anak, bermanifestasi pada pubertas, dan memburuk sejalan dengan
bertambahnya usia. Kebanyakan pasien diabetes tipe 1 bergantung pada
insulin eksogen untuk bertahan hidup; tanpa insulin mereka akan mengalami
komplikasi metabolik serius, seperti ketoasidosis dan koma.Walaupun onset
klinis diabetes tipe I jelas, penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh serangan
autoimun menahun pada sel beta yang biasanya sudah dimulai bertahun-tahun
sebelum penyakit menjadi nyata. Manifestasi klasik penyakit (hiperglikemia
dan ketosis) terjadi pada stadium lanjut, setelah lebih dari 90% sel beta telah
dihancurkan. Abnormalitas imun yang mendasar pada diabetes tipe I adalah
kegagalan toleransi diri pada sel T. Kegagalan toleransi ini dapat disebabkan
oleh beberapa kombinasi dari delesi klonal sel T self-reactive yang defektif di
timus, dan defek pada fungsi pengaturan sel T atau resistensi sel T efektor
terhadap supresi oleh sel pengatur. Sehingga, sel T yang autoreactive tidak
hanya bertahan hidup namun juga berespons terhadap antigen diri. Tidak
mengherankan, autoantibodi terhadap sejumlah antigen sel beta, termasuk
insulin dan enzim sel beta dekarboksilase asam glutamat, dideteksi dalam
darah pada 70% hingga 80% pasien. Pada kasus jarang di mana lesi pankreatik
telah diperiksa pada awal proses penyakit, pulau Langerhans menunjukkan
nekrosis sel beta dan infiltrasi limfositik (disebut insulitis). 1

Seperti halnya kebanyakan penyakit autoimun lain, patogenesis diabetes tipe


1 meliputi interaksi dari kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Penelitian
terkait genome wide telah mengidentifikasi lebihdari 20 lokus kerentanan
7

terhadap diabetes tipe 1. Lokus kerentananan utama untuk diabetes 1 terdapat


pada regio kromosom yang mengkode molekul MHC kelas II pada 6p21
(HLA-D). 1

2. Mekanisme terjadinya gejala dan tanda pada diabetes melitus

Onsetnya ditandai oleh poliuria, polidipsia, polifagia, dan pada kasus yang
berat, ketoasidosis, yang kesemuanya disebabkan oleh gangguan metabolisme
Oleh karena insulin merupakan suatu hormon anabolik utama dalam tubuh,
defisiensi insulin menyebabkan keadaan katabolisme yang mengenai tidak
hanya metabolisme glukosa namun juga metabolisme lemak dan protein.
Asimilasi glukosa ke dalam jaringan otot dan lemak berkurang secara tajam
atau menghilang. Tidak hanya penyimpanan glikogen di hati dan otot yang
berkurang, namun cadangannya juga berkurang oleh glikogenolisis.
Hiperglikemia yang timbul melampaui ambang reabsorpsi ginjal, akan
menimbulkan glikosuria. Glikosuria menginduksi diuresis osmotik dan
akibatnya terjadi poliuria, yang menyebabkan kehilangan air dan elektrolit
dalam jumlah banyak. 1

Kehilangan air oleh ginjal yang obligatorik bersama dengan hiperosmolaritas


yang disebabkan oleh peningkatan kadar glukosa darah, cenderung
menurunkan air intrasel, memicu osmoreseptor pusat haus di otak. Urutan
kejadian ini menimbulkan rasa haus yang sangat (polidipsia). Dengan adanya
defisiensi insulin, skalanya akan bergeser dari anabolisme yang ditingkatkan
oleh insulin ke katabolisme protein dan lemak. Kemudian terjadi proteolisis
dan asam amino glukoneogenik dihilangkan oleh hati dan digunakan untuk
menggantikan glukosa. Katabolisme protein dan lemak cenderung
menginduksi suatu keseimbangan energi negatif, yang kemudian akan
meningkatkan nafsu makan (polifagia), sehingga menggenapkan trias klasik
diabetes, yaitu: poliuria, polidipsia, dan polifagia. Walaupun nafsu makan
8

meningkat, efek katabolisme lebih kuat, menyebabkan kehilangan berat badan


dan kelemahan otot. Kombinasi polifagia dan penurunan berat badan bersifat
paradoks dan harus selalu dipikirkan kemungkinan diagnosis suatu diabetes.
Pada pasien diabetes tipe 1, penyimpangan asupan makanan dari normal,
aktivitas fisik yang tidak biasa, infeksi, atau setiap bentuk lain dari stres dapat
dengan cepat mempengaruhi keseimbangan metabolisme yang sangat rapuh,
memudahkan terjadinya ketoasidosis diabetes. 1

