Anda di halaman 1dari 66

Telaah Ilmiah

CRITICAL CARE PADA KEHAMILAN

Disusun oleh :

Sarah Ummah Muslimah, S.Ked 04054821820100


Fitri Az-Zahrah, S.Ked 04054821820105

Pembimbing :
dr. Rose Mafiana, SpAn, KNA, KAO, MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telaah Ilmiah

Critical Care pada Kehamilan

Oleh:

Sarah Ummah Muslimah, S.Ked 04054821820100


Fitri Az-Zahrah, S.Ked 04054821820105

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode periode 4
Februari – 11 Maret 2019

Palembang, Maret 2019

dr. Rose Mafiana, SpAn, KNA, KAO, MARS

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Perawatan Intensif pada Kehamilan” ini
dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Rose Mafiana,
SpAn, KNA, KAO, MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih
baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Februari 2019

Penulis

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebab penyakit kritis pada kehamilan................................................................14


Tabel 2. Patofisiologi PPCM (1)...........................................................................................52
Tabel 3. Patofisologi PPCM (2)............................................................................................53
Tabel 4. Penatalaksanaan Gagal Jantung...............................................................................55

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perubahan Berat Badan pada Kehamilan...............................................................9


Gambar 2. Volume darah selama kehamilan, persalinan dan postpartum [1]........................10
Gambar 3. Perbandingan implantasi plasenta normal dan abnormal.....................................18
Gambar 4. Atherosis pada pembuluh darah placental bed.....................................................19
Gambar 5. Remodeling vaskuler pada kehamilan normal dan preeclampsia [3]...................20
Gambar 6. Klasifikasi plasenta previa...................................................................................25
Gambar 7. Penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis paket 1 jam...........................................45
Gambar 8. Patofisologi PPCM (Hipotesis)............................................................................52

5
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................2
KATA PENGANTAR................................................................................................3
DAFTAR TABEL.......................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................5
DAFTAR ISI...............................................................................................................6
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................9
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................62

6
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Kasus permasalahan obstetri yang dapat menyebabkan ibu hamil jatuh dalam masa
kritis antara lain preeklampsia dan komplikasinya, perdarahan, dan sepsis yang mencapai
80% dari seluruh penyebab lainnya. Preeklampsia terjadi pada 3-4% kehamilan di United
States. [ CITATION Cun14 \l 1033 ] Kejadian preeklampsia dengan gejala berat dan sindrom
HELLP mencapai 9,5 dalam 1000 persalinan. [CITATION Kon18 \l 1033 ] Perdarahan
antepartum berat terjadi pada 3-5% kehamilan. Insiden plasenta previa adalah 4,0 per 1000
kehamilan, solusio plasenta terjadi pada 0,4% hingga 1,0% kehamilan, dan insidensinya
meningkat, khususnya di antara wanita Afrika-Amerika di Amerika Serikat. Atonia uteri
adalah penyebab paling umum dari perdarahan postpartum berat, terhitung sekitar 80% dari
kasus. [ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Infeksi yang paling sering terjadi pada ibu hamil ialah korioamnionitis. Sekitar 0,5%-
10% wanita hamil terkena korioamnionitis, terjadi paling banyak pada usia gestasi di bawah
usia kehamilan 27 minggu yaitu sebanyak 41% [CITATION Seg14 \l 1033 ] Endometritis adalah
peradangan pada lapisan endometrium rahim, dapat terjadi tanpa kehamilan (seperti PID,
sekitar 70-90% wanita dengan salpingitis), ataupun post-partum (setelah persalinan per-
vaginam, insidensi 1-3%, setelah persalinan Caesar, insidensi 13-90%,). [ CITATION Seg14 \l
1057 ] Sepsis adalah komplikasi infeksi maternal yang mengancam jiwa, dan langka, yang
mengenai 1 dari 8000 persalinan, sekitar 45% kejadian sepsis terjadi post-partum [CITATION
Seg14 \l 1033 ] Insidensi PPCM di Amerika Serikat berkisar 1 pada 1000 sampai 4000
kelahiran hidup. [ CITATION Ara16 \l 1033 ]
Komplikasi maternal dan fetal bisa didapatkan. Misalnya pada preeklampsia,
komplikasi maternal yang didapatkan dapat berupa perdarahan postpartum, abruption
plasenta, dan gagal jantung. Komplikasi fetal antara lain; BBLR, asfiksia perinatal, atau
kematian janin intrauterine dan kematian janin intrapartum dapat terjadi pada preeklamsia
dengan gejala berat dan sindrom HELLP.[CITATION Kon18 \l 1033 ]
Banyak perubahan yang terjadi pada tubuh ibu hamil. Perubahan pada tubuh hamil
antara lain; penambahan berat badan, perubahan dari jalan napas juga terjadi pada ibu hamil,
yaitu terjadi pembesaran kapiler pada mukosa nasal, oropharingeal, dan laring, terjadinya
anemia fisiologis, faktor pembekuan dan fibrinogen meningkat, jumlah trombosit menurun.
Terjadi pua perubahan pada sistem kardiovaskular, yatu terjadi peningkatan cardiac output
dan vasodilatasi pembuluh darah. [ CITATION Bis13 \l 1033 ]

7
Pada kehamilan, terjadi perubahan fisiologis pada tubuh ibu hamil, sehingga
penatalaksanaan terhadap kasus-kasus kritis ibu hamil memerlukan pendekatan tersendiri,
ditambah adanya komplikasi maternal dan fetal yang mungkin didapatkan, menjadi latar
belakang penyusunan telaah ilmiah ini. Telaah ilmiah ini disusun berdasarkan penyakit
obstetri yang paling banyak menyebabkan keadaaan kritis ibu hamil serta penatalaksanaan
yang harus diberikan pada pasien-pasien tersebut.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Perubahan Fisiologis pada Kehamilan


Beberapa perubahan fisiologis pada kehamilan, antara lain;
a. Penambahan Berat Badan
Berat badan rata-rata
meningkat selama kehamilan
kira-kira 17% dari BB
sebelum hamil atau kira-kira
12 kg. Penambahan berat
adalah akibat dari peningkatan
ukuran uterus da nisi uterus
(uterus 1 kg, cairan amnion 1
kg, fetus dan plasenta 4 kg),
peningkatan volume darah
dan cairan interstisial
(masing-masing 2 kg), dan Gambar 1. Perubahan Berat Badan
pada Kehamilan
lemak serta protein baru kira-kira 4
kg. Penambahan BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg dan
asing-masing 5-6 kg pada trimester 2 dan 3. [ CITATION Bis13 \l 1033 ]

b. Sistem Respirasi
Konsumsi oksigen meningkat 30-40% selama kehamilan yang
dibandingkan dengan segera periode post partum sebagai kontrol. Peneliti
lain yang membandingkan dengan nilai 8-12 bulan post partum sebagai
control, menemukan kenaikan konsumsi oksigen sebesar 60% selama
kehamilan. Peningkatan yang progresif ini disebabkan terutama oleh
kebutuhan metabolic fetus, uterus, dan plasenta dan sekunder oleh
kenaikan kerja jantung dan paru. Produksi CO 2 menunjukkan perubahan
yang sama dengan konsumsi oksigen.

9
Pembesaran kapiler pada mukosa nasal, oropharingeal, dan laring dimulai
pada trimester pertama dan meningkat secara progresif sepanjang
kehamilan. Pernapasan melalui hidung umumnya sulit, dan dapat terjadi
epistaksis akibat dari pembengkakan mukosa nasal.[ CITATION Bis13 \l 1033
]
c. Perubahan Volume Darah
Volume darah ibu meningkat selama kehamilan yang dimulai pada
trimester pertama (15%) dan meningkat dengan cepat pada trimester
kedua (50%) dan trimester ketiga (55%), termasuk peningkatan volume
plasma, sel darah merah, dan sel darah putih. Volume plasma meningkat
40-50%, sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang
menyebabkan terjadinya anemia fisiologis (normal Hb;12gr%, hematocrit
35%). Disebabkan hemodilusi ini, viskositas darah menurun kurang lebih
20%. Mekanisme yang pasti dari peningkatan volime plasma ini belum
diketahui, tetapi beberapa hormone seperti renin-angiotensi-aldosteron,
atrial natriuretic peptide, estrogen, dan progesterone mungkin berperan
dalam mekanisme tersebut.[ CITATION Bis13 \l 1033 ]
d. Karena ekspansi dalam volume plasma lebih besar dari peningkatan
massa sel darah merah, terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin,
hematorit, dan jumlah sel darah merah. Jumlah trombosit cenderung turun
secara progresif, meskipun biasanya tetap dalam batas normal. Kehamilan
menyebabkan peningkatan dua hingga tiga kali lipat dalam kebutuhan zat
besi. Zat besi tersebut digunakan untuk sintesis hemoglobin untuk ibu dan
janin, dan untuk produksi enzim tertentu. [ CITATION Som16 \l 1033 ]

10
Gambar 2. Volume darah selama kehamilan, persalinan dan
postpartum[ CITATION Bis13 \l 1033 ]
Faktor pembekuan I, VII, VIII, IX, X, dan XII dan fibrinogen
meningkat. Pada proses kehamilan, dengan bertambahnya umur
kehamilan, jumlah trombosit menurun. Perubahan-perubahan ini adalah
untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik tapi juga akan
merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena
plasenta kaya dengan tromboplastin, maka pada solusio plasenta, ada
risiko terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC). Kadar
fibrinogen meningkat secara signifikan sebanyak 50%. Dengan demikian,
kehamilan mengubah keseimbangan dalam sistem koagulasi, sehingga
meningkatkan terjadinya trombosis vena.[ CITATION Som16 \l 1033 ]

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting : 3


 Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada
pembesaran uterus dan unit foeto-plasenta.
 Mengisi peningkatan reservoir vena
 Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan.
 Selama kehamilan inu menjadi hiperkoagulopati.

e. Sistem Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular dimulai sejak awal kehamilan.
Saat usia kehamilan 8 minggu, terjadi peningkatan kardiak output
sebanyak 20%. Hal yg utama yaitu terjaidnya vasodilatasi pembuluh

11
darah. Perubahan tersebut dimediasi oleh faktor-faktor yaitu nitrit oksida,
estradiol, dan prostaglandin. Vasodilatasi perifer terjadi sekitar 25-30%
yang menyebabkan resistensi sistem vaskular.[ CITATION Som16 \l 1033 ]
Untuk mengkompensasinya, terjadi peningkatan kardiak output
sebanyak 40%. Peningakatan kardiak output, peningkatan permeabilitas
kapiler, atau keduanya dapat menyebabkan ekstravasasi cairan
ekstravaskular ke intravskular. Hal tersebut dapat menimbulkan edema
paru. Edema paru umumnya terjadi pada pre eklamsia. [ CITATION
Som16 \l 1033 ]
Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi
aortocaval ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal
ini akan menyebabkan penurunan aliran balik vena dan maternal
hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut supine hypotensive
syndrome . Sepuluh persen dari waita hamil menjadi hipotensi dan
diaforetik bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi
dapat menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan foetal asfiksia.
[ CITATION Bis13 \l 1033 ]

f. Perubahan pada Ginjal


Glomerular filtration rate (GFR) meningkat selama kehamilan
karena peningkatan renal plasma flow. Renal blood flow (RBF) dan GFR
meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi
sampai 60% diatas pertama kehamilan, tetapi menurun lagi sampai 60%
diatas wanita yang tdiak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini akibat
pengaruh hormone progesterone. Kreatinin, blood ureanitrigen, uric acid
juga menurun tapi umumnya normal. Suatu peningkatan dalam laju
filtrasi menyebabkan penurunan plasma blood urea nitrogen (BUN) dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorpsi natrium pada tubulus
meningkat, tetapi glukosa dan asam amino tidak diabsorpsi dengan
efisien, maka glikosuri dan amino acid uri meupakan hal yang normal
pada ibu hamil. Pasien preeclampsia mungkin ada diambang gagal ginjal,

