Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas pertolongan-Nya sehingga pada kesempatan ini kami kelompok 5 dapat
menyelesaikan makalah tentang penyakit pada Sistem Perkemihan “Benigna
Prostat Hiperplasia (BPH)”.
Penyusun,
Kelompok 5
ii | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
iii | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
1.3 Manfaat
iv | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
1. Anatomi
1. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-
buli melalui proses miksi. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter
uretra skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Pada saat buli-buli penuh sfingter uretra interna akan terbuka dengan
sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos yang disarafi oleh
sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang
2. Kelenjar Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher
kandung kemih, di belakang simfisis pubis dan di depan rektum (Gibson,
2002, hal.335). Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3 x 2,5 cm
dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong
melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas
deferen.
2. Fisiologi
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur,
sedangkan pada orang dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya
mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi
prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar
menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas
jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan
dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila
jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat
dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini
dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah.
C. Etiologi
Menurut Alam tahun 2004 penyebab pembesaran kelenjar prostat belum
diketahui secara pasti, tetapi hingga saat ini dianggap berhubungan dengan proses
penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormone pria, terutama
testosteron. Para ahli berpendapat bahwa dihidrotestosteron yang mamacu
pertumbuhan prostat seperti yang terjadi pada masa pubertas adalah penyebab
terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Hal lain yang dikaitkan dengan gangguan
ini adalah stres kronis, pola makan tinggi lemak, tidak aktif olahraga dan seksual.
Selain itu testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara
keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron,
dihidrotestosteron, dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar
dikonversikan oleh enzim 5-alfa- reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih
aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas
lain dari testosteron adalah pemicu libido, pertumbuhan otot dan mengatur doposit
kalsium di tulang. Penurunan kadar testosteron telah diketahui sebagai penyebab
dari penurunan libida, massa otot, melemahnya otot pada organ seksual dan
kesulitan ereksi. Selain itu kadar testosteron yang rendah juga dapat menyebabkan
masalah lain yang tidak segera terlihat, yaitu pembesaran kelenjar prostat.
Dalam keadaan stres, tubuh memproduksi lebih banyak steroid stres
(karsitol) yang dapat menggeser produksi DHEA (dehidroepianandrosteron).
DHEA berfungsi mempertahankan kadar hormon seks yang normal, termasuk
testosteron. Stres kronis menyebabkan penuaan dini dan penurunan fungsi testis
pria. Kolesterol tinggi juga dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan
menyebabkan terjadinya pembesaran prostat. Faktor lain adalah nikotin dan
konitin (produk pemecahan nikotin) yang meningkatkan aktifitas enzim perusak
androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron. Begitu pula toksin
D. Patofisiologi
Menurut Purnomo 2011 pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urine, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada bulu-buli tersebut, oleh pasien disarankan sebagai keluhkan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian bulibuli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat,
dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis
yang berasal dari nervus pudendus.
Menurut Mansjoer tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-
lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabilakeadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.
F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: seiring
dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin
tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih
dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi (meskipun
prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf
pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada kebanyakan kasus, aktivitas seksual
dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik
telah sembuh. Setelah ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung
kemih dan diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2002).
G. Penatalaksanaan
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
a. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti
alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap
keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra).
c. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan
melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari
retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka.
10 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
b) Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter
suprapubis setelah operasi.
3. Prostatektomi Neuropubis
a) Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
b) Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
c) Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4. Prostatektomi Perineal
a) Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
b) Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
c) Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan epididimistis.
d) Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi (pembersihan
perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).
e) Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka (drainase)
diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan rendam duduk.
Pada TURP, prostatektomi suprapubis dan retropubis, efek
sampingnya dapat meliputi:
11 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
H. Pengkajian Fokus
Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post
Prostatektomi didapat:
1. Data subyektif:
a. Pasien mengeluh sakit pada luka insisi, karakteristik luka, luka
berwarna merah.
b. Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
c. Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
d. Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
2. Data Obyektif:
a. Terdapat luka insisi, karakteristik luka berwarna merah.
b. Takikardia, normalnya 80-100 kali/menit.
c. Gelisah.
d. Tekanan darah meningkat, normalnya 120/80 mmHg.
e. Ekspresi wajah ketakutan.
f. Terpasang kateter.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urine dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan
hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dan fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan
Prostat Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai SPA < 4mg
/ ml tidak perlu biopsy. Sedangkan bila nilai SPA 4–10 mg / ml, hitunglah
Prostat Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila PSAD > 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 mg/ml.
12 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Dengan tujuan untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli–buli dan
volume residu urine, mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan BPH.
Dari semua jenis pemeriksaan dapat dilihat:
a) Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada batu traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli – buli.
b) Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance
(gambaran ureter belok–belok di vesika)
c) Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa masa
ginjal, mendeteksi residu urine, batu ginjal, diverticulum atau
tumor buli – buli (Mansjoer, 2000).
c. Pemeriksaan Diagnostik.
a) Urinalisis : warna kuning, coklat gelap, merah gelap / terang,
penampilan keruh, Ph : 7 atau lebih besar, bacteria
b) Kultur Urine : adanya staphylokokus aureus, proteus, klebsiella,
pseudomonas, e. coli.
c) BUN / kreatinin : meningkat.
d) IVP : menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih
dan adanya pembesaran prostat, penebalan otot abnormal
kandung kemih.
e) Sistogram : suatu gambaran rontgen dari kandung kemih yang
diperoleh melalui urografi intravena.
f) Sistouretrografi berkemih: sebagai ganti IVP untuk
menvisualisasi kandung kemih dan uretra dengan menggunakan
bahan kontras lokal.
g) Sistouretroscopy : untuk menggambarkan derajat pembesaran
prostat dan kandung kemih.
