Anda di halaman 1dari 40

CEDERA KEPALA RINGAN TERTUTUP GCS 15

Disusun oleh:
Nurlutfiyyah Aini, S.Ked
04084821921028

Pembimbing:
dr. Ali Hanafiah, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD H. M. RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

1
Laporan Kasus

Cedera Kepala Ringan Tertutup GCS 15

Oleh:

Nurlutfiyyah Aini, S.Ked


0408482192108

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara Enim dan RSUP Dr.
Moh. Hoesin Palembang..

Muara Enim, Agustus 2019

dr. Ali Hanafiah, Sp.B

2
KATA PENGANTAR

Bismillah, Alhamdulillahirobbil’alamin karena berkat rahmat dan karunia-Nya


penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Cedera Kepala Ringan
Tertutup GCS 15”
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Bedah RSUD H. M. Rabain Muara Enim dan RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ali Hanafiah, Sp.B selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Muara Enim, Agustus 2019

Penulis

BAB I
3
PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan kasus bedah yang cukup merupakan trauma yang
paling sering terjadi pada kasus - kasus emergensi. Banyak pasien dengan trauma
kapitis berat meninggal sebelum mencapai rumah sakit, dengan setidaknya 90%
trauma yang terjadi mengenai otak. Sekitar 75% pasien dengan trauma kapitis yang
mendapat perhatian medis dapat dikategorikan sebagai luka ringan, 15% luka sedang,
dan 10% luka berat. Data terbaru dari Amerika Serikat memperkirakan 1.700.000
kejadian trauma kapitis setiap tahunnya, termasuk 275.000 yang masuk rumah sakit
dan 52.000 kematian.1
Cedera kepala adalah adalah trauma mekanik pada kepala yang disebabkan
oleh faktor eksternal (kecelakaan dan benturan) yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, dan psikososial, bersifat sementara atau permanen. Menurut
Brain Injury Assosiaciation of America, trauma kepala adalah perubahan fungsional
otak yang disertai keadaan patologis pada otak oleh faktor eksternal. 1 Tujuan utama
dari tatalaksana pasien dengan cedera kepala adalah untuk mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Pemberian oksigenasi yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah pada batas normal merupakan hal yang sangat penting dilakukan untuk
mempertahankan perfusi otak untuk mencegah atau membatasi kerusakan otak lebih
lanjut dan memperbaiki prognosis pasien. Protokol tatalaksana ABCDE, identifikasi
lesi ataupun massa intrakranial yang memerlukan tindak bedah darurat, pemeriksaan
CT scan kepala merupakan hal penting yang harus segera dilakukan terhadap pasien
dengan cedera kepala. Namun, pemeriksaan CT scan tidak boleh sampai menunda
survey primer dan tatalaksana gawat darurat, harus dilakukan setelah keadaan
hemodinamik pasien telah stabil.2,3,4

Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, kasus perdarahan


subarakhnoid memiliki kompetensi 3B sehingga lulusan dokter harus mampu mampu
membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat
darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan
4
pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan (SKDI: 2012). Oleh karena itu, pada laporan kasus ini akan
dibahas mengenai status pasien, tinjuan pustaka, serta analisis kasus dari salah satu
pasien cedera kepala di RSUD H. M. Rabain Muara Enim.

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : M. Aprizal
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Tanggal lahur / Umur : 2 Agustus 2007 / 12 tahun
4. Agama : Islam
5. Alamat : Muara Enim
6. Tanggal MRS : 2 Agustus 2019
7. Bangsal : Enim 4
8. No. Rekmed : 26.3654

5
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama:
(Alloanamnesis)
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas.
2. Riwayat perjalanan penyakit :
(Alloanamnesis)
 30 menit sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami kecelakaan lalu
lintas dan kepala pasien membentur benda keras. Pasien mengalami
penurunan kesadaran setelah jatuh (-), muntah (-), nyeri kepala (+),
perdarahan dari hidung atau telinga (-), pandangan kabur (-), Pasien lalu
dibawa ke IGD RSUD Rabain Muara Enim.
Riwayat pengobatan: riwayat minum obat antikejang disangkal
3. Riwayat penyakit dahulu: -
4. Riwayat keluarga: -
5. Riwayat pengobatan: -
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : E4M6V5 = GCS 15
c. Tekanan darah : 110/80 mmHg
d. Heart rate : 70 kali/menit
e. Respiratory rate : 18 kali/menit
f. Temperature : 36,5oC
g. SpO2 : 98%