12
walaupun hasil pemeriksaan laboratorium normal.[ CITATION Bis13 \l
1033 ]

g. Perubahan pada Saluran Cerna


Perubahan anatomi dan hormonal pada kheamilan merupakan
factor predisposisi terjadinya oesophagel regurgitasi dan aspirasi paru.
Uterus yang gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
merubah posisinormal gastrooesophageal junction. Alkali fosfatase
meningkat. Plasma cholinesterase menurun kira-kira 28%, kemungkinan
disebabkan karena sintesanya yang menurun dank arena hemodilusi.
Walaupun dosis moderat siccinylcoholine umumnya
dimetabolisme,pasien dengan penurunan aktivitas cholinesterase ada
risiko pemanjangan blockade neuromuskuler.[ CITATION Bis13 \l 1033 ]

h. Perubahan Susunan Saraf Pusat dan Perifer


Susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer berubah selama
kehamilan, MAC menurun 25-40% selama kehamilan. Peningkatan
konsentrasi progesterone dan endorphin adalah penyebab penurunan
MAC tersebut. Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada
parturient setelah epidural anestesi bila dibandingkan dengan yang tidak
hamil. Hal ini karena ruangan epidural menyempit karena pembesaran
plexus venosus epidural disebabkan karena kompresi aortocaval oleh
uterus yang membesar.[ CITATION Bis13 \l 1033 ]

i. Perubahan Sistim Muskuloskeletal, Dermatologi, Mammae dan Mata


Hormon relaxin menyebabkan relaksasi ligamentum dan
melunakkan hjaringan kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah
muka, leher, garis tengah abdomen akibat melanocyt stimulating
hormone. Buah dada membesar. Tekanan intraokuler menurun selama
kehamilan karena peningkatan kadar progesterone, adanya relaxin,
penurunan produksi humor aqueus disebabkan peningkatan sekresi

13
chorionic gonadotrophin. Perubahan pada tekanan intraokuler bias
menimbulkan gangguan penglihatan.[ CITATION Bis13 \l 1033 ]

2. Penyakit Kritis dalam Kehamilan


Penyakit kritis pada kehamilan memerlukan perawatan di ICU
disebabkan oleh gangguan obstetri atau medis atau keduanya. Sebagian besar
kasus merupakan gangguan obstetri, yaitu hampir 50%-80% dari kehamilan
dan masa nifas di semua bagian dunia. Lebih dari 80% penyebabnya adalah
karena pre-eklampsia dan komplikasinya, perdarahan, dan sepsis. Gangguan
non-obstetri pada kehamilan menunjukkan variasi geografis yang luas. Di
negara-negara Asia Tenggara, lebih sering didapatkan penyakit kritis dalam
kehamilan yang dipersulit oleh penyakit tropis dan penyakit menular lainnya
seperti malaria, leptospirosis, demam berdarah, virus hepatitis, influenza,
tuberkulosis, penyakit jantung katup rematik, trombosis vena sinus serebral,
dan gangguan endokrin (ketoasidosis diabetikum). Di negara maju,
pneumonia, asma bronkial, trauma, kanker, penyalahgunaan obat, infeksi
saluran kemih yang rumit, gangguan autoimun yang sudah ada sebelumnya,
penyakit paru kronis, gangguan endokrin, dan tromboemboli paru adalah
umum terjadi. Sekitar 12% hingga 45% dari penerimaan ICU adalah selama
periode antepartum, 50% selama persalinan atau 24 jam setelah melahirkan,
dan 10% hingga 15% terjadi setelah postpartum periode. Penyebab penyakit
kritis selama kehamilan dapat dilihat pada Tabel 1. [ CITATION Pan18 \l 1057 ]

Penyebab Penyakit Kritis pada Kehamilan


Penyebab Obstetrik Penyebab Non-obstetrik
Krisis hipertensi ARDS
Preeklampsia berat AKI
Toksisitas magnesium Urosepsis
Sindrom HELLP Ketoasidosis Diabetikum
Eklampsia Pankreatitis akut
Ruptur uteri Drug abuse
Inversio uteri
Retensio plasenta
Plasenta akreta
Acute fatty liver
Perdarahan obstetrik
Ruptur ektopik

14
Sepsis
Korioamnionitis
Endometritis
Ovarian hyper-stimulation syndrome
Emboli cairan amnion
Kardiomiopati peripartum
Tocolytic-induced pulmonary edema
Tabel 1. Penyebab penyakit kritis pada kehamilan

2.1. Hipertensi pada Kehamilan


a. Klasifikasi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg
dan atau tekanan darah diastolic melebihi 90 mmHg pada 2 kali pemeriksaan
dengan jarak minimal 4 jam. [CITATION nor13 \l 1033 ]
Hipertensi gestasional didefinisikan jika hipertensi terjadi pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensi,
tidak terdapat sindrom preeklampsia dan hipertensi menghilang setelah 12
minggu post partum [ CITATION Cun14 \l 1033 ]. Hipertensi kronik didefinisikan
sebagai hipertensi yang ditemukan sebelum kehamilan 20 minggu. [ CITATION
nor13 \l 1033 ]
Hipertensi postpartum didefinisikan sebagai wanita yang sebelumnya
normotensif, mengalami hipertensi (biasanya ringan) pada periode 2 minggu
– 6 bulan postpartum. Tekanan darah akan tidak stabil dalam beberapa bulan,
dan normal setelah 1 tahun. [ CITATION nor13 \l 1033 ]
b. Penatalaksanaan
Non-farmakologis
Diet normal tanpa pembatasan asupan garam, terutama mendekati persalinan.
Kurangnya asupan gatam dapat mengurangi cairan intravascular.
Suplementasi kalsium ≥1 gram per hari dapat mengurangi risiko preeclampsia
secara signifikan. Latihan aerobik selama 30-60 menit 2 kali seminggu
selama kehamilan dapat mengurangi risiko hipertensi selama kehamilan.
[ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Farmakologis

15
Tujuan utama control tekanan darah adalah mengurangi prevalensi hipertensi
berat dan mengurangi risiko komplikasi maternal dan fetal. Konsensus
nasional dan guideline internasional adalah mulai pemberian obat-obatan
pada tekanan darah ≥160/110 mmHg. Guideline dari AHA untuk mulai terapi
farmakologis pada tekanan darah sistolik 150-159 dengan tekanan darah
diastolic 100-109 mmHg. Rekomendasi dari ACOG, terapi diberikan dengan
target tekanan darah sistolik 120-160 dan tekanan darah diastolic 80-105
mmHg. [ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Obat-obatan lini pertama untuk hipertensi yang diinduksi kehamilan adalah;
- Labetalol
Dosis yang diberikan adalah 200-1200 mg per hari, dosis terbagi dalam 2
– 3 kali per hari. Pemberian labetalol pada hipertensi yang diinduksi
kehamilan dapat berhubungan dengan restriksi pertumbuhan fetal dan
bradikardi neonatus. [ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Labetalol dapat memblokade reseptor adrenregik α1 yang menyebabkan
vasodilatasi. Obat ini juga memiliki efek blok reseptor adrenergik β lebih
besar dibanding α (perbandingan 3:1). Pada studi meta-analisis, labetalol
memiliki lebih sedikit efek samping pada kondisi maternal dibanding
hydralazine.[ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Labetalol adalah obat kombinasi antagonis reseptor adrenergik alpha dan
beta dengan perbandingan 1 : 7 setelah pemberian intravena. Labetalol
sebaiknya dihindari pada wanita dengan asma berat atau gagal jantung
kongestif. Beberapa studi metaanalisis menyatakan jika labetalol IV
memiliki efek yang sama dengan hidralazin IV namun dengan efek
samping maternal yang lebih sedikit[ CITATION Cun14 \l 1057 ]
- Nifedipin
Dosis pemberian adalah 30-90 mg/hari dengan dosis maksimum 120 mg
per hari, preparat slow-release, dosis terbagi menjadi 1-3 kali per hari.
Nifedipin dianggap aman untuk diberikan selama kehamilan. Baru-baru
ini guideline di China merekomendasikan Penggunaan nimodipin (20-60
mg per oral, terbagi menjadi 2-3 kali sehari), dan nicardipine (20-40 mg
per oral, terbagi menjadi 3 kali sehari).[ CITATION Lin18 \l 1033 ]

16
- Hidralazin
Dosis yang direkomendasikan adalah 50-300 mg, terbagi menjadi 3-4
dosis per hari. Hidralazin merupakan vasodilator yang sebelumnya
direkomendasikan untuk hipertensi berat dalam kehamilan. Efek samping
yang umum adalah nyeri kepala, nausea, dan muntah. Studi meta-analisis
terbaru menyatakan jika hidralazin kurang efektif dibandingkan labetalol
untuk hipertensi diinduksi kehamilan pada seluruh aspek. [ CITATION
Lin18 \l 1033 ]

c. Komplikasi
Hipertensi yang diinduksi kehamilan menambah risiko eklampsia dan
mengancam kesehatan maternal dan fetal. Pengobatan diberikan jika tekanan
sistolik ≥150 mmHg, atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg menggunakan
labetalol, nifedipine atau metildopa sebagai agen lini pertama diberikan per
oral. Jika terjadi hipertensi kronik, satu agen harus diberikan sampai dosis
maksimum terlebih dahulu sebelum dikombinasikan dengan agen lain.
Hipertensi emergensi dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan
darah diastolik > 110 mmHg dapat menyebabkan stroke maternal atau
eklampsia. Jika terminasi kehamilan diperlukan, terapi parenteral dengan
labetalol atau hidralazin, atau nifedipin secara per oral dapat diberikan.
[ CITATION Lin18 \l 1033 ]

2.2. Preeklampsia – Eklampsia


a. Klasifikasi dan Diagnosis
Preeklampsia didefinisikan sebagai mengalami hipertensi gestasional
ditambah dengan; (1) proteinuria (≥300 mg/24 jam, rasio
protein:kreatinin≥0,3 atau dipstik +1 persisten), atau (2) trombositopenia
(PLT < 100.000/mm3), (3) insufisiensi renal (Kreatinin >1,1 mg/dL atau 2
kali baseline), (4) gangguan fungsi hepar (peningkatan SGOT atau SGPT 2
kali normal, (5) gejala serebral (Nyeri kepala, gangguan penglihatan dan
kejang, (6) edema paru[ CITATION Cun14 \l 1033 ]

