Abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan humor dan kritik sosial yang tercermin dalam karya
sastra khusunya cerpen. Deskripsinya berkaitan dengan humor dan kritik sosial yang tampak dalam kumpulan
cerpen Ki Merebot karya Ahmad Bakri. Untuk dapat menguraikan hal tersebut, maka dalam tulisan ini digunakan
pendekatan kritik psikologi sastra, dengan menggunakan metode deskriptif-analitik. Untuk menganalisis data
digunakan teknik fokalisator dan teknik interpretasi. Hasilnya menunjukan bahwa latar belakang, status sosial,
sikap pengarang, dan lingkungan sosial berperan dan mempengaruhi lahirnya kumpulan cerpen Ki Merebot.
Adapun persoalan humor yang tampak dalam cerpen ini bukan sekedar humor yang menghibur, tapi juga
mengandung unsur kritik sosial. Kritik-kritik dalam cerpen Ki Merebot bukan hanya ditunjukkan kepada diri
sendiri tetapi juga kepada masarakat yang hidup di dalamnya, atau disebut juga kritik humor dalam pergaulan.
1 Dalam Ahmad Bakri jeung "Jaman Norma", sebuah pengantar dari Ajip Rosidi untuk buku karya Ahmad Bakri
Dukun Lepus (2002, hal 10),
pembaca malu. Dia juga dikenal sebagai pengaran yang cerita-ceritanya menampilkan latar pedesaan
dan sangat menonjolkan nuansa keagamaan, seperti dalam kumpulan cerpennya "Ki Merebot" (1987).
Tahun 1952 ia mengikuti ujian persamaan SGB, dan sambil mengajar di Bandung ia mengikuti
KGA, tamat 1957. Dari sana ia masuk ke Kursus B-I Basa Sunda. Pada waktu itu ia sudah memuatkan
cerita pendek dalam majalah Warga. Oleh dosennya R.I. Adiwijaya ia pun diajak aktif dalam LBSS
dan menjadi Wakil Ketua Bagian Basa kepengurusan hasil Kongres 1958. Setamat kursus B-I (1960),
ia ditempatkan sebagai guru SPG di Ciamis sampai pensiun (1973) dan setelah pensiun ia diangkat
sebagai Kepala SPG Muhammadyah Ciamis. Tapi kemudian minta diturunkan menjadi Wakil Kepala,
karena ingin mempunyai waktu untuk menulis (Rosidi, 2000, hal. 27).
Mulai mengirimkan naskah tulisannya pada tahun 1937, ke Balai Pustaka, tapi ditolak. Tapi
tahun 1963 kembali menulis, bahkan menjadi penulis yang produktif. Naskah-naskahnya yang dikirim
untuk mengikuti sayembara, berhasil memborong empat hadiah IKAPI jabar tahun 1967; Payung
Butut untuk bacaan umum (Jatiwangi, 1969), Rajapati di Pananjung (Pembunuhan di Pananjung)
untuk bacaan dewasa Sunda (Bandung, 1978), Kabandang ku Kuda Lumping (Terbawa oleh Kuda
Lumping) bacaan anak-anak Sunda (Bandung, 1969), Nu Sengit Dipuldng Asih (Tuba Dibalas dengan
Susu) (Bandung, 1969) (Durahman, 1983, hal.131; Rosidi, 2000, hal.28).
("Dijawab oleh Lebe, "Saya terima menguntangkan beras dua kulak dengan harga dua kali lima
benggol."
"Bukan dua kali lima sen? Yang lain juga segituh, bukan?" kata Kepala Desa memotong
"Untuk Juragan, disesuaikan dengan harga pasar, karena…karena…
"Karena ngutang? Iya atuh terserah kamu, karena bayarnya juga dari situ-situ juga."
"Loh, ko mudah ya kalau jadi Juragan itu, ga usah pake duit, cukup geser itu, ini," kata Si Adma
polos, seperti tidak takut dengan kepala desa.
"Kelihatanya mudah, karena akan diganti dengan tugas, itu juga harganya berapa kali lipat dari
orang lain.") (hal.12)
Kritik humor yang lain tampak waktu masyarakat di kampung tersebut kebingungan ketika
menghadapi hari lebaran yang bersaaam dengan hari jumat. Kebingungan ini berangkat dari keadaan
masyarakat yang awam terhadap agama dan tingginya kepercayaan pada hal-hal mistik, sehingga sulit
untuk memutuskan masalah tersebut. Bahkan dalam dialog antara tokoh-tokohnya, ada yang
mengusulkan agar lebaran dimajukan menjadi hari kamis, ada juga yang mengusulkan ditangguhkan
sehari, menjadi hari sabtu.
Hal lain yang tampak juga ketika memutuskan dan menentukan khotib lebaran dan khotib
jumaatan, sebab ada anggapan tidak tidak boleh menggunakan khotib yang sama dalam satu hari
tersebut, misalnya jika khutbah lebaran dilakukan oleh Si A, maka khutbah jumat harus dilakukan oleh
Si B. Namun di kampung tersebut hanya Kiai Lebe yang paham dalam urusan keagamaan, yang lain
tidak jadi tidak ada yang berani untuk menjadi khotib, selain Kiai Lebe.
Dalam keadaan terdesek itu dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Kiai Lebe
kemudian memberikan saran, agar dia menjadi kepala desa (dengan pakaian kedinasan dan bendo
kepala desa) untuk sementara selama khutbah lebaran, dan setelah selesai ia kemudian menjadi Kiai
Lebe lagi, untuk kemudian menjadi khotib dalam pelaksanaan solat jumat. Saran tersebut kemudian
disepakati oleh jamaah. Namun pada pelaksanaannya ada saja yang mempertanyakan.
Na atuh ari pok téh aya nu ngomong kalepasan, “Geuning siga Kiai Lebé...! lain Juragan
Kuwu nu rék hutbah téh?”
Ditémbalan ku baturna ti juru, “puguh heueuh deudeuleuan kami gé siga Kiai Lebé…
nanahaonan cenah maké dangdanan kitu?” (kaca.24)
(kemudian ada yang tak sengaja bilang, "sepertinya itu Kiai Lebe…! Bukannya Kepala Desa
yang khutbah?
Dijawab oleh temannya yang ada di pojok, "Iya, penglihatan saya tidak salah, itu seperti Kiai
Lebe..untuk apa pakainya seperti itu (kepala desa)?) (hal.24)
Sebetulnya keadaan ini bukan hanya menjadi tertawaan orang, tapi juga menertawakan
pemahaman Kiai Lebe itu sendiri. Bukan hanya itu, kedua adegan diatas sebetulnya mengkritisi status
sosial seorang pejabat; kepala desa dan juga kiai lebe. Nada kritik humor yang sama tampak juga pada
cerpen lainnya, misal dalam cerpen "Kiai Modin" (Kiai Modin), yang mengisahkan tokoh agama,
Muhammad Amin (Kiai Modin), namun sangat penakut jika berjalan sendiri malam hari. Bahkan
berwudlu saja harus ada yang menemaninya. Suatu hari ieu diundang oleh sahabatnya untuk hadir
dalam acara khitanan anaknya. Sebab jarak yang sangat jauh untuk ke kampung sahabatnya itu Ki
Modin ditemani oleh ajudan yang bernama Arju untuk menuju kampung tersebut.
Dalam perjalanan inilah kemudian Ahmad Bakri berhasil menggambarkan sekaligus
menyampaikan kritikan-kritikan humornya. Bahkan bukan sekedar humor yang disampaikan, tapi
persoalan kritik dan sindiran terhadap pemahaman ibadah dari seorang tokoh agama. Kritikan tersebut
tampak ketika Ki Modin dan Si Arju mendirikan solat subuh, di tepi sungai. Dalam situasi tersebut
digambarkan bahwa tokoh Arju tidak bisa mendirikan solat dengan khusu, lalu bertanya pada Ki
Modin bagaimana cara sholat yang khusu.
Dengan nada yang agak sombong ia berkata "belajar seperti saya, agar benar-benar teras nikmat
ibadah.. untungnya saya dulu mesantren dan sudah menamatkan puluhan kitab". Seakan ia ahli dalam
ibadah, kemudian ia menyarankan pada Si Arju (karena Arju tidak mengetahui cara sholat yang khusu)
agar mengikuti imam, imam rukuk, makmum rukuk, imam sujud, makmum sujud, dst. Namun apa
yang terjadi, pemahaman yang disampaikan pada si Arju malah menjadi bumerang bagi Ki Modin
sendiri. Untuk lebih jelasnya mari kita simak adegannya.
Reres rakaat kadua sanggeus i’tidal, kakara wae Kiai Modin rek moro sujud, kadenge sora Si
Arju ; “Kun.. kun...!”
“ieueueueueung... tuluuuuung...!” Kiai Modin ngoceak bari lumpat notog-notogkeun maneh
kawas nu sieun kabina-bina. (kc.54)
"Beres rakaat kedua setelah i'tidal, baru Kiai Modin akan sujud, terdengar suara Si Arju;
"Kun…kun…!"
"takuuut…toloooong…!" Kiai Modin berteriak lalu lari terbirit-birit dan sangat ketakutan. (hal.
54)
Melihat imam lari. Arju yang kemudian ingat dengan ceramah Kiai Modin tentang solat dalam
keadaan bahaya dan sebelumnya diperintah untuk mengikuti imam. Maka Arju yang tidak tahu
menahu ikut lari mengikuti gerakan Kiai Modin. Dalam adegan ini bukan unsur lucu yang
ditampilkan, namun unsur kritikan yang menggelitik dari kehidupan tokoh yang kurang memahami
agama dan juga kehidupan tokoh yang keliru dalam menerapkan pemahaman tentang agama.
Bukan hanya dalam dua cerpen tersebut, Ahmad Bakri berhasil menghadirkan sisi lain dari
kehidupan bersosial dan beragama di suatu kampung. Dalam dua cerpennya yang lain "Abah Mandor"
("Kakek Mandor") dan "Ki Merbot" ("Ki Merbot"), Ahmad Bakri juga menghadirkan persoalan yang
sama, begitu juga dengan nada kritik humornya yang juga menyerang pada status sosial, terutama pada
tokoh-tokoh agama, dan juga pada masyarakatnya yang juga kurang begitu paham dengan persoalan
agama. Memang kritikan tersebut sering muncul, namun ia tidak begitu tendensi untuk menghajar
kondisi masyarakat tersebut. Ia hanya ingin menyampaikan bagaimana keadaan atau cerminan sisi lain
dari masyarakat kampung dalam hal bersosial dan beragama.
KESIMPULAN
Tampak sangat jelas bagaimana karya sastra, pengarang, dan lingkungan sosial tidak bisa
dipisahkan begitu saja. Dalam arti ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ini tampak
pada sosok Ahmad Bakri yang lahir di Ciamis dan pernah mengenyam pesantren. Selain itu hobinya
dalam membaca dan ngawangkong (ngobrol) (Durahman, 1983, hal 131), tentu berpengaruh pada
karya-karyanya.
Hal tersebut tampak dari dialog-dialog antar tokohnya yang sangat hidup dan menjadi ciri khas
dan kekuatan utama dalam membagun karakter tokoh serta situasi-situasi sosial dan menggambarkan
kultur masarakat pedesaan, pesantren dengan ala humornya yang bukan hanya membuat pembaca
tertawa, tapi juga meresapi makna apa yang ada dibalik humornya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Ahmad. 2002. Dukun Lepus. Bandung: Kiblat Buku Utama.
___________ 2013. Ki Merbot. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Bastaman, H.B. 2004. Seura-Seuri Sunda. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT.
Temprint.
Danadibrata, R. A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama jeung UNPAD.
Durahman, Duduh. 1983. Petingan. Bandung: Pustaka Dasentra.
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rosidi, Ajip (Eds). 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon
dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Usman, Sunyoto. 2012. Sosiologi: Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene jeung Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.