2. Status Lokalis
a. Kepala
Inspeksi : Tampak v. laceratum di regio frontalis.
1. Mata : Racoon eyes (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+).
2. Hidung : Dalam batas normal
3. Mulut : Tampak v. ekskoriotum regio maxillaris
4. Telinga: Otorea (-/-), hematoma retroaurikuler (-/-)
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thoraks
Inspeksi : Jejas (-), simetris statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

6
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapang paru, ronki (-/-)
d. Abdomen
Inspeksi : Jejas (-), datar
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
e. Genitalia : Dalam batas normal
f. Ekstremitas :
Akral hangat, sianosis(-), CRT <2 detik

D. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
a. N. KRANIALIS
N.I : tidak dilakukan pemeriksaan
N.II : tidak dilakukan pemeriksaan
N.III ; N.IV ; N.VI
Kedudukan bola mata : ortoforia - ortoforia
Pergerakan bola mata :
 Nasal : normal
 Temporal : normal
 Atas : normal
 Bawah : normal
 Temporal bawah : normal
Ptosis : (-/-)
Pupil
 Bentuk : Bulat / bulat
 Diameter : 3 mm / 3 mm
 Refleks cahaya langsung : +/+
 Refleks cahaya tidak langsung : +/+
N.V
 Cabang motorik
- Membuka mulut : Baik
- Menggerakkan rahang : Baik
 Cabang sensorik oftalmikus : tidak dilakukan pemeriksaan
N.VII

7
 Parese (-/-)
N.VIII
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.IX ; N.X
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.XI
Tidak dilakukan pemeriksaan
N.XII
 Pergerakan lidah : Lidah di tengah

b. SISTEM MOTORIK TUBUH


Kekuatan otot : 5|5
5|5

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Rontgen Cranium AP/LAT (2/8/2019):

Kesan : Tidak ada kelainan pada hasil foto rontgen.


F. DIAGNOSIS KERJA
Cedera Kepala Ringan Tertutup GCS 15

G. TATALAKSANA
1. Pemberian O2 NRM 10L/menit
2. Elevasi 30o
8
3. IVFD Asering gtt XX/m
4. Inj. Antibiotik 2x1 IV
5. Inj. Analgetik 2x1 IV
6. Pemasangan NGT
7. Pemasangan kateter
8. Pemasangan ETT

H. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : dubia
b. Quo ad functionam : dubia
c. Quo ad sanationam : dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Kepala


Berdasarkan anatomi, kepala terdiri atas beberapa bagian, antara lain scalp (kulit
kepala), tulang tengkorak, meningen, otak, sistem ventrikuler, dan kompartemen
intrakranial.5
1. Scalp
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan, antara lain:5
1. Skin atau kulit yang banyak mengandung kelenjar sebasea, tebal, dan
berambut.
2. Connective Tissue/ subcutaneous tissue (jaringan ikat/subkutan), merupakan
lapisan yang paling kaya pembuluh darah subkutan di tubuh. Lapisan ini
mengandung lobulus-lobulus lemak yang berikatan pada septa fibrosa,
sangat mirip dengan jaringan ikat pada telapak kaki dan telapak tangan.

9
3. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika, bagian anterior dan posterior
dihubungkan dengan aponeurosis yang kuat dan berserabut. Lapisan ini
seringkali disebut dengan lapisan aponeurosis (galea aponeurotika).
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Jaringan ikat longgar
yang menempati ruang subaponeurotik. Jaringan ikat ini banyak mengandung
arteri kecil dan v. emissaria yang penting.
5. Perikranium atau periosteum merupakan tulang yang menutupi permukaan
luar tulang tengkorak.
Kulit kepala memiliki suplai darah yang banyak. Arteri yang memperdarahi
kulit kepala berasal dari percabangan arteri carotis eksterna (a.oksipitalis,
a.aurikularis posterior, dan a.temporalis superfisial) dan arteri karotis interna
(a.supraorbital dan a.supratrochlear). Oleh karena itu, laserasi pada kulit
kepala dapat menyebabkan perdarahan yang banyak, mengakibatkan syok
hemoragik, bahkan kematian