17
Preeklampsia superimposed didefinisikan sebagai hipertensi kronik jika
wanita dengan hipertensi hanya pada usia gestasi sebelum 20 minggu, yang
mengalami proteinuria setelah 20 minggu, dan wanita dengan proteinuria
sebelum usia kehamilan 20 minggu yang; (1) tiba-tiba mengalami eksaserbasi
hipertensi, atau membutuhkan pemberian dosis antihipertensi ang lebih tinggi
khususnya jika sebelumnya hipertensi yang dialami terkontrol baik, (2) tiba-
tiba mengalami tanda dan gejala lain, seperti peningkatan enzim hati sampai
level abnormal, (3) terjadi penurunan platelet sampai di bawah 100.000 µL,
(4) mengalami gejala seperti nyeri perut kuadran kanan atas dan nyeri kepala
hebat, (5) mengalami kongesti pulmoner atau edema, (6) terjadi insufisiensi
renal (Kreatinin >1,1 mg/dL atau 2 kali baseline pada wanita tanpa penyakit
ginjal), (7) mengalami ekskresi protein yang tiba-tiba, banyak, dan
berkelanjutans[ CITATION nor13 \l 1033 ]
Eklamsia didefinisikan sebagai wanita dengan preeklamsia yang mengalami
kejang tanpa penyebab lain. Jenis kejang yang dialami adalah kejang umum
dan dapat muncul sebelum, saat, atau setelah persalinan. [ CITATION Cun14 \l
1033 ]
b. Insidensi
Preeklampsia terjadi pada 3-4% kehamilan di United States. [ CITATION
Cun14 \l 1033 ] Kejadian preeklampsia dengan gejala berat dan sindrom
HELLP mencapai 9,5 dalam 1000 persalinan. Penelitian ini dilakukan di
Rumah Sakit Srinagarind Universitas Khon Kaen di Thailand. Dari 11.199
persalinan pada periode 1 Januari 2012 sampai 31 Desember 2016, terdapat
213 wanita preeklamsi, dengan 107 wanita mengalami preeklamsia tanpa
gejala berat, 90 wanita mangalami preeklamsia dengan gejala berat, dan 16
wanita mengalami sindrom HELLP. [CITATION Kon18 \l 1033 ]

c. Patofisiologi
Invasi Tropoblas Abnormal
Pada implantasi yang normal, seperti diperlihatkan secara skematis pada
gambar 3, arteriola spiralis uteri mengalami remodeling yang sempurna oleh
invasi trofoblas endovaskular. Sel sel ini menggantikan lapisan endotel dan

18
otot pembuluh darah untuk memperbesar diameter pembuluh darah. Akan
tetapi pada preeklampsia terdapat invasi trofoblas yang tidak sempurna
dimana invasinya sangat dangkal, hanya pembuluh darah desidua yang
dilapisi trofoblas endovaskuler, tidak mencapai pembuluh darah pada
miometrium, sehingga arteriola di miometrium ini tidak kehilangan lapisan
endotel dan jaringan muskuloelastis yang menyebabkan diameter pembuluh
darah hanya setengah dari pembuluh darah plasenta normal. Besarnya invasi
trofoblas yang tak sempurna ke arteri spiralis berkorelasi dengan beratnya
hipertensi.[ CITATION Cun14 \l 1033 ]

Gambar 3. Perbandingan implantasi plasenta normal dan abnormal


Sebuah penelitian pada tahun 1980 memeriksa arteri yang diambil dari
implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop elektron. Mereka
melaporkan bahwa perubahan awal preeklampsia meliputi kerusakan endotel,
insudasi konstituen plasma ke dalam dinding pembuluh darah, proliferasi sel
miointimal, dan nekrosis medial. Akumulasi lipid pertama kali terjadi dalam
sel myointimal dan kemudian dalam makrofag. Sel sarat lipid tersebut dan
temuan – temuan yang terkait dengannya ditunjukkan pada gambar 4, disebut
sebagai atherosis. Biasanya pembuluh yang dipengaruhi oleh atherosis
mengalami dilatasi aneurismal.[ CITATION Cun14 \l 1033 ]

19
Gambar 4. Atherosis pada pembuluh darah placental bed

Atherosis ditunjukkan pada pembuluh darah placental bed (kiri:


photomicrograph; kanan : diagram skematik dari photomicrograph). Disrupsi
endotel menghasilkan lumen yang sempit karena akumulasi protein plasma
dan makrofag berbentuk busa dibawah endotel. Pada gambar kiri, beberapa
makrofag busa ditunjukkan dengan panah lengkung, dan panah lurus
menunjukkan area disrupsi endotel.[ CITATION Cun14 \l 1033 ]
Adanya invasi trofoblas yang tidak sempurna seperti disebutkan diatas akan
menyebabkan gangguan pada remodeling arteri spiralis (gambar 5), dimana
arteriolar spiralis yang abnormal dengan lumen yang sempit ini akan
menyebabkan gangguan aliran darah plasenta. Perfusi yang berkurang dan
lingkungan hipoksia akan mengakibatkan pelepasan debris plasenta yang
memicu respon inflamasi sistemik.[ CITATION Cun14 \l 1033 ]

20
Gambar 5. Remodeling vaskuler pada kehamilan normal dan preeclampsia [3]

Faktor imunologis
Adanya toleransi imun atau disregulasi imun maternal kepada antigen fetal
dan plasental yang diturunkan dari paternal. Secara pasti, adanya
perubahan histologis pada interface maternal-plasental mendukung adanya
penolakan graft akut. Beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan
disregulasi termasuk immunization dari kehamilan sebelumnya, gen HLA
yang diturunkan, NK-cell receptor haplotypes, dan kemungkinan dari gen
diabetes dan hipertensi. [ CITATION Cun14 \l 1033 ]
Beberapa data juga menyebutkan, preeclampsia merupakan penyakit yang
dimediasi imun. Contohnya, risiko preeclampsia meningkat pada keadaan
yang mana formasi antibodi blocking pada tempat antigenic plasental
mungkin terganggu. Pada kasus seperti ini, kehamilan pertama memiliki
risiko yang lebih tinggi. Disregulasi toleransi juga mungkin menjelaskan
risiko yang meningkat pada kasus double dose (kromorom janin terdiri
dari 2 set kromosom paternal). [ CITATION Cun14 \l 1033 ]

d. Penatalaksanaan Emergensi
Terminasi kehamilan adalah penatalaksanaan definitif pada preeklampsia dan
eklampsia. Induksi kelahiran dimulai pada umur kehamilan di atas 37

21
minggu pada wanita dengan hipertensi gestasional atau preeklamsi
tanpa gejala berat. Induksi kelahiran dimulai pada usia kehamilan 34
minggu atau lebih pada wanita dengan preeklamsi berat. Tunda
kelahiran 24 sampai 48 jam untuk pemberian kortikosteroid untuk
memfasilitasi maturitas paru fetus dan transfer ke pasien ke rumah sakit
dengan fasilitas terapi intensif maternal dan neonatal. Terminasi kehamilan
sesegera mungkin tanpa melihat adanya pemberian kortikosteroid atau
tidak diindikasikan pada pasien dengan eklamsia, edema pulmoner,
DIC, abruption plasenta, keadaan fetal yang abnormal, janin mati,
IUFD. Terminasi kehamilan sesegera mungkin juga dilakukan pada wanita
yang mengalami hipertensi berat ulang setelah pemberian agen antihipertensi
dosis maksimum atau gejala cerebral persisten setelah menerima magnesium
sulfat, terminasi harus dilakukan dalam waktu 24-48 jam, tanpa
memperhatikan usia gestasi atau pemberian kortikosteroid.[ CITATION Cun14 \l
1057 ]
Antihipertensi
Individu yang memiliki tekanan darah sistolik di atas 160 mmHg atau tekanan
darah diastolik di atas 110 mmHg dan bertahan selama 15 menit, disebut
sebagai hipertensi berat (dianggap sebagai hipertensi emergensi) yang
memerlukan pemberian lini pertama antihipertensi lini pertama sesegera
mungkin dalam 30-60 menit untuk mengurangi risiko stroke maternal.
[ CITATION Lin18 \l 1057 ]
Lini pertama
Labetalol
Dosis awal yang diberikan adalah 20 mg (secara intravena), lalu 80 mg setiap
20-30 menit, sampai dosis maksimum 300 mg, atau infus konstan 1-2
mg/menit. [ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Nifedipine
Obat ini diberikan dalam bentuk tablet 10-30 mg. Obat ini aman digunakan
untuuk persalinan [ CITATION Lin18 \l 1033 ]
Hidralazin

22
Pemberian hidralazin diberikan secara intravena atau intramuskular dengan
dosis 5 mg, lalu 5-10 mg setiap 20-40 menit, atau infus konstan 0,5-10
mg/jam.
Jika labetalol, hidralazin, atau nifedipin tidak efektif dalam mengatur tekanan
darah, dipertimbangkan untuk pemberian nicardipine atau labetalol IV atau
agen antihipertensi lain. [ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Lini kedua
Nicardipin
Nicardipin adalah agen penghambat masuknya kalsium yanh dapat diberikan
dengan IV dan efek yang diberikan adalah penurunan cepat tekanan darah
sistolik dan diastolik pada wanita hamil. Ini adlaah pilihan tepat untuk
mengobati hipertensi berat yang tidak membaik setelah pemberian labetalol
atau hidralazin [ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Sodium Nitroprusside
Infus konstan dengan dosis 0,5-10 µ/kg/menit.[ CITATION Lin18 \l 1057 ]
Sodium nitroprusside adalah vasodilator otot polos poten yang berinteraksi
dengan grup sulfhydryl pada sel ensotelial dan selanjutnya dihasilkannya NO.
NO akan merelaksasi pembuluh darah arteri dan menurunkan afterload dan
venous return. Obat ini digunakan pada wanita hamil dengan hipertensi berat
yanh tidak respon dengan terapi hidralazin atau labetalol. Obat ini sebaiknya
hanya digunakan pada situasi emergensi dan dengan waktu sesingkat
mungkin karena mrtabolisme sodium nitroprusside menghAilkan cyanida,
yang mana dapat mengalami transfer plasenta, lalu mengekspos fetus ke
postensial toksisitas cyanida. Namun, fetal harm jarang terjadi jika
penggunaan sodium nitroprusside dalam jangka pendek dengan dosis 2
µg/kg/menit atau kurang. Penggunaan obat ini diperlukan titrasi yang hati-
hati; monitoring tekanan darah arterial berkelanjutan sangat penting.
[ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Esmolol
Esmolol adalah antagonis reseptor beta-adrenergik jangka pendek yang dapat
digunakan untuk mengobati hipertensi akut. Beberapa laporan kasus
menyatakan efek yang diberikan esmolol berupa bradikardi fetal transien

23
pada hampir semua kasus dan DJJ kembali ke baseline setelah diskontinuasi
dari obat. Transfer plasenta cepat dan provider anestesi sebaiknya mengamati
efek klinis dari blokase reseptor beta-adrenergik pada fetus. Administrasi
esmolol kepada maternal menghasilkan derajat yang blokade reseptor beta-
adrenergik pada ekstremitas fetal dibandingkan administrasi maternal setelah
pemberian dosis equipotent labetalol. [ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Profilaksis kejang
Penggunaan rutin magnesium sulfat untuk profilaksis kejang pada wanita
dengan preeklamsia berat sudah banyak diterima. Mekanisme antikonvulsan
dari magnesium sulfat tidak terlalu jelas, namun diduga jika kejang eklamsi
terjadi akibat vasospasme cerebral.
e. Komplikasi
Wanita dengan riwayat preeklamsia meningkatkan risiko mengalami
hipertensi kronik dan penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung
iskemik dan stroke sampai 2 kali, dan onset lebih cepat untuk mendapatkan
penyakit kardio vaskular di masa yang akan datang. [ CITATION Cun14 \l 1033 ]
Komplikasi yang ditimbulkan akibat preeklamsia adalah komplikasi maternal
antara lain, perdarahan postpartum, abruption plasenta, dan gagal jantung.
Komplikasi neonatal yang dapat terjadi antara lain; BBLR, asfiksia perinatal,
masuknya bayi ke NICU, dilakukannya resusitasi neonatal. Kematian janin
intrauterine dan kematian janin intrapartum dapat terjadi pada preeklamsia
dengan gejala berat dan sindrom HELLP.[CITATION Kon18 \l 1033 ]

2.3. Perdarahan Obstetri Anterpartum


Menurut Obstetric Haemorrhage Clinical Guideline tahun 2018, perdarahan
antepartum dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan antepartum minor dan mayor.
Perdarahan antepartum minor adalah episode perdarahan kurang dari 500 ml dari
saluran genital selama kehamilan (setelah kehamilan 24 minggu) dan sebelum
kelahiran bayi. Sedangkan perdarahan antepartum mayor adalah episode
perdarahan lebih dari 500 ml dari saluran genital selama kehamilan (setelah usia
kehamilan 24 minggu) dan sebelum kelahiran bayi atau ketika tanda-tanda klinis
menunjukkan adanya perdarahan tersembunyi yang signifikan.

