Anda di halaman 1dari 5

6.

Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui terapi suportif meningkatkan motivasi untuk melakukan operasi katarak
pada pasien katarak
2. Mengetahui kejadian katarak senilis
3. Mengetahui reimplantasi lensa setelah operasi katarak
4. Mengetahui katarak adalah penyebab utama kebutaan

7. Informasi tambahan
1. Hasil penelitian menunjukkan usia responden rata-rata 59,73 tahun dengan usia
terendah 52 tahun dan usia tertinggi 72 tahun. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa yang mengalami penyakit katarak di wilayah Kerja Puskesmas
Tempurejo berusia 55 tahun keatas. Menurut penelitian Erman. Penyebab terjadinya
penyakit katarak karena bertambahnya usia sekitar 90% penderita katarak terjadi pada
usia di atas 50 tahun [8]. Pada penelitian ini responden berjenis kelamin perempuan yang
sebanyak 9 orang(60,0%) dibandingkan dengan laki-laki sebanyak 6 orang (40,0%).
Namun pada penelitian ini tidak sejalan dengan Hanok, dkk yang menyebutkan faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian katarak mengatakan bahwa paling banyak
adalah responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 72 responden (51,4%)
dibandingkan dengan perempuan sebanyak 68 responden (48,6%) [9]. Namun ada yang
berpendapat bahwa pada laki-laki juga banyak yang menderita katarak dikarenakan
mereka banyak yang bekerja di luar ruangan yang setiap harinya sering terpapar dengan
sinar ultraviolet (UV) tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang dapat
mengakibatkan tingkat kematangan kataraknya mengalami peningkatan. Pada penelitian
ini tidak dapat dijadikan acuan karena jumlah responden pada penelitian ini sedikit
dimana peneliti hanya menggunakan 15 responden pasien katarak yang belum melakukan
operasi. Responden berdasarkan pendidikan rata-rata pendidikan tertinggi responden
katarak di wilayah Kerja Puskesmas Tempurejo yaitu tidak sekolah sebesar 5 orang
(33,3%). Menurut penelitian Ulandari [10], pendidikan rendah dapat meningkatkan
terjadinya katarak sebesar 25 kali dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Tingkat
pendidikannya seseorang akan mempengaruhi pola pikir dan juga pemahaman mengenai
penyakit katarak dan juga pengobatannya. Tingkat pendidikan yang baik dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami suatu informasi
tentang katarak.
2. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Heidar (2015) di Iran, Sonowal (2013) di
India yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara adanya riwayat
keluarga yang pernah sakit katarak dengan kejadian katarak senilis. Adanya hubungan ini
dimungkinkan karena proporsi responden dengan riwayat keluarga katarak lebih tinggi
dibandingkan responden tanpa adanya riwayat katarak dalam keluarga, akses layanan
kesehatan yang sudah memadai, serta adanya kesadaran tentang kesehatan. Hasil analisis
bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok tidak berhubungan dengan kejadian
katarak senilis di RSUD Tugurejo Kota Semarang (p value= 0,29). Secara teori, merokok
dapat menyebabkan katarak dengan beberapa mekanisme biologis diantaranya, yang
pertama kerusakan oksidatif memiliki peran utama dalam pembentukan katarak. Merokok
menyebabkan pertambahan zat oksidatif melalui aktifitas radikal bebas, oksidasi dan
peroksidasi lipid. Di sisi lain, merokok dapat menyebabkan stres oksidatif (keadaan
dimana jumlah radikal bebas dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk
menetralkannya) secara tidak langsung pada lensa melalui penipisan antioksigen
endogen, seperti vitamin C, vitamin E, dan b-karoten. Kedua, tembakau mengandung
logam berat seperti kadmium, timbal, dan tembaga yang menumpuk dalam lensa
menyebabkan kerusakan secara langsung. Ketiga, kadar sianida dan aldehid naik dalam
darah perokok, kemudian aldehida dan isosianat yang terbentuk dari sianida dapat
mengubah struktur protein lensa yang menyebabkan terjadinya kekeruhan dalam lensa
yang berdampak dalam pembentukan katarak.