2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak disusun dari beberapa tulang yang saling bersendi pada sendi
yang tidak bergerak disebut sutura. Jaringan ikat di antara tulang- tulang disebut
10
ligamentum sutura. Mandibula merupakan pengecualian karena tulang ini
berhubungan dengan cranium melalui articulatio temporomandibularis yang
bergerak. Tulang-tulang tengkorak dapat dibedakan menjadi cranium dan wajah.
Cranium bagian atas disebut calvaria dan cranium bagian bawah disebut basis
cranii. Tulang penyusun cranium yaitu 1 os frontale, 2 os parietale, 1 os
occipitale, 2 os temporale, 1 os sphenoidale, dan 1 os ethmoidale.5

3. Meningen
Meningen meerupakan membran yang membungkus otak dan medula spinalis.
Terdapat tiga lapissan meningen dari luar ke dalam, yaitu duramater, arakhnoid

11
dan piamater. Duramater merupakan lapisan membrana fibrosa yang tebal dan
melekat dengan erat pada permukaan internal tulang tengkorak. Duramater terdiri
dari lapisan duramater endosteal dan meningeal yang saling berhubungan erat.
Pada tempat-tempat tertentu, duramater akan terbagi menjadi dua dan
membentuk sinus venosus besar, yang berfungsi sebagai drainase dari otak. Falx
cerebri merupakan lipatan duramater berbentuk bulan sabit yang terletak di garis
tengah antara kedua hemisfer cerebri. Laserasi pada sinus venosus tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan masif. 5
Arteri meningeal berada pada ruang epidural yang berada antara lapisan
duramater dengan permukaan internal dari tulang tengkorak. Apabila terdapat
fraktur tulang tengkorak, dapat mengakibatkan laserasi arteri meningeal,
terutama arteri meningeal media yang terletak pada fossa temporal yang
menyebabkan hematom epidural. Hematoma luas yang terjadi akibat adanya
trauma pada arteri tersebut dapat menyebabkan penurunan kesadaran secara
cepat dan kematian. Hematom epidural juga dapat diakibatkan oleh adanya
trauma pada sinus dural dan fraktur tulang tengkorak yang terjadi secara perlahan
dengan tekanan intrakranial yang tidak terlalu tinggi. Hematom epidural
merupakan kasus emergensi yang mengancam jiwa dan harus segera dievaluasi
oleh spesialis bedah saraf secepat mungkin.5
Dibawah lapisan duramater terdapat lapisan meningen yang kedua, yaitu
lapisan arakhnoid yang tipis dan transparan. Ruangan potensial antara lapisan
duramater dan arachnoid disebut subdural space, dimana sering dijumpai
perdarahan pada lokasi ini. Pada kasus trauma kepala yang menyebabkan
robekan pada lapisan duramater menyebabkan bridging veins yang berjalan dari
permukaan otak menuju sinus venosus mengalami cidera, memicu terjadinya
hematom subdural.5
Lapisan meningen ketiga adalah piamater, yang melekat erat dengan
permukaan otak. Cairan serebrospinal mengisi ruangan antara lapisan arakhnoid
dan piamater yang disebut sebagai ruangan subarakhnoid, yang menjadi bantalan
bagi otak dan medula spinalis. Pada daerah tertentu, arakhnoid menonjol ke
12
dalam sinus venosus membentuk vili arakhnoidales dan paling banyak di
sepanjang sinus sagitalis superior. Vili arakhnoidales berfungsi sebagai tempat
perembesan liquor serebrospinal ke dalam aliran darah. Perdarahan yang terjadi
pada ruangan subarakhnoid sering diikuti dengan adanya kontusi otak dan trauma
pembuluh darah besar pada basis otak5

4. Otak
Otak meliputi serebrum, batang otak (brainstem) dan serebelum. Serebrum
terdiri dari hemisfer kiri dan kanan yang dihubungkan oleh corpus callosum.
Hemisfer kiri berfungsi sebagai pusat bahasa pada 85% orang yang orientasi
tangan kanan (right-handed). Korteks serebri berbentuk lipatan-lipatan yang
disebut gyrus yang dipisahkan oleh sulcus. Korteks serebri terbagi menjadi lobus
frontalis, parietalis, temporalis dan oksipitalis. Lobus frontalis mengatur fungsi
eksekutif, emosi dan fungsi motorik, dan pada sisi yang dominan, berfugnsi
sebagai motor speech areas yang mengatur ekspresi ketika berbicara. Lobus
parietal berfungsi untuk mengatur fungsi sensorik dan orientasi spasial, lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu dan lobus oksipital bertanggungjawab
dalam fungsi penglihatan.5
Batang otak terdiri dari midbrain, pons dan medula oblongata. Pada otak
tengah dan pons bagian atas terdapat reticular activating system yang
bertanggungjawab dalam status kewaspadaan (kesadaran). Pusat kardiorespirasi

13
berada di medula oblongata yang terbentang kebawah dan berhubungan dengan
medula spinalis. Oleh sebab itu, lesi kecil pada batang otak dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat.5
Serebelum secara umum berfungsi sebagai pusat koordinasi dan
keseimbangan. Serebelum berhubungan dengan korda spinalis, batang otak dan
hemisfer serebri didalam fossa kranial posterior. 5

Sistem Vaskularisasi Otak


Otak disuplai oleh dua a.carotis interna (80%) dan dua a.vertebralis (20%).
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
circulus Willisi (circulus arteriosus). Dua arteri carotis interna masing-masing
bercabang menjadi a.cerebri media (cabang terbesar yang mensuplai darah untuk
lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri), a.cerebri anterior
(memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nucleus kaudatus dan
putamen basal ganglia, kapsula interna, korpus kalosum dan bagian-bagian
medial lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somastetik dan
korteks motorik), a.communicans posterior, a.ophtalmica, dan a.choroidea.
Sedangkan dua arteri vertebralis akan bergabung pada pinggir bawah pons dan
membentuk a.basilaris yang memasuki tengkorak melalui foramen magnum.
Arteri basilaris akan bercabang menjadi dua cabang besar, yaitu a.cerebri

14
posterior (kanan-kiri). Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris ini memperdarahi
medula oblongata, pons, serebelum,otak tengah dan sebagian diensefalon.5

Drainase vena pada kulit kepala berasal dari vena yang berjalan bersama
dengan arteri kulit kepala, yaitu v. supraorbital dan v. supratrokhlear yang
merupakan percabangan dari v. fasialis serta v. temporalis superfisial,v.
aurikularis posterior, dan v. oksipitalis yang merupakan percabangan dari v.
jugularis eksterna. Selain itu, drainase vena kulit kepala pada lapisan yang agak
lebih dalam oleh v. temporalis profunda yang merupakan percabangan dari v.
jugularis interna.5

5. Sistem Ventrikuler5

15
Ventrikel merupakan suatu sistem dari ruangan-ruangan yang berisi cairan
serebrospinal dan aqueducts dalam otak. Cairan serebrospinal secara konstan
diproduksi dalam ventrikel dan akan diserap oleh permukaan otak.
Ventrikel otak terdiri atas 2 ventriculus lateralis, ventriculus III (tertius),
dan ventriculus IV (quartus). Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel III
melalui foramina interventricularis (foramen Monro). Ventrikel III berhubungan
dengan ventrikel IV melalui aqueductus cerebri (aqueductus Sylvii). Ventrikel
IV berhubungan dengan ruang subarakhnoid melalui 2 foramen Luschka di
lateral dan 1 foramen Magendie di medial. Ventrikel berisi cairan
serebrospinal yang dihasilkan oleh pleksus choroidalis kedua ventrikel lateral,
ventrikel III, dan ventrikel IV.
Adanya darah dalam cairan serebrospinal dapat menyebabkan gangguan
terhadap proses reabsorpsi cairan serebrospinal, menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial. Edema dan lesi massa (seperti hematom)
dapat menyebabkan perubahan dari sistem normal ventrikel yang terlihat dalam
CT scan.

Fisiologi
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam

16
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4
– 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini
dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16%
dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera
otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO.

