Struktur Bahasa
1
Contoh: dalam bahasa Indonesia itu adalah vokal (a, I, u, e, o) dan
konsonan.
4. Semantics
Mengacu pada pengertian kata-kata itu.
Contoh: kata “meja” mengacu pada sebuah objek fisik yang
memiliki empat kaki dan sebuah permukaan horizontal yang datar.
5. Pragmatics
Mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana bahasa
digunakan dan dipahami dalam bermacam konteks sosial.
Contoh: pernyataan “Sangat dingin” bisa diartikan sebagai sebuah
permintaan untuk menutup jendela atau sebagai sebuah pernyataan fakta
mengenai suhu ruangan itu.
Cara mengartikannya bergantung pada konteks sosial dan
lingkungannya.
Terdapat dua konsep lain untuk memahami struktur bahasa:
1. Phonemes
Merupakan unit terkecil dan terdasar dari bunyi dalam sebuah
bahasa.
Sebagai contoh: orang Inggris dalam dengan mudah mendengar
dan menyebutkan perbedaan antara l dan r. namun, di Jepang, bunyi
kedua huruf itu tidak dibedakan sehingga orang Jepang kesulitan untuk
mengejanya.
2. Morphemes
Merupakan unit terkecil dan terdasar dari arti dalam sebuah bahasa.
Contoh: prefiks “un” dalam bahasa Inggris yang artinya tidak
sehingga orang Inggris dapat membedakan kata-kata seperti cooperative
dengan uncooperative.
Budaya dan Perolehan Bahasa
2
Melihat itu, kita dapat membuat hipotesa yaitu bahwa murid yang
mempelajari bahasa akan mempelajarinya lebih baik jika mereka juga
mempelajari budaya dari tempat asal bahasa itu.
Fokus pada dua hal: pebedaan budaya dalam lexicon dan pragmatic.
Budaya dan Lexicon : Salah satu cara di mana budaya mempengaruhi lexicon
bahasa adalah melalui self-other referents, yaitu cara menyebut diri kita dan
orang lain.
Dalam bahasa Inggris Amerika -> I dan We dan You, serta turunannya
Mereka menggunakan kata-kata itu kepada siapa pun lawan bicaranya dan
dalam konteks apa pun.
Bahasa Jepang memiliki sistem yang lebih dan tergantung pada
hubungan mereka (ada perbedaan status).
o Status Tinggi : I -> Guru akan menggunakan kata guru untuk
mengacu pada dirinya sendiri ketika berbicara dengan murid-
muridnya. ibu atau ayah ketika berbicara dengan anak mereka.
You -> Tidak diperbolehkan untuk memanggil seseorang yang
statusnya lebih tinggi dengan menggunakan kata ganti personal
seperti kata you di bahasa Inggris.
o Status Rendah : I -> yaitu watashi, watakushi, boku, atau ore.
Penggunaan kata-kata itu bergantung pada jenis kelamin.
menggunakan watashi untuk mengacu pada diri mereka sendiri.
Ketika berbicara dengan teman atau rekan kerja, pria biasanya
mengacu kepada dirinya sendiri dengan menggunakan boku atau
ore.
You -> beberapa darinya adalah anata, omae, dan kimi.
Penggunaan yang tepat untuk setiap kata itu tetap bergantung pada
relasi mereka (biasanya omae dan kimi digunakan ketika berbicara
dengan seseorang yang statusnya lebih rendah atau kepada
seseorang yang sangat familiar dan intim dengan kita).
Terdapat contoh lainnya mengenai bagaimana budaya mempengaruhI
struktur bahasa. Pada bahasa Jepang contohnya, dimana di beberapa
3
bahasa lain, kata yang berbeda biasanya digunakan untuk menunjukkan
hal yang berbeda-beda. Benda bulat dan silinder dihitung dengan akhiran
‘hon’ (ippon, nihon, sanbon, dan seterusnya); objek datar akan dihitung
dengan ‘mai’ (ichimai, nimai, sanmai, dan seterusnya).