24
Perdarahan antepartum berat (APH) terjadi pada 3-5% kehamilan. Diagnosis
banding utama yang perlu dipertimbangkan dalam semua APH adalah:

• Plasenta previa

• Solusio plasenta

• Vasa pravia

• Kondisi lokal serviks, vagina dan vulva termasuk keganasan dan lesi jinak
seperti polip dan ektropion serviks

• Trauma ringan yang disebabkan oleh hubungan seksual dan sapuan serviks

2.2.1 Plasenta Previa


a. Definisi
Menurut Bahasa Latin, previa berarti mendahului dan dalam hal ini,
plasenta mendahului janin ke jalan lahir. Dalam obstetrik, plasenta previa
menggambarkan plasenta yang berimplantasi di suatu tempat di segmen
rahim bawah, baik di atas atau sangat dekat internal cervical os.
[ CITATION Cun141 \l 1057 ]
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum.
b. Insiden
Insiden plasenta previa adalah 4,0 per 1000 kehamilan. Penyebab
pastinya tidak jelas, tetapi trauma uterus sebelumnya (misalnya bekas
luka dari persalinan sesar sebelumnya) adalah faktor umum. Plasenta
dapat berimplantasi di daerah bekas luka, yang biasanya mencakup
segmen rahim bawah. Kondisi yang terkait dengan plasenta previa
termasuk multiparitas, usia ibu lanjut, riwayat merokok, janin laki-laki,
kelahiran sesar sebelumnya atau operasi uterus lainnya, dan plasenta
previa sebelumnya. Adanya plasenta previa meningkatkan kemungkinan
bahwa pasien akan memerlukan histerektomi peripartum.[ CITATION
Sca141 \l 1057 ]

25
c. Klasifikasi
Klasifikasi lebih lanjut dapat dibuat berdasarkan hubungan antara
plasenta dan cervical os. Total plasenta previa sepenuhnya menutupi
cervical os. Plasenta previa parsial menutupi sebagian tetapi tidak semua
cervical os. Plasenta previa marginal terletak dalam 2 cm dari cervical os
tetapi tidak menutupi.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]

Klasifikasi

 Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi


seluruh ostium uteri internum.
 Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian
ostium uteri internum.
 Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada
pinggir ostium unteri internum.
 Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen
bawah rahim sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang
2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
plasenta letak normal.

Gambar 6. Klasifikasi plasenta previa

d. Gambaran klinis
Gejala paling menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus
keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan diperhebat berhubug
segmen bawah rahim tidak mampu berkontraksi sekuat segmen atas
rahim. Pada palpasi abdomen, sering ditemui bagian terbawah janin masih

26
tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang.
Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
tegang.
e. Diagnosis
Perempuan hamil yang mengalami perdarahan dalam kehamilan lanjut
biasanya menderita plasenta previa atau solusio plasenta. Gambaran klinis
yang klasik sangat menolong membedakan antara keduanya. Dahulu
untuk kepastian diagnosis pada kasus dengan perdarahan banyak, pasien
dipersiapkan di dalam kamar bedah dan segala sesuatu termasuk staf dan
perlengkapan anestesi semua siap untuk tindakan sesar. Dengan pasien
posisi litotomi diatas meja operasi dilakukan periksa dalam (vaginal
toucher) dalam lingkungan disinfeksi tingkat tinggi (DTT) secara hati-
hati dengan dua jari telunjuk dan jari tengah meraba forniks posterior
untuk mendapat kesan ada atau tidak ada bantalan antara jari dengan
bagian terbawah janin. Perlahan jari-jari digerakkan menuju pembukaan
serviks untuk meraba plasenta. Jika terjadi perdarahan banyak atau
ternyata plasenta previa totalis, langsung dilanjutkan dengan seksio
sesarea. Persiapan demikian disebut dengan double set-up examination.
Perlu diketahui tindakan periksa dalam dikontra-indikasikan dilakukan
diluar persiapan double set-up examination.
Sekarang ini, double set-up examination sudah jarang dilakukan
berhubungan telah tersedia alat ultrasonografi. Transabdominal
ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih yang dikosongkan akan
dengan ketepatan yang tinggi sampai 96%-98%. Ultrasonografi
transvaginal telah menjadi gold standard untuk diagnosis plasenta previa,
jarak dari tepi plasenta ke internal os diukur dan memprediksi
kemungkinan perdarahan antepartum dan kebutuhan untuk persalinan
sesar. Namun, di tangan yang tidak ahli pemakaian transvaginal
ultrasonografi bisa memprovokasi perdarahan lebih banyak. Kemajuan
dalam ultrasonografi telah membuat double set-up examination hampir
tidak terpakai dalam praktik obstetrik modern. Magnetic resonance
imaging (MRI) juga berguna untuk diagnosis plasenta previa, tetapi

27
penggunaannya tidak praktis dalam kebanyakan kasus perdarahan
antepartum.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Tanda klinis klasik plasenta previa adalah perdarahan vagina yang
tidak nyeri selama trimester kedua atau ketiga. Episode pertama
perdarahan biasanya terjadi prematur dan tidak berhubungan dengan
peristiwa tertentu. Kurangnya nyeri perut dan / atau tidak adanya tonus
uterus yang abnormal membantu membedakan kejadian ini dari solusio
plasenta. Tidak adanya faktor-faktor ini tidak menyingkirkan solusio, dan
pasien dengan plasenta previa berisiko untuk coexisting dengan solusio
plasenta.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]

Patofisiologi
Tatalaksana

28
Panggil bantuan

Bidan, dokter obstetrik berpengalaman, dan dokter anestesi. Kontak ahli hematologi

Aksi

Posisikan pasien miring ke kiri

Berikan oksigen high-flow

Akses intravena

2 aboket nomor besar (16)

29
Ambil sampel darah

FBC, clotting screen, kleihauer, group and crossmatch 4 unit

Terapi cairan

2 liter kristaloid (hartmann atau NaCl 0,9%)

Fetal well-being

Auskultasi jantung janin

USG, KTG

Penilaian

Observasi : RR, nadi, tekanan darah, SpO2

Riwayat klinis/ penyebab perdarahan

Plasenta previa

Solusio plasenta

Ruptur uterus

Vasa previa

Pemeriksaan abdomen

Tonus uterus, abdominal tenderness (nyeri tekan)

Pemeriksaan vagina

Jumlah darah yang hilang, stage of labour

Jangan lakukan vaginal toucher sampai diagnosis placenta previa disingkirkan.

Monitor jumlah darah yang hilang

Balance cairan yang akurat

Keperluan produk darah

Produk darah emergensi, FFP, platelet, kriopresipitat ( gunakan blood warmer)

Stop pendarahan

30
Pertimbangkan apakah kelahiran harus dipercepat? (maternal atau fetal comprimise)

Percepat kelahiran bayi

Cara kelahiran

Tergantung letak plasenta, stage of labor, dan keadaan klinis ibu dan janin

Setelah kelahiran, waspada pada risiko perdarahan postpartum

Manajemen aktif kala III

Infus oksitosin setelah melahirkan

40 unit syntocinon IV melalui pump dalam 4 jam

Monitoring

MOEWS (modified obstetric early warning score chart)

Cek urin output per jam

Komplikasi
Dampak ke janin

2.2. 2. Solusio Plasenta


a. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta, baik sebagian atau
seluruhnya, dari tempat implantasinya sebelum persalinan dijelaskan
dengan istilah Latin abruptio placentae. Diterjemahkan secara harfiah,
ini merujuk pada “mengoyaknya plasenta,” yang menunjukkan
kecelakaan mendadak yang merupakan karakteristik klinis dari sebagian
besar kasus. [ CITATION Cun14 \l 1057 ] Perdarahan dapat terlihat melalui
perdarahan vagina atau tersembunyi di balik plasenta. Fetal compromise
terjadi karena hilangnya luas permukaan plasenta untuk pertukaran
oksigen dan nutrisi ibu-janin.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]

31
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan
desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir.
b. Insiden
Solusio plasenta terjadi pada 0,4% hingga 1,0% kehamilan, dan
insidensinya meningkat, khususnya di antara wanita Afrika-Amerika di
Amerika Serikat. Penyebabnya tidak dipahami dengan baik, tetapi
beberapa kondisi diketahui sebagai faktor risiko. Pasien yang dirawat di
rumah sakit karena penyakit pernapasan akut dan kronis berisiko
mengalami solusio plasenta karena alasan yang tidak jelas.[ CITATION
Sca141 \l 1057 ]
c. Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas luas (solusio plasenta parsialis), atau bisa
seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta totalis).
Perdarahan bisa keluar melalui vagina (revealed hemorrhage) dan tidak
keluar melalui vagina (concealed hemorrhage).
Klasifikasi
 Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas kurang dari 25%. Jumlah darah yang
keluar biasanya kurang dari 250 ml. Gejala masih sulit dibedakan
dengan plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman.
Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
 Solusio plasenta sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25% tetapi belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak
dari 250 ml tetapi belum mencapai 1.000 ml. Gejala dan tanda sudah
jelas seperti rasa nyeri perut yang terus menerus, denyut jantung
janin menjadi cepat, hipotensi, dan takikardia.
 Solusio plasenta berat

32
Luas plasenta yang sudah melebihi 50%. Jumlah darah yang keluar
melebihi dari 1.000 ml atau lebih. Gejala dan tanda klinik jelas,
keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hampir semua
janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal
yang ditandai pada oliguri biasanya telah ada.
d. Diagnosis
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala dan
tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, kontraksi
tetanik pada uterus, dan pada solusio plasenta yang berat terhadap
kelainan denyut jantung janin pada pemerikasaan dengan KTG.
Diagnosis definitif hanya bisa ditegakan secara retrospektif yaitu setelah
partus dengan melihat adanya hematoma retroplasenta.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi berguna untuk membedakannya
dengan plasenta previa, tetapi pada solusio plasenta pemeriksaan USG
tidak memberikan kepastian berhubungan kompleksitas gambaran
retroplasenta yang normal mirip dengan gambaran perdarahan
retroplasenta pada solusio plasenta. Ultrasonografi sangat spesifik untuk
solusio plasenta (96%), tetapi sangat tidak sensitif (24%). Hal ini juga
berguna untuk menentukan lokasi plasenta, yang dapat menyingkirkan
plasenta previa sebagai penyebab perdarahan vagina. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat memastikan apakah terdapat hematoma retroplasenta
atau subkorionik. Temuan normal tidak menyingkirkan diagnosis solusio
plasenta.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Penggunaan color Doppler bisa membantu diagnosis solusio plasenta
dimana tidak terdapat sirkulasi darah yang aktif, sedangkan pada
kompleksitas lain, baik kompleksitas retroplasenta yang hiperekoik
maupun yang hipoekoik seperti mioma dan kontraksi uterus, terdapat
sirkulasi aktif padanya.