13 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
h) Transrectal ultrasonografi : mengetahui pembesaran prosat,
mengukur sisa urine dan keadaan patologi seperti tumor atau
batu (Sjamsuhidayat, 2004)
14 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
I. Pathways keperawatan
15 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
J. Intervensi Dan Rasional
1) Gangguan rasa nyaman nyeri suprapubik berhubungan dengan
spasme otot spincter.
a. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
b. Kriteria hasil:
Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
Pasien dapat beristirahat dengan tenang.
c. Intervensi:
1. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan factor
pencetus serta penghilang nyeri.
Rasional:
Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening
mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi).
Rasional:
Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan
keefektifan dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.
3. Beri kompres hangat pada abdomen terutama perut bagian
bawah.
Rasional:
Untuk meningkatkan relaksasi otot.
4. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh,
merokok, abdomen tegang).
Rasional:
Untuk menurunkan spasme kandung kemih.
5. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasif.
Rasional:
Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
6. Lakukan perawatan aseptik terapeutik.
Rasional:
Untuk mengurangi resiko infeksi.
16 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
7. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.
Rasional:
Pembesaran prostat dapat terjadi dengan hilangnya sebagian
kelenjar.
2) Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan
obstruksi sekunder.
a. Tujuan : Tidak terjadinya retensi urine
b. Kriteria hasil :
Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi
kandung kemih.
Menunjukan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml,
dengan tak adanya tetesan/kelebihan.
c. Intervensi :
1. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus
dengan teknik steril.
Rasional:
Menghindari terjadinya gumpalan yang dapat menyumbat kateter,
menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih.
2. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam
keadaan tertutup.
Rasional:
Untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih.
3. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria,
dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea).
Rasional:
Untuk mencegah komplikasi berlanjut.
4. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan
sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran
urin serta adanya bekuan darah atau jaringan.
Rasional:
Pemberi perawatan menjadi penyebab terbesar infeksi
17 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
nosokomial. Kewaspadaan umum melindungi pemberi perawatan
dan pasien.
5. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2
jam (mulai hari kedua post operasi).
Rasional:
Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh.
Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan
dipertahankan melalui ginjal.
6. Ukur intake output cairan.
Rasional:
Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
7. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika
tidak ada kontra indikasi.
Rasional:
Cairan membantu mendistribusikan obat-obatan ke seluruh tubuh.
Risiko terjadinya ISK dikurangi bila aliran urine encer konstan
dipertahankan melalui ginjal.
8. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3
minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya.
Rasional:
Mengajarkan pasien bagaimana melakukannya sendiri.
3) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan
saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh.
a. Tujuan : Tidak terjadinya disfungsi seksual
b. Kriteria hasil :
Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual
dan aktivitas secara optimal.
c. Intervensi :
1. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang
berhubungan dengan perubahannya.
Rasional:
18 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
Memberikan informasi untuk membantu dalammenentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
2. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat.
Rasional:
Untuk menginformasikan kondisi klien.
3. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan
perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual.
Rasional:
Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
4. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah
fungsi seksual.
Rasional:
Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
5. Beri penjelasan penting tentang:
Impoten terjadi pada prosedur radikal
Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal
Adanya kemunduran ejakulasi.
Rasional:
Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan
atau keefektifan intervensi.
6. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama
1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi.
Rasional:
Menjamin keamanan untuk membantu penyembuhan pascaoperasi.
4) Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de
entréemikroorganisme melalui kateterisasi, dan jaringan terbuka.
a. Tujuan : Tidak terjadinya infeksi
b. Kriteria hasil:
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Tidak ada bengkak, aritema, nyeri
19 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
Luka insisi semakin sembuh dengan baik
c. Intervensi:
1. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril.
Rasional:
Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan
dan perdarahan kandung kemih.
2. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter),
(adanya sumbatan, kebocoran).
Rasional:
Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan dapat menyebabkan
distensi kandung kemih, dengan peningkatan spasme.
3. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar
kateter dan drainage.
Rasional:
Untuk mengurangi resiko infeksi
4. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal
untuk menjamin dressing.
Rasional:
Untuk mengurangi resiko infeksi.
5. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas
meningkat, dingin).
Rasional:
Deteksi awal terhadap komplikasi dengan intervensiyang tepat
dapat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
tentang penyakit, perawatannya.
a. Tujuan : Pengetahuan pasien dapat meningkat
b. Kriteria hasil :
Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan.
c. Intervensi :
20 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
1. Motivasi pasien/keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya
tentang penyakit.
Rasional:
Memberikan informasi sejauh mana pengetahuan klien tentang
penyakit yang dialami.
2. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang:
Perawatan lsuka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter.
Perawatan di rumah, adanya tanda-tanda hemoragi.
Rasional : Memberikan informasi kepada klien/keluarga klien cara
perawatan pasca operasi.
6) Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai
dengan : Gelisah, kurangnya informasi
a. Tujuan : Tidak terjadinya ansietas.
b. kriteria hasil :
Klien tidak gelisah.
Tampak rileks
c. Intervensi :
1. Kaji tingkat anxietas.
Rasional:
Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga
memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.
2. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional:
Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas
yang dialami klien.
3. Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang
akan dilakukan.
Rasional:
Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan
yang diberikan.
4. Berikan support melalui pendekatan spiritual.
21 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
Rasional:
Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa
dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan.
22 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
23 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
24 | B e n i g n a P r o s t a t H i p e r p l a s i a