Pada bahasa Inggris, semua objek hanya dihitung berdasarkan nomor,
tidak dengan awalan atau akhiran untuk menunjukkan tipe objek yang
dihitung.
Sebuah contoh popular adalah kata dalam bahasa Jerman
Schadenfreude yang berarti “senang dalam ketidakberuntungan orang
lain.” Tidak ada terjemahan langsung pada kata tersebut dalam bahasa
Inggris, sehingga konsep tersebut harus cukup penting dalam budaya
Jerman untuk memiliki kata sendiri sehingga banyak orang dapat
membicarakannya. Demikian, bukan konsepnya yang tidak ada, melainkan
kata yang merepresentasikannya yang mungkin tidak ada antar budaya.
Budaya tidak hanya mempengaruhi kosa kata, tapi juga pragmatis (aturan
yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam
konteks sosial yang berbeda). Dalam beberapa bahasa, melepaskan
kata ganti orang pertama atau kedua (i/we dan you) adalah hal yang umum.
Hal ini lebih sering muncul pada budaya kolektif.
High context cultures : perkataan atau pernyataan yang sekedar basa basi
atau kata yang sekedar candaan yang tidak memberi arti yang serius
(Budaya kolektivistik)
Low context culture : perkataan atau pernyataan yang tidak mengandung
candaan dan langsung menjelaskan maksud atau arti sebenarnya. (Budaya
Individualistik)
Honorific speech (kata sebutan), Bentuk bahasa yang menunjukkan
perbedaan status saat berkomunikasi dengan seseorang. Contoh: Korean
4
“아버지” (abeoji), biasanya digunakan untuk menyebut ayah mertua/ayah
5
jarak interpersonal, perilaku menyentuh, tatapan dan perhatian visual, dan
sejenisnya.
6
berbeda tentang tatapan, rasa hormat disampaikan secara berbeda
dengan tatapan.
7
perilaku nonverbal dan dikenal sebagai haptics. Seperti halnya budaya
mengatur ruang, mereka juga mengatur sentuhan.
Pesan adalah pertukaran informasi dan makna ketika 2 orang atau lebih
berkomunikasi (pengetahuan, ide, konsep, pikiran, atau emosi)
Encoding mengacu pada proses di mana seseorang memilih pesan
secara sadar atau tidak sadar yang tertanam dalam sinyal (jaringan), dan
mengirim sinyal tersebut ke orang lain.
Sinyal adalah perilaku yang dapat diamati yang tidak perlu memiliki
makna yang melekat, tetapi membawa pesan yang telah di encoding
pesan selama berkomunikasi (bahasa verbal dan perilaku nonverbal yang
spesifik yang terekam ketika pesan dikirim)
Channels mengacu pada modalitas sensory yang spesifik di mana sinyal
dikirim dan pesan diambil, seperti penglihatan atau suara (visual-melihat
ekspresi wajah, postur tubuh, gestur, dan sejenisnya-dan pendengaran-
mendengar kata-kata, nada suara, dan sebagainya)
Decoding mengacu pada proses dimana seseorang menerima sinyal dari
encoder dan menerjemahkan sinyal-sinyal ini menjadi pesan yang
bermakna.
Proses komunikasi bisa digambarkan sebagai proses di mana pengirim
mengkodekan pesan ke dalam serangkaian sinyal.
8
Saat kita tumbuh, kita mempelajari bagaimana memahami sinyal dan
menafsirkan pesan; yaitu, kita mempelajari aturan budaya decoding yang
tepat juga. Ekspetasi ini seringkali didasarkan pada stereotip implisit yang
kita miliki tentang bagaimana komunikasi “seharusnya.”
Reaksi emosi berhubungan dengan ekspetasi itu, mulai dari penerimaan
dan kesenangan ketika ekspetasi dipenuhi, hingga kemarahan,
permusuhan, dan frustasi ketika ekspetasi dilanggar.