3. Pemeriksaan rutin dikerjakan meliputi pemeriksaan kejernihan kornea, terutama sentral;
memeriksa dengancermat letak lensa dan sisa kapsul posterior; gambaran iris dan sinekia
anterior dan posterior yang terjadi. Pemeriksaan segmen posterior/funduskopi dilakukan
dengan cermat, melihat kondisi retina perifer dan secarakhusus makula, melihat kondisi
papil nervus II, dan memeriksatekanan intraokuler (TIO). Informed consentdilakukan
hingga penderita mengerti risiko yang dihadapi bila lensa tidak diperbaiki posisinya dan
risiko operasi (retina lepas, perdarahan, tajam penglihatan tidak berubah,
infeksi/endoftalmitis, peradangan, perdarahan ekspulsif,dan silau). Operasi dilakukan 1
orang (GS) dengan anestesi lokal retrobulber, menggunakan lidokain 2% sebanyak 2 ml
dicampur markain 1 ml dalam 1 jarum suntik. Sebelumnya pupil dilebarkan semaksimal
mungkin dengan meneteskan Mydriatil 1% dan Efrisel 10% dengan jarak 10 menit
sebanyak minimum 3 kali sebelum operasi. Selanjutnya, limbus kornea ditembus sekitar
1 mm dan dimasukkan viskoelastic hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) ke dalam
BMD. Sinekiolisis dilakukan secara tumpul dengan Sinskey II atau secara tajam
menggunakan jarum 26G yang dibengkokkan di pangkalnya untuk memotong sinekia.
Bila perlu dilakukan pengguntingan dan pelepasan sinekia dengan Vannas setelah luka
dilebarkan. Saat mengerjakan prosedur ini dilihat dengan cermat sisa kapsul lensa untuk
meletakkan lensa tanam. Selanjutnya dilakukan vitrektomi anterior dengan menggunakan
Vannas panjang dan bengkok 90o. Setelah sinekiolisis diyakini bebas 360o, disuntikkan
viskoelastik di bawah iris, antara kapsul yang sisa dan iris. Penyuntikan ini diusahakan
360o lalu lensa dimasukkan di antaranya. Lensa yang ada direposisi bila perlu atau
diganti dengan lensa baru yang lebih lebar (lensa sulkus, NeoEyeTM, Rohto). Bilamana
perlu, salah satu kaki (haptic) lensa diikat dengan benang fiksasi, diikat di sklera 1 mm
dibelakang limbus dibawah konjungtiva. Vitrektomi anterior kembali dilakukan dalam
lindungan viskoelastik di BMD dan dikeluarkan dengan cara membilas BMD bukan
dengan mengaspirasi. Luka kornea selanjutnya dijahit seperlunya. Temuan yang didapat
selama dan setelah operasi dicatat. Pasien diinstruksikan untuk periksa ulang dengan
jarak 1,3 dan jarak 14 hari setelah operasi pada bulan pertama. Selanjutnya periksa ulang
setiap 1 - 2 bulan selama6 bulan pertama. Pengobatan post operasi yang diberikan adalah
steroid dan antibiotik topikal yang diturunkan dosisnya secara bertahap selama 1 bulan,
antiglaukoma oral selama 2 minggu dan steroid per os bilamana perlu. Analisis statistik
dilakukan dengan uji statistik Paired T Test setelah uji normalitas dengan uji
Kolmogorov Smirnov, confidence interval (CI) 95%.
4. Penyebab utama kebutaan di indonesia adalah katarak (7080%) . sedangkan penyebab
utama gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi(1015%). Survei kebutaan Rapid
Asswsment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilakukan Perhimpunan Dokter Ahli
Mata Indonesia (PERDAMI) dan badan litbangkes.tahun 2014 2016 di 15 provinsi pada
penduduk di atas usia 50 tahun menunujukan prevalensi kebutaan sebesar 3% .Sebanyak
15 provinsi itu sudah mencakup 65% orang indonesia.Sementara untuk sekli survey
dibutuhkan 15 juta.”Indeks pembangunan meningkat,sekarang levih dari 70 persen. Ada
beberapa penyakit yang tidak bisa di cegah tapi kita bisa bantu dengan rehabilitasi,salah
satunya katarak atau kekeruhan lensa,” kata menkes RI,Nila Moeloek,Pada temu media
terkait penglihatan sedunia,digedung kementrian kesehatan.Penyakit katarak,lanjut
Nila,salah satunya disebabkan karena usia lanjut. Usia lanjut akab berdampak pada
peningkatan gangguan penglihatan secara langsung yakni katarak dam secara tidak
lansgung yakni reniopati diabetikum.”khusus untuk katarak,satu-satunya cara untuk
mencegah kebutaan akibat katarak adalah dengan operasi,”tambah nila.

8.Klarifikasi Informasi
1. JURNAL : TERAPI SUPORTIF MENINGKATKAN MOTIVASI UNTUK
MELAKUKAN OPERASI KATARAK PADA PASIEN KATARAK DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER (Siswoyo, Murtaqib,
Tri Buana Ratna Sari, 2017 )

Katarak adalah penyakit mata yang dapat mengakibatkan kekeruhan pada lensa
mata. Kurangnya motivasi di dalam diri sendiri mengakibatkan pasien enggan
melakukan operasi katarak yang dapat menimbulkan angka kebutaan terus meningkat.
Terapi suportif adalah bentuk terapi yang digunakan pada individu yang memiliki
kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya. Tujuan dari penelitian ini untuk
menganalisis pengaruh terapi suportif terhadap motivasi untuk melakukan operasi
katarak. Penelitian ini menggunakan pre-experimental, one-group pre-test design.
Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dengan menggunakan 15
responden pasien katarak. Terapi suportif diberikan dalam 3 kali pertemuan. Sesi satu
dan dua dijadikan satu pertemuan dengan durasi 30-35 menit pada masing-masing
sesi. Sesi tiga dan empat dibuat satu kali pertemuan dengan durasi 30-35 menit pada
masing-masing sesi. Hasil data dianalisis menggunakan uji t dependent menunjukan
adanya perbedaan antara pretest dan posttest dengan hasil dari p-value 0,001 (p-
value<0,05). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pemberian terapi suportif terhadap motivasi untuk melakukan operasi katarak. Saran
dari penelitian kepada perawat adalah agar dapat menerapkan terapi suportif untuk
mengatasi masalah fisik dan psikologis
pada pasien katarak.

2. JURNAL : KEJADIAN KATARAK SENILIS DI RSUD TUGUREJO ( YUNITA


DYAH PUSPITA SANTIK,2018)

Angka kejadian katark senilis di RSUD Tugurejo pada tahun 2014 sebanyak 519
orang , pada tahun 2015 meningkat menjadi 674 orang, pada tahun 2106 sebanyak
572 orang . tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian katarak senilis di RSUD Tugurejo . penelitian ini dilakukan pada
novomber 2017 . jenis penelitian adalah observasional analitiuk studi kasus kontrol
dengan sampel sebesar 45 kasus dan 45 kontrol.Instrumen yang digunakan adalah
lembar kuisioner . analisis data dilakukan secara univirat dan bivariat dengan
menggunaka uji chi-square . hasil penelitian menunjukan bahwa p-value umur
(p=0.00),jenis kelamin (0,83),tingkat pendidikan (0,00),tingkat penghasilan
(0,02),riwayat keluarga katarak (0,45),kebiasaan merokok (p=0,29),lama terpapar
sinar matahari 9P+0,02), dan hipertensi (p=0,03).simpulan penelitian ini adalah
terdapat hubungan antara umur,tingkat oendidikan, tingkat penghasilan, ,lama
terpapar sinar matahari,hipertensi dan kejadian katarak sinilis .tidak ada hubungan
antara jenis kelamin,riwayat keluarga katarak ,dan kebiasaan merokok dengan
kejadian katarak di RSUD Tugurejo.

3. JURNAL : REIMPLANTASI LENSA SETELAH KOMPLIKASI OPERASI


KATARAK (GILBERT W,S SIMANJUNTAK 2017 )

Ada keterbatasan laporan implementasi lensa intraokuler sekunder di


Indonesia.Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan hasil implementasilensa
intraokuler sekunder di Rumah Sakit Communion of Churches in Indonesia (CCI)
Cikini, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Penelitian dengan
sumber data sekunder rekam medis pasien dengan bedah inclusi eventful dengan atau
tanpa implementasi lensa dan setiap komplikasi post operasi, termasuk penurunan
penglihatan dan inflamasi katarak. Segmen anterior dan posterior diperiksa secara
menyeluruh dan dicatat. Sinechiolisis dilakukan 360o dan viskoelastik disuntikkan
untuk membuka ruangan antara iris dan kapsul rensi remain. Remain vitreous di
depan chamber dipotong dan diangkat. Intraocular lens (IOL) ditanam di sulkus.
Hasilnya yaitu ada 8 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang kemudian
dievaluasi (50% adalah pria), 6 pasien underwent extracapsular catarac extraction
ECCE), dan 2 pasien underwent phacoemulsification before. Semua pasien
mempunyai kornea sentral yang jernih. Ada 5 pasien dengan uveitis dan opasitas
vitreous. Ada 1 pasien dengan (AC IOL), 2 pasien dengan (PCIOL) terdislokasi
sebagian pada rongga vitreous dan sisanya Aphakic. Semua prosedur bedah
dikerjakan dengan anastesi lokal retrobulbar dan diimplementasi IOL pada sulkus
tanpa fiksasi. Rata-rata umur adalah 56,3 + 18,5 tahun. Rata-rata best corrected
visual acuity (BCVA) sebelum operasi 0,33 + 0,26 dan setelah operasi 0,89 + 0,16 (p
= 0,000).Rata-rata intraocular pressure (IOP) adalah 20,25 + 8,2 dan 15,25 + 3,5
mmHg sebelum dan sesudah operasi secara berurutan (p = 0,140). Pemantauan
dilakukan 1 - 60 bulan. Implementasi IOL sekunder dapat memperbaiki penglihatan
dan mengurangi subjektif dan temuan klinik setelah operasi katarak sebelumnya.

4. JURNAL : KATARAK PENYEBAB UTAMA KEBUTAAN DI INDONESIA (


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA ,2017 )

Penyebab utama kebutaan di indonesia adalah katarak (7080%) . sedangkan


penyebab utama gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi(1015%). Survei
kebutaan Rapid Asswsment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilakukan
Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia (PERDAMI) dan badan litbangkes.tahun
2014 2016 di 15 provinsi pada penduduk di atas usia 50 tahun menunujukan
prevalensi kebutaan sebesar 3% .Sebanyak 15 provinsi itu sudah mencakup 65%
orang indonesia.Sementara untuk sekli survey dibutuhkan 15 juta.”Indeks
pembangunan meningkat,sekarang levih dari 70 persen. Ada beberapa penyakit yang
tidak bisa di cegah tapi kita bisa bantu dengan rehabilitasi,salah satunya katarak atau
kekeruhan lensa,” kata menkes RI,Nila Moeloek,Pada temu media terkait penglihatan
sedunia,digedung kementrian kesehatan.Penyakit katarak,lanjut Nila,salah satunya
disebabkan karena usia lanjut. Usia lanjut akab berdampak pada peningkatan
gangguan penglihatan secara langsung yakni katarak dam secara tidak lansgung
yakni reniopati diabetikum.”khusus untuk katarak,satu-satunya cara untuk mencegah
kebutaan akibat katarak adalah dengan operasi,”tambah nila.

9 . Sintesa Kasus
Berdasarkan kasus,menurut hasil pengamatan kami menyimpulkan kasus
tersebut adalah katarak.hal ini diperlihatkan dengan manifestasi klinis yaitu dengan keluhan
penglihatan mata yang kaburdan juga ketika pengkajian terdapat kekeruhan yang berbentuk
jeruji ditemukan ditepi lensa dan pada saat dilakukan pengkajian juga klien terus-menerus
menggsok matanya.sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa klien ini menderita penyakit
katarak.

Anda mungkin juga menyukai