Anda di halaman 1dari 7

HUMOR DAN KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN

KI MEREBOT KARYA AHMAD BAKRI


(Kajian Sosiologi Sastra)

Arif Ali Abdilah dan Rega Mahardika


SMA Negeri 1 Bandung
Prodi. Bahasa dan Budaya Sunda
Jl. Ir. H. Juanda No. 93 Bandung
Jl. Jalan Setiabudhi No 228, Kota Bandung
e-mail:arifabdilah89@gmail.com
e-mail:regamahardikaa@gmail.com

Abstrak: penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan humor dan kritik sosial yang tercermin dalam karya
sastra khusunya cerpen. Deskripsinya berkaitan dengan humor dan kritik sosial yang tampak dalam kumpulan
cerpen Ki Merebot karya Ahmad Bakri. Untuk dapat menguraikan hal tersebut, maka dalam tulisan ini digunakan
pendekatan kritik psikologi sastra, dengan menggunakan metode deskriptif-analitik. Untuk menganalisis data
digunakan teknik fokalisator dan teknik interpretasi. Hasilnya menunjukan bahwa latar belakang, status sosial,
sikap pengarang, dan lingkungan sosial berperan dan mempengaruhi lahirnya kumpulan cerpen Ki Merebot.
Adapun persoalan humor yang tampak dalam cerpen ini bukan sekedar humor yang menghibur, tapi juga
mengandung unsur kritik sosial. Kritik-kritik dalam cerpen Ki Merebot bukan hanya ditunjukkan kepada diri
sendiri tetapi juga kepada masarakat yang hidup di dalamnya, atau disebut juga kritik humor dalam pergaulan.

Kata kunci: humor, kritik sosial, sosiologi sastra


PENDAHULUAN
Terciptanya sebuah karya sastra pada hakikatnya tidak lepas dari penciptanya itu sendiri, yaitu
pengarang. Pengarang secara imajinatif berhasil mereka dan merefleksikan kehidupan sosial menjadi
sebuah karangan. Kehidupan yang direkapun tidak hanya berkaitan dengan pengalaman pribadi
pengarang, tapi juga berkaitan dengan keadaan sosial masarakat yang ada disekeliling pengarang.
Untuk mengkaji hubungan tersebut tentu dibutuhkan sebuah pendekatan yang representatif,
salah satunya melalui pendekatan sosiologi sastra. Istilah sosiologi sendiri berasal dari bahasa Yunani
socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan objek material sosiologi adalah manusia dan objek
formalnya adalah hubungan antaraorang. Dalam kaitan dengan ini, sosiologi kemudian mempelajari
pelbagai bentuk relasi sosial yang mempengaruhi tindakan manusia (Usman, 2012, hal. 6).
Sementara itu, Swingewood dalam bukunya The Sosiology of Literature, mendefinisikan
sosiologi sebagai telaah yang ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat
bertahan hidup (Faruk, 2012, hal. 1).
Jika menilik pada kedua pengertian tersebut, hakikatnya sosiologi dan sastra tidak berkaitan
secara langsung. Namun meskipun begitu keduanya saling melengkapi, sebab sastra juga erat
kaitannya dengan manusia dan masyarakat. Seperti yang disebutkan sebelumnnya bahwa lahirnya
karya sastra tidak lepas dari pengarang sebagai manusia dan masyarakat sebagai objek rekaan dan
merupakan cerminan yang tertuang dalam sebuah karangan. Dalam wilayah ini, tentu sosiologi dan
sastra memiliki masalah yang sama.
Mengingat hal di atas, tentu memungkinkan untuk mengkaji hubungan antar karya sastra
dengan sosiologi. Pengkajian ini menjadi penting dilakukan, sebab sastra tidak bisa dilepaskan dari
kenyataan lingkungannya, baik itu pengarang dan juga masyarakatnya. Selain itu, untuk melihat
cerminan dari keadaan masyarakat, tidak melulu melakukan pengkajian sosiologi secara langsung di
lapangan. Karya sastra bisa menjadi jawaban dan terobosan untuk memahami persoalan yang ada di
masyarakat.
Kajian yang menghubungkan antara pengarang, karya sastra dan sosial masyarakat memang
cakupannya sangat luas. Dalam buku Wellek & Warren (Teori Kesusastraan, 1989, hal. 111-112)—
hasil terjemahan Melani Budiarti dari judul asli: Theory of Literature—menjelaskan bahwa hubungan
sastra dan masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, sosiologi pengarang yang
membahas tentang masalah yang berkaitan dengan dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang
sosial, status sosial pengarang, dan ideologi pengarang. Kedua, isi karya sastra (sosiologi sastra),
tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri, dan berkaitan dengan masalah
sosial. Ketiga, permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.
Tapi dalam tulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada sosiologi pengarang dan sosiologi
karya sastra. Dalam kajian sosiologi pengarang hal yang akan dibahas melingkupi, latar belakang,
status sosial, dan ideologi pengarang. Sedangkan dalam kajian sosiologi karya sastra, hal yang akan
dibahas mengenai konteks sosial masyarakat desa yang ada dalam cerpen tersebut, yang dalam hal ini
mengarah pada kritikan-kritikan pengarang terhadap lingkungan masyarakatnya.
Karya sastra yang kerap berurusan dengan sosiologi adalah prosa—yang dalam kajian ini adalah
cerita pendek. Meskipun secara ukuran terbatas, tapi secara penceritaan, cerpen sesungguhnya
menghadirkan dunia sosial seperti, hubungan manusia dengan keluarga, masyarakat, politik, ekonomi,
dan sebagainya.
Cerpen yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kumpulan cerpen karya Ahmad Bakri yang
berjudul Ki Merbot. Dipilihnya kumpulan cerpen ini karena bukan hanya sekedar gambaran
masyarakat desa yang dilukiskan dalam cerita-cerita ini, tapi juga mengandung kritik terhadap
keadaan sosial masyarakat tersebut. Selain itu, yang menarik dalam cerpen-cerpen Ki Merbot adalah
kritikan-kritikan yang dibalut dengan humor, atau dalam istilah lain satire.
Berdasarkan temuan di atas, akan menarik dan penting untuk membahas keadaan sosial,
sekaligus kritikan-kritikan humor pengarang terhadap keadaan tersebut atau melawan dengan humor.
Berkaitan dengan humor, Bastaman (2004, hal.19) menjelaskan bahwa yang disebut humor adalah
sebuah pengalaman yang dapat menimbulkan keinginan untuk tertawa.
Perihal yang menyebabkan seseorang berkeinginan untuk tertawa, para ahli membedakan antara
anakdot, lelucon, dan humor. Anekdot adalah cerita fiktif (hayalan), rekaan tentang tokoh-tokoh yang
bener-bener ada, dan bisa membuat tertawa. Lelucon adalah carita lucu (fiktif) tentang anggota
masyarakat, seperti suka bangsa, penganut agama, atau profesi. Sedangkan humor merupakan carita
lucu, namun dimaksudkan menertawakan tingkah polah diri sendiri atau menceritakan sesuatu yang
lucu dari keadaan lingkungan masyarakatnya (H.D. Bastaman, 2004, hal. 20; James Danandjaja, 2007,
hal. 117-118).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sosilogi Pengarang: Latar Belakang, Status Sosial, dan Ideologi Pengarang
Ahmad Bakri lahir di Rancah, (Ciamis 11 Mei 1917-Ciamis, 18 Jul 1988). Ahmad Bakri adalah
seorang guru dan pengarang dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Setelah tamat Sekolah Desa 3 tahun,
melanjutkan ke Schakelschool di Ciamis. Kemudian ia belajar di pesantren, yaitu di Genteng,
kemudian ke Cidewa, hanya beberapa bulan. Tahun 1937 ia dikirimkan ke Bandung untuk mengikuti
kursus montir, tapi juga tak sampai selesai. Lalu bekerja di PTT bagian administrasi, kemudian di
bagian laboratorium1.
Ketika jaman pendudukan Jepang, Bakri yang sudah berkeluarga pulang ke kampungnya karena
tak dapat hidup dari gajinya di Bandung (1943). Pada masa revolusi, ia membantu kaum gerilya
dengan memberi perbekalan. Karena itu ia berkali-kali ditangkap oleh tentara Belanda. Ketika dalam
tahanan ia dijanjikan akan dibebaskan asal mau menjadi guru. Ia menerima tawaran itu karena dalam
pertimbangannya, kalau ia menjadi guru yang akan diajarnya adalah anak-anak Indonesia, bukan
Belanda; jadi tidak merasa membantu Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan, Rancah termasuk
daerah rawan, karena gerombolan DI / TII sering mengacau. Ahmad Bakri dimintai bantuan oleh
gerombolan DI/TII agar mengumpulkan sumbangan buat mereka. Hal itu tercium oleh tentara.
Meskipun tidak ditangkap, tetapi ia merasa lebih aman kalau pergi dari kampungnya. Ia pindah dengan
keluarganya ke Bandung, menjadi guru di SR Cicadas (Rosidi, 2000, hal. 27).
Ahmad Bakri adalah salah satu dari sedikit pangarang Sunda yang sangat produktif. Sebagai
seorang pengarang cerita-cerita Ahmad Bakri sangat digemari bahkan menjadi favorit bagi masyarakat
Sunda. Gaya penyampaian yang sederhana dan ringan, menjadi alasannya. Bukan hanya isi cerita yang
ringan, dalam pemberian judulpun sederhana dan sangat dekat kehidupan urang pedesaan. Coba kita
tengok beberapa judul carponnya seperti Dirawu Kelong, Lebaran Poé Jum’at, Ngalongok Munding,
Ki Merbot, Samping Panyeumpal dll.
Karangannya memiliki ciri khas sendiri dalam menyampaikan pesan dan amanatnya. Cerita-
cerita yang disuguhkan oleh Ahmad Bakri kerap (bahkan hampir semua) dibumbui dengan humor
yang membuat tertawa, bukan hanya terbahak-bahak, tapi juga senyum kecil yang bisa membuat

1 Dalam Ahmad Bakri jeung "Jaman Norma", sebuah pengantar dari Ajip Rosidi untuk buku karya Ahmad Bakri
Dukun Lepus (2002, hal 10),
pembaca malu. Dia juga dikenal sebagai pengaran yang cerita-ceritanya menampilkan latar pedesaan
dan sangat menonjolkan nuansa keagamaan, seperti dalam kumpulan cerpennya "Ki Merebot" (1987).
Tahun 1952 ia mengikuti ujian persamaan SGB, dan sambil mengajar di Bandung ia mengikuti
KGA, tamat 1957. Dari sana ia masuk ke Kursus B-I Basa Sunda. Pada waktu itu ia sudah memuatkan
cerita pendek dalam majalah Warga. Oleh dosennya R.I. Adiwijaya ia pun diajak aktif dalam LBSS
dan menjadi Wakil Ketua Bagian Basa kepengurusan hasil Kongres 1958. Setamat kursus B-I (1960),
ia ditempatkan sebagai guru SPG di Ciamis sampai pensiun (1973) dan setelah pensiun ia diangkat
sebagai Kepala SPG Muhammadyah Ciamis. Tapi kemudian minta diturunkan menjadi Wakil Kepala,
karena ingin mempunyai waktu untuk menulis (Rosidi, 2000, hal. 27).
Mulai mengirimkan naskah tulisannya pada tahun 1937, ke Balai Pustaka, tapi ditolak. Tapi
tahun 1963 kembali menulis, bahkan menjadi penulis yang produktif. Naskah-naskahnya yang dikirim
untuk mengikuti sayembara, berhasil memborong empat hadiah IKAPI jabar tahun 1967; Payung
Butut untuk bacaan umum (Jatiwangi, 1969), Rajapati di Pananjung (Pembunuhan di Pananjung)
untuk bacaan dewasa Sunda (Bandung, 1978), Kabandang ku Kuda Lumping (Terbawa oleh Kuda
Lumping) bacaan anak-anak Sunda (Bandung, 1969), Nu Sengit Dipuldng Asih (Tuba Dibalas dengan
Susu) (Bandung, 1969) (Durahman, 1983, hal.131; Rosidi, 2000, hal.28).

Konteks Sosial Masyarakat dan Kritik Humor dalam Kumcer Ki Merbot


Seperti telah disebutkan bahwa terciptanya sebuah karya sastra hakikatnya tidak lepas dari
pengarang. Pengarang secara imajinatif berhasil mereka dan merefleksikan kehidupan sosial menjadi
sebuah karangan. Kehidupan yang direkapun tidak hanya berkaitan dengan pengalaman pribadi
pengarang, tapi juga berkaitan dengan keadaan sosial masarakat yang ada disekeliling pengarang.
Maka dari itu, pengarang, karya sastra, dan keadaan sosial masyarakat, saling berhubungan dan
sifatnya saling memengaruhi.
Hal semcam itu tampak juga dalam cerita-cerita Ahmad Bakri yang terkumpul dalam kumcer Ki
Merbot (Kakek Merbot). Dalam kumpulan cerpen ini termuat empat judul cerpen, yaitu "Lebaran Poé
Jumaah" ("Lebaran Hari Jumat"); "Abah Mandor" ("Kakek Mandor"); "Kiai Modin" ("Kiai Modin");
dan "Ki Merbot" ("Ki Merbot"). Sepintas dari keempat cerpen tersebut sudah tentu mengisahkan dan
mengangkat persoalan sosial yang berbeda-beda, namun ada benang merah yang sama, terutama
dengan keadaan sosial yang dihadirkan dalam cerpen-cerpen tersebut. Keadaan masyarakat (tampak
pada tokoh-tokohnya) kampung yang polos dan kurang memahami tentang persoalan agama, menjadi
gambaran sosial yang sering muncul, bahkan dominan dalam keempat cerpennya. Namun melalui
tokoh-tokoh polosnya Ahmad Bakri menyelipkan kritikan-kritikan terhadap masyarakat sekitarnya.
Kritikan-kritikan yang dihadirkan oleh Ahmad Bakri sangat berbeda, tidak menggebu-gebu dan
tidak terkesan bertendensi menghakimi kondisi sosial masyarakatnya. Justru yang dihadirkan adalah
kritikan-kritikan yang lembut dan mengajak kita untuk menertawakan diri sendiri dan lingkungan
sekitar. Inilah kritikan humor yang dihadirkan dalam cerpen-cerpennya. Ahmad Bakri mencoba
melawan keadaan sosial masyarakatnya dengan humor-humornya. Humor yang dihadirkan dalam
cerpen Ahmad Bakri tidak sekedar humor yang membuat tertawa, tapi juga membuat berfikir untuk
memahami keadaan yang terjadi di masyarakat tersebut. Untuk lebih lengkapnya akan dipaparkan
beberapa keadaan sosial dan kritiakn humor dalam dua cerpennya yaitu "Lebaran Poé Jumaah"
("Lebaran Hari Jumat") dan "Abah Mandor" ("Kakek Mandor").
"Lebaran Poé Jumaah" ("Lebaran Hari Jumaat"), yang mengisahkan situasi sosial masyarakat
kampung yang akan menghadapi hari lebaran. Mulai dari persiapan, penyambutan, dan pelaksanaan
hari lebaran di gambarkan dalam cerpen ini. Misalnya ketika pengumpulan zakat fitrah yang
dilaksanakan di kampung tersebut. Dalam adegan ini seorang kuwu (Kepala Desa), dengan bebasnya
bisa membayar zakat fitrah dengan cara mengutang. Kritikan tersebut dilontarankan oleh Ahmad Bakri
melalui tokoh lainnya, yaitu Adma.
Dijawab ku Lebé, “Tarima abdi nganjukkeun béas dua kulak kana harga dua kali lima
bénggol.”
“Lain dua kali lima sén…? Pan ka batur gé sakitu, lain?” cek Kuwu nyélag.
“Ka Juragan mah nagabantun pangaos pasar, margi… margi…”
“Pédah nganjuk…? Seug atuh kuma dinya waé, da bayarna ogé ti dinya-dinya kénéh.”
"Horéng babari ari ménak mah, teu maké duit gé hadé ku tujang-tajong," cék Si Adma teu
kireum-kireum, kawas nu euweuh waé kasérab ka dunungan téh.
"Babari sotéh lebah dieuna, pédah boga pancén sampeureun, kituna gé pan regana sabaraha
tikeleun ka batur." (kc.12)

("Dijawab oleh Lebe, "Saya terima menguntangkan beras dua kulak dengan harga dua kali lima
benggol."
"Bukan dua kali lima sen? Yang lain juga segituh, bukan?" kata Kepala Desa memotong
"Untuk Juragan, disesuaikan dengan harga pasar, karena…karena…
"Karena ngutang? Iya atuh terserah kamu, karena bayarnya juga dari situ-situ juga."
"Loh, ko mudah ya kalau jadi Juragan itu, ga usah pake duit, cukup geser itu, ini," kata Si Adma
polos, seperti tidak takut dengan kepala desa.
"Kelihatanya mudah, karena akan diganti dengan tugas, itu juga harganya berapa kali lipat dari
orang lain.") (hal.12)

Kritik humor yang lain tampak waktu masyarakat di kampung tersebut kebingungan ketika
menghadapi hari lebaran yang bersaaam dengan hari jumat. Kebingungan ini berangkat dari keadaan
masyarakat yang awam terhadap agama dan tingginya kepercayaan pada hal-hal mistik, sehingga sulit
untuk memutuskan masalah tersebut. Bahkan dalam dialog antara tokoh-tokohnya, ada yang
mengusulkan agar lebaran dimajukan menjadi hari kamis, ada juga yang mengusulkan ditangguhkan
sehari, menjadi hari sabtu.
Hal lain yang tampak juga ketika memutuskan dan menentukan khotib lebaran dan khotib
jumaatan, sebab ada anggapan tidak tidak boleh menggunakan khotib yang sama dalam satu hari
tersebut, misalnya jika khutbah lebaran dilakukan oleh Si A, maka khutbah jumat harus dilakukan oleh
Si B. Namun di kampung tersebut hanya Kiai Lebe yang paham dalam urusan keagamaan, yang lain
tidak jadi tidak ada yang berani untuk menjadi khotib, selain Kiai Lebe.
Dalam keadaan terdesek itu dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Kiai Lebe
kemudian memberikan saran, agar dia menjadi kepala desa (dengan pakaian kedinasan dan bendo
kepala desa) untuk sementara selama khutbah lebaran, dan setelah selesai ia kemudian menjadi Kiai
Lebe lagi, untuk kemudian menjadi khotib dalam pelaksanaan solat jumat. Saran tersebut kemudian
disepakati oleh jamaah. Namun pada pelaksanaannya ada saja yang mempertanyakan.

Na atuh ari pok téh aya nu ngomong kalepasan, “Geuning siga Kiai Lebé...! lain Juragan
Kuwu nu rék hutbah téh?”
Ditémbalan ku baturna ti juru, “puguh heueuh deudeuleuan kami gé siga Kiai Lebé…
nanahaonan cenah maké dangdanan kitu?” (kaca.24)
(kemudian ada yang tak sengaja bilang, "sepertinya itu Kiai Lebe…! Bukannya Kepala Desa
yang khutbah?
Dijawab oleh temannya yang ada di pojok, "Iya, penglihatan saya tidak salah, itu seperti Kiai
Lebe..untuk apa pakainya seperti itu (kepala desa)?) (hal.24)

Sebetulnya keadaan ini bukan hanya menjadi tertawaan orang, tapi juga menertawakan
pemahaman Kiai Lebe itu sendiri. Bukan hanya itu, kedua adegan diatas sebetulnya mengkritisi status
sosial seorang pejabat; kepala desa dan juga kiai lebe. Nada kritik humor yang sama tampak juga pada
cerpen lainnya, misal dalam cerpen "Kiai Modin" (Kiai Modin), yang mengisahkan tokoh agama,
Muhammad Amin (Kiai Modin), namun sangat penakut jika berjalan sendiri malam hari. Bahkan
berwudlu saja harus ada yang menemaninya. Suatu hari ieu diundang oleh sahabatnya untuk hadir
dalam acara khitanan anaknya. Sebab jarak yang sangat jauh untuk ke kampung sahabatnya itu Ki
Modin ditemani oleh ajudan yang bernama Arju untuk menuju kampung tersebut.
Dalam perjalanan inilah kemudian Ahmad Bakri berhasil menggambarkan sekaligus
menyampaikan kritikan-kritikan humornya. Bahkan bukan sekedar humor yang disampaikan, tapi
persoalan kritik dan sindiran terhadap pemahaman ibadah dari seorang tokoh agama. Kritikan tersebut
tampak ketika Ki Modin dan Si Arju mendirikan solat subuh, di tepi sungai. Dalam situasi tersebut
digambarkan bahwa tokoh Arju tidak bisa mendirikan solat dengan khusu, lalu bertanya pada Ki
Modin bagaimana cara sholat yang khusu.
Dengan nada yang agak sombong ia berkata "belajar seperti saya, agar benar-benar teras nikmat
ibadah.. untungnya saya dulu mesantren dan sudah menamatkan puluhan kitab". Seakan ia ahli dalam
ibadah, kemudian ia menyarankan pada Si Arju (karena Arju tidak mengetahui cara sholat yang khusu)
agar mengikuti imam, imam rukuk, makmum rukuk, imam sujud, makmum sujud, dst. Namun apa
yang terjadi, pemahaman yang disampaikan pada si Arju malah menjadi bumerang bagi Ki Modin
sendiri. Untuk lebih jelasnya mari kita simak adegannya.

Reres rakaat kadua sanggeus i’tidal, kakara wae Kiai Modin rek moro sujud, kadenge sora Si
Arju ; “Kun.. kun...!”
“ieueueueueung... tuluuuuung...!” Kiai Modin ngoceak bari lumpat notog-notogkeun maneh
kawas nu sieun kabina-bina. (kc.54)

"Beres rakaat kedua setelah i'tidal, baru Kiai Modin akan sujud, terdengar suara Si Arju;
"Kun…kun…!"
"takuuut…toloooong…!" Kiai Modin berteriak lalu lari terbirit-birit dan sangat ketakutan. (hal.
54)

Melihat imam lari. Arju yang kemudian ingat dengan ceramah Kiai Modin tentang solat dalam
keadaan bahaya dan sebelumnya diperintah untuk mengikuti imam. Maka Arju yang tidak tahu
menahu ikut lari mengikuti gerakan Kiai Modin. Dalam adegan ini bukan unsur lucu yang
ditampilkan, namun unsur kritikan yang menggelitik dari kehidupan tokoh yang kurang memahami
agama dan juga kehidupan tokoh yang keliru dalam menerapkan pemahaman tentang agama.
Bukan hanya dalam dua cerpen tersebut, Ahmad Bakri berhasil menghadirkan sisi lain dari
kehidupan bersosial dan beragama di suatu kampung. Dalam dua cerpennya yang lain "Abah Mandor"
("Kakek Mandor") dan "Ki Merbot" ("Ki Merbot"), Ahmad Bakri juga menghadirkan persoalan yang
sama, begitu juga dengan nada kritik humornya yang juga menyerang pada status sosial, terutama pada
tokoh-tokoh agama, dan juga pada masyarakatnya yang juga kurang begitu paham dengan persoalan
agama. Memang kritikan tersebut sering muncul, namun ia tidak begitu tendensi untuk menghajar
kondisi masyarakat tersebut. Ia hanya ingin menyampaikan bagaimana keadaan atau cerminan sisi lain
dari masyarakat kampung dalam hal bersosial dan beragama.

KESIMPULAN
Tampak sangat jelas bagaimana karya sastra, pengarang, dan lingkungan sosial tidak bisa
dipisahkan begitu saja. Dalam arti ketiganya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Ini tampak
pada sosok Ahmad Bakri yang lahir di Ciamis dan pernah mengenyam pesantren. Selain itu hobinya
dalam membaca dan ngawangkong (ngobrol) (Durahman, 1983, hal 131), tentu berpengaruh pada
karya-karyanya.
Hal tersebut tampak dari dialog-dialog antar tokohnya yang sangat hidup dan menjadi ciri khas
dan kekuatan utama dalam membagun karakter tokoh serta situasi-situasi sosial dan menggambarkan
kultur masarakat pedesaan, pesantren dengan ala humornya yang bukan hanya membuat pembaca
tertawa, tapi juga meresapi makna apa yang ada dibalik humornya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Ahmad. 2002. Dukun Lepus. Bandung: Kiblat Buku Utama.
___________ 2013. Ki Merbot. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Bastaman, H.B. 2004. Seura-Seuri Sunda. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: PT.
Temprint.
Danadibrata, R. A. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama jeung UNPAD.
Durahman, Duduh. 1983. Petingan. Bandung: Pustaka Dasentra.
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rosidi, Ajip (Eds). 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam Manusia, dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon
dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Usman, Sunyoto. 2012. Sosiologi: Sejarah, Teori, dan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene jeung Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai