Disusun oleh:
GHALIH HAKIKI KAVISA 21030116140126
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
2
RINGKASAN
3
SUMMARY
Energy problems in Indonesia are issues that are not easy to solve. If the energy
needs dominated by BBM continue to increase without any changes in the pattern of
energy use, then Indonesia's sustainability and energy security will be disrupted.
Therefore, Indonesia really needs alternative energy. Biogas is an alternative energy
produced from the anaerobic degradation of organic compounds and can be a
substitute for natural gas and fossil fuels. Solid tea waste can be used as a substrate
from anaerobic co-digestion biogas production with cow dung. In general, the
purpose of this study is to produce biogas from tea pulp and cow manure by
anaerobic co-digestion and have a specific purpose, namely (i) Assessing the effect of
pretreatment on the yield of biogas produced, (ii) Assessing the effect of pH on yield
of biogas , (ii) Assessing the effect of the value of the C / N ratio on the yield of the
biogas produced. This research was conducted by making variations in treatment
including physical pretreatment with and without grinding (± 1 mm), biological
pretreatment with and without addition of 5% v / v microbial consortium, pH
controlled (addition of buffer) and uncontrolled, and ratio of C: N waste solid tea (25
and 30). The biogas formation process is carried out for 2 months at room
temperature with the quantitative response test results in the form of biogas volume
every 2 days.
4
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt yang telah memberikan segala
rahmat dan karunia-nya sehingga proposal penelitian dengan judul Produksi Biogas
dari Kombinasi Kulit Kopi dan Ampas Kelapa Menggunakan Starter Rumen Sapi dan
Bakteri Consortium Menggunakan Metode Anaerobic Co-Digestion dapat
diselesaikan. Dalam penyusunan proposal ini tidak terlepas dari bantuan pihak-pihak
lain. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Dr. Siswo Sumardiono, S.T., M.T., selaku Ketua Departemen Teknik
Kimia Universitas Diponegoro.
2. Dr. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.T. sebagai koordinator penelitian yang
telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.
3. Prof. Dr. Ir. Budiyono, M.Si selaku dosen pembimbing.
4. Semua pihak yang telah membantu terselesainya proposal penelitian ini.
Disadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat
memberikan manfaat bagi peneliti dan para pembaca dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.
5
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................................................ii
RINGKASAN................................................................................................................................iii
SUMMARY....................................................................................................................................iv
PRAKATA.......................................................................................................................................v
DAFTAR ISI...................................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...........................................................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
2.2 Biogas...........................................................................................................................9
2.3.1 Hidrolisis...........................................................................................................12
6
2.3.2 Acidogenesis.....................................................................................................12
2.3.3 Asetogenesis......................................................................................................12
2.3.4 Metanogenesis...................................................................................................13
2.4.3 Temperatur.........................................................................................................14
2.4.4 pH......................................................................................................................14
2.5 Pretreatment................................................................................................................15
3.2.1 Alat....................................................................................................................27
3.2.2 Bahan.................................................................................................................27
7
3.4.1 Persiapan...........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................31
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Rancangan penelitian.................................................................................................25
Gambar 3.2 Rangkaian alat penelitian...........................................................................................28
8
DAFTAR TAB
Tabel 2.1 Kadungan ampas teh (Aksay, Ozkaymak and Calhan, 2018)..........................................7
Tabel 2.2 Komposisi kimia dari berbagai jenis biomassa lignoselulosa..........................................8
Tabel 2.3 Perbandingan C dan N pada teh (Saputra, Triatmojo and Pertiwiningrum,
2012; Aksay, Ozkaymak and Calhan, 2018)....................................................................................9
Tabel 2.4 Komposisi dalam Biogas (Deublein & Steinhauser, 2008).............................................9
Tabel 2.5 Penelitian terdahulu produksi biogas.............................................................................19
YTabel 3.1 Variabel penelitian.......................................................................................................29
9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan energi di Indonesia merupakan isu yang tidak mudah untuk
diselesaikan. Hal ini tentunya disebabkan karena konsumsi energi yang masih dominan
terhadap minyak dan gas bumi. Faktanya cadangan minyak bumi nasional per 1 Januari
2015 terbukti mengalami penurunan 1,2% jika dibanding tahun sebelumnya. Disisi lain,
laju konsumsi BBM sebagai produk hasil olahan terus mengalami peningkatan. Sedangkan
perkembangan produksi selama 10 tahun terakhir menunjukan kecenderungan menurun,
yaitu dari 287,30 juta barel atau sekitar 800 ribu barel perhari pada 2006 dan menjadi
251,87 juta barel atau 690 ribu barel per hari pada tahun 2015. Penurunan produksi
tersebut dikarenakan sumur-sumur produksi minyak bumi umumnya sudah tua, sementara
produksi sumur baru relatif masih terbatas (Prasodjo et al., 2016). Jika kebutuhan energi
yang didominasi oleh BBM ini terus meningkat tanpa ada perubahan pola pemakaian
energi, maka keberlangsungan dan ketahanan energi Indonesia akan terganggu (Yudiartono
et al., 2018). Untuk mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional, seperti yang
tercantum dalam peraturan induknya, Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional, Perpres RUEN menjabarkan prioritas pengembangan energi
Indonesia yang meliputi beberapa hal, yaitu penggunaan energi terbarukan yang maksimal
dengan memperhatikan tingkat keekonomian, meminimalkan penggunaan minyak bumi,
pemanfaatan gas bumi dan energi baru secara optimal, serta menjadikan
batubara sebagai andalan pasokan energi nasional. Oleh karena itu Indonesia perlu
mengembangkan energi baru terbarukan sebagai solusi dari permasalahan tersebut.
Energi biomassa, yang telah menjadi perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir,
yang merupakan sumber daya terbarukan yang bisa diubah menjadi tiga fase bahan bakar:
gas, cair dan padat (Mao et al., 2018). Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber
daya alam baik hayati maupun nabati. Indonesia, yang dikatakan sebagai salah satu negara
dengan potensi biomassa terkaya, namun masih memiliki pemanfaatan potensi biomassa
yang cukup rendah (Biddinika et al., 2016). Sebagian besar energi biomassa di Indonesia
juga digunakan untuk keperluan rumah tangga, pertanian, industri kayu dan gula, di daerah
1
pedesaan untuk memasak, penerangan, penggilingan padi, pengeringan hasil pertanian, dan
panas dan pembangkit listrik (Singh and Setiawan, 2013). Salah satu energi alternatif
berbasis biomass yang dapat diterapkan di Indonesia yaitu biogas.
Biogas diproduksi dari degradasi anaerobik senyawa organik dan bisa menjadi
pengganti gas alam dan bahan bakar fosil. Biogas memiliki tiga komponen utama, yaitu
metana (CH4), karbon dioksida (CO2) dan nitrogen (N2). Namun terdapat juga hasil
samping yang kadarnya sangat sedikit, yaitu hidrogen sulfida (H2S), hidrogen (H2),
nitrogen (N2), ammonia (NH3), oksigen (O2) dan karbon monoksida (CO) (Ullah Khan et
al., 2017). Biogas merupakan renewable energy yang artinya dapat diperbaharui
(Manyuchi, Mbohwa and Muzenda, 2018). Turki menghasilkan hampir 2 triliun m3 per
tahun biogas dan menghasilkan 9 juta MWh listrik (Aksay, Ozkaymak and Calhan, 2018).
Dengan menggunakan limbah dengan biaya yang murah bahkan gratis. Salah satu proses
pembuatan biogas berasal dari bermacam substrat organik dan biasanya menggunakan
proses anorganic co-disgestion (López González, Pereda Reyes and Romero Romero,
2017).
Indonesia merupakan negara kelima produksi teh terbesar di dunia dengan angka
produksi teh dalam bentuk daun kering sebesar 144,02 ribu ton pada tahun 2016 (Zikria,
2017). Namun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih melakukan
impor teh dari beberapa negara (Syaipulloh, 2015). Sejumlah besar daun teh dan residu
daun teh dibuang ke lingkungan melalui minum teh setiap hari, ekstraksi teh instan dan teh
siap minum (Mahaly et al., 2018).Tingginya konsumsi teh di Indonesia ini juga
menimbulkan banyaknya limbah yang dihasilkan yaitu berupa ampas teh. Daun teh
memiliki kandungan yang bermanfaat asam amino, protein, vitamin, tanin dan polifenol.
Setelah seduhan daun teh, beberapa nutrisi masih ada tetap di daun teh (Aksay,
Ozkaymak and Calhan, 2018). Pemanfaatan limbah ampas teh sejauh ini masih
terbatas sehingga perlu adanya pengembangan.
Aksay et al. (2018) mengatakan bahwa daun teh kering diseduh dengan air panas
kemudian hasilnya dapat dikatakan sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dalam jumlah
yang besar, dibuang dengan campuran limbah domestik lainnya yang memiliki kadar
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan bau tidak sedap.
Limbah ampas teh terus meningkat tergantung jumlah konsumsinya. Oleh karena itu
2
dibutuhkan pengembangan metode baru untuk penggunaan kembali limbah ampas teh.
Daun teh mengandung asam amino, protein, vitamin, tannin, polifenol. Setelah daun teh
diseduh, kandungan nutrisi masih ada yang tersisa pada ampas teh. Oleh karena itu, limbah
ini dapat digunakan untuk produksi biogas disamping dapat digunakan sebagi pakan ternak
dan produk lainnya.
Populasi sapi potong di Indonesia diperkirakan 10,8 juta ekor dan sapi perah
350.000 - 400.000 ekor dan apabila satu ekor sapi rata-rata setiap hari menghasilkan 7
kilogram kotoran kering maka kotoran kotoran sapi kering yang dihasilkan di Indonesia
sebesar 78,4 juta kilogram kering per hari (Budiyanto, 2011). Satu ekor sapi setiap
harinya menghasilkan kotoran berkisar 8 – 10 kg per hari atau 2,6 – 3,6 ton per tahun
(Sholihul and Wikanta, 2017). Apabila limbah kotoran sapi yang melimpah ini tidak
dikelola dengan benar, limbah kotoran ini tidak saja memengaruhi produksi dan
kualitas susu, tetapi juga lingkungan sekitarnya (Dianawati dan Mulijanti, 2015). Dari
seluruh komoditas ternak ruminansia, sapi merupakan penghasil CH4 yang lebih banyak
dibanding dengan ternak ruminansia lainnya (Syarifah and Widiawati, 2017). Telah
dilaporkan bahwa kontributor emisi gas CH4 di Indonesia tertinggi pada subsektor
peternakan adalah ternak sapi potong, yaitu sebesar 65,12% dari emisi ternak ruminansia,
atau sebesar 58,84% dari total emisi gas CH4 seluruh komoditas ternak. Kotoran sapi
memiliki kandungan nitrogen yang tinggi dan karena pra-fermentasi di lambung
ruminansia, dan telah diamati sebagai bahan yang paling sesuai untuk hasil biogas yang
tinggi melalui penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun (Verma et al., 2014).
Kotoran sapi adalah substrat yang sangat baik untuk produksi biogas secara co-disgestion
dengan jenis bahan limbah lainnya seperti limbah industri organik, limbah rumah tangga
dan lumpur limbah meskipun hasil metana sebagai substrat tunggal rendah (Yohaness,
2010). Namun, kotoran sapi berfungsi sebagai substrat "pembawa" yang sangat baik
selama pencampuran limbah campuran dan memungkinkan anorganic disgestion limbah
industri terkonsentrasi, yang akan sulit untuk ditangani secara terpisah. sejumlah besar
bakteri anaerob dalam kotoran sapi berfungsi efektif untuk menurunkan fraksi organik dari
kotoran ternak meskipun pH tidak diatur (Shehu, Ibn and Ismail, 2012). Oleh karena
karena itu dalam penelitian ini akan dikaji proses pembuatan biogas secara anaerobic co-
disgestion dari kotoran sapi dan ampas teh.
3
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian yang telah dilakukan dalam mengatasi permasalahan pengolahan ampas
teh menjadi energi alternatif ini masih sangat minim. Adapun usaha pemanfaatan ampas
teh yang telah dilakukan diantaranya dengan mengolah ampas teh menjadi elektroda
karbon aktif untuk penghapusan simultan dari 2 Cr (VI) dan fluoride dengan deionisasi
kapasitif (Gaikwad and Balomajumder, 2017), penghilangan merkuri unsur oleh bio-char
termodifikasi dari ampas teh (Shen et al., 2017), kombinasi senyawa bioaktif rumput laut
dan ampas teh sebagai antibakteri dalam formula masker wajah (Nurjanah et al., 2018).
Untuk menjawab permasalahan pengolahan limbah ampas teh serta krisis energi Manyuchi,
Mbohwa dan Muzenda (2018) dalam penelitiannya membuat biogas dan biosolid dari
ampas teh melalui anaerobic digestion. Limbah ampas teh ditumbuk dengan ukuran
partikel kurang dari 2,5 mm untuk meningkatkan proses anaerobic digestion dalam
produksi biogas. Limbah teh memiliki kadar air 8,2% hingga 9,5% secara kering, volatile
solids (VS) dari 92% hingga 95%, dan chemical oxygen demand (COD) dari 68,9 g / L
menjadi 72,9 g / L, dengan pH diatur pada kondisi netral 6,6-7,7. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa pembuatan biogas dengan anaerobic digestion dari ampas teh efektif
dilakukan sebagai pengolahan limbah ampas teh dimana dalam waktu tinggal 30 hari akan
dihasilkan gas dengan kadar metana 60-65%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Aksay,
Ozkaymak dan Calhan (2018), produksi biogas dilakukan dengan anaerobic co-digestion
dari kotoran ternak dan ampas teh dalam kondisi mesofilik dan substrat 50 g TS/L dengan
rasio campuran ampas teh dan kotoran ternak yang divariasikan serta ada tidaknya
pengadukan. Diperoleh produksi biogas optimum sebanyak 296,89 mL/g VS dengan
mengombinasikan 75% kotoran ternak dengan 25% ampas teh serta perlakuan pengadukan
sebesar 100 rpm pada pH 7,28 diperoleh hasil pula bahwa pH akan cenderung menurun
selama proses produksi biogas berlangsung, pH yang rendah (dibawah 7) cenderung
menghasilkan yield biogas yang rendah.
Pada peneltitan lain juga yang dilakukan oleh Agnesia dan Nugraha (2017)
yaitu menganalisis pengaruh penggunaan NaOH (natrium hidroksida) dan microbial
consortium pada produksi biogas dari sekam padi dengan metode Solid State Anaerobic
Digestion (SS-AD). Pada umumnya, SS-AD terjadi pada konsentrasi total padat lebih
4
tinggi dari 15%. Limbah sekam padi sebagai substrat dengan rasion C/N sebesar 25 dan
jumlah total padat yang digunakan 21%. Sekam padi mengandung lignin tinggi, sehingga
dilakukan perlakuan kimia dan biologi. Pendahuluan kimia menggunakan NaOH dengan
variasi konsentrasi yang digunakan 3%, 6%, dan 9%, sedangkan pendahuluan biologi
menggunakan microbial consortium dengan variasi konsentrasi 5%, 8%, dan 11%. Biogas
yang dihasilkan diukur setiap dua hari selama 60 hari penelitian dengan parameter yang
diamati adalah volume biogas. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan pendahuluan
dengan NaOH dan microbial consortium dapat meningkatkan produksi biogas. Produksi
biogas tertinggi diperoleh pada perlakuan pendahuluan dengan menggunakan NaOH 6%
yaitu sebesar 497 ml dan perlakuan pendahuluan dengan microbial consortium dengan
menggunakan microbial consortium 11% yaitu sebesar 667,5 (Agnesia & Nugraha, 2017)
Dari beberapa penelitian yang dilakukan mengenai pembuatan biogas dari ampas teh,
diperoleh permasalahan bahwa pH akan cenderung terus menurun selama proses produksi
biogas berlangsung dimana pH yang rendah akan menghasilkan yield biogas yang rendah
pula (Aksay, Ozkaymak and Calhan, 2018). Perlu diketahui bahwa menurut Ogiehor dan
Ovueni (2014), anaerobic digestion akan terjadi paling baik dalam kisaran pH 6,8 - 8,0,
sedangkan nilai pH yang lebih tinggi dari 8,5 akan menjadi racun bagi bakteri metanogenik
dalam slurry (Orhorhoro, Orhorhoro and Ebunilo, 2016). Selain itu kandungan lignin dari
ampas teh yang cukup tinggi yaitu sebesar 36,94% (Kirci 2006; Tutuş, Kazaskeroğlu and
çiçekler, 2015) sehingga membutuhkan pretreatment yang tepat agar memperoleh yield
biogas yang maksimal. Permasalahan lainnya yaitu C/N optimum adalah 20-30 (Yangyang
Li et al., 2015) jika rasio C/N lebih tinggi dari rentang itu, produksi biogas akan rendah
karena nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogenik untuk memenuhi
kebutuhan protein dan tidak akan lagi bereaksi pada karbon yang tersisa tersisa dalam
bahan. Sebaliknya jika rasio C/N sangat rendah, yaitu di luar kisaran ideal yang disebutkan
di atas, nitrogen akan dibebaskan dan akan terakumulasi dalam bentuk amonia. Oleh
karena itu dalam penelitian ini, akan dikaji mengenai pengaruh pH terhadap yield biogas
yang dihasilkan dengan membandingkan adanya penambahan buffer serta kontrol pH,
dilakukan pretreatment secara kimia, biologi, dan fisik yang divariasikan, serta membuat
rasio C/N yang sesuai rentang optimum 20-30 untuk kemudian diperoleh rasio terbaik
dengan demikian diharapkan akan diperoleh yield biogas yang optimum.
5
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memproduksi biogas dari ampas teh
dan kotoran sapi secara anorganic co-disgestion serta memiliki tujuan secara khusus yaitu:
1. Mengkaji pengaruh pretreatment terhadap yield biogas yang dihasilkan
2. Mengkaji pengaruh pH terhadap yield biogas yang dihasilkan
3. Mengkaji pengaruh nilai Rasio C/N terhadap yield biogas yang
dihasilkan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1 Kadungan ampas teh (Aksay, Ozkaymak and Calhan, 2018)
Limbah teh yang kita gunakan adalah ampas yakni berupa ampas teh. Ampas yang
dihasilkan oleh pabrik teh tersedia dalam jumlah sebesar yaitu 400 kg/hari sehingga dalam
sebulan diperoleh 12 ton (Rahayu Sari and Nurhayati, 2005). Komposisi kimia dari
berbagai biomassa lignoselulosa dapat dilihat pada Tabel 2.2. Lignoselulosa terdiri dari
selulosa, hemiselulosa, lignin, dan beberapa bahan organik (Sharma et al., 2014). Selulosa,
hemiselulosa, dan lignin adalah tiga komponen utama yang merupakan sumber penting
untuk menghasilkan produk yang bermanfaat, seperti gula dari proses fermentasi, bahan
kimia dan bahan bakar cair (Hendriks and Zeeman, 2009). Rata-rata, 50 sampai 70% berat
kering biomassa terdiri dari karbohidrat (misalnya pati, selulosa, dan hemiselulosa) (Lee et
al., 2014).
7
Tabel 2.2 Komposisi kimia dari berbagai jenis biomassa lignoselulosa
Limbah organik, seperti limbah ampas teh, merupakan limbah yang mudah terurai yang
mengandung unsur karbon (C). Kebutuhan nutrien C dan N untuk pertumbuhan mikroba
ditunjukkan dengan rasio C/N. Nitrogen digunakan untuk mensintesis protein, enzim, Ribo
Nucleic Acid (RNA) dan juga Deoxyribonucleic Acid (DNA). Karbon digunakan dalam proses
metabolisme mikroba, berperan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme. Kandungan rasio
C/N yang rendah menyebabkan nitrogen akan terkumpul dalam bentuk wujud amonia (Insam,
Gómez-Brandón and Ascher, 2015). Rasio C/N yang optimum untuk AD adalah 20-30
(Junfeng and Runqing, 2003) dengan rasio C/N ampas teh disajikan dalam Tabel 2.3. Limbah
organik yang bernilai C/N tinggi dapat dicampur dengan yang lebih rendah sehingga diperoleh
rasio C/N yang seimbang dan produksi biogas dapat berjalan optimum. Selain itu, jumlah N
dapat ditingkatkan dengan penambahan urea dan mikroalga (Sunarso, Budiyono and
Sumardiono, 2010). Apabila substrat pada AD merupakan campuran dua atau lebih jenis
substrat (seperti kotoran ternak dengan limbah organik dari pertanian) maka disebut co-
digestion, dan untuk saat ini telah berkembang biogas dengan menggunakan co-digestion
(Bochmann and Montgomery, 2013).
8
Tabel 2.3 Perbandingan C dan N pada teh (Saputra, Triatmojo and Pertiwiningrum, 2012; Aksay,
Ozkaymak and Calhan, 2018)
C: N 14,12 22,12
2.2 Biogas
2.2.1 Pengertian Biogas
Biogas merupakan campuran gas yang dihasilkan dari proses fermentasi
anaerobik oleh bakteri penghasil gas metana seperti Methanosarcina, sp. (Fithry,
2010). Biogas merupakan senyawa gas yang mudah terbakar dan memilki kandungan
utama berupa metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) (Jørgensen, 2009; dan
Praptiningsih et al., 2014 ). Biogas terbentuk dari dekomposisi bahan organik pada
kondisi anaerob atau tanpa melibatkan oksigen (Jørgensen, 2009).
Gas %
Methane ( CH4) 55 – 75
Carbon dioxide ( CO2) 25 - 45
Hydrogen Sulphide ( H2S ) <1
Ammonia (NH3) <1
Air ( H2O) 2-7
Nitrogen ( N2) <2
9
2.2.3 Produksi Biogas
Pada pembuatan biogas akan membutuhkan bahan-bahan organik yang
selanjutnya akan terurai oleh beberapa mikroorganisme. Untuk pembuatan biogas
yang didominasi oleh gas metana (CH4), proses produksi biogas membutuhkan
mikroorganisme berupa bakteri anaerob yang memiliki produk utama berupa metana
(CH4)(Krzysztof Ziemiński, 2012; Adekunle and Okolie, 2015). Bakteri metanogenik
dapat mengubah bahan-bahan organik sisa atau limbah menjadi produk biogas
(Novita, 2016). Efisiensi pembentukan biogas bergantung pada kondisi produksinya
harus sesuai dengan mikroorganismenya (Seadi et al., 2008). Untuk memulai
pembentukan biogas perlu adanya inokulasi mikroorganisme untuk menunjang
proses fermentasi produksi biogas (Akwaka, Kukwa and Mwekave, 2014).