Glukosa plasma biasanya di antara 500 hingga 700 mg/ dL sebagai akibat
defisiensi absolut insulin dan efek hormone kontraregulator (epinefrin,
glukagon). Hiperglikemia yang mencolok menyebabkan diuresis osmotik dan
dehidrasi yang merupakan ciri keadaan ketoasidosis. Efek utama kedua adalah
aktivasi mesin ketogenik. bermanifestasi sebagai footdrop atau wristdrop yang
tiba-tiba atau kelumpuhan saraf kranial tersendiri. Perubahan neurologic dapat
merupakan akibat dari mikroangiopati dan peningkatan permeabilitas kapiler
yang memberi makan saraf dan juga oleh kerusakan akson langsung.
Defisiensi insulin menyebabkan aktivasi lipase lipoprotein, dengan akibat
penghancuran simpanan lemak secara berlebihan, menyebabkan meningkatnya
ALB, yang dioksidasi oleh hati menjadiketon. Ketogenesis merupakan suatu
fenomena adaptif pada keadaan kelaparan, yang menghasilkan keton sebagai
sumber energi untuk konsumsi organ vital (contoh, otak). Kecepatan
pembentukan keton dapat melampaui kecepatan pemakaiannya oleh jaringan
perifer, sehingga menyebabkan ketonemia dan ketonuria. Apabila
ekskresiketon melalui urin terganggu oleh dehidrasi, keton yang terakumulasi
akan menurunkan pH darah, sehingga menimbulkan ketoasidosis akibat
metabolisme. 1

Diabetes melitus tipe 2 juga dapat bermanifestasi sebagai polyuria dan


polidipsia, namun tidak seperti pada diabetes tipe 1, pasien sering berusia
lebih dari 40 tahun dan sering obese. Dengan peningkatan obesitas dan gaya
9

hidup yang banyak duduk pada masyarakat Barat, diabetes tipe 2 sekarang
makin sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Pada beberapa
kasus, pasien datang ke dokter oleh karena rasa lemah dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan. Namun, diagnosis paling sering ditegakkan
setelah suatu pemeriksaan rutin darah atau urin pada orang yang tidak
bergejala. Pada keadaan dekompensasi, pasien diabetes tipe 2 dapat
berkembang menjadi koma non-ketotik hiperosmolar. Sindrom ini timbul oleh
karena dehidrasi berat akibat diuresis osmotik yang menetap dan kehilangan
cairan urin oleh hiperglikemia kronik. Secara khas, pasien yang terkena adalah
penderita diabetes berusia lanjut yang menjadi lumpuh karena stroke atau
infeksi dan tidak mampu mempertahankan asupan air yang cukup. Tidak
adanya ketoasidosis dan gejalanya (nausea, muntah, kesulitan bernapas)
memperlambat pengenalan keseriusan keadaan ini hingga terjadi dehidrasi
berat dan koma. 1

3. Algoritma penegakan diagnosis

Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan seperti:

a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
10

b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. 3

1. Riwayat Penyakit

a) Usia dan karakteristik saat onset diabetes.


b) Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat
perubahan berat badan.
c) Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d) Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan Konsensus. 3
e) Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 – 2015 | 15
penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara
mandiri.
f) Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
g) Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
h) Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan
traktus urogenital.
i) Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal,
mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
j) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah.
k) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain).
l) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
m) Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
3
11

2. Pemeriksaan Fisik

a) Pengukuran tinggi dan berat badan.


b) Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah
dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik.
c) Pemeriksaan funduskopi.
d) Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e) Pemeriksaan jantung. § Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun
dengan stetoskop.
f) Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan
vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
g) Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka,
hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan
bekas lokasi penyuntikan insulin).
h) Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.

3. Evaluasi Laboratorium § Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan


2jam setelah TTGO.

a) Pemeriksaan kadar HbA1c 4. Penapisan Komplikasi Penapisan


komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
b) Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida
c) Tes fungsi hati
d) Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
e) Tes urin rutin § Albumin urin kuantitatif
12

f) Rasio albumin-kreatinin sewaktu.


g) Elektrokardiogram.
h) Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
i) Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
j) Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer.
Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier. 3

4. Terapi farmakologi, algoritma, penggolongan obat, dan terapi non


farmakologi

a. Terapi Farmakologi
1) Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati,
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh
karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari
kecuali dalam bentuk extended release. Efek samping yang dapat terjadi
adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak
diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
>1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan
hati-hati pada orang usia lanjut. 4
13

Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui


pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor
insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah
diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam. Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi
tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai
obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. 4

Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan. Kombinasi


sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang
rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini
dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan
tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada
kombinasi dosis rendah. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah
dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil
penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan
hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan
dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis
maksimal. Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan
pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. 4

Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi


insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan
kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin
saja. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
14

sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk


dengan dislipidemia dan resistensi insulin beratmerupakan pilihan
pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan
merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka
dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain. 4
Tabel 4.2 Algoritma pengobatan DMT2 tanpa dekompensasi metabolik. 3