Patofisiologi
Tatalaksana
Komplikasi

33
Dampak ke janin

2.3. Pendarahan Obstetri Postpartum


Menurut Obstetric Haemorrhage Clinical Guideline tahun 2018, perdarahan
postpartum dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendarahan postpartum primer
adalah perdarahan dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
bayi, sedangkan pendarahan postpartum sekunder adalah pendarahan yang tidak
normal atau berlebihan dari jalan lahir antara 24 jam dan hingga 12 minggu
setelah melahirkan. Perdarahan postpartum primer dibagi menjadi tiga, yaitu
minor, mayor, dan masif. Perdarahan postpartum primer minor adalah kehilangan
500-1000 ml darah dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran
bayi. Perdarahan postpartum primer mayor adalah kehilangan lebih dari 1000ml
darah dari saluran genital dalam waktu 24 jam setelah kelahiran bayi. Perdarahan
postpartum primer masif adalah kehilangan darah > 2000 ml atau tingkat
kehilangan darah 150ml / menit, atau 50% kehilangan volume darah dalam 3
jam.

2.3.1. Atonia Uteri


a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Penyebab perdarahan yang paling sering adalah kegagalan uterus
berkontraksi dengan cukup setelah melahirkan dan untuk menghentikan
pendarahan dari pembuluh darah di tempat implantasi plasenta. Beberapa
perdarahan tidak bisa dihindari selama persalinan kala III karena plasenta
mulai terpisah. Darah dari tempat implantasi dapat segera keluar ke dalam
vagina (mekanisme pemisahan plasenta Duncan) atau tetap tersembunyi
di balik plasenta dan membran sampai plasenta dilahirkan (mekanisme
Schultze). Pada perdarahan selama kala III, uterus harus dipijat jika tidak
berkontraksi dengan kuat. [ CITATION Cun14 \l 1057 ]
b. Insiden

34
Atonia uteri adalah penyebab paling umum dari perdarahan
postpartum berat, terhitung sekitar 80% dari kasus. Selain mekanisme
hemostatik normal, hemostasis postpartum melibatkan pelepasan agen
uterotonik endogen, terutama oksitosin dan prostaglandin yang membuat
uterus berkontraksi dan konstriksi pembuluh uterus. Atonia uteri
merupakan kegagalan proses ini. Selain itu, ibu hamil dengan perdarahan
obstetrik mungkin memiliki arteri uterin yang relatif tidak responsif
terhadap zat vasokonstriktor. [ CITATION Sca141 \l 1057 ]
c. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
lembek. Pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih
ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam
kalkulasi pemberian darah pengganti.
Uterus yang lunak, berkontraksi buruk dan pendarahan vagina adalah
temuan yang paling umum pada pasien dengan atonia uteri. Tidak adanya
perdarahan pervaginam tidak menyingkirkan kelainan ini karena uterus
yang membesar dapat mengandung lebih dari 1000 mL darah. Perdarahan
yang tidak dikenali dapat bermanifestasi pada awalnya sebagai takikardia,
hipovolemia yang memburuk pada akhirnya menyebabkan hipotensi.
[ CITATION Sca141 \l 1057 ]

d. Tatalaksana (Obstetri dan Anestesi)


Profilaksis. American College of Obstetricians and Gynecologists
(ACOG) merekomendasikan pemberian profilaksis agen uterotonik untuk
mencegah atonia uteri. Manajemen aktif dari kala III persalinan, termasuk
pemijatan uterus dan pemberian oksitosin, mengurangi kehilangan darah
dan transfusi. [ CITATION Sca141 \l 1057 ]

35
Oksitosin adalah obat lini pertama untuk profilaksis dan pengobatan
atonia uteri setelah melahirkan kehamilan trimester ketiga. Jumlah
reseptor afinitas tinggi untuk oksitosin meningkat dalam waktu dekat,
uterotonik alternatif lebih efektif pada trimester pertama dan kedua
kehamilan. Oksitosin endogen adalah polipeptida asam 9-amino yang
diproduksi di hipofisis posterior. Bentuk obat eksogen (Pitocin,
Syntocinon) adalah sediaan sintetis dengan onset cepat dan waktu paruh
pendek. Namun, oksitosin eksogen dapat dikaitkan dengan efek samping
yang serius, termasuk takikardia, hipotensi, iskemia miokard, dan,
kematian, terutama pada wanita hipovolemik atau hemodinamik
compromised. Banyak dari efek samping ini secara langsung berkaitan
dengan dosis oksitosin. Wanita preeklampsia mungkin kurang dapat
mentoleransi oksitosin dosis tinggi daripada wanita sehat. Selain itu, dosis
tinggi oksitosin diberikan bersamaan dengan volume besar cairan
intravena, terutama yang mengandung air bebas, dapat menyebabkan
hiponatremia, kejang, dan koma karena kesamaan struktural oksitosin
dengan vasopresin.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Oksitosin dengan cepat dimetabolisme oleh oksitosinase hepar dan
diekskresikan dalam urin dan empedu, menghasilkan waktu paruh kurang
dari 6 menit. Akibatnya, infus intravena yang berkepanjangan mungkin
lebih efektif daripada pemberian bolus dalam mencegah atonia uteri.
Dalam international randomized controlled trial, Sheehan et al.
menemukan bahwa penambahan infus maintenance 4 jam 0,17 IU /
menit setelah dosis bolus awal 5-IU mengurangi kebutuhan uterotonik
sekunder dibandingkan dengan bolus 5-IU saja. King et al. mempelajari
wanita dengan risiko tinggi untuk atonia uterus pasca-operasi dan
menunjukkan bahwa pemberian bolus 5-IU oksitosin sebelum infus 1,3-
IU / menit tidak memberikan manfaat dibandingkan dengan infus tanpa
bolus. Pemberian fenilefrin dengan oksitosin dapat mengurangi
konsekuensi hemodinamik yang merugikan dari oksitosin, tetapi
fenilefrin mungkin tidak diperlukan selama dosis bolus oksitosin
dihindari dan laju infus dipertahankan di bawah 1 IU / mnt, ambang batas

36
di mana konsekuensi hemodinamik menjadi jelas. [ CITATION Sca141 \l 1057
]
Pengobatan. Meskipun tindakan pencegahan, atonia uterus postpartum
dapat terjadi. Respons multidisipliner terhadap atonia sangat penting.
Tindakan resusitasi umum, yaitu :
(1) tambahan akses intravena besar,
(2) pemberian intravena larutan kristaloid dan koloid dan vasopresor,
(3) penentuan laboratorium konsentrasi hemoglobin atau hematokrit dan
penilaian status koagulasi, dan
(4) persiapan darah untuk transfusi.
Kompresi bimanual dan pijatan uterus dan infus oksitosin terus
menerus dapat membantu memulihkan tonus uterus. Namun hanya ada
sedikit data untuk memandu terapi jika strategi manajemen ini gagal,
praktik saat ini bergantung pada pendapat ahli dan penilaian klinis. Dalam
kasus respon yang tidak adekuat terhadap oksitosin, agen uterotonik
tambahan harus digunakan. Tiga kelas obat saat ini tersedia untuk
pengobatan atonia uteri: oksitosin, alkaloid ergot, dan prostaglandin.
[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Awalnya atonia uteri dikelola dengan kompresi bimanual, pijatan
uterus, dan obat-obatan yang meliputi:
 oksitosin: 5 unit injeksi intravena lambat, atau infus (40 unit dalam
500 mL Larutan laktat Ringer pada 125 mL / jam)
 ergonovine (ergometrine): 0,5 mg injeksi intravena atau
intramuskular lambat (dikontraindikasikan pada pasien dengan
hipertensi)
 carboprost: injeksi intramuskular 250 ug, diulang pada interval tidak
kurang dari 15 menit hingga maksimum 8 dosis (dikontraindikasikan
pada pasien dengan asma) atau 500 ug injeksi intramyometrium
langsung
 misoprostol: 1000 μg rektal.

37
Jika pendarahan berlanjut, teknik tamponade menggunakan paket kasa
atau balon bisa bermanfaat. Jika tidak, manajemen invasif spesifik seperti
embolisasi arteri angiografi, laparotomi untuk teknik penjahitan
hemostatik uterus seperti B-lynch dan beberapa jahitan persegi, ligasi
arteri uterine bilateral bedah, atau histerektomi definitif mungkin
diperlukan. Rekombinan faktor VIIa juga telah digunakan, dosis awal
yang disarankan adalah 90 ug / kg, dan dosis kedua dapat diberikan 20-60
menit setelah dosis pertama jika tidak ada respons.

2.3.2. Retensio Plasenta


a. Definisi
Retensio plasenta didefinisikan sebagai kegagalan untuk melahirkan
plasenta sepenuhnya dalam waktu 30 menit setelah melahirkan bayi dan
terjadi pada sekitar 3% dari persalinan pervaginam. Retensio plasenta
adalah penyebab utama perdarahan postpartum primer dan sekunder.
Risiko perdarahan postpartum meningkat secara signifikan jika interval
antara kelahiran bayi dan plasenta melebihi 30 menit. Keparahan
perdarahan berkisar dari minimal hingga berat dan dapat mengancam
jiwa dan membutuhkan transfusi. Faktor risiko dari retensio plasenta
termasuk riwayat retensio plasenta sebelumnya, kelahiran prematur,
penggunaan oksitosin selama persalinan, preeklampsia, dan nulliparitas.
[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
b. Tatalaksana
Perawatan retensio plasenta selama periode postpartum awal sering
melibatkan pengangkatan dan inspeksi plasenta secara manual. Kuret
mungkin diperlukan. Setelah pengangkatan plasenta, tonus uterus harus
ditambah dengan oksitosin dan pasien harus diamati untuk bukti
perdarahan berulang.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
c. Manajemen Anestesi
Pilihan teknik anestesi tergantung pada derajat perdarahan. Dalam
beberapa kasus, pemberian sejumlah kecil obat sedatif dan analgesik
cukup untuk memungkinkan pemeriksaan dan ekstraksi plasenta manual