Pembuatan biogas yang berasal dari bermacam substrat organik dan biasanya
menggunakan proses anorganic disgestion (López González, Pereda Reyes and Romero
Romero, 2017). Produksi biogas terdiri dari tiga tahap proses biokimia kompleks yang
melibatkan pembentukan solublization, pengasaman dan metana (Uzodinma et al.,
2008). Teknologi pada proses produksi biogas yangs sering digunakan dan cukup luas
adalah anaerobic disgestion . AD (anaerobic disgestion) adalah proses biologis yang
kompleks dimana terjadi proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerobic ke
lingkungan tanpa oksigen (Hadiyarto et al., 2015). Teknologi AD untuk produksi metana
adalah metode yang lebih efisien untuk pembangkit energi dari biomassa dibandingkan
dengan biologi dan proses konversi termo-kimia, seperti etanol selulosa. Manfaat lain
dari anaerobic disgestion adalah pengurangan emisi metana alami dari penguraian
biomassa di lingkungan yang terbuka. Hal ini karena potensi pemanasan global metana
diperkirakan 20 kali lebih tinggi daripada karbondioksida, sedangkan sistem AD
menangkap dan memanfaatkan metana untuk produksi energi (Seadi et al., 2008). Pada
10
pembuatan biogas menggunakan berbagai macam substrat. Bahan baku yang digunakan
pada pembuatan biogas dapat berasal dari limbah peternakan, pertanian, limbah industri
(López González, Pereda Reyes and Romero Romero, 2017).
Biogas memiliki sifat mudah terbakar, biogas terbentuk dari proses
dekomposisi bahan organik secara anerobik yang berasal dari tumbuhan atau hewan.
Biogas memiliki kemiripan dengan gas alam yang diperoleh dari bahan bakar fossil
yang digunakan untuk pemanas dan memasak di rumah tangga dan industri. Dalam
penggunaannya biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar kompor atau bahkan
untuk listrik (Pradhan and Limmeechokchai, 2017). Pembakaran biogas
menghasilkan nyala api berwarna biru tanpa asap, sehingga tidak berpotensi
menimbulkan polusi jika dibandingakan dengan bahan bakar fosil (Akwaka, Kukwa
and Mwekave, 2014). Kandungan energi pada biogas tergantung dari banyaknya
kandungan gas metana yang terdapat di dalamnya (Papacz, 2011).
11
Proses pembentukan biogas terbagi menjadi 4 tahapan yaitu hidrolisis, asidogenesis,
asetogenesis dan metanogenesis.
2.3.1 Hidrolisis
Hidrolisis merupakan langkah awal pada proses produksi biogas. Pada tahap
ini bahan organik yang berasal dari hewan maupun tumbuhan akan diuraikan, proses
penguraian menggunakan bakteri utama pembuat biogas atau bakteri lainnya yang
ditambahkan. Proses hidrolisis adalah pengubahan senyawa polimer menjadi
monomer-monomer. Selama hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lipid, asam
nukleat dan protein diubah menjadi glukosa, gliserol, purin dan piramidin. Berikut
ini akan ditampilkan reaksinya sebagai berikut (Seadi et al., 2008):
2.3.2 Acidogenesis
Selama asidogenesis, produk hidrolisis dikonversi oleh bakteri Acidogenic
(fermentatif) ke dalam substrat metanogen. Gula sederhana, asam amino dan asam
lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen (70%), volatile
fatty acid (VFA) dan alkohol (30%) (Seadi et al., 2008).
2.3.3 Asetogenesis
Proses asetogenesis adalah proses pengubahan pengubahan atau mengkonversi
kembali substrat dari produk dari asidogenesis yang tidak dapat langsung diubah
menjadi metana oleh bakteri metanogen, VFA dan alkohol dioksidasi menjadi asetat,
hidrogen dan karbon dioksida. VFA dengan rantai karbon lebih dari dua unit dan
alkohol dengan rantai karbon lebih lama dari satu unit, dioksidasi menjadi asetat dan
hidrogen. Hidrogen yang terbentuk selama proses ini dapat menghambat
metabolisme bakteri acetogenik. Selama metanogenesis, hidrogen diubah menjadi
metana (Seadi et al., 2008).
12
2.3.4 Metanogenesis
Produksi metana dan karbon dioksida dari produk antara dilakukan oleh bakteri
metanogen. 70% dari metana yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya
30% dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO2), menurut
persamaan berikut:
13
Amonia akan menaikkan nilai pH slurry pada digester. Nilai pH yang lebih tinggi
dari 8,5, akan menjadi racun bagi bakteri metanogenik dalam slurry (Orhorhoro,
Orhorhoro and Ebunilo, 2016).
2.4.3 Temperatur
Menurut Ramaraj dan Unpaprom (2016) intensitas aktivitas mikroba
dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Suhu merupakan faktor penting yang
mempengaruhi anaerobik digestion karena mempengaruhi baik kebutuhan
pemanasan sistem dan produksi metana. Ada tiga rentang suhu yang mungkin di
mana proses dapat dilakukan:
psychrophilic 15-25°C
mesofilik 35-37°C
termofilik 50-60°C
Sebagian besar metanogen (mikroorganisme yang membentuk metana dari bahan
organik) termasuk mesofilik. Mereka tumbuh dengan cepat di kondisi mesofilik dan
menunjukkan tingkat konversi organik yang tinggi menjadi biogas. Stabilitas dan kondisi
pertumbuhan dalam digester pada kondisi mesofilik membuat proses lebih seimbang,
lebih tahan terhadap bahan kimia yang menghambat pencernaan dan mampu mengobati
berbagai jenis biomassa dan limbah secara efisien (Rashed, 2014).
2.4.4 pH
Nilai derajat keasaaman atau pH merupakan faktor yang mempengaruhi
terbentuknya biogas. Umumnya, hasil gas yang lebih tinggi diamati dengan influen
dengan pH awal 7. Anaerobic co-digestion akan terjadi paling baik dalam kisaran pH
6,8 - 8,0. Campuran yang lebih asam atau basa akan berfermentasi pada laju yang
14
lebih rendah. Pada pH asam yang dicatat untuk semua efluen pada akhir pencernaan
dapat dikaitkan dengan akumulasi cepat asam lemak bebas, yang biasanya terjadi
pada penghentian produksi gas (Ogiehor and Ovueni, 2014).
2.5 Pretreatment
Biomassa lignoselulosa terutama terdiri dari tiga jenis polimer: selulosa, hemiselulosa,
dan lignin. Komponen karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) dapat difermentasi setelah
hidrolisis, yang membuat biomassa lignoselulosa menjadi bahan baku yang cocok untuk
produksi bioenergi. Namun, karakteristik yang melekat pada biomassa lignoselulosa asli,
seperti sifat struktural dan kimia, membuatnya tahan terhadap biodegradasi oleh enzim dan
mikroba. Karena kompleksitas dan keragaman struktur kimia biomassa, metode dan kondisi
pretreatment yang optimal bergantung pada jenis lignoselulosa yang ada. Lignin tidak larut
dalam air dan secara optik inert. Lignin telah terbukti larut dalam air pada suhu tinggi
(misalnya 180 C), pH netral, atau kondisi asam / basa tergantung pada prekursor lignin. Sifat-
sifat lignin ini menjadikannya komponen yang paling bandel dari dinding sel tanaman, dan
semakin tinggi kandungan lignin, semakin besar ketahanan biomassa terhadap degradasi kimia
dan biologi. Lignin adalah penghalang utama untuk pemanfaatan biomassa lignoselulosa dalam
proses biokonversi. Tujuan pretreatment adalah mengubah sifat-sifat tersebut untuk
meningkatkan kemudahan biomassa terhadap enzim dan mikroba (Zheng et al., 2014).
15
2.5.2 Pretreatment Kimia
Pretreatment kimia mengarah pada penggunaan bahan kimia, seperti asam,
basa, dan cairan ionik untuk mengubah karakteristik fisik dan kimia biomassa
lignoselulosa (Zheng et al., 2014).
Alkaline (Basa)
Pretreatment dengan basa dalam pengolahan biomassa lignoselulosa umumnya
menggunakan basa seperti natrium, kalium, kalsium, dan amonium hidroksida.
Pada pretreatment menggunakan basa dapat memisahkan lignin, hemiselulosa,
dan atau selulosa, sehingga membuat biomassa lignoselulosa menjadi lebih
mudah terurai oleh mikroba dan enzim. Selain itu juga dapat meningkatkan
porositas dan luas permukaan internalnya, menurukan derajat polimerisasi,
krislitas, dan gangguan dari struktur lignin, serta dapat merusak rantai antara
lignin dan polimer lainnya (Zheng et al., 2014). Pretreatment dengan basa yang
biasa digunakan ialah menggunakan NaOH.
Acid (Asam)
Pretreatment asam dapat dilakukan baik oleh asam pekat atau oleh asam encer,
asam sulfat adalah asam hidroklorat yang paling umum digunakan, asam nitrat,
dan asam asetat, juga telah digunakan. Asam konsentrat sangat efektif pada
hidrolisis selulosa. Namun, metode ini membutuhkan energi dan biaya proses
yang intensif. Asam pekat sangat beracun dan korosif, oleh karena itu bahan
khusus diperlukan untuk konstruksi reaktor. Asam encer adalah pilihan yang
lebih ekonomis dan untuk pra-perlakukan biomassa lignoselulosa dapat
menghidrolisis hingga 100% hemiselulosa menjadi gula komponennya
(Rodriguez C et al., 2016).
Oksidasi dengan Peroksida
Pre-treatment oksidasi dengan peroksida adalah metode umum untuk
meningkatkan konversi biologis biomassa lignoselulosa menjadi bioetanol.
Dalam banyak kasus, peroksida berubah secara in situ menjadi radikal hidroksil
-
(OH ) yang jauh lebih kuat daripada peroksida itu sendiri. Oksidan yang
terdokumentasi termasuk hidrogen peroksida, asam perasetat, dimethyioxioxirane,
dan peroxymonosulphate. Peroksida yang paling sederhana dan sering digunakan
16
adalah hidrogen peroksida (H2O2), dan beberapa studi ditemukan pada aplikasi
peroksida lain untuk pretreatment biomassa lignoselulosa untuk produksi biogas.
Seperti telah dibahas untuk oksidasi basah, perlakuan H2O2 biomassa lignoselulosa
sebagian memecah lignin dan hemiselulosa, dan melepaskan fraksi selulosa
dengan degradabilitas tinggi ke mikroorganisme anaerobik. Treatment H2O2 adalah
proses oksidasi non-selektif dan, oleh karena itu, kehilangan hemiselulosa dan
selulosa dapat terjadi. Konsentrasi H2O2 juga sangat berpengaruh dalam
pretreatment ini, dengan konsentrasi H2O2 yang tinggi akan mengganggu proses
anaerobic digestion karena toksisitas pada ion hidroksil berlebih untuk
metanogen (Zheng et al., 2014).
Jamur
Sebagian besar penelitian saat ini berfokus pada pretreatment menggunakan
jamur karena cukup ekonomis. Penelitian pada pretreatment jamur terutama
pada evaluasi jamur yang secara selektif menurunkan lignin dan hemiselulosa,
sementara selulosa hanya mampu sedikit terdegradasi. Selulosa lebih tahan
terhadap serangan jamur dibandingkan komponen lain. Degradasi lignin dan
hemiselulosa menghasilkan peningkatan daya cerna selulosa, yang lebih sesuai
untuk proses AD. Beberapa jamur yang digunakan ialah brown-, white- and
soft-rot fungi (Ceriporiopsis subvermispora, Auricularia auricula-judae,
Trichoderma reesei), dan basidiomycetes (Ischnoderma resinosum dan
17
Fomitella fraxinea), dimana white-rot fungi yang paling banyak digunakan
karena lebih efektif dalam pembuatan biogas. Namun, beberapa kelompok
mikroba sensitif terhadap kondisi operasi yang bervariasi dan pretreatment ini
perlu dilakukan dalam kondisi steril (Zheng et al., 2014).