3.2. Cedera Kepala


 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik kepala disebabkan oleh faktor eksternal
(kecelakaan dan benturan) yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, dan psikososial, yang bersifat sementara atau permanen. Menurut Brain
Injury Assosiaciation of America, trauma kepala adalah perubahan fungsional
pada otak yang disertai keadaan patologis pada otak yang disebabkan oleh faktor
eksternal.1,2

 Epidemiologi

17
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian
cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera
kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala Data-data yang didapat
di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi hampir 15 menit. Sekitar
60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala. Data menunjukkan
cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kecacatan pada
usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang
memerlukan tindakan operasi.3
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu
lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya
adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi
96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari
padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala,
sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja
penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan. Kontribusi paling
banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan
sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm
yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak
memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala
membentur lantai.4
 Etiologi
Penyebab trauma kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah
akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus trauma kepala merupakan
akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh
jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan
yang terjadi di rumah maupun tempat kerja.

Trauma kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :

18
a. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun
tidak langsung (akselerasi dan deselerasi) yang menimbulkan kontusio dan
laserasi parenkim otak dan kerusakan akson pada substantia alba hemisfer
otak hingga batang otak.
b. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

 Mekanisme Cedera Otak


1. Secara Statis
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon.
Tekanan pada kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga
timbul kerusakan berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak.
Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi. 1
2. Secara Dinamik
Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon,
berbentuk impulsif dan / atau impak.Trauma tidak langsung membentur
kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan
kepala berhenti mendadak, contoh : pukulan pada tengkuk atau punggung
akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala yang bisa
menyebabkan cedera otak 1
a. Impact Loading
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk
impak:
1. Kontak / benturan langsung (Contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan:
a. Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
b. Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di luar
tempat trauma
c. Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang
ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak.

2. Inersial (Inertial injury)

19
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang,
maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi dan
deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus (diffuse
axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk coup, contra
coup, dan intermediate.

 Klasifikasi
1. Berdasarkan derajat kesadaran

2. Berdasarkan saat terjadi


Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis
yaitu lesi primer dan lesi sekunder. 6
3. Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.

20
i. Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada
kepala mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun
fraktur tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan
otak.
ii. Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular
difus.
4. Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul
kerusakan primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia,
edema serebri, vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural,
perdarahan subaraknoidal, perdarahan intraserebral, dan infeksi.

3. Berdasarkan patologi
 Komosio serebri (CKR)
Cedera Kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan
pemeriksaan klinis, sedangkan komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan
patologi. CKR dianalogikan sama dengan komosio serebri. Di klinik,
klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki beberapa keuntungan
yaitu:
- Mempergunakan GCS yang berguna untuk menilai berat ringannya
cedera, penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun
paramedis, dan nilai GCS dapat dipakai sebagai monitoring kondisi
pasien
- Menilai scanning otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih
tinggi

 Kontusio serebri
Diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya
piamater. Kerusakan tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan
(kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena, dan arteri), nekrosis
otak dan infark. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini

21
akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan.
Terdapat perdarahan kecil disertai edema pada parenkim otak. Dapat timbul
perubahan patologi pada tempat cedera (coup) atau di tempat yang
berlawanan dari cedera (countre-coup). Kontusio intermediate coup terletak
diantara lesi coup dan countre coup

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain
adalah perdarahan yang terus berlangsung, iskemik-nekrosis, dan diikuti oleh
edema vasogenik. Selanjutnya lesi akan mengalami reabsorbsi terhadap
eritrosit yang lisis (48- 72 jam), disusul dengan infiltrasi makrofag (24 jam –
beberapa minggu) dan gliosis aktif yang terus berlangsung secara progresif
(mulai dari 48 jam). Secara makroskopik terlihat sebagai lesi kistik
kecoklatan. Gejala yang timbul bergantung kepada ukuran dan lokasi
kontusio. Jika melibatkan lobus frontal dan temporal bilateral, disebut ‘cedera
tetrapolar’, memberikan gejala TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial), tanpa
pergeseran garis tengah (midline shift) dan disertai koma atau penurunan
kesadaran yang progresif. Gambaran CT scan berupa daerah kecil hiperdens
yang disertai atau dikelilingi oleh daerah hipodens karena edema dan jaringan
otak yang nekrosis. 6
 Laserasio serebri
Jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater. Laserasi
biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika,
subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi
langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus

22
kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur
terutama pada fraktur depressed terbuka, sedangkan laserasi tak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat dari kekuatan
mekanis.1,6
4. Berdasarkan lokasi lesi
 Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia
atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma. P enurunan kesadaran
dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan disebabkan oleh karena
penekanan ataupun distorsi batang otak oleh massa yang mendesak, tetapi
lebih banyak disebabkan oleh kerusakan langsung pada batang otak atau
jaringan serebrum. Pemeriksaan patologis telah membuktikan adanya
kerusakan pada sejumlah besar akson mulai dari derajat yang ringan berupa
regangan sampai derajat yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson.
Manifestasi klinisnya pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya
akson yang mengalami kerusakan. Pada keadaan yang berat proses akselerasi
dan deselerasi juga menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah,
sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di
substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak
serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT- scan hanya
terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson yang
berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear
hemorrages. Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
a. Cedera Akson Difus (Diffuse Axonal Injury = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari
6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik
berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai

23
dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total
tidak sadar terhadap dirinya dan sekelilingnya dan tidak mampu memberi
reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan
oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera
akson difus. Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi
menjadi:
 DAI Ringan
Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen.
Jenis ini relatif jarang ditemukan.
 DAI Sedang
Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 %
dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah
20 %.

 DAI Berat
Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang otak
tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya
mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat

b. Cedera Vaskular Difus (Diffuse Vascular Injury = DVI)


Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh
hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang
otak, biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit.

Lesi Fokal 1,6,7
a. Epidural hematoma
Suatu hematom yang cepat terakumulasi di antara duramater dan
tabula interna. Paling sering terletak pada daerah temporal dan frontal.
Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media. Jika tidak
ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.

24
Tanda diagnostik klinik: Lucid interval (+) , Kesadaran makin
menurun , Late hemiparese kontralateral lesi, Pupil anisokor, Babinsky (+)
kontralateral lesi, Fraktur di daerah temporal.
CT Scan: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks.

b. Subdural hematoma
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein)
robek. Lesi ini lebih sering ditemukan daripada
EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat
terjadi cedera. CT Scan : gambaran hiperdens
(perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid,
umumnya karena robekan dari bridging vein,
dan tampak seperti bulan sabit.

c. Subarakhnoid hematoma
Paling sering ditemukan pada cedera
kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara arachnoid
dan piamater, mengisi ruang subarachnoid. Gejala dan tanda klinis: kaku
kuduk, nyeri kepala, bisa didapati gangguan kesadaran.
CT Scan: Perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid.

25
d. Intraserebral hematoma
Diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim)
sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan
lobus frontal dan temporal (80-90 persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus
kallosum, batang otak, dan ganglia basalis.
e. Intraserebellar hematoma
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi
pada trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir
sama dengan ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen
infratentorial lebih sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang
otak.

 Patofisiologi
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak
langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan
kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor
seperti: kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak, gangguan
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi dan radikal bebas.

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung


Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga
benturan akan diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian
26
tenaga benturan dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas,
yakni tengkorak mampu sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal
terjadi pada saat benturan dan beberapa milidetik kemudian diikuti dengan
getaran-getaran yang berangsur mengecil hingga reda. Pukulan yang lebih
kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas tengkorak dengan lekukan yang
sesuai dengan arah datangnya benturan dimana besarnya lekukan sesuai
dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi batas toleransi
jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur tengkorak
dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak

Mekanisme kerusakan otak pada cedera kepala:


 Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).
 Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi.
Kekuatan gerak ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi,
peregangan dan pemotongan. Benturan dari arah samping akan
mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa jaringan otak
dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang keras
seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul
lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran.
Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-
posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak
dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala
(vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut
menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.
 Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut

27
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan
dan robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate
coup”, contra coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral.
 Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan
dan tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan.
Kemudian disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif
di tempat benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan
akibat timbulnya gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada
jaringan otak (lesi coup dan contra coup).