38
oleh ahli obstetrik. Anestesi neuraxial dapat dipertimbangkan pada pasien
yang tidak mengalami perdarahan hebat dan secara hemodinamik stabil.
Ini dapat dilakukan dengan pemberian anestesi lokal tambahan melalui
kateter epidural persalinan yang ada atau inisiasi anestesi spinal. Anestesi
umum terkadang menjadi perlu, terutama pada pasien yang secara
hemodinamik tidak stabil.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
Dalam beberapa kasus, dokter obstetrik membutuhkan relaksasi uterus
untuk memfasilitasi pengangkatan plasenta secara manual. Secara
historis, ahli anestesi telah melakukan induksi anestesi umum dengan
cepat, diikuti dengan pemberian volatile halogenated agent dosis tinggi
untuk merelaksasi rahim. Dosis equipotent halotan, sevofluran, dan
desfluran menekan kontraktilitas uterus secara sama dan tergantung
dosis. Dalam sebuah studi pada otot uterus manusia yang terisolasi,
konsentrasi isofluran equi-anestesi adalah uterine relaxant yang kurang
efektif dibandingkan agen volatil lainnya. Kontraktilitas uterus menurun
50% dengan pemberian sekitar 1,5 minimum alveolar concentration
(MAC) volatil agen anestesi. Induksi anestesi umum dan pemberian
volatile halogenated agent mengakibatkan timbulnya relaksasi uterus
dengan onset cepat, dan penghentian agen volatil menghasilkan offset
cepat ketika relaksasi uterus tidak lagi diperlukan. Namun, induksi
anestesi umum pada ibu nifas mengandung risiko kegagalan ventilasi,
gagal intubasi trakea, dan / atau aspirasi isi lambung.[ CITATION Sca141 \l
1057 ]
Sebagai alternatif lain, nitrogliserin dapat diberikan untuk relaksasi
rahim. Nitrogliserin memberikan relaksasi otot polos onset cepat dan
waktu paruh plasma pendek (2 hingga 3 menit). Nitrogliserin telah
diberikan untuk berbagai keadaan darurat obstetrik tanpa efek samping
dan signifikan secara klinis. Peng et al. menggambarkan keberhasilan
pengangkatan sisa plasenta dalam 15 ibu melahirkan setelah pemberian
nitrogliserin intravena 500 ug. DeSimone et al. menggunakan dosis
nitrogliserin yang jauh lebih kecil (50 hingga 100 ug) dengan hasil yang
sama; semua pasien dikelola dengan sukses tanpa perlu induksi anestesi

39
umum. Nitrogliserin juga dapat diberikan secara sublingual melalui
spray atau tablet. Sebuah studi doubleblind, randomized, controlled
membandingkan nitrogliserin sublingual dengan plasebo untuk
managemen retensio plasenta. Plasenta yang berhasil dilahirkan dalam
waktu 5 menit adalah semua ibu dari 12 ibu yang melahirkan yang
menerima nitrogliserin, dibandingkan dengan hanya 1 dari 12 yang
menerima plasebo. Nitrogliserin kemungkinan besar menghasilkan
relaksasi otot polos uterus dengan melepaskan nitric oxide. [ CITATION
Sca141 \l 1057 ]

2.3.3. Inversio Uteri


a. Definisi
Inversi uteri atau pembalikan keluar dari seluruh atau sebagian uterus,
adalah peristiwa yang jarang terjadi tetapi berpotensi membahayakan.
Hal ini terkait dengan perdarahan postpartum yang berat, dan
ketidakstabilan hemodinamik dapat diperburuk oleh bradikardia yang
dimediasi refleks vagal. Inversi uteri mungkin akut atau kronis, tetapi
hanya inversi peripartum akut yang melibatkan ahli anestesi obstetri.
Kejadian yang dilaporkan dari gangguan ini sangat bervariasi, laporan
terbaru menunjukkan insiden sekitar 1 dari 2500 kelahiran. [ CITATION
Sca141 \l 1057 ]
Faktor risiko untuk inversi uterus termasuk atonia uteri, tali pusat
pendek, anomali uterus, dan manajemen yang terlalu agresif pada kala
tiga, termasuk manuver seperti tekanan fundus yang tidak tepat atau
traksi tali pusat yang berlebihan. Terapi uteronik dapat mengubah inversi
parsial menjadi inversi komplet. Plasenta dengan implantasi secara tidak
normal (misalnya plasenta akreta) mungkin pertama kali dikenali ketika
inversi uteri terjadi.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
b. Diagnosis
Banyak kasus inversi uteri jelas karena perdarahan dan massa di
vagina, tetapi yang lain mungkin tidak mudah terlihat. Inversio uteri
harus dicurigai dalam semua kasus perdarahan postpartum. Pemeriksaan

40
ultrasonografi dapat menunjukkan temuan karakteristik, seperti zona
echolucent dalam massa echogenic mengisi rongga rahim pada potongan
transversal. Secara historis, dokter obstetrik menyatakan bahwa syok
tidak sebanding dengan kehilangan darah, tetapi perkiraan perdarahan
obstetrik lebih rendah. Inversio uteri inkomplet yang tidak menonjol
melalui introitus lebih mungkin menghasilkan misdiagnosis atau
diagnosis tertunda.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
c. Tatalaksana
Replacement uterus dengan segera, bahkan sebelum pengangkatan
plasenta, adalah tujuan perawatan, tetapi mungkin sulit untuk dicapai.
Semua obat uterotonika harus dihentikan segera. Dokter obstetrik harus
berusaha untuk memperbaiki inversi dengan memberikan tekanan
melalui vagina ke fundus uterus, ring forceps dapat digunakan pada
serviks untuk melakukan kontraksi. Diagnosis dini dan koreksi segera
dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan inversi
uteri.[ CITATION Sca141 \l 1057 ]
d. Manajemen Anestesi
Seringkali, tonus uterus menghalangi replacement uterus, dan
relaksasi uterus diperlukan untuk keberhasilan reduksi uterus.
Penggunaan nitrogliserin untuk memfasilitasi relaksasi dan replacement
uterus telah dilaporkan. Dosis intravena yang cukup besar (200 hingga
250 ug) mungkin diperlukan, dan ahli anestesi biasanya perlu
mendukung sirkulasi dengan cairan intravena dan vasopresor. Pemberian
anestesi umum dengan volatile halogenated agent mungkin diperlukan,
tidak hanya untuk relaksasi uterus tetapi juga untuk persiapan laparotomi
jika diperlukan untuk memperbaiki inversi. Setelah uterus diganti, uterus
yang kuat dan berkontraksi dengan baik diinginkan. Oksitosin harus
diinfus, dan obat uterotonik tambahan mungkin diperlukan.[ CITATION
Sca141 \l 1057 ]

Panggil bantuan

Posisi pasien terlentang

41
Beri oksigen high-flow

Pijat uterus

Kompresi bimanual

Akses intravena

2 abokat besar

Pengambilan sampel darah

Observasi

RR, nadi, tekanan darah, SpO2

Cari tau penyebab

Atoni

Trauma

Retensio plasenta

Gangguan koagulasi

Stop perdarahan

Sintokinon 10 unit/ ergometrin 500 mikrogram IM atau IV injeksi pelan (ergometrin


kontraindikasi jika tekanan darah tinggi)

Infus sintokinon 40 unit dengan pump dalam 4 jam

Kateter urin. Pantau urin output per jam

Carboprost 250 mikrogram IM setiap 15 menit sampai 8 dosis

Misoprostol 800 mikrogram per rektal

Pertimbangkan pemberian asam traneksamat 0,5 – 1 gram IV

42
Pijat uterus dan kompresi bimanual dan perbaiki luka pada perineum, vagina dan
serviks

Nilai

Monitoring

PPH primer yang melibatkan perkiraan kehilangan darah 500-1.000 ml (dan tanpa
adanya tanda-tanda klinis syok) harus segera melakukan tindakan dasar (pemantauan
ketat, akses intravena, jumlah darah lengkap, kelompok dan skrining) untuk
memfasilitasi resusitasi jika diperlukan.

 • Posisi pasien terlentang

 • Berikan oksigen wajah dengan masker non rebreathe dan saturasi oksigen

 • Terus menerus menilai jalan nafas, pernapasan, sirkulasi

• Pijat rahim dan mulai kompresi bimanual

• Cari penyebab kehilangan darah 4T (Tone, Tissue, Trauma, Thrombin)

• Kosongkan kandung kemih dengan memasukkan ukuran 12 Foleys Catheter

• Akses IV dengan satu (pertimbangkan dua) aboket besar

• Ambil darah untuk FBC dan Grup dan simpan sebagai minimum. Studi cross match
dan pembekuan darah jika PPH besar atau kompromi ibu

• Cairan intravena Hartmanns 1000ml

• Lakukan skrining dan pengobatan infeksi potensial.

• Berikan Obat Uterotonik :

 ulangi oxytocic bolus: Ergometrine 500mcgs (IM atau IV dengan hati-hati) atau
Syntometrine 500 mikrogram / 5 IU solution untuk injeksi IM atau Oxytocin 10 IU /
ml unit IM (jika hipertensi)

43
 Oksitosin 40 / IU dalam NSaline 0,9% 500ml @ 125ml / jam IV

 Misoprostol 800-1000 mcg PR

 Carboprost 250mcg IM pada interval 15 menit hingga maksimum 8 dosis (hati-


hati pada asma)

• Asam traneksamat 1g IV

• Keputusan awal untuk EUA jika perdarahan sedang berlangsung dan beri tahu
dokter kandungan. Lihat bagian MOH untuk opsi bedah

• Ingat tromboprofilaksis vena sebagai pasien rawat inap setelah perdarahan benar-
benar sembuh

2.4. Korioamnionitis
a. Insiden
Infeksi yang paling sering terjadi pada ibu hamil. [CITATION Seg14 \l 1033 ]
Sekitar 0,5%-10% wanita hamil terkena korioamnionitis, tergantung pada
karakteristik demografik dan obstetric pada populasi tertentu. Salah satu
studi menyebutkan insidensi korioamnionitis adalah 41% pada kelahiran di
bawah usia gestasi 27 minggu, 15% pada usia kehamilan 28-36 minggu, dan
2% pada usia kehamilan aterm. [CITATION Seg14 \l 1033 ]
Faktor risiko terjaidnya korioamniontisi adalah paritas rendah, riwayat
korioamnionitis pada kelahiran sebelumnya, jumlah pemeriksaan vaginal
Durasi persalinan, durasi membrane rupture, dan penggunaan monitor
internal. [CITATION Seg14 \l 1033 ]
b. Patofisiologi
Pada banyak kasus, bakteri dapat mencapai kavitas amnion dan fetus
dengan mekanisme ascending ke cervix setelah rupture membrane.
Korioamnionitis berkembang secara signifikan pada wanita inpartu dengan
ketuban pecah dini. Agen infeksius yang berada pada sirkulasi maternal
dapat berpindah secara transplasental dan mendapat akses ke kavitas
amnion. Korioamnionitis sering disebabkan polymicrobial dan bakteri yang
secara normal pada traktus genitalia dapat menyababkan korioamnionitis

44
seperti, Bacteroides sp,, Streptococci group B, Mycoplasma sp.,
Ureaplasma sp., Escherichia coli . [CITATION Seg14 \l 1033 ]
c. Diagnosis
Diagnosis korioamnionitis tergantung pada gejala klinis. Gejala
seringkali tidak muncul. Gejala klinis yang mungkin muncul, antara
lain[CITATION Seg14 \l 1033 ];
- Temperatur di atas 380C
- Takikardi maternal dan atau fetal
- Nyeri tekan uterus
- Cairan amniotik berbau tidak sedap

Pada pemeriksaan laboratorium, tidak terlalu sensitif ataupaun spesifik


dan dapat tidak berkorelasi dengan gejala klinis yang ditunjukan. [CITATION
Seg14 \l 1033 ]

d. Tatalaksana
Terapi untuk pasien dengan korioamnionitis adalah terminasi kehamilan,
penatalaksanaan suportif, pemberian antibiotik. [ CITATION Ban18 \l 1033 ]
Pemberian antibiotik
Beberapa pilihan antibiotik yang dapat diberikan adalah ;
- Ampicillin dan gentamicin
- Clindamycin atau metronidazole saat dicurigai terdapat endometritis
(postpartum)
- Vancomycin untuk pasien alergi penisilin
- Alternatif pemberian antibiotik; monoterapi dengan ampicillin-
sulbactam, ticarcillin-clavulanate, cefoxitin, cefotetan, atau piperacillin-
tazobactam
Penatalaksanaan suportif
Penatalaksanaan suportif pada neonatus yang sepsis antara lain;
- Penghangat
- observasi tanda-tanda vital
- persiapan resusitasi
- cegah syok hipovolemik.

45
e. Komplikasi
- Komplikasi maternal
Kelahiram premature, abrupsio plasenta, infeksi postpartum, atonia
uterin, perdarahan postpartum, histerektomi peripartum, sepsis, dan
kematian.
Insidensi persalinan Caesar akan meningkat pada wanita dengan
korioamnionitis dengan distosia janin. Beberapa penelitian menyebutkan
jika infeksi akan mempengaruhi kontraktilitas uterus dan berkontribusi
dalam meningkatkan risiko persalinan Caesar [CITATION Seg14 \l 1033 ]
- Komplikasi Fetal
Komplikasi neonatal termasuk pneumonia, meningitis, sepsis, dan
kematian. Beberapa penelitian menunjukan terdapat hubungan yang kuat
antara korioamnionitis dan palsi serebral. Meta-analisis menyebutkan
risiko relative palsi cerebral antara 1,9-4,7 pada bayi premature dan
aterm yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis. Risiko janin terkena
penyakit paru kronik bertambah jika terekspos dengan korioamnionitis.

2.5. .Sepsis dan Syok Septik


a. Definisi
Sepsis adalah infeksi yang memperberat systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), dengan karakteristik 2 atau lebih kriteria
berikut, hipertermia, hipotermia, takikardia, takipneu, atau leukosistosis.
[CITATION Seg14 \l 1033 ]
b. Insiden
Sepsis adalah komplikasi infeksi maternal yang mengancam jiwa, dan
langka, yang mengenai 1 dari 8000 persalinan. Insiden sepsis dan mortalitas
maternal berhubungan dengan sepsis, meningkat (penyebab paling banyak
kematian) yaitu 1,13 per 100.000 kehamilan. Sekitar 45% kejadian terjadi
post-partum [CITATION Seg14 \l 1033 ]
c. Patofisiologi

46
Pada wanita hamil, sepsis umumnya berkaitan dengan bakteremia
gram negative, walaupun dapat terjadi akibat infeksi aerobik dan anaerobik
gram positif. Etiologi polimikrobial sering terjadi, terutama jika sumber
infeksi adalah infeksi pelvis. Infeksi streptococcus Group A beta
hemolitikus sering muncul sebagai penyebab pada kasus fatal dan
morbiditas lain. Pneumonia, korioamnionitis, pyelonephritis, endometritis,
infeksi luka, abortus inkomplit, dapat menyebabkan sepsis maternal, sepsis
berat, dan syok septik.
d. Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan sepsis masuk
ke dalam Hour-1 bundle. Tatalaksana dilakukan sesegera mungkin terutama
pasien dengan hipotensi, daripada menunggu dan memperlambat resusitasi.
Resusitasi mungkin memerlukan lebih dari 1 jam, namun inisiasis resusitasi
dan tatlaksana seperti pengambilan darah untuk mengukur laktat, kultur
darah, administrasi cairan dan antibiotic, dan hipotensi yang mangancam
jiwa, inisiasi terapi vasopressor, harus dilakukan sesegera mungkin.
[ CITATION Lev18 \l 1033 ]

Mengukur level laktat. Ukur ulang jika


laktat inisial >2 mmol/L

Mengambil kultur darah seelum


pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik spektrum luas

Mulai administrasi kristaloid cepat


dengan dosis 30 ml/kg jika hipotensi atau
laktat ≥4 mmol/L

Berikan vasopressor jika pasien hipotensi


saat atau setelah resusitasi cairan untuk
menjaga MAP ≥65 mmHg

47
Gambar 7. Penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis paket 1 jam
Pengukuran level laktat serum
Laktat serum dapat menggambarkan hipoksia jaringan, mempercepat
glikolisis aerobic yang diakibatkan stimulasi beta-adrenerfik, atau penyebab
lain dengan prognosis yang lebih buruk. Setelah pemeriksaan laktat inisial,
lalu didapatkan hasil laktat yang meningkat (>2 mmol/L) perlu dilakukan
pemeriksaan ulang 2-4 jam berikutnya untuk menilai hasil resusitasi yang
diberikan kepada pasien.[ CITATION Lev18 \l 1033 ]
Pengambilan darah untuk kultus sebelum pemberian antibiotik
Sterilisasi dari kultur dapat terjadi setelah beberapa menit pemberian dosis
pertama antibiotik, sehingga pengambilan darah untuk kultur harus
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. [ CITATION Lev18 \l 1033 ]
Pemberian antibiotik spektrum luas
Terapi empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antibiotik intravena
untuk membunuh pathogen sebaiknya segera dilakukan pada pasien dengan
gejala klinis sepsis atau syok septik. Terapi antibiotik empiris sebaiknya
dipersempit setelah identifikasi patogen dan tes sensitivitas dilakukan, atau
hentikan pemberian jika pada pasien tidak ditemukan tanda infeksi.
[ CITATION Lev18 \l 1033 ]
Pemberian cairan intravena
Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan
akibat sepsis atau syok septik. Jika pasien memberikan gambatan sepsis, dan
atau hipotensi dan peningkatan laktat, resusitasi cairan harus selesai dalam 3
jam setelah penemuan. Pemberian cairan kristaloid direkomendasikan
minimal 30 cc/kg secara intravena. [ CITATION Lev18 \l 1033 ]
Pemberian vasopressor
Pengembalian tekanan perfusi secara adekuat dengan cepat ke organ vital
adalah kunci dari resusitasi. Hal ini tidak boleh terlambat. JIka tekanan
darah tidak kembali setelah resusitasi cairan inisial, maka vasopressor harus
diberikan pada 1 jam pertama untuk mencapai rerata tekanan arteri ≥ 65
mmHg. [ CITATION Lev18 \l 1033 ]

48
Vasopressor dan inotropes adalah obat yang digunakan untuk
vasokonstriksi atau meningkatkan kontraktilitas jatung, pada pasien dengan
syok. Vasopressor akan menyebabkan vasokonstriksi yang menyebabkan
peningkatan systemic vascular resistance (SVR) dan akan meningkatkan
mean arterial pressure (MAP) dan meningkatkan perfusi organ. Inotropik
bekerja dengan meningkatkan kontraktilitas jantung untuk meningkatkan
cardiac output (CO). [ CITATION Van18 \l 1033 ]
Pilihan lini pertama vasopressor adalah norepinefrin 0.1 to 2.0
µg/kgBB/menit. Epinefrin sebagai pilihan alternatif pertama norepinefrin.
Vaspressome dengan dosis 0,03-0,04 unit/menit dapat digunakan jika pasien
tidak respon dengan agen vasopressor lain. Dopamin hanya digunakan
untuk pasien tertentu seperti pasien dengan bradikardi absolut atau relatif.
Tujuan utama terapi adalah eliminasi dan atau pengobatan agresif sumber
infeksi fengan antibiotik dan jika terdapat indikasi, dilakukan ekstirpasi
surgical. Antibiotik inisial sebaiknya antibiotik spectrum luas yang dapat
mengatasi bakteri seperti Eschericia coli, enterococcus, dan organisme
anaerobic. Kombinasi ampicillin, gentamicin dan clindamycin merupakan
regimen efektif seperti kombinasi imipenem, cilastatin, dan vancomycin.
Konsultasi dengan spesialis, dan pemberian antibiotik sesuai uji sensitivitas
antibiotik.

2.6. Emboli Cairan Amnion


a. Definisi
Emboli cairan amnion adalah masuknya cairan amnion ke dalam
sirkulasi ibu menyebabkan kolaps pada ibu pada waktu persalinan dan
hanya dapat dipastikan dengan autopsi. Sindrom obstetrik unik ini
dideskripsikan pada tahun 1941 oleh Steiner dan Lushbaugh dan secara
klasik ditandai dengan timbulnya hipotensi, hipoksia, dan consumptive
coagulopathy berat. Meski begitu emboli cairan amnion memiliki variasi
individu yang besar dalam manifestasi klinisnya. Sebagai contoh, hanya satu
dari tiga ciri klinis yang menonjol pada beberapa wanita yang terkena.
Kejadian emboli cairan amnion telah dilaporkan sebagai 1 dari 13.000

49
kelahiran di Amerika Serikat, dan 1 dari 50.000 kelahiran di Inggris. Angka
kematian ibu di negara maju berkisar antara 13% hingga 61%.[ CITATION
Wan14 \l 1057 ]
b. Patofisiologi
Kejadian lebih sering terjadi pada kontraksi uterus yang kuat denga
spotan atau induksi dan terjadi pada waktu ketuban pecah dan ada pembuluh
darah yang terbuka pada plasenta atau serviks. Lalu, emboli mengalir ke
pembuluh darah paru-paru dan akan menyebabkan kematian tiba-tiba atau
syok tanpa adanya perdarahan dan akhirnya kematian (later death) karena
DIC dan perdarahan postpartum.
Patofisiologi emboli cairan amnion masih tidak pasti. Secara
tradisional, diperkirakan cairan ketuban dan fetal debris memasuki sirkulasi
ibu dengan kontraksi uterus yang kuat. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan bahwa sel-sel janin umumnya ditemukan dalam sirkulasi ibu.
Emboli cairan amnion memiliki lebih banyak kesamaan dengan anafilaksis
dan syok septik daripada penyakit emboli lainnya. Pemicu yang tepat tidak
diketahui. Ada respons imun ibu yang abnormal terhadap paparan antigen
janin, dan mediator inflamasi menyebabkan vasokonstriksi paru, aktivasi
komplemen, dan koagulopati. Baru-baru ini, istilah 'sindrom anafilaktoid
kehamilan' telah diusulkan.[ CITATION Wan14 \l 1057 ]
c. Gejala Klinis
Kejadian akut dengan tiba-tiba kolaps, sianosis, dan sesak napas berat.
Segera diikuti twitching, kejang, dan gagal jantung kanan akut, dengan
takikardia, edema paru, dan sputum berwarna kotor (frothy sputum). Jika
tidak berakhir dengan kematian, DIC akan terjadi dalam 1 jam dan
menyebabkan perdarahan umum.
Secara klasik, pasien datang dengan dispnea berat, sianosis, kolaps
kardiovaskular mendadak, dan koma atau kejang selama persalinan, tetapi
emboli cairan amnion dapat terjadi lebih awal selama kehamilan, selama
persalinan atau pada masa nifas awal. Beberapa pasien mungkin mengalami
perdarahan dan sebagian besar pasien akhirnya mengalami koagulopati.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa emboli cairan amnion

50
menyebabkan respons hemodinamik bifasik. Fase awal mungkin
berlangsung kurang dari setengah jam dan ditandai dengan hipoksia berat
dan gagal jantung kanan akibat hipertensi paru akibat vasokonstriksi atau
kerusakan pembuluh darah. Pasien yang selamat dari fase pertama ini
mengalami kegagalan ventrikel kiri dengan kembalinya fungsi ventrikel
kanan normal. Gagal ventrikel kiri mungkin akibat hipoksia awal atau efek
depresan mediator. DIC ada pada sebagian besar pasien. Ini bisa disebabkan
oleh aktivator spesifik faktor X, faktor jaringan atau zat lain, seperti
trofoblas, dalam cairan ketuban.[ CITATION Wan14 \l 1057 ]
d. Tatalaksana
Pengobatan bersifat suportif. Penilaian tekanan vena sentral mungkin
menyesatkan, dan kateterisasi arteri pulmonalis dini telah dianjurkan dalam
serangkaian pelaporan 100% kelangsungan hidup pada 5 pasien dengan
mengobati kegagalan ventrikel kiri secara agresif. Diagnosis banding harus
dievaluasi dengan cepat. Korban emboli cairan amnion mendapatkan
kembali fungsi kardiorespirasi normal tetapi mungkin mengalami sekuele
neurologis.[ CITATION Wan14 \l 1057 ]

