Diusulkan oleh:
Kennedy Napitupulu; F34160084; 2016
BIOKIM
ITP
(Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si) (Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP, M.T.) NIP.
19640324 198903 1 004 NIP. 19721203 199702 1 001
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini masalah lingkungan yang terjadi seringkali terdapat pada
lingkungan perairan. Salah satu masalah tersebut adalah eutrofikasi. Perairan yang
tercemar menyebabkan eceng gondok tumbuh melimpah pada perairan tersebut.
Populasi eceng gondok tersebut menutupi permukaan air dan menghalangi sinar
matahari dan oksigen masuk ke dalam air, sehingga tanaman air tidak dapat
berfotosintesis. Hal ini menyebabkan kematian ekosistem air. Artati et al (2009)
menerangkan bahwa pertumbuhan eceng gondok sebagai gulma air tawar
mempercepat proses pendangkalan, mengurangi produksi ikan, dan menimbulkan
berbagai masalah akibat pertumbuhan yang sangat cepat.
Penuaan intrinsik terjadi alami pada semua manusia yang dimulai pada
rentang usia tiga puluh sampai empat puluh tahun. Proses ini berjalan lambat,
namun dapat menyebabkan perubahan pada struktur jaringan kulit, seperti
lapisan epidermis yang menipis, kulit mengering, dan gatal pada kulit. Penuaan
ekstrinsik menurut Damayanti (2017) dapat terjadi akibat paparan sinar
matahari yang menyebabkan perubahan epidermal. Perubahan ini dapat berupa
peningkatan pigmentasi (seperti lentigines atau hiperpigmentasi yang disertai
epidermis yang atrofi atau hipertrofi).
2.2 Anti-Aging
Aging menurut Panjaitan et. al (2015) merupakan suatu proses penuaan
yang ditandai dengan penurunan energi seluler yang menurunkan kemampuan
sel untuk memperbaiki diri. Agen kimia seperti polutan, asap rokok, sinar
matahari berlebih yang mengandung radikal bebas dari peroksida yang
mengikat oksigen adalah faktor lingkungan yang dapat mempercepat penuaan
atau yang dikenal dengan penuaan diri.
2.3 Glutathione
Glutathione (GSH) adalah salah satu antioksidan yang berperan penting
dalam pemeliharaan kelangsungan hidup sel, replikasi DNA, sintesis
protein, katalisis enzim, transpor transduksi membran, aksi reseptor,
metabolisem antara dan maturasi sel serta regulasi fungsi sel imun. Bila
kadar Glutathione dalam serum rendah menyebabkan penurunan mobilisasi
Ca2+ dan kegagalan fosforilasi tirosin pada beberapa protein, termasuk
pembentukan reseptor sel imun seperti CD3 sehingga regulasi fungis sel
imun tubuh terganggu. Glutathione disintesis oleh rangkaian gen yang
menjadi Glutathione (gen GCS). Sintesis GSH diekspresikan secara genetik
oleh urutan gen yang membentuk protein enzim. Bila ekspresi gen berubah
maka sintesis GSH tersebut terganggu, sehingga tidak terbentuk GSH baru.
Akibat rendahnya GSH maka terjadi keparahan penyakit tuberkulosis paru.
Enzim Glutathione peroksidase berperan penting dalam melindungi sel,
melalui reaksi seperti di atas maupun melalui peroksida organik yang
terbentuk dalam oksidasi kolesterol dan asam lemak. Aktivitas enzim
Glutathione peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan
lebih dari 90% H2O2. Enzim Glutathione peroksidase yang ditemukan
dalam sitoplasma tersebut merupakan tetramer, dan mengandung
selenosistein pada sisi aktifnya. Enzim ini bersifat nukleofilik, yang sangat
mudah terionisasi dan mengakibatkan terlepasnya proton. Glutathione
merupakan antioksidan yang berperan dalam fungsi imun, dan
diekspresikan secara genetik oleh urutan gen yang membentuk protein
enzim Glutathione Peroxidase (Yuniastuti dan Susanti 2013).
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bejana tertutup perkolator, bejana
silinder tempat simplisia perkolasi, dan
Larutan yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat sedangkan
sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim,
1986). Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan ke
dalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan
cairan penyari. Maserasi dilakukan dalam bejana tertutup (Anonim, 1986).
b) Pengujian kandungan Glutathione dengan HPLC
Cairan glutathione tereduksi 100 ppm disiapkan dengan air dan disaring
menggunakan SRP 15 jarum suntik dengan diameter filter 0,20 μm (luas filter 1,7
cm2) untuk pembersihan ultra cepat dari sampel. Sampel (1mL) disuntikkan ke
kolom untuk setiap analisis. Fase gerak terdiri dari dua sistem pelarut (A:Asam
trifluoroacetic (TFA) 0,06% dalam air (v / v) dan B:100% asetonitril) dalam gradien
(50% A dan 50% B). suhu kolom dipertahankan pada 0 ° C, laju aliran adalah 1,0
mL / menit dengan waktu analisis 40 menit. deteksi glutathione dilakukan pada
225 nm menggunakan detektor PDA. Penentuan glutathione tereduksi berdasarkan
penelitian Metode Moron et al (1979). cairan ekstrak daun (200 μL) diencerkan
dengan 800 μL air suling dan tambahkan dengan buffer EDTA natrium fosfat
mengandung 0,6 mol / L 5,5-dithiobis (asam 2-nitro benzoat) reagen. Warna dibaca
pada gelombang 412 nm lalu dibandingkan terhadap blanko. Kurva kalibrasi yang
diperoleh dengan konsentrasi yang berbeda (25,50,75,100 dan 125μg) terhadap
standar glutathione.
c) Pengubahan bentuk ekstrak cair menjadi bubuk
Damayanti. 2017. Skin aging and basic skin care in elderly. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology. 29 (1) : 73-80.
Tyagi, Tulika & Mala, Agarwal. 2017. Antioxidant properties and phenolic
compounds in methanolic extracts of Echhornia crassipes. Research
Journal of Phytochemistry. 11(2) : 85-89,