 Edema cerebri (Edema vasogenic)


Permeabilitas sel endotel kapiler meningkat sehingga air dan komponen
yang terlarut keluar dari kapiler masuk ruangan ekstraseluler, sehingga cairan
ekstraseluler bertambah. Pada vasogenic edema, terdapat peningkatan volume
cairan ekstrasel yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler.
Vasogenic edema ini disebabkan oleh faktor tekanan hidrostatik,
terutama meningkatnya tekanan darah dan aliran darah dan oleh factor
osmotic. Ketika protein dan makromolekur lain memasuki rongga
ekstraseluler otak karena kerusakan sawar darah otak, kadar air dan natrium
pada rongga ekstraseluler juga meningkat. Vasogenic edema ini lebih
terakumulasi pada substansia alba cerebral karena perbedaan compliance
antara substansia abla dan grisea.
 Penegakan Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Identitas Pasien

28
b. Keluhan Utama
c. Mekanisme Trauma
d. Waktu dan Perjalanan Trauma
e. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval
lucid
f. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
g. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
h. Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang
i. Riwayat mabuk, alcohol, narkotika
j. Penyakit penyerta
2. Hasil pemeriksaan klinis umum dan neurologis
a. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
b. Penilaian fungsi vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
e. Ekimosis mastoid bilateral/Battle‟s sign
f. Gangguan fokal neurologic
g. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
h. Refleks tendon, refleks patologis
i. Pemeriksaan fungsi batang otak
j. Pemeriksaan pupil
k. Refleks kornea
l. Dolls eye phenomenone
m. Monitor pola pernafasan
n. Gangguan fungsi otonom
o. Funduskopi
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
5. Darah tepi lengkap
6. Gula darah sewaktu
7. Ureum kreatinin
8. Albumin serum (hari ke-1)
9. Analisa gas darah (Astrup)
10. Elektrolit darah dan elektrolit urin (bila perlu)
11. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis)

Radiologi

29
 Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal,
kerah leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
 Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
 Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)

 Tatalaksana
1. Cedera Kepala Ringan1,2,9
 Pemeriksaan status umum dan neurologi
 Perawatan pada luka
 Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48
jam. Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
o Pasien cenderung mengantuk
o Sakit kepala yang semakin berat
o Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
 Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
o Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
o Sakit kepala dan muntah
o Tidak ada yang mengawasi dirumah
o Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit

Indikasi rawat inap


o Nilai GCS <15
o Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya amnesia
o Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
o Fraktur tulang kepala
o Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah
Lama perawatan minimal 24 jam sampai 3 hari, kecuali terjadi hematoma
intrakrania

Tujuan rawat inap


o Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
o Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca
trauma berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup
o Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma
subdural

30
Pemeriksaan penunjang
o Laboratorium: darah tepi lengkap
o Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
o CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma
intrakranial dengan gejala riwayat lucide interval, sakit kepala
progresif, muntah proyektil, kesadaran menurun, dan gejala lateralisasi

Tatalaksana dan tindak lanjut


o Tirah baring dengan kepala ditinggalkan 20°- 30°, dimana posisi
kepala dan dada pada satu bidang, lamanya disesuaikan dengan
keluhan (sakit kepala, muntah, vertigo). Mobilisasi bertahap harus
dilakukan secepatnya
o Simtomatis:
Analgetik (parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histin
mesilat), antiemetik
o Antibiotik jika ada luka (ampicilin 4x500 mg)
o Perawatan luka
o Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 1 kolf/12
jam, untuk mencegah dehidrasi

Unit terkait
Bedah sarafbila ada hematoma epidural atau hematom subdural yang perlu
tindakan bedah.

2. Cedera Kepala Sedang dan Berat


Airway:
Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang
turun ke bawah
o Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
o Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
o Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk
menghindari aspirasi

Breathing
o Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten

31
o Bila perlu pakai ventilator

Circulation
Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan
shock septik.
Tindakan tata laksana:
o Menghentikan sumber perdarahan
o Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9%
atau ringer laktat per infus
o Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah

Pemeriksaan Fisik2
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
o Kesadaran
o Tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan

o Pupil

o Defisit fokal serebral

o Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama


tim).