Mikroba Consortium
Saat ini, telah berkembang penggunaan microbial consortium untuk pretreatment
biologi ini. Namun, banyak dari pretreatment biologi ini berfokus pada
kemampuan degradasi selulosa/hemiselulosa, sementara penghilangan lignin
diabaikan. Berdasar penelitian, aksesibilitas selulase dapat meningkatkan
kemampuan penghilangan lignin dari lignoselulosa (Zhong et al., 2016). Sebagai
contoh adalah microbial consortium yang memiliki kemampuan untuk
mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Pretreatment ini dilakukan dengan cara
menyaring mikroba dari lingkungan alam di mana substratnya adalah biomassa
lignoselulosa busuk. Berbeda dengan pretreatment jamur, yang terutama
menyerang lignin, mikroba consortium biasanya memiliki kemampuan degradasi
selulosa dan hemiselulosa yang tinggi (Zheng et al., 2014).
Enzim
Untuk meningkatkan produksi biogas biomassa lignoselulosa, enzim dengan
aktivitas hidrolitik diterapkan sebelum atau dalam pencernaan anaerobik
biomassa. Enzim yang paling umum digunakan termasuk selulase dan
hemiselulase. Dalam banyak kasus, efek enzim dalam meningkatkan produksi
biogas sangat minim, dan biayanya enzim tinggi. Oleh karena itu, penerapan
pretreatment enzimatik telah dibatasi (Zheng et al., 2014).
Secara umum, pretreatment biologis tidak seefisien pretreatment kimia dan waktu
retensinya relatif tinggi. Sebelum pretreatment biologi layak untuk diaplikasikan dalam
produksi komersial biogas, penelitian tambahan diperlukan untuk mengatasi beberapa
masalah utama seperti biaya, selektivitas, dan efisiensi (Zheng et al., 2014).
18
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang
pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun hasil-hasil penelitian
yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian sebagai berikut:
Tabel 2.5 Penelitian terdahulu produksi biogas
19
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sumber nitrogen
(Budiyono, Biogas Production from dan kontol pH untuk produksi biogas.
Syaichurrozi and Bioethanol Waste: The Effect Hasil menunjukkan bahwa pH awal 7
Sumardiono, Of pH and Urea Addition to menghasilkan biogas tertinggi dengan
2013) Biogas Production Rate nilai 3,81 ml/g sementara ph awal 6
dan 8 menghasilkan biogas sebanyak
3,25 ml/g dan 3,49 ml/g.
20
Jerami padi merupakan bahan organic
yang dapat dimanfaatkan sebagai
biogas. Berbagai pretrearment dapat
dilakukan untuk menghasilkan biogas
yang tinggi. Diantaranya yaitu ;
> hydrothermal pretreatment diikuti
dengan penambahan NaOH 5% dengan
penambahan NaOH mampu
memperbaiki biodegradability
biomassa jerami padi. Hasil biogas
menunjukkan 315,9L/kg dan metana
132,7L/kg.
>Pretreatment Pembekuan untuk
Enhanced Biogas Production mengubah komposisi kimia dan
(Sari and From Rice Straw with struktural feedstock untuk
Budiyono, 2014) Various Pretreatment : A mempercepat dan efisiensi hidrolisis
Review karbohidrat untuk fermentasi gula pada
suhu
-200C
> Pretreatment kimia bisa
menggunakan
hidrogen peroksida ataupun zat
kimia
lainnya. Pretreatment terhadap
terhadap jerami padi dengan 2,68%
H2O2 dan kosentrasi substrat
1,08/inoculum mengahsilkan metana
sebesar 288 ml/g. H2O2 zat yang
efektif dalam penguraian
hemiselulosa pada jerami padi.
Pretreatment menggunakan asam
Effect of Pretreatment of menghasilkan 76 % metana, alkali
(Sharma et al.,
Rice Husk for the menghasilkan 71 % metana dan pra
2014) Production of Biogas perlakuan suhu menghasilkan 73%
metana
21
> Co-digestion berpengaruh
terhadap produktifitas dan laju biogas
Alkaline Pretreatment of > Penambahan NaOH 0.5-1.5% dapat
(Purwoko et al., Sorghum Stalk and Co- meningkatkan produktivitas biogas
2015) Digestion with Sludge for sebesar 14-16%
Biogas Production > Pada rasio 70:30 dan 60:40 terjadi
peningkatan tertinggi pada yield
biogas dan laju pembentukan biogas
Combinations
of Fungal and Milling
Pretreatments Dengan kombinasi pretreatment
(Mustafa et al., For Enhancing milling dan penambahan jamur
2017) Rice Straw Biogas meningkatkan gas methana 165% dari
Production tanpa pretreatmentn
During SolidState
Anaerobic Digestion.
22
Yield metana selulosa lebih tinggi
daripada hemiselulosa, sedangkan
lignin tidak dapat dicerna,
menunjukkan bahwa biomassa dengan
selulosa tinggi dan kandungan lignin
yang rendah memiliki potensi
Methane production through
biometana yang tinggi. Co-digestion
anaerobic digestion:
selulosa dan hemiselulosa
(Li et al., 2018) Participation and digestion
meningkatkan hasil metana dan
characteristics of cellulose,
biodegradabilitas dibandingkan dengan
hemicellulose and lignin
mono-di-gestions. Oleh karena itu, co-
digestion substrat kaya selulosa dan
substrat kaya hemiselulosa dapat
menjadi strategi yang cukup untuk
meningkatkan kinerja anaerobik
digestion.
23
> Ampas teh merupakan limbah
organik padat yang diperoleh sebagai
limbah kotamadya serta limbah
makanan diolah secara co-digestion
Biogas potential from spent
(Khayum, dengan kotoran sapi untuk memperoleh
tea waste: A laboratory scale
Anbarasu and biogas yang mengandung kandungan
investigation of co-digestion
Murugan, 2018) metana maksimum sekitar 70%.
with cow manure
> Produksi biogas maksimum dapat
diperoleh dari co-digestion substrat
yang mengandung 30% STW dan 70%
CM, untuk waktu pencernaan 25 hari.
Pe terhadap yield biogas yang dihasilkan, serta mendapatkan rasio C/N terbaik agar
nc mendapatkan hasil yang optimum
a
m
pu
ra
n 24
su
bs
t
a
w
Pe al,
rlain
ku
Pe ok
an
m ul BAB III
pe
as u
nd
uk m METODE PENELITIAN
ah
an da 3.1 Rancangan Penelitian
ul
sa n
Pe
ua
m ur
rhi Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini
nea
petu
lng
de
Pe Pe dengan melakukan percobaan skala laboratorium yang dilakukan di
Pe
an
ng
ng
ke m Laboratorium Pengolahan Limbah Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas
adangPe
ras
an eri
m io a
rsi Diponegoro dan Laboratorium UPT Universitas Diponegoro. Proses dan cara
pe
la ks
ra
bilC/ m
ap pengolahan yang dilakukan menggunakan metode anaerobic digestion pada keadaan
ng
m aa
sio
an bil
N an
Pegil
re n
te
Pe o
da anre mesofilik, yaitu pada suhu lingkungan (25-35 C) dengan menggunakan pemasukan
ngin
akn te
rt
na
Pe sa
ak
opga
to
an rh
en
rik
ras umpan dengan sistem batch.Untuk rancangan penelitian dapat dilihat di Gambar
ngAn m
to
errn,
ali ad
tu
an
io
pe
ol r
ali 3.1
asi
sam
da ap
un
lim
ke
ahsaya l
an
saen
nbato
tu
si
an ngli
re
m ada
hm
pektal
data
pa m
ak
ak
pem
ng sol
pu
taba
daan
to ba
lko id
en
lah
di
tda
rdahk
ndn
pa
tegu
rian
isin
pa
da
h na
reNa
an ka
tk
dakat
akO
re da
nan
nte
toH
ak r
sa
ko h
da
rto mair
tor
n
ran
pe
mi
sa
sel
pi
cr
case
ob
rasu
ial
anai
co
aeko
ns
rom
or
b po
tiu
sis
m i
ra
sio
C/
N
ya
ng
tel
ah
dit 25
en
tu
n
1. Tahap Persiapan
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan proses pengambilan ampas
teh, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap komposisi total padatan dan
kadar air. Pada tahap ini dilakukan pengambilan bahan baku ampas teh dari
pabrik teh botol sosro semarang dan kotoran sapi yang berasal dari Fakultas
Pertanian dan Peternakan Undip, pembelian urea serta microbial consortium
dan NaOH sebagai pretreatment .
a. Pretreatment fisik
Pada tahap ini, pretreatment fisik dilakukan dengan penggilingan ampas teh
menjadi ukuran ± 1 mm.
b. Pretreatment kimia
Ampas teh yang berukuran ± 1 mm dan tanpa penggilingan, ditambahkan
NaOH 4% g/g TS untuk delignifikasi. Ampas teh yang sudah melalui
pretreatment kimia, diatur pH menjadi netral dengan menggunakan HCl.
c. Pretreatment biologi
Setelah pH netral tambahkan microbial Consortium 5% v/v.
2. Tahap Operasi
Substrat yang telah dilakukan pretreatment, dicampur dengan kotoran
sapi sesuai dengan rasio ampas teh dan kotoran sapi yang sudah ditentukan,
serta ditambahkannya urea hingga volume 200 ml dan air dengan maksimal
volume pada bioreaktor sebanyak 400 ml. Selanjutnya dilakukan pengaturan
pH, pH awal diatur 7 untuk semua reaktor dan untuk reaktor 1-8 dilakukan
penambahan buffer (NH4HCO3), sedangkan untuk reaktor 9-16 tidak
dilakukan kontrol pH. Sampel yang telah siap dapat dimasukan ke dalam
reaktor, ditutup rapat agar diperoleh kondisi anaerobic dan siap
dioperasikan. Selama proses pengolahan berlangsung, diamati volume
biogas yang dihasilkan dan dilakukan kontrol pH tiap selang waktu 2 hari
selama 60 hari. Volume biogas dihitung dengan mengalirkan gas ke dalam
26
gelas ukur berisi air dengan memanfaatkan sifat gas yaitu menekan ke segala
arah dari reaktor tersebut (hukum boyle), sehingga ketika katup reaktor
dibuka, secara langsung gas berpindah ke dalam gelas ukur untuk diamati
selisih volumenya.
3. Tahap Analisa Hasil
Data volume biogas dianalisis dalam bentuk grafik hubungan volume
biogas terhadap waktu. Analisis secara grafis dan berdasarkan teori
fenomena untuk pengaruh variabel terhadap hasil yang didapatkan pada
grafik hasil. Sedangkan untuk mengetahui laju produksi biogas, data hasil
penelitian dianalisis statistik dengan uji regresi non linier menggunakan
software Polymath 6.1.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Blender 12. Pipet tetes
2. Timbangan digital 13. Beaker glass
3. Botol plastik (Biodigester) 14. Gelas ukur
4. Tangki pencampur 15. Oven
5. Wadah air dan NaOH (bejana) 16. Labu takar
6. Pengaduk 17. Cawan porselen
7. Selang plastic 18. Lem tembak
8. pH meter 19. Saringan
9. Katup (valve)
10. Statif
11. Klem
3.2.2 Bahan
1. Ampas teh
2. Kotoran sapi
3. Urea
4. Microbial consortium
5. NaOH
6. HCl
7. Air
8. Buffer NH4HCO3
27
3.2.3 Rangkaian Alat Penelitian
28
3.3.3 Variabel Terikat
Respon yang diamati dari penelitian ini adalah volume biogas total setiap 2 hari
sekali
selama 60 hari.