Penjelasan untuk algoritme Pengelolaan DM Tipe-2


15

1. Daftar obat dalam algoritme bukan menunjukkan urutan pilihan.


Pilihan obat tetap harus mempertimbangkan tentang keamanan,
efektifitas, penerimaan pasien, ketersediaan dan harga (tabel-11).
Dengan demikian pemilihan harus didasarkan pada
kebutuhan/kepentingan penyandang DM secara perseorangan
(individualisasi).
2. Untuk penderita DM Tipe -2 dengan HbA1C < 7% maka
dilanjutkan dengan monoterapi oral.
3. Untuk penderita DM Tipe-2 dengan HbA1C 7.5%- -<9.0% diberik
modifikasi gaya hidup sehat ditambah monoterapi oral. Dalam.
Memilih obat perlu dipertimbangkan keamanan(hipoglikemi,
pengaruh terhadap jantung), efektivitas, ketersediaan,

toleransi pasien dan harga. Dalam algoritme disebutkan obat


monoterapi dikelompokkan menjadi :
a. Obat dengan efek samping minimal atau keuntungan lebih banyak:
1. Metformin
2. Alfa glukosidase inhibitor
3. Dipeptidil Peptidase 4- inhibitor
4. Agonis Glucagon Like Peptide-1
b. Obat yang harus digunakan dengan hati-hati
1. Sulfonilurea
2. Glinid
3. Tiazolidinedione
4. Sodium Glucose coTransporter 2 inhibitors (SGLT-2 i)
4. Bila obat monoterapi tidak bisa mencapai target HbA1C <7% dalam
waktu 3 bulan maka terapi ditingkatkan menjadi kombinasi 2 macam
obat, yang terdiri dari obat yang diberikan pada lini pertama di tambah
dengan obat lain yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda.
16

5. Bila HbA1C sejak awal ≥ 9% maka bisa langsung diberikan kombinasi


2 macam obat seperti tersebut diatas.
6. Bila dengan kombinasi 2 macam obat tidak mencapai target kendali,
maka diberikan kombinasi 3 macam obat dengan pilihan sebagai
berikut:
a. Metformin + SU + TZD atau + DPP-4 i atau + SGLT-2 i atau +
GLP-1 RA atau + Insulin basal
b. Metformin + TZD + SU atau + DPP-4 i atau + SGLT-2 i atau +
GLP-1 RA atau + Insulin basal
c. Metformin + DPP-4 i + SU atau + TZD atau + SGLT-2 i atau +
Insulin basal
d. Metformin + SGLT-2 i + SU atau + TZD atau + DPP-4 i atau +
Insulin basal
e. Metformin + GLP-1 RA + SU atau + TZD atau + Insulin basal
f. Metformin + Insulin basal + TZD atau + DPP-4 i atau + SGLT-2 i
atau + GLP-1 RA
7. Bila dengan kombinasi 3 macam obat masih belum mencapai target
maka langkah berikutnya adalah pengobatan Insulin basal plus/bolus
atau premix
8. Bila penderita datang dalam keadaan awal HbA1C ≥10.0% atau
Glukosa darah sewaktu ≥ 300 mg/dl dengan gejala metabolik, maka
pengobatan langsung dengan
a. metformin + insulin basal ± insulin prandial atau
b.
metformin + insulin basal + GLP-1 RA. 3

Keterangan mengenai obat :


1. SGLT-2 dan Kolesevalam belum tersedia di Indonesia.
2. Bromokriptin QR umumnya digunakan pada terapi tumor hipofisis.
Data di Indonesia masih sangat terbatas terkait penggunaan
bromokriptin sebagai anti diabetes
17

3.
Pilihan obat tetap harus memperhatikan individualisasi serta
efektivitas obat, risiko hipoglikemia, efek peningkatan berat badan,
efek samping obat, harga dan ketersediaan obat sesuai dengan
kebijakan dan kearifan. 3

5. Komplikasi Diabetes Mellitus

Penyulit Akut
1). Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas
plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana
terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa
tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380
mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. 3

Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. 3
2). Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau
tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s.

triad:
a. Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
b. Kadar glukosa darah yang rendah
18

c. Gejala berkurang dengan pengobatan.


d. Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa
darah rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain
pihak, tidak semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia
meskipun pada pemeriksaan kadar glukosadarahnya rendah.Penurunan
kesadaran yang terjadi pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonylurea dan insulin.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Pengawasan glukosa darah pasien harus dilakukan selama 24-72
jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan obat kerja panjang. Hipoglikemia pada usia
lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya
yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien.
Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan
memerlukan pengawasan yang lebih lama. Pasien dengan resiko
hipoglikemi harus diperiksa mengenai kemungkinan hipoglikemia
simtomatik ataupun asimtomatik pada setiap kesempatan. 3
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas A, Aster J. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi ke-9.


Singapura: Elsevier;2015.
2. Fatimah R. Diabetes Melitus Tipe 2. Vol. 4 No. 5. Lampung: J MAJORITY;
2015
3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2015.
4. Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta.
Interna Publishing; 2014.
5. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC; 2018.

Anda mungkin juga menyukai