Pemeriksaan Penunjang2

32
33
Tekanan Intrakranial meningkat
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah harus
diturunkan dengan cara: 8,9,10

o :
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2
dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu
dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi,
hiperbentilasi diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang
o Terapi diuretik:

 Diuretik osmotik (manitol 20%)

34
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-
0,5g/kgBB setiap 6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
serum tidak melebihi 320 mOsm.

 Loop diuretik (furosemid)

Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan


memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis:
40mg/hari

 Terapi barbiturate

Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di


atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama 1⁄2 jam, dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar
serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah
TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan
bertahap selama 3 hari.

 Posis tidur

Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan


dada dalam satu bidang.

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat
dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer laktat, jangan
diberikan cairan yang mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai

35
bila tekanan darah stabil normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥
30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik.
Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik,
diabetes insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada
keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin, dan
osmolalitas darah.

Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan
protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc
12 mg/hari Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:

 Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam


 Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa

 Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari
disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.

Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan
jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin,
dan piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari

 Komplikasi
1. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
o GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
36
o Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi
dalam kurun waktu <24 jam pasca cedera
Pengobatan:
o Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v,
dilanjutkan dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya
diberikan 3-4 x 100 mg/hari
o Profilaksis:
Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200
mg/hari selama 7-10 hari.

2. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan
dosis meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x
1,5-2gr i.v selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi
diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal
negatif

3. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu
dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala,
ketiak, dan lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik.

4. Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal
lain, dengan 19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala
akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan
gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau
bersama H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin

37
yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5 hari, atau Proton Pump Inhibitor
seperti omeprazole

5. Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika
dan pemberian diuretika serta oksigen

 Prognosis

BAB IV
ANALISIS KASUS

Penderita masuk RSUD H. M. Rabain Muara Enim sejak tanggal 2 Agustus


2019, berdasarkan hasil alloanamnesis pasien setelah KLL,  30 menit sebelum
masuk rumah sakit, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai
motor menggunakan helm. Menurut temannya yang melihat, pasien saat
mengendarai motor tiba-tiba oleng dan tiba-tiba terjatuh. Pasien mengalami
penurunan kesadaran setelah jatuh (-), muntah (-), nyeri kepala (+), perdarahan dari

38
hidung atau telinga (-), pandangan kabur (-), Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD
Rabain Muara Enim.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS 15(E5M6V5), tekanan darah, nadi
dan pernafasan normal, pada kepala didapatkan vulnus laceratum pada region
frontalis , orbitalis dextra, zygomatical dextra dan oralis dextra.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, hasil foto rontgen Cranium AP/LA
didapatkan ksesan tampak hematom pada region occipital.
Dari seluruh hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
dapat ditegakkan diagnosis Cedera Kepala Ringan Tertutup GCS 15 + Multiple
Excoriatum + Hematome Regio Occipital. Tatalaksana yang diberikan adalah
managemen konservatif yaitu dengan pemberian oksigen, pemberian analgetik, dan
elevasi 30o.

DAFTAR PUSTAKA

1. Brain Injury Association of America. Definition of Brain injury. United State


of America: 2015.
2. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support 10th Edition.
E- book of Student Course Manual. USA
3. Chieregato, A and Marianne, F. 2013. Traumatic Brain Injury. E-book
ESICM, Italy.
4. Sherman, S. C., et al. 2014. Clinical Emergency Medicine. E-book Mc Graw
Hill Lange™, United State.

39
5. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta: EGC.
6. Hyder, A.A., et al. 2007. The Impact of Traumatic Brain Injuries: A Global
Perspective. Neuro Rehabilitation 22: 341-353.
7. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819
8. Soertidawi, Lyna. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera
Kranioserebral. Jurnal Kalbemed. 39(5): 327-331
9. Stone, C. K., and Humphries, R. L. 2011. Current Diagnosis & Treatment
Emergency Medicine Sevent Edition. E-book Mc Graw Hill Lange™, United
State.
10. Tim Neurotrauma RSUD dr. Soetomo. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera
Otak Edisi Kedua. E-book Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Surabaya, Indonesia.

LAMPIRAN

1. Foto klinis pasien

40

Anda mungkin juga menyukai