2.7. Endometritis
a. . Definisi
Endometritis adalah inflamasi pada lapisan endometrial uterus.
Inflamasi dapat juge melibatkan myometrium dan parametrium. [ CITATION
Seg14 \l 1057 ]
b. Insiden
Insiden endometritis post-partum di US beragam tergantung pada
jalan persalinan yang populasi pasien. Setelah persalinan per-vaginam,
insidensi 1-3%. Setelah persalinan Caesar, insidensi sebesar 13-90%,
tergantung pada faktor risiko yang ada dan apakah profilaksis antibiotic
diberikan perioperative. Pada populasi non-obstetri endometritis
konkomitan dapat terjadi pada 70-90% wanita dengan salpingitis. [ CITATION
Seg14 \l 1057 ]
c. Klasifikasi

51
Endometritis dapat dibagi menjadi endometritis berhubungan
kehamilan dan endometritis yang tidak berhubungan dengan kehamilan.
[ CITATION Seg14 \l 1057 ]
d. Patofisiologi
Saat kondisi endometritis tidak berhubungan dengan kehamilan, yang
dimaksud adalah PID (Pelvis Inflammatory Disease). Endometritis sering
berhubungan dengan inflamasi tuba Fallopi (salpingitis), ovarium
(oophoritis), dan peritoneum pelvis (peritonitis pelvis). [ CITATION Seg14 \l
1057 ]
Infeksi pada endometrium, atau deisuda, biasanya disebabkan oleh
infeksi ascending dari traktus genital inferior. Endometritis dapat terjadi
secara akut ataupaun kronik. Pada endometritis akut, terdapat neutrophil
diantara glandula endometrial. [ CITATION Seg14 \l 1057 ]
Pada endometritis kronik, terdapat sel-sel plasma dan limfosit diantara
stroma endometrial. Endometritis kronik pada populasi obstetrik biasanya
berhubungan dengan hasil konsepsi yang tersisa setelah persalinan atau
aborsi. Pada populasi non-obstetri, endometritis kronik pernah ditemukan
berhubungan dengan infeksi dan keberadaaan IUD (Intrauterine Device).
[ CITATION Seg14 \l 1057 ]
e. Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan
fisik. Pada pemeriksaan fisik beberapa hal dapat ditemukan antara lain;
demam (temperatur oral 380C atau lebih pada 10 hari pertama post-partum
atau 38,70C dalam 24 jam pertama postpartum) yang terjadi dalam kurun
waktu 36 jam setelah persalinan, nyeri perut bawah, nyeri tekan uterus,
nyeri tekan adneksa (tanda salpingitis), foul-smelling lochia, dan takikardi.
[ CITATION Seg14 \l 1057 ]
f. Tatalaksana
Setelah penegakan diagnosis dan menyingkirkan sumber infeksi lain,
inisiasi antibiorik spektrum luas harus dilakukan. Perbaikan akan terlihat
setelah 48-72 jam pada 90% wanita yang diberikan antibiotik. Terapi
antibiotik yaitu kombinasi clindamycin dan gentamisin yang diberikan

52
secara intravena setiap 8 jam. Kombinasi antibiotik lain yaitu cephalosporin
generasi kedua atau ketiga dengan metronidazole juga merupakan pilihan.
[ CITATION Seg14 \l 1057 ]
g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain; infeksi luka, peritonitis, infeksi
adneksa, phlegmon parametrial, abses pelvis, hematoma pelvis, dan
thrombophlebitis septik pelvis Salpingitis dapat menyebabkan terjadinya
dismotilitas tuba dan adhesi yang menyebabkan infertilitas, insiden lebih
tinggi untuk kehamilan ektopik dan nyeri pelvis kronik. [ CITATION Seg14 \l
1057 ]

2.8. Kardiomiopati Peripartum


a. Definisi
Disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung yang muncul saat periode
peripartum dan dapat mengancam nyawa. [ CITATION Ara16 \l 1033 ]
b. Insiden
Insidensi PPCM di Amerika Serikat berkisar 1 pada 1000 sampai 4000
kelahiran hidup. [ CITATION Ara16 \l 1033 ] Prevalensi di Jepang berkisar 1
dalam 6000 persalinan hidup, 1 kasus per 1000 persalnan hidup di Afrika
Selatan, dan 1 kasus dalam 350-400 kelahiran di Haiti. Kejadian PPCM
berhubungan kuat dengan usia. Walaupun penyakit ini dapat mengenai
wanita usia berapapun, >50% kasus terjadi pada wanita usia lebih dari 30
tahun. [ CITATION Ara16 \l 1033 ] Insidensi PPCM di Amerika Serikat lebih
banyak terjadi pada kulit hitam. Lebih dari 40% kasus penelitian
menyatakan lebih banyak terjadi pada wanita kulit hitam dan setenghanya
terjadi pada bagian Selatan Amerika Serikat. Penelitian populasi di
California menunjukan insidensi PPCM pada kulit hitam 1 : 1421
sedangkan pada kulit putih 1 : 4075. [ CITATION Ara16 \l 1033 ]. Studi meta-
analisis menunjukkan, 22% pasien dengan PPCM mengalami preeklamsi.
Studi lain menunjukkan penyakit hipertensi pada kehamilan apapun
(preeklamsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik) ada pada 37%
wanita dengan PPCM. [ CITATION Ara16 \l 1057 ]

53
c. Patofisiologi
Hemodinamik dan penyebab lain
Pada kehamilan, terjadi peningkatan hemodinamik, yang mana terjadi
peningkatan volume darah dan massa sel darah merah, menyebabkan
terjadinya peningkatan preload. Cardiac output dipengaruhi oleh preload,
contractility, dan afterload. Peningkatan preload, peningkatan denyut
jantung sebesar 15% sampai 30%, peningkatan stroke volume sebesar
15%-25%, akan mengakibatkan peningkatan cardiac output sebesar 20%
sampai 50%. Resistensi vaskular akan menurun sebesar 30%, walaupun
afterload akan meningkat kembali pada akhir kehamilan. Perubahan-
perubahan ini akan terjadi pada trimester 1 dan 2, sehingga pada pasien
dengan penyakit struktural jantung sebelumnya, secara klinis akan
mengalami gagal jantung pada jangka waktu ini.

Gambar 8. Patofisologi PPCM (Hipotesis)

54
Hipotesis Vasculo-hormonal (Prolaktin)

Model mencit PPCM (yang dibuat dengan membuang Sehingga, hilangnya STAT3 knockout secara
faktor transkripsi STAT3 terutama di kardiomiosit signifikan menyebabkan PPCM diinduksi
kehamilan.

Ekspresi STAT3 di ventrikel kiri dikurangi pada


Fragmen 16-kDa yang dipecah dari prolactin
akan membuat kerusakan endothelial dan
kardiomiosit.
HIlangnya STAT3 pada jantung mencit menyebabkan
berkurangnya ekspresi gen yang melindungi jantung
dari species oksigen reaktif (misal MnSOD)
Sel endothelial mengemas miR-146a dalam
exosom, lalu disekresikan dan diambil
kardiomiosit
Gen ini menetralisasi superoksida yang diubah oleh
aktivitas mitokondrial di jantung yang berdetak

Di dalam kardiomiosit, miR0146a menekan


neuregulin/ErbB, lalu mendukung apoptosis
Peningkatan species oksigen reaktif akan menghasilkan kardiomiosit
sekresi cathepsin D

Hormon peripartum (prolactin) ditambah


Peptidasi cathepsin D akan membelah prolaktin adanya kondisi jantung lain (missal tidak
(hormon yang spesifik pada kehamilan akhir) menjadi
fragmen 16-kDa yang membantu apoptosis pada sel-sel adanya STAT 3) dapat men-trigger
endotelial vaskulopati dan PPCM

Tabel 2. Patofisiologi PPCM (1)

Hipotesis Vasculo-hormonal (Soluble Fms-Like Tyrosine Kinase 1)

55
Adanya delesi proliferator-activated receptor-gamma coactivator- 1α (PGC-1α)
cardiac specific

PGC-1α membantu ekspresi MnSOD, yang menurunkan species oksigen reaktif


dan vascular endothelial growth factor (VEGF).

Delesi PGC-1α mendukung vasculotoxicity dalam 2 cara, yaitu aktivasi


antivaskular 16-kDa yang dimediasi prolactin dan hilangnya provaskular yang
dimediasi VEGF.

Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1) merupakan hormon reseptor VEGF,


dihasilkan oleh plasenta mamalia, yang menetralisasi hampir seluruh VEGF bebas
di sirkulasi maternal di kehamilan akhir.

Tabel 3. Patofisologi PPCM (2)

d. Diagnosis
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute and the Office of Rare
Diseases, kriteria diagnosis kardiomiopati diinduksi kehamilan
adalah[CITATION Placeholder1 \l 1033 ];
- Adanya gagal jantung pada bulan terakhir kehamilan atau 5 bulan
setelah persalinan
- Tidak adanya penyebab lain dari gagal jantung
- Tidak adanya penyakit jantung yang diketahui sebelum bulan terakhir
kehamilan
- Disfungsi sistolik ventrikel kiri yang dibuktikan dengan kriteria
echocardiografi klasik, yaitu menurunnya fraksi ejeksi ventrikel kiri
<45%, pemendekan fraksi <30%, volume end-diastolic ventrikel kiri
≥27 mm/m2 [ CITATION Vid14 \l 1033 ]

56
Pasien dengan PPCM memiliki gejala dan tanda tipikal gagal jantung
sistolik. Pada pemeriksaan klinis, impulse apikal bergeser ke lateral dan
terdengar S3 gallop. Karena adanya enlargement pada ventrikel kiri dan
perubahan geometri kavitas ventricular, regurgitasi mitral fungsional
biasanya terlihat. [ CITATION Vid14 \l 1033 ]
e. Tatalaksana
Penatalaksanaan PPCM sesuai dengan dasar penatalaksanaan CHF dan
DCM.
Kontrol volume darah
Edema pulmonal dari gagal jantung biasanya respon baik dengan pemberian
diuretic untuk mengurangi preload. Hipertensi merupakan hal yang biasa,
dan reduksi afterload dilakukan dengan pemberian hydralazine atau
vasodilator lain. Pemberian beta bloker juga dapat dilakukan. Karena

57
adanya efek fetal, pemberian ACE inhibitor ditahan sampai setelah
persalinan. Jika terjadi gagal jantung kronik, ada kemungkinan yang cukup
tinggi tromboembolisme, dan heparin sebagai profilaksis direkomendasikan.
[CITATION Placeholder1 \l 1033 \m Vid14]

Diuretik Furosemid Inisial: 40 mg/hari, dapat


dikurangi menjadi 20
mg/hari
Beta bloker Labetalol Dosis yang diberikan
adalah 200-1200 mg per
hari, dosis terbagi dalam
2 – 3 kali per hari.
Vasodilator Hidralazin Dosis yang
direkomendasikan adalah
50-300 mg, terbagi
menjadi 3-4 dosis per
hari.
Antikoagulan Heparin 75-80 U/kg atau 5000 U
IV loading dose diikuti
dengan 18 U/kg atau
1000-2000 U/jam infus
kontinyu
Tabel 4