Microbial Penggilinga
Rasio
Tangki Kontrol pH consortiu n Ampas
C/N
m Teh
1 + + + -
2 + + + +
3 + + - -
4 + + - +
5 + - + -
6 + - + +
7 + - - -
8 + - - +
9 - + + -
10 - + + +
11 - + - -
12 - + - +
13 - - + -
14 - - + +
15 - - - -
16 - - - +
29
3.4.2 Tahap Operasi
1. Umpan ampas teh dan kotoran sapi dimasukkan ke dalam biodigester
dengan perbandingan 1:1 dan masukkan mikronutrien (urea) sesuai
kebutuhan rasio C/N hingga volume 200 ml.
2. Tambahkan air dalam biodigester.
3. Atur pH netral dengan menggunakan larutan HCl.
4. Tunggu proses fermentasi sehingga biogas terbentuk.
5. Ukur volume biogas yang terbentuk dan kontrol pH setiap dua hari sekali
hingga 60 hari.
3.4.3 Tahap Analisis Data
Data volume biogas dianalisis dalam bentuk grafik hubungan volume
biogas terhadap waktu. Analisis data secara grafis dan teori fenomena yang
terjadi atas pengaruh pretreatment dan perbandingan rasio ampas teh dengan
kotoran sapi masing-masing terhadap hasil yang didapatkan pada grafik
hasil penelitian. Untuk penentuan laju produksi biogas, data hasil penelitian
dianalisis statistic dengan uji regresi non linier menggunakan software
Polymath 6.1.
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Penambahan NaOH pada Ampas Teh terhadap Produksi Biogas
Pengaruh penambahan NaOH terhadap produksi biogas harian dan kumulatif
dapat dikaji dengan variasi ampas teh yang lolos ayakan (halus) dan ampas teh yang
tidak lolos ayakan (kasar) serta penambahan dan tanpa penambahan microbial
consortium.
4.1.1 Pengaruh Penambahan NaOH pada Ampas Teh Kasar dengan Rasio C/N
25 dan 30 terhadap Produksi Biogas
Pada penelitian biogas yang dihasilkan ditinjau dari pretreatment kimia
dengan penambahan NaOH. NaOH dicampurkan dengan subtrat untuk
31
mempercepat berlangsungnya proses delignifikasi atau proses penghilangan lignin.
Pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan biogas yang dihasilkan
antara ampas teh kasar dengan penambahan NaOH rasio C/N 25 dan 30
Gambar 4.1 Laju Produksi biogas harian ampas teh kasar dengan dan tanpa
penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Gambar 4.2 Total produksi biogas ampas teh kasar dengan dan tanpa
penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Pada gambar 4.1 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan jumlah produksi
biogas dari ampas teh kasar dengan penambahan NaOH dengan perbedaan rasio
32
C/N 25 dan 30. Total produksi biogas ampas teh kasar tanpa penambahan dan
dengan penambahan NaOH pada rasio C/N 25 berturut-turut adalah 21,73 ml/gr TS,
sedangkan total produksi biogas ampas teh kasar tanpa penambahan dan dengan
penambahan NaOH pada rasio C/N 30 berturut-turut adalah 28,13 ml/gr TS.
Gambar 4.1 menunjukkan laju produksi biogas harian pada ampas teh kasar
dengan penambahan NaOH untuk variasi ampas teh rasio C/N 25 dan 30. Pada
ampas teh kasar tanpa penambahan NaOH untuk rasio C/N 25 biogas yang
dihasilkan semakin hari meningkat namun pada hari ke-22 mengalami stationary
phase dari bakteri penghasil biogas. Pada hari ke-30 produksi biogas cenderung
menurun hingga hari ke-40. Pada ampas teh kasar dengan penambahan NaOH untuk
rasio C/N 25 produksi biogas mengalami kenaikan dari hari ke hari namun
mengalami stationary phase pada hari ke-28 pada hari ke-34 produksi biogas
cenderung menurun hingga hari ke-40. Pada ampas teh kasar tanpa penambahan
NaOH untuk rasio C/N 30 produksi biogas yang cenderung meningkat stabil hingga
mencapai produksi tertingginya pada hari ke-24. Kemudian pada hari ke-32
produksi biogas cenderung menurun karena adanya death phase dari bakteri
pengasil biogas hingga hari ke-40 dan masih memproduksi biogas. Pada ampas teh
kasar dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N 30 produksi biogas meningkat
hingga hari ke-28, selanjutnya produksi biogas kembali cenderung menurun pada
hari ke-34 hingga hari ke-40. Produksi biogas harian tertinggi pada ampas teh kasar
dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N 30 yaitu sebesar 3 ml/gr TS pada hari
ke-30.
Gambar 4.2 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh kasar
dengan penambahan NaOH untuk variasi rasio C/N 25 dan 30. Pada ampas teh
kasar tanpa penambahan NaOH rasio C/N 25, volume total biogas yaitu sebesar
21,73 ml/gr TS. Pada ampas teh kasar dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N
25 volume kumulatif biogas sebesar 41,23 ml/gr TS. Pada ampas teh kasar tanpa
penambahan NaOH untuk rasio C/N 30 volume kumulatif biogas sebesar 28,13
ml/gr TS. Pada ampas teh kasar dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N 30
volume kumulatif biogas hingga hari ke-40, yaitu sebesar 48,23 ml/gr TS.
33
Pada pretreatment menggunakan NaOH dapat memisahkan lignin,
hemiselulosa, dan atau selulosa, sehingga membuat biomassa lignoselulosa
menjadi lebih mudah terurai oleh mikroba. Selain itu juga dapat menurukan derajat
polimerisasi, krislinitas, serta dapat merusak rantai antara lignin dan polimer
lainnya (He at al., 2008, He et al., 2009, Sharma, 2014, Zheng at al., 2014).
Partikel NaOH akan masuk ke dalam bahan dan memecah struktur lignin sehingga
lignin lebih mudah larut yang mengakibatkan penurunan kadar lignin(Elwin, Lutfi,
& Hendrawan, 2013). Pemberian NaOH yang berguna untuk membantu proses
penghancuran struktur lignin biasa disebut proses delignifikasi (Kumar et al.,
2009).
Gambar 4.3 Skematik dari proses perusakan struktur lignin (Kumar et al.,
2009).
Lignoselulosa terdiri dari 3 kompoen utama diantaranya selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Di antara ketiga unsur utama tersebut, selulosa dan
hemiselulosa merupakan bentuk polimer dari gula dan dapat dihidrolisa.
Sedangkan lignin membentuk suatu lapisan perlindungan yang membatasi
biodegradabilitas dari selulosa dan hemiselulosa. Pada proses delignifikasi,
sejumlah lignin akan terlarutkan. Proses ini merupakan proses saponifikasi
terhadap ikatan intermolecular ester yang mengelilingi xilan, hemiselulosa dan
komponen-komponen lainnya, seperti lignin dan hemiselulosa lainnya. Proses
delignifikasi menyebabkan kerusakan terhadap struktur lignin dan melepaskan
senyawa karbohidrat (Zheng et al, 2009). Proses perusakan struktur dari materi
dengan kandungan lignoselulosa adalah salah satu langkah untuk mengkonversi
lignoselulosa menjadi senyawa gula. Proses delignifikasi dipercaya sebagai proses
34
yang potensial sebagai proses pendahuluan dalam tahap persiapan bahan baku
(Taherzadeh dan Karimi, 2008). Oleh karena itu, pada bahan baku ampas teh yang
telah diberikan pretreatment NaOH menghasilkan biogas yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang lain.
4.1.2 Pengaruh Penambahan NaOH pada Ampas Teh Halus dengan Rasio C/N 25
dan 30
Pada penelitian ini biogas ditinjau dari pretreatment yang dilakukan yaitu
pretreatment fisik dan pretreatment kimia. Ampas teh yang diayak sehingga memiliki
ukuran yang seraggam dan halus dicampurkan dengan NaOH agar proses delignifikasi
berjalan dengan baik. Gambar 4.4 dan gambar 4.5 menunjukkan hasil biogas antara
ampas teh yang lolos ayakan dengan penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30.
Gambar 4.5 Total produksi biogas ampas teh halus dengan dan tanpa penambahan
NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
35
Gambar 4.5 Total produksi biogas ampas teh halus dengan dan tanpa penambahan
NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Pada Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 dapat dilihat jumlah produksi biogas dari
ampas teh halus tanpa dan dengan penambahan NaOH untuk variasi rasio C/N 25 dan
30. Total produksi biogas pada ampas teh halus tanpa dan dengan penambahan NaOH
untuk rasio C/N 25 berturut-turut mencapai 33,25 ml/gr TS dan 47,02 ml/gr TS.
Sedangkan total produksi biogas pada ampas teh halus tanpa dan dengan penambahan
NaOH untuk rasio C/N 30 berturut-turut adalah 37,25 ml/gr TS dan 50,53 ml/gr TS.
Gambar 4.4 menunjukkan laju produksi biogas harian pada ampas teh halus
tanpa dan dengan penambahan NaOH untuk variasi rasio C/N 25 da 30. Pada variabel
ampas teh halus tanpa penambahan NaOH untuk rasio C/N 25 produksi biogas
meningkat tasioner hingga mencapai fase stasioner hari ke-22 dan menurun mulai hari
ke-30 hingga hari ke-40 masih memproduksi biogas. Pada ampas teh halus dengan
penambahan NaOH untuk rasio C/N 25 produksi biogas cenderung meningkat hingga
hari ke-24 dan setelah itu pada hari ke-30 produksi biogas cenderung menurun hingga
hari ke-40 masih menghasilkan biogas. Pada ampas teh halus tanpa penambahan NaOH
untuk rasio C/N 30 produksi biogas meningkat dari hari ke-22, kemudian produksi
biogas mengalami penurunan pada hari ke-28 hingga hari ke-40 masih menghasilkan
biogas. Sedangkan untuk ampas teh halus dengan penambahan NaOH rasio C/N 30
biogas yang dihasilkan cenderung meningkat hingga hari ke-28 dan kemudian menurun
34 secara terus-menerus hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 2,25
36
ml/grTS. Produksi biogas harian tertinggi ialah variabel ampas teh halus dengan
penambahan NaOH rasio C/N 30 pada hari ke-30 sebesar 3 ml/gr TS.
Gambar 4.5 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh halus tanpa
dan dengan penambahan NaOH untuk variasi rasio C/N 25 dan 30. Pada ampas teh
halus tanpa NaOH rasio C/N 25, volume total biogas sebesar 33,25 ml/gr TS. Pada
ampas teh halus dengan penambahan NaOH rasio C/N 25, volume kumulatif biogas
sebesar 47,017 ml/gr TS. Pada ampas teh halus tanpa NaOH rasio C/N 30, volume
kumulatif biogas mencapai volume maksimal sebesar 37,25 ml/gr TS. Pada ampas teh
halus dengan penambahan NaOH rasio C/N 30, volume kumulatif biogas terus
meningkat dari hari ke-2 hingga hari ke-40, yaitu sebesar 50,53 ml/gr TS. Volume total
biogas tertinggi dihasilkan pada ampas teh halus dengan penambahan NaOH rasio C/N
30, yaitu sebesar 50,53 ml/gr TS.
Pemberian NaOH yang berguna untuk membantu proses penghancuran struktur
lignin biasa disebut proses delignifikasi (Kumar et al., 2009). Proses delignifikasi
dipercaya sebagai proses yang potensial sebagai proses pendahuluan dalam tahap
persiapan bahan baku (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Pretreatment menggunakan
NaOH dapat memisahkan lignin, hemiselulosa, dan atau selulosa, sehingga membuat
biomassa lignoselulosa menjadi lebih mudah terurai oleh mikroba. Selain itu juga dapat
menurukan derajat polimerisasi, krislinitas, serta dapat merusak rantai antara lignin dan
polimer lainnya (He at al., 2008, He et al., 2009, Zheng at al., 2014). Partikel NaOH
akan masuk ke dalam bahan dan memecah struktur lignin (Elwin, Lutfi, & Hendrawan,
2013) sehingga lignin lebih mudah larut yang mengakibatkan penurunan kadar lignin.
4.1.3 Pengaruh Penambahan NaOH pada Ampas Teh Kasar dengan Penambahan
Mikrobial consortium untuk Rasio C/N 25 dan 30 terhadap Produksi Biogas
Pada penelitian kali ini biogas yang dihasilkan ditinjau dari pretreatment yang
dilakukan yaitu pretreatment kimia dan biologis. Penambahan NaOH membuat proses
delignifikasi berjalan dengan cepat sedangkan penambahan mikrobial konsortium
mempercepat degradasi selulosa. Gambar 4.6 dan 4.7 menunjukkan biogas yang
dihasilkan antara ampas teh kasar dengan penambahan NaOH dan mikrobial konsortium
pada rasio C/N 25 dan 30.
37
Gambar 4.6 Laju produksi biogas harian ampas teh kasar (dengan penambahan
mikrobial konsortium) dengan dan tanpa penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Gambar 4.7 Total produksi biogas ampas teh kasar (dengan penambahan mikrobial
konsortium) dengan dan tanpa penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Pada gambar 4.6 dan gambar 4.7 dapat dilihat perbandingan jumlah produksi
biogas dari ampas teh kasar dengan panambahan microbial consortium untuk variasi
rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH.
Total volume biogas dihasilkan mulai terbentuk pada hari ke-2 hingga hari ke-40.
Gambar 4.6 menunjukkan laju produksi biogas harian pada ampas teh kasar
dengan penambahan microbial consortium untuk variasi rasio C/N 25 dan 30 dengan
38
perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH. Pada variabel rasio C/N 25
tanpa penambahan NaOH, produksi biogas meningkat hingga mencapai fase
stasionernya pada hari ke-26 dan kemudian menurun pada hari ke-34 hingga hari ke-40
masih menghasilkan biogas sebesar 1,92 ml/gr TS. Pada variabel rasio C/N 30 dengan
penambahan NaOH, produksi biogas meningkat hingga mencapai fase stasionernya
pada hari ke-28 kemudian mengalami penurunan pada hari ke-34 hingga hari ke-40
maish menghasilkan biogas sebanyak 2,24 ml/gr TS. Pada ampas teh kasar rasio C/N 25
dengan penambahan NaOH produksi biogas meningkat dari hari ke-26 kemudian
produksi biogas stabil dan menurun dari hari ke-30 hingga hari ke-40 masih
menghasilkan biogas sebanyak 2,75 ml/gr TS. Pada ampas teh kasar rasio C/N 30
dengan penambahan NaOH, produksi biogas meningkat dari hari ke-24 kemudian
produksi biogas stabil dan menurun dari hari ke-30 hingga hari ke-40 masih
menghasilkan biogas sebanyak 3,08 ml/gr TS. Produksi biogas harian tertinggi
dihasilkan oleh ampas teh kasar rasio C/N 30 dengan penambahan microbial consortium
dan NaOH.
Gambar 4.7 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh kasar
dengan penambahan microbial consortium untuk variasi rasio C/N 25 dan 30 dengan
perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH. Pada ampas teh kasar tanpa
penambahan NaOH untuk rasio C/N 25 dan 30 berturut-turut mencapai 46,05 ml/gr TS
dan 52,55 ml/gr TS. Pada ampas teh kasar dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N
25 dan 30 berturut-turut sebesar 56,47 ml/gr TS dan 65,78 ml/gr TS. Volume total
biogas tertinggi dihasilkan pada ampas teh kasar dengan penambahan NaOH rasio C/N
30 sebesar 65,78 ml/gr TS.
Pretreatment larutan NaOH terhadap material lignoselulosa menyebabkan
swelling atau penggembungan, meningkatan area permukaan dalam, pengurangan
derajat polimerisasi, pengurangan kristalinitas, pemisahan ikatan struktur antara lignin
dan karbohidrat serta gangguan terhadap struktur lignin (Fan et al., 1987). Partikel
NaOH akan masuk ke dalam bahan dan memecah struktur lignin (Elwin, Lutfi, &
Hendrawan, 2013) sehingga lignin lebih mudah larut yang mengakibatkan penurunan
kadar lignin. Pemberian NaOH yang berguna untuk membantu proses penghancuran
struktur lignin biasa disebut proses delignifikasi (Kumar et al., 2009). Proses
39
delignifikasi dipercaya sebagai proses yang potensial sebagai proses pendahuluan
dalam tahap persiapan bahan baku (Taherzadeh dan Karimi, 2008).
4.1.4 Pengaruh Penambahan NaOH pada Ampas Teh Halus dengan Penambahan
Mikrobial consortium untuk Rasio C/N 25 dab 30 terhadap Produksi Biogas
Pada penilitian ini biogas yang dihasilkan ditinjau dari pretreatment yang
dilakukan yaitu pretreatment fisika, kimia dan biologis. Pretreatment dilakukan untuk
mempercepat proses delignifikasi dan mempercepat degradasi selulosa. Gambar 4.8 dan
gambar 4.9 menunjukkan hasil dari biogas antara ampas teh halus dengan penambahan
NaOH dan penambahan mikrobial konsortium pada rasio 25 dan 30.
Gambar 4.8 Laju Produksi harian ampas teh halus (dengan penambahan mikrobial
konsortium) dengan dan tanpa penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
40
Gambar 4.9 Total produksi biogas ampas teh halus (dengan penambahan mikrobial
konsortium) dengan dan tanpa penambahan NaOH pada rasio C/N 25 dan 30
Pada gambar 4.8 dan gambar 4.9 dapat dilihat perbandingan jumlah produksi
biogas dari ampas teh halus yang telah dilakukan pretreatment biologi dengan
panambahan microbial consortium untuk variasi rasio C/N 25 dan 30 dengan
perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH. Total volume biogas
dihasilkan mulai terbentuk pada hari ke-2 hingga hari ke-40.
Gambar 4.8 menunjukkan laju produksi biogas harian pada ampas teh halus
dengan penambahan microbial consortium untuk variasi rasio C/N 25 dan 30 dengan
perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH. Pada ampas teh halus rasio
C/N 25 tanpa penambahan NaOH, produksi biogas mulai meningkat pada hari ke-2 dan
mencapai fase stasionernya pada hari ke-28 dan kemudian cenderung menurun pada hari
ke-36 hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 2,25 ml/gr TS. Pada
ampas teh halus rasio C/N 25 dengan penambahan NaOH, produksi biogas meningkat
hingga mencapai fase stasionernya pada hari ke-26 kemudian mengalami penurunan
pada hari ke-30 hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebesar 3,5 ml/gr TS.
Pada ampas teh halus rasio C/N 30 tanpa penambahan NaOH produksi biogas
meningkat hingga hari ke-26 mencapai fase stasionernya kemudian cenderung menurun
pada hari ke-32 hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 2,58 ml/gr TS.
Pada ampas teh halus rasio C/N 30 dengan penambahan NaOH, produksi biogas
cenderung meningkat dari hari ke-2 hingga hari ke-26 mencapai fase stasionernya
kemudian produksi cenderung menurun pada hari ke-32 hingga hari ke-40 masih
menghasilkan biogas sebesar 3,58 ml/gr TS. Produksi biogas harian tertinggi dihasilkan
oleh ampas teh halus rasio C/N 30 dengan penambahan microbial consortium dan
NaOH.
Gambar 4.9 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh halus
dengan penambahan microbial consortium untuk variasi rasio C/N 25 dan 30 dengan
perbandingan penambahan dan tanpa penambahan NaOH. Pada ampas teh halus tanpa
penambahan NaOH untuk rasio C/N 25 dan 30 berturut-turut mencapai 56,47 ml/gr TS
dan 61,7 ml/gr TS. Pada ampas teh halus dengan penambahan NaOH untuk rasio C/N 25
dan 30 berturut-turut sebesar 65,15 ml/gr TS dan 73,17 ml/gr TS. Volume total biogas
41
tertinggi dihasilkan pada ampas teh halus dengan penambahan NaOH rasio C/N 30
sebesar 73,17 ml/gr TS.
Pretreatment NaOH yang diberikan bersamaan dengan pretreatment fisik dan
biologi menghasilkan volume total biogas yang lebih tinggi dari variabel lain.
Pemberian NaOH yang berguna untuk membantu proses penghancuran struktur lignin
biasa disebut proses delignifikasi (Kumar et al., 2009). Proses delignifikasi dipercaya
sebagai proses yang potensial sebagai proses pendahuluan dalam tahap persiapan bahan
baku (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Pretreatment menggunakan NaOH dapat
memisahkan lignin, hemiselulosa, dan atau selulosa, sehingga membuat biomassa
lignoselulosa menjadi lebih mudah terurai oleh mikroba. Selain itu juga dapat
menurukan derajat polimerisasi, krislinitas, serta dapat merusak rantai antara lignin dan
polimer lainnya (He at al., 2008, He et al., 2009, Zheng at al., 2014). Partikel NaOH
akan masuk ke dalam bahan dan memecah struktur lignin (Elwin, Lutfi, & Hendrawan,
2013) sehingga lignin lebih mudah larut yang mengakibatkan penurunan kadar lignin
sehingga membuat biomassa lignoselulosa menjadi lebih mudah terurai oleh mikroba
atau bakteri metanogenik yang terdapat pada rumen dan menghasilkan volume biogas
yang lebih banyak.
42
4.2.1 Pengaruh Penambahan Mikrobial konsortium pada Ampas Teh Kasar
dengan Rasio C/N 25 dan 30 terhadap Produksi Biogas
Penelitian bertujuan untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan dengan
melakukan pretreatment biologis yaitu dengan menambahkan mikrobial konsortium.
Pretreatment dilakukan bertujuan untuk mempercepat proses degradasi selulosa.
Gambar 4.10 dan gambar 4.11 merupakan hasil biogas antara ampas teh kasar dengan
penambahan mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30.
Gambar 4.10 Laju produksi harian ampas teh kasar dengan dan tanpa penambahan
mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30
Gambar 4.11 Total produksi biogas ampas teh kasar dengan dan tanpa penambahan
mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30
43
Pada gambar 4.10 dan gambar 4.11 dapat dilihat perbandingan jumlah produksi
biogas dari ampas teh kasar pada rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan
penambahan microbial consortium dan tanpa microbial consortium. Total produksi
biogas pada rasio C/N 25 dengan penambahan microbial consortium dan tanpa
microbial consortium berturut-turut untuk ampas teh yang kasar mencapai 46,05 ml/gr
TS dan 21,73 ml/gr TS. Sedangkan total produksi biogas pada rasio C/N 30 dengan
penambahan microbial consortium dan tanpa microbial consortium berturut-turut untuk
ampas teh yang kasar mencapai 52,55 ml/gr TS dan 28,13 ml/gr TS.
Gambar 4.10 menunjukkan laju produksi biogas harian untuk ampas teh kasar
pada rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan penambahan microbial consortium dan
tanpa microbial consortium. Pada ampas teh tanpa penambahan microbial consortium
dengan rasio C/N 25 produksi biogas meningkat perlahan dari hari ke-2 hingga
mencapai fase stasionernya pada hari ke-24 kemudian cenderung menurun pada hari ke-
30 karena adanya death phase dari bakteri penghasil biogas hingga hari ke-40 masih
menghasilkan biogas sebanyak 0,75 ml/gr TS. Sedangkan pada rasio C/N 30 produksi
biogas cenderung meningkat hingga mencapai fase stasionernya pada hari ke-24. Pada
hari ke-28 produksi biogas cenderung menurun hingga hari ke-40 masih menghasilkan
biogas sebanyak 1,25 ml/gr TS. Pada ampas teh dengan penambahan microbial
consortium untuk rasio C/N 25 produksi biogas cenderung meningkat hingga hari ke-26.
Mulai hari ke-34 produksi biogas cenderung menurun hingga hari ke-40 masih
menghasilkan biogas sebsar 1,92 ml/gr TS. Sedangkan untuk rasio C/N 30 produksi
biogas cenderung meningkat hingga hari ke-28. Mulai hari ke-32 produksi biogas
kembali menurun hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 2,42 ml/gr
TS. Produksi biogas harian tertinggi pada ampas teh rasio C/N 30 dengan penambahan
microbial consortium.
Gambar 4.11 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh kasar untuk
rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan penambahan microbial consortium dan tanpa
microbial consortium. Pada ampas teh dengan penambahan microbial consortium untuk
rasio C/N 25, volume total biogas sebesar 46,05 ml/gr TS. Sedangkan pada ampas teh
tanpa microbial consortium untuk rasio C/N 25, volume total biogas sebesar 21,73 ml/gr
TS. Pada ampas teh dengan penambahan microbial consortium untuk rasio C/N 30,
44
volume total biogas yang dihasilkan mencapai 52,55 ml/gr TS. Sedangkan pada ampas
teh tanpa penambahan microbial consortium untuk rasio C/N 30, volume total biogas
yang dihasilkan sebesar 28,13 ml/gr TS. Total produksi biogas tertinggi dihasilkan pada
ampas teh rasio C/N 30 dengan penambahan microbial consortium, yaitu sebesar 52,55
ml/gr TS.
Berdasarkan gambar 4.10 dan 4.11, produksi biogas pada ampas teh dengan
penambahan microbial consortium lebih baik daripada produksi biogas pada ampas teh
tanpa penambahan microbial consortium. Hal ini disebabkan karena aktivitas microbial
consortium yang terdiri atas Streptomyces sp., Geobacillus sp., dan jamur Trichoderma
(Herawati dan Wibawa, 2010; Tuesom et al., 2013). Fungsi mikroorganisme diduga
melakukan delignifikasi, menurunkan derajat polimerisasi selulosa, dan hidrolisis
hemiselulosa. Penambahan microbial consortium mempercepat degradasi selulosa,
hemiselulosa dan lignin menjadi senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
penghasil biogas, sehingga produksi biogas meningkat (Yuan et al., 2014; Zhang et al.,
2011). Penggunaan mikroba dapat mengubah struktur komponen dan meningkatkan
hidrolisis enzimatik, microorganisme yang ditambahkan dapat membantu proses
hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Taniguchi et al., 2005; Kurakake et al., 2007).
45
lignoselulosa dapat diganggu dengan merusak sebagian besar lignin dan aksesibilitas
selulosa dapat ditingkatkan dengan baik setelah dilakukan pretreatment menggunakan
microbial consortium. Spekulasi ini dapat dibuktikan dengan menggunakan analisa SEM
pada jerami gandum yang ditunjukkan pada Gambar 4.12 dimana terlihat bahwa
perusakan struktur ditemani dengan perbesaran area permukaan spesifik dapat dicapai
melalui pretreatment tersebut dan gangguan struktur meningkatkan aksesibilitas dari
sisa selulosa (hemiselulosa) (Zhong et al., 2016).
4.2.2 Pengaruh Penambahan Mikrobial konsortium pada Ampas Teh Halus dengan
Rasio C/N 25 dan 30 terhadap Produksi Biogas
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah biogas yang dihasilkan jika
dilakukan pretreatment fisika dan biologis. Pretreatment fisika dan biologis dilakuan
bertujuan untuk mempercepat proses delignifikasi dan mempercepat proses degradasi
selulosa. Gambar 4.13 dan gambar 4.14 merupakan hasil dari biogas antara ampas teh
yang dihaluskan dengan penambahan mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30.
Gambar 4.13 Laju produksi biogas harian ampas teh halus dengan dan tanpa
penambahan mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30
46
Gambar 4.14 Total produksi biogas ampas teh halus dengan dan tanpa penambahan
mikrobial konsortium pada rasio C/N 25 dan 30
Pada Gambar 4.13 dan Gambar 4.14 dapat dilihat perbandingan jumlah produksi
biogas dari ampas teh halus pada rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan
penambahan microbial consortium dan tanpa microbial consortium. Produksi biogas
pada ampas teh dengan penambahan microbial consortium pada rasio C/N 30 memiliki
hasil yang paling optimum. Total produksi biogas pada rasio C/N 25 baik dengan
penambahan microbial consortium maupun tanpa microbial consortium berturut-turut
untuk ampas teh yang halus mencapai 56,47 ml/gr TS dan 33,25 ml/gr TS. Sedangkan
total produksi biogas pada rasio C/N 30 baik dengan penambahan microbial consortium
maupun tanpa microbial consortium berturut-turut untuk ampas teh halus mencapai
61,7ml/gr TS dan 37,25 ml/gr TS.
Gambar 4.13 menunjukkan laju produksi biogas harian untuk ampas teh halus
pada rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan penambahan microbial consortium
maupun tanpa microbial consortium. Pada ampas teh rasio C/N 25 dengan penambahan
microbial consortium produksi biogas meningkat mulai hari ke-2 dan mencapai fase
stasionernya pada hari ke-28, kemudian produksi biogas cenderung menurun pada hari
ke-30 dan masih menghasilkan gas pada hari ke-40 sebanyak 2,25 ml/gr TS. Sedangkan
pada ampas teh halus tanpa microbial consortium untuk rasio C/N 25 produksi biogas
meningkat hingga hari ke-22, kemudian hari ke-30 produksi biogas cenderung menurun
hingga hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 1,25 ml/gr TS. Pada ampas teh
47
rasio C/N 30 dengan penambahan microbial consortium produksi biogas meningkat
fluktuatif hingga hari ke-26dan setelah itu produksi biogas cenderung menurun pada
hari ke-36 sampai hari ke-40 masih menghasilkan biogas sebanyak 2,58 ml/gr TS.
Sedangkan pada ampas teh halus untuk rasio C/N 30 tanpa penambahan microbial
consortium produksi biogas meningkat dari hingga hari ke-22 dan menurun di hari ke-28
hingga akhir hari ke-40 masih meghasilkan biogas sebesar 1,3 ml/gr TS. Produksi
biogas harian tertinggi pada ampas teh rasio C/N 30 dengan penambahan microbial
consortium, yaitu sebesar 4 ml/gr TS pada hari ke-26.
Gambar 4.14 menunjukkan volume biogas kumulatif pada ampas teh halus untuk
rasio C/N 25 dan 30 dengan perbandingan penambahan microbial consortium maupun
tanpa microbial consortium. Pada ampas teh rasio C/N 25 dan 30 dengan penambahan
microbial consortium, volume total biogas mencapai 56,47 ml/gr TS dan 61,70 ml/gr
TS. Sedangkan pada ampas teh rasio C/N 25 dan 30 tanpa penambahan microbial
consortium, volume biogas total mencapai 33,25 ml/gr TS dan 5,21 ml/gr TS. Total
produksi biogas tertinggi dihasilkan pada ampas teh rasio C/N 30 dengan penambahan
microbial consortium, yaitu sebesar 37,25 ml/gr TS.
Berdasarkan gambar 4.13 dan 4.14, produksi biogas pada ampas teh dengan
penambahan microbial consortium lebih baik daripada produksi biogas pada ampas teh
tanpa penambahan microbial consortium. Hal ini disebabkan karena aktivitas microbial
consortium yang terdiri atas Streptomyces sp., Geobacillus sp., dan jamur Trichoderma
(Herawati dan Wibawa, 2010). Fungsi mikroorganisme diduga melakukan delignifikasi,
menurunkan derajat polimerisasi selulosa, dan hidrolisis hemiselulosa. Penambahan
microbial consortium mempercepat degradasi selulosa, hemiselulosa dan lignin menjadi
senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme penghasil biogas, sehingga produksi
biogas meningkat (Zhang et al., 2011). Penggunaan mikroba dapat mengubah struktur
komponen dan meningkatkan hidrolisis enzimatik.
48
DAFTAR PUSTAKA
49
DALAM UPAYA MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK DI DESA
SUMBERSARI KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG’,
Jurnal Gamma. Blackie, 7, pp. 42–49. Available at:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/gamma/article/view/1420 (Accessed: 25
December 2018).
Budiyono, B., Syaichurrozi, I. and Sumardiono, S. (2013) ‘Biogas production from
bioethanol waste: the effect of pH and urea addition to biogas production rate’,
Waste Technology, 1(1), pp. 1–5. doi: 10.12777/wastech.1.1.2013.1-5.
Budiyono, T. D. and Kusworo (2011) ‘Biogas Production From Cassava Starch Effluent
Using Microalgae As Biostabilisator’, Internat. J. of Sci. and Eng, 2(1), pp. 4–8.
Deublein, D. and Steinhauser, A. (2011) Biogas from waste and renewable resources :
an introduction. Wiley-VCH.
Gaikwad, M. S. and Balomajumder, C. (2017) ‘Tea waste biomass activated carbon
electrode for simultaneous removal of Cr(VI) and fluoride by capacitive
deionization’, Chemosphere. Pergamon, 184, pp. 1141–1149. doi:
10.1016/J.CHEMOSPHERE.2017.06.074.
Hadiyarto, A. et al. (2015) ‘the Effect of F / M Ratio To the Anaerobic Decomposition
of Biogas Production From Fish Offal Waste’, Waste Technology, 3(2), pp. 58–62.
doi: http://dx.doi.org/10.12777/wastech.3.2.58-61.
Hendriks, A. T. W. M. and Zeeman, G. (2009) ‘Pretreatments to enhance the digestibility
of lignocellulosic biomass’, Bioresource Technology. Elsevier, 100(1), pp. 10–18.
doi: 10.1016/J.BIORTECH.2008.05.027.
Insam, H., Gómez-Brandón, M. and Ascher, J. (2015) ‘Manure-based biogas
fermentation residues – Friend or foe of soil fertility?’, Soil Biology and
Biochemistry. Pergamon, 84, pp. 1–14. doi: 10.1016/J.SOILBIO.2015.02.006.
Jørgensen, P. J. (2009) Biogas - green energy. 2nd edn. Edited by A. B. Nielsen. Tjele:
Digisource Danmark A/S. doi: 10.17660/ActaHortic.2016.1111.51.
Junfeng, L. and Runqing, H. (2003) ‘Sustainable biomass production for energy in
China’, Biomass and Bioenergy. Pergamon, 25(5), pp. 483–499. doi:
10.1016/S0961-9534(03)00086-2.
Khayum, N., Anbarasu, S. and Murugan, S. (2018) ‘Biogas potential from spent tea
50
waste: A laboratory scale investigation of co-digestion with cow manure’, Energy.
Elsevier B.V., 165, pp. 760–768. doi: 10.1016/j.energy.2018.09.163.
Kim, M. and Day, D. F. (2011) ‘Composition of sugar cane, energy cane, and sweet
sorghum suitable for ethanol production at Louisiana sugar mills’, Journal of
Industrial Microbiology & Biotechnology, 38(7), pp. 803–807. doi:
10.1007/s10295-010-0812-8.
Krzysztof Ziemiński (2012) ‘Methane fermentation process as anaerobic digestion of
biomass: Transformations, stages and microorganisms’, African Journal of
Biotechnology, 11(18), pp. 4127–4139. doi: 10.5897/AJBX11.054.
Kumar, S. et al. (2011) ‘Hydrothermal pretreatment of switchgrass and corn stover for
production of ethanol and carbon microspheres’, Biomass and Bioenergy.
Pergamon, 35(2), pp. 956–968. doi: 10.1016/J.BIOMBIOE.2010.11.023.
Lee, K. M. et al. (2014) ‘Comparison study of different ionic liquid pretreatments in
maximizing total reducing sugars recovery’, BioResources, 9(1), pp. 1552–1564.
doi: 10.15376/biores.9.1.1552-1564.
Li, W. et al. (2018) ‘Methane production through anaerobic digestion: Participation and
digestion characteristics of cellulose, hemicellulose and lignin’, Applied Energy.
Elsevier, 226(May), pp. 1219–1228. doi: 10.1016/j.apenergy.2018.05.055.
Liang, Y. G. et al. (2016) ‘Effect of solid-state NaOH pretreatment on methane
production from thermophilic semi-dry anaerobic digestion of rose stalk’, Water
Science and Technology, 73(12), pp. 2913–2920. doi: 10.2166/wst.2016.145.
López González, L. M., Pereda Reyes, I. and Romero Romero, O. (2017) ‘Anaerobic
co-digestion of sugarcane press mud with vinasse on methane yield’, Waste
Management. Pergamon, 68, pp. 139–145. doi: 10.1016/j.wasman.2017.07.016.
Manyuchi, M. M., Mbohwa, C. and Muzenda, E. (2018) ‘Biogas and Bio solids
Production from Tea Waste through Anaerobic Digestion’, Proceedings of the
International Conference on Industrial Engineering and Operations Management.
Mustafa, A. M. et al. (2017) ‘Combinations of fungal and milling pretreatments for
enhancing rice straw biogas production during solid-state anaerobic digestion’,
Bioresource Technology. Elsevier Ltd, 224, pp. 174–182. doi:
10.1016/j.biortech.2016.11.028.
51
Novita, E. (2016) ‘Biodegradability Simulation of Coffee Wastewater Using Instant
Coffee’, Agriculture and Agricultural Science Procedia. Elsevier, 9, pp. 217–229.
doi: 10.1016/J.AASPRO.2016.02.138.
Nurjanah, N. et al. (2018) ‘SENYAWA BIOAKTIF RUMPUT LAUT DAN AMPAS
TEH SEBAGAI ANTIBAKTERI DALAM FORMULA MASKER WAJAH’,
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 21(2), p. 305. doi:
10.17844/jphpi.v21i2.23086.
Ogiehor, I. S. and Ovueni, U. J. (2014) ‘Effect of temperature, pH, and solids
concentration on biogas production from poultry waste’, International Journal of
Scientific & Engineering Research, 5(1). Available at: http://www.ijser.org.
Orhorhoro, O. W., Orhorhoro, E. K. and Ebunilo, P. O. (2016) ‘Analysis of the Effect of
Carbon / Nitrogen ( C / N ) Ratio on the Performance of Biogas Yields For Non-
Uniform Multiple Feed Stock Availability and Composition in Nigeria’,
International Journal of Innovative Science, Engineering & Technology, 3(5), pp.
119–126.
Papacz, W. (2011) ‘BIOGAS AS VEHICLE FUEL W á adys á aw Papacz University of
Zielona Góra , Faculty of Mechanical Engineering industry waste . With those
numerous and abundant origins , the potential of the European biogas renewable
energy is already used for heat and elect’, Journal of KONES Powertrain and
Transport, 18(1).
Petersen, M. Ø., Larsen, J. and Thomsen, M. H. (2009) ‘Optimization of hydrothermal
pretreatment of wheat straw for production of bioethanol at low water
consumption without addition of chemicals’, Biomass and Bioenergy. Pergamon,
33(5), pp. 834–840. doi: 10.1016/J.BIOMBIOE.2009.01.004.
Pradhan, B. B. and Limmeechokchai, B. (2017) ‘Electric and Biogas Stoves as Options
for Cooking in Nepal and Thailand’, Energy Procedia. Elsevier, 138, pp. 470–475.
doi: 10.1016/J.EGYPRO.2017.10.227.
Prasodjo, E. et al. (2016) INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2016. Edited by S.
Abdurrahman. Jakarta: SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN ENERGI
NASIONAL.
Purnomo, E. A., Sutrisno, E. and Sumiyati, S. (2017) ‘PENGARUH VARIASI C/N
52
RASIO TERHADAP PRODUKSI KOMPOS DAN KANDUNGAN KALIUM
(K), POSPAT (P) DARI BATANG PISANG DENGAN KOMBINASI KOTORAN
SAPI DALAM SISTEM VERMICOMPOSTING’, Jurnal Teknik Lingkungan,
6(2).
Purwoko et al. (2015) ‘Alkaline Pretreatment of Sorghum Stalk and Co-Digestion with
Sludge for Biogas Production’, International Journal of Sciences: Basic and
Applied Research (IJSBAR), 24, pp. 15–23.
Putri, D. A., Saputro, R. R. and Budiyono (2012) ‘Biogas Production from Antibiotic-
Contaminated Cow Manure’, Renewable Energy Development, pp. 61–64. doi:
10.1007/978-94-009-4313-1_57.
Rahayu Sari, M. and Nurhayati (2005) ‘Penggunaan Em-4 Dalam Pengomposan Limbah
Teh Padat’, 3, pp. 27–31.
Ramaraj, R. and Unpaprom, Y. (2016) ‘Effect of temperature on the performance of
biogas production from Duckweed’, Chemistry Research Journal, 1(1), pp. 58–66.
Rashed, M. B. (2014) ‘The Effect of Temperature on the biogas Production from Olive
Pomace’, University Bulletin, 3(16). doi: 10.1007/BF00778230.
Saputra, T., Triatmojo, S. and Pertiwiningrum, A. (2012) ‘Produksi Biogas dari
Campuran Feses Sapi dan Ampas Tebu (Bagasse) dengan Rasio C/N yang Berbeda
(Biogas Production from Mixture of Dairy Manure and Bagasse with Different
C/N Ratio)’, Buletin Peternakan, 34(2), p. 114. doi:
10.21059/buletinpeternak.v34i2.97.
Sari, F. P. and Budiyono, B. (2014) ‘Waste technology.’, Waste Technology, 2(1), pp.
17–25. Available at:
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/wastech/article/view/7064/5749.
Sau, S. K. et al. (2013) ‘Enhancement of Methane Production from Tea Waste and
Pumpkin Waste using Human Urine’, International Journal of Science,
Engineering and Technology Research, 2(12), pp. 2107–2110.
Seadi, T. Al et al. (2008) Biogas Handbook. Edited by T. Al Seadi. Esbjerg: University
of Southern Denmark Esbjerg.
Sharma, R. et al. (2014) ‘Effect of Pretreatment of Rice Husk for the Production of
Biogas’, International Journal of Advanced Research in Chemical Science
53
(IJARCS), 1(9), pp. 38–42. Available at: www.arcjournals.org.
Shehu, B., Ibn, U. and Ismail, N. (2012) ‘Anaerobic Digestion of Cow Dung for’, 7(2),
pp. 169–172.
Shen, B. et al. (2017) ‘Elemental mercury removal by the modified bio-char from waste
tea’, Fuel. Elsevier, 187, pp. 189–196. doi: 10.1016/J.FUEL.2016.09.059.
Sholihul, H. and Wikanta, W. (2017) ‘Pemanfaatan Limbah Kotoran Sapi Menjadi
Pupuk Organik Sebagai Upaya Mendukung Usaha Peternakan Sapi Potong di
Kelompok Tani Ternak Mandiri Jaya Desa Moropelang Kec. Babat Kab.
Lamongan’, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), pp. 26–35. doi:
10.1080/15424060802453761.
Sibiya, N., Muzenda, E. and Tesfagiorgis, H. (2014) ‘Effect of Temperature and pH on
The Anaerobic Digestion of Grass Silage’, Green Technology, Renewable Energy
& Environmental Engg., (November), pp. 6–9.
Singh, R. and Setiawan, A. D. (2013) ‘Biomass energy policies and strategies:
Harvesting potential in India and Indonesia’, Renewable and Sustainable Energy
Reviews. Pergamon, 22, pp. 332–345. doi: 10.1016/J.RSER.2013.01.043.
Sunarso, S., Budiyono, B. and Sumardiono, S. (2010) ‘Biogas Production Using
Anaerobic Biodigester from Cassava Starch Effluent’, International Journal of
Science and Engineering, 1(2), pp. 33–37. doi: 10.12777/IJSE.1.2.33-37.
Syaipulloh, M. (2015) Statik Teh Indonesia 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia.
Syarifah, I. and Widiawati, Y. (2017) ‘Profil Emisi Gas Rumah Kaca dari Sapi Potong di
34 Provinsi’, 2, pp. 280–291.
Tutuş, A., Kazaskeroğlu, Y. and çiçekler, M. (2015) ‘Evaluation of tea wastes in usage
pulp and paper production’, BioResources, 10(3), pp. 5395–5406. doi:
10.15376/biores.10.3.5395-5406.
Ullah Khan, I. et al. (2017) ‘Biogas as a renewable energy fuel – A review of biogas
upgrading, utilisation and storage’, Energy Conversion and Management.
Pergamon, 150, pp. 277–294. doi: 10.1016/J.ENCONMAN.2017.08.035.
Uzodinma, E. O. U. et al. (2008) ‘Biogas production from blends of powdered rice husk
with some agro- industrial wastes’, Journal of Engineering and Applied Sciences.
54
Journal of Engineering and Applied Sciences, 45(3), pp. 1–5.
Yohaness, M. T. (2010) ‘Biogas Potential from Cow Manure – Influence of Diet’, p. 49.
Yudiartono et al. (2018) Outlook Energi Indonesia 2018 Energi Berkelanjutan untuk
Transportasi Darat. Jakarta: Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi (PPIPE).
Zheng, Y. et al. (2014) ‘Pretreatment of lignocellulosic biomass for enhanced biogas
production’, Progress in Energy and Combustion Science. Elsevier Ltd, 42(1), pp.
35–53. doi: 10.1016/j.pecs.2014.01.001.
Zhong, C. et al. (2016) ‘Enhanced biogas production from wheat straw with the
application of synergistic microbial consortium pretreatment’, RSC Advances.
Royal Society of Chemistry, 6(65), pp. 60187–60195. doi: 10.1039/c5ra27393e.
Zikria, R. (2017) Outlook Teh. Edited by A. A. Susanti and A. Yasin. Jakarta: Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2017.
55