9
4. Prasangka dan stereotip. Terlalu mengandalkan stereotip dapat
mencegah kita melihat orang lain dan komunikasinya secara objektif, dan
dari mencari isyarat yang dapat membantu kita menafsirkan komunikasi
mereka dengan cara yang mereka maksudkan.
5. Kecenderungan untuk mengevaluasi. Perbedaan nilai-nilai budaya
dapat menghasilkan evaluasi negatif terhadap orang lain.
6. Kecemasan dan ketegangan yang tinggi. Komunikasi interkultural
sering dikaitkan dengan kecemasan dan stres yang lebih besar daripada
situasi komunikasi intrakultural yang lebih familiar. Terlalu banyak
kecemasan dan stres dapat menyebabkan proses pemikiran dan perilaku
yang disfungsi.
10
Meningkatkan Komunikasi Antar Budaya (Improving Intercultural
communication)
11
Orang yang mahir dua bahasa, setiap penggunaannya akan memiliki
makna/psikologis yang berbeda bagi orang tersebut
Ervin (1964) membandingkan respon dari seorang bilingual Inggris-
Perancis terhadap sebuah gambar yang diambil dari Thematic
Apperception Test (TAT). Subjek memperlihatkan lebih banyak agresi,
otonomi, dan penarikan diri ketika menggunakan Bahasa Prancis daripada
saat menggunakan Bahasa Inggris, dan perempuan menunjukan
kebutuhan yang lebih besar akan prestasi ketika menceritakan gambar
dengan Bahasa Inggris. Ervin mengatribusikan perbedaan-perbedaan ini
dengan nilai kebudayaan Prancis yang lebih kental pada kecakapan verbal
dan perbedaan peran jenis kelamin yang lebih ketara.
Percobaan imigran yang bilingual Korea-Inggris dan Cina-Inggris. Dan
ditemukan bahwa para imigran memiliki afiliasi budaya yang berbeda,yang
dapat diakses melalui bahasa yang bersangkutan dengan di mana budaya
tersebut dipelajari.
Benet-Martinez dan para koleganya mengemukakan bahwa orang-orang
yang dwibahasa adalah juga dwibudaya, di mana hal ini mengharuskan
mereka untuk menyesuaikan identitas multikultural mereka dengan
konteks yang mereka temui dalam lingkungan mereka. Sehingga munculah
istilah code frame switching yang berarti proses di mana orang-orang
bilingual beralih dari satu ke lain makna sistem budaya.
12
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tidak ada bukti yang konsisten
yang mendukung hipotesis bahwa bilingual meningkatkan penghambatan
kontrol mekanisme, memonitor, atau kemampuan mengalihkan (switching
abilities).
13
Padahal penolakan akan bahasa lain selain inggris ini, dan potensi
sukuisme ini dapat mengarah pada kejatuhan di masa yang akan datang.
SOAL BUDAYA
14
D. Morphemes merupakan unit terkecil dan terbesar dari bunyi dalam
sebuah bahasa. Sedangkan, Phonemes merupakan unit terkecil
dan terbesar dari arti dalam sebuah bahasa.
E. Phonemes merupakan unit terbesar dan tertinggi dari bunyi dalam
sebuah bahasa. Sedangkan, Morphemes merupakan unit terbesar
dan tertinggi dari arti dalam sebuah bahasa.
4. Berikut ini merupakan negara yang termasuk dalam High Context Culture
adalah...
A. Amerika
B. Jerman
C. Kanada
D. Indonesia
E. Perancis
5. Ada tiga komponen perhatian dalam mempengaruhi efektivitas antar
budaya, diantaranya yaitu: faktor motivasi, faktor pengetahuan, dan faktor
keterampilan. Hal ini dikemukakan oleh…
A. Takano dan Noda
B. Ervin
C. Tings-Toomey
D. Carroll dan Casagrande
E. Gudykunst
15