A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan,
deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000). Fraktur
Antebrachii adalah fraktur pada tulang yang biasanya terjadi di antebrachium (lengan bawah).
(Reksoprodjo, 1998).
B. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Apley, A.Graham, alih bahasa Edi Nugroho, 1995 : 238-239 fraktur dapat terjadi
akibat:
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Fraktur yang disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.
a. Bila terkena kekuatan langsung.
Tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunak rusak.
b. Bila terkena kekuatan tak langsung
Tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena itu,
kerusakan jaringan lunak pada fraktur mungkin tidak ada.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan
Akibat dari tekanan yang berulang-ulang sehingga dapat menyebabkan retak yang terjadi
pada tulang.
3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh.
C. KLASIFIKASI
Menurut Arif Mansjoer (2000: 351) ada 4 klasifikasi fraktur antebrachii antaralain:
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork deformity).
Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar
ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi
supinasi).
2. Fraktur Smith.
Fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut reverse colles fracture.
Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan
sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi.
3. Galeazzi.
Fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius radius ulna distal. Saat pasien jatuh
dengan tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi
pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi.
4. Fraktur Montegia.
Fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi radius ulna proksimal.
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :
1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen tulang tidak
bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung menunjukkan
pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang diketahui ketika
dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
4. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi fraktur.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
E. PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai
keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa
fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti otot,
tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka
dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi.
Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.
Tertariknya segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur
menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Fraktur Antebrachii
a. Pada fraktur colles tanpa dislokasi hanya diperlukan immobilisasi dengan pemasangan
gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai dislokasi diperlukan tindakan
reposisi tertutup
b. Pada fraktur Smith dilakukan reposisi dalam anastesi lokal atau anastesi umum. Posisi
tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi-supinasi. Diimobilisasi dalam gips sirkulasi di
bawah siki selama 4 minggu-6 minggu.
c. Pada fraktur Galeazzi dapat dilakukan reposisi tertutup. Bila hasilnya baik, dilakukan
immobilisasi dengan gips sirkular di atas siku, dipertahankan selama 4-6 minggu.
d. Pada fraktur Montegia dilakukan reposisi tertutup. Setelah berhasil dilakukan
immobilisasi gips sirkulasi di atas siku dengan posisi siku fleksi 90.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doegoes,dkk (1999) pemeriksaan penunjang pada kasus fraktur
1. Scan tulang, tomogram, magnetic resonance imaging (MRI) memperlihatkan fraktur, juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
2. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler
3. Profil koagulasi
4. Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranafusi multiple atau cairan hati.
H. KOMPLIKASI FRAKTUR
Menurut Long, B.C. (1996) komplikasi fraktur adalah :
1. Sindrom Kompartemen
Terjadi bila pembengkakan akibat fraktur atau tekanan dalam suatu ruang yang dibatasi
oleh kompartemen atau inflamasi yang mengakibatkan peningkatan dari dalam. Gejala
utama dari sindrom kompartemen adalah rasa sakit yang bertambah parah terutama pada
pergerakan pasif dan nyeri tersebut tidak hilang oleh narkotik. Tanda lain adalah
terjadinya paralysis, dan berkurangnnya denyut nadi.
2. Kerusakan Saraf
Terjadi karena cidera kerusakan saraf itu sendiri atau karena adanya penekanan oleh gips.
Kerusakan saraf ini akan menyebabkan kerusakan fungsi sensorik.
3. Iskemik
Dengan adanya oedem akibat fraktur akan menekan pada jaringan sekitarnya termasuk
vaskuler. Tekanan ini dapat menyebabkan sirkulasi darah berkurang dengan demikian
akan menimbulkan iskemik pada jaringan otot yang makin lama akan mengakibatkan
kematian jaringan otot yang akan diganti oleh jaringan fibrotik sehingga terjadi
kontraktur.
Gejalanya: dingin, pucat, sianosis, nyeri, bengkak distal dari cedera atau gips. Serangannya
pada saat terjadi cedera atau setelah pakai gips.
4. Emboli
Perubahan tekanan pada fraktur menyebabkan molekul lemak terdorong dari sum-sum ke
dalam peredaran darah sistemik berakibat gangguan pada respiratori dan sistem saraf
pusat.
Gejalanya : sakit dada, pucat, dyspnea, putus asa, bingung, perdarahan petechieare pada
kulit dan conjungtiva.
Serangan : 2-3 hari setelah cedera.
Pengobatan : Tindakan yang menunjang yakni sikap fowler, pemberian oksigen, transfusi
darah untuk mengatasi shock hipovolemik, berikan diuretik, bronkhodilator, cortico-
steroid dan imobilisasi yang baik serta penanganan yang cermat dapat mencegah
terulangnya masalah.
5. Nekrosis Avaskuler
Nekrosis terjadi ketika daerah tulang rusuk karena kematian tulang sehingga aliran darah
terganggu dan tulang akan mengalami osteoporosis dan nekrosis.
6. Osteomyelitis
Kuman masuk ke dalam luka atau dari daerah lain dari tubuh. Infeksi bagian sum-sum
saluran havar dan subperiosteal yang berakibat merusak tulang oleh enzim proteolitik.
Gejala : Edema, nyeri terdapat pus.
Pengobatan : Kultur dan tes sensitif antibiotik, drainage, debridemen.
Pencegahan : Terapkan teknik aseptis pada waktu membalut luka terbuka.
I. PATHWAY
BAB 2
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Wawancara
a. Nyeri
b. Lemah, tidak dapat melakukan kegiatan
c. Apakah pernah mengalami trauma
d. Kebiasaan makan makanan tinggi kalsium
e. Hilangnya gerakan/sensasi
f. Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi,dan auskultasi
a. Aktivitas/Istirahat
Tanda: Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena.
b. Sirkulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap
nyeri), Takikardia (respon stress, hipovilemia), penurunan tidak ada
nadi pada bagian distal yang terkena, pengisian kapiler yang lambat,
pucat, pembengkakan jaringan atau massa hematom pada sisi cedera.
c. Neirosensori
Tanda: Hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kesemutan, (parestesia)
Gejala: Deformitas lokal; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, (bunyi berderik), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang
fungsi.
d. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada
imobilisasi, tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf, spasme/kram
otot 9setelah mobilisasi).
e. Keamanan
Tanda: Laserasi kulit, avulse jaringan, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap/secara tiba-tiba)
3. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doengoes, M.E (2000)
a. Pemeriksaan Rontgen
Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI
Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram
Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai
d. Hitung darah lengkap
Hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ pada trauma
multiple). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress
normal setelah trauma.
e. Kreatinin
Trauma pada otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
f. Profil Koagulasi
Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple
atau cedera hati.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
terhadap fraktur.
2. Resiko tinggi terhadap disfungi neurovaskuler perifer berhubungan
dengan penurunan aliran darah (cedera vaskuler langsung, edema
berlebihan, pembentukan trombus)
3. Resiko trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang
(fraktur).
4. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi
mengenai pengobatan.
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (prosedur invasif).
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(nyeri).
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
C. INTERVENSI
Pre Operasi
1. DX I
Nyeri akut b.d. spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
atau hilang.
NOC:
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1. Laporkan frekuensi nyeri
2. Kaji frekuensi nyeri
3. Lamanya nyeri berlangsung
4. Ekspresi wajah terhadap nyeri
5. Perubahan TTV
NIC:
a. NIC 1: Exercise Therapy
1. Tentukan batasan pergerakan sendi dan efek dari fungsi
2. Monitor lokasi ketidaknyamanan selama pergerakan
3. Dukung ambulasi
b. NIC 2: Circulatory Care
1. Evaluasi terhadap edema dan nadi
2. Inspeksi kulit terhadap ulser
3. Dukung pasien untuk latihan sesuai toleransi
4. Kajiderajat ketidaknyamanan/nyeri
5. Turunkan ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi arterial
3. DX III
Resiko tinggi trauma b.d. kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
trauma.
NOC: Risk Control
Kriteria Hasil:
1. Memonitor faktor resiko lingkungan
2. Memonitor faktor resiko perilaku pasien
3. Menggunakan pelayanan kesehatan kongruen dengan kebutuhan
4. Memonitor perubahan status kesehatan
5. Partisipasi dalam perawatan untuk identifikasi resiko
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
4. DX IV
Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
dan keluarga tidak mengalami kecemasan.
NOC: Control Cemas
Kriteria Hasil:
1. Monitor Intensitas kecemasan
2. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas
3. Menggunakan strategi koping efektif
4. Mencari informasi untuk menurunkan cemas
5. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Ket Skala:
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC: Penurunan Kecemasan
a. Tenangkan Klien
b. Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang
mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
c. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.
d. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa sakit.
e. Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.
5. DX V
Kurang pengetahuan b.d. keterbatasan informasi mengenai pengobatan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan
pasien dan keluarga bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
Kriteria Hasil:
a. Mengenal tentang penyakit
b. Menjelaskan proses penyakit
c. Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungan
d. Menjelaskan faktor resiko
e. Menjelaskan komplikasi dari penyakit
f. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
a. NIC 1: Health Care Information exchange
1. Identifikasi pemberi pelayanan keperawatan yang lain
2. Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga dalam
mengimplementasikan keperawatan setelah penjelasan
3. Jelaskan peran keluarga dalam perawatan yang berkesinambungan
4. Jelaskan program perawatan medik meliputi; diet, pengobatan, dan
latihan.
5. Jelaskan rencana tindakan keperawatan sebelum
mengimplementasikan
b. NIC 2: Health Education
1. Jelaskan faktor internal dan eksternal yang dapat menambah atau
mengurangi dalam perilaku kesehatan.
2. Jelaskan pengaruh kesehatan danperilaku gaya hidup
individu,keluarga/lingkungan.
3. Identifikasi lingkungan yang dibutuhkan dalam program
perawatan.
4. Anjurkan pemberian dukungan dari keluarga dan keluarga untuk
membuat perilaku kondusif.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8
volume 3, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Evelyn. C. Pearce (1999). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Cetakan ke-22,
Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia. A (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4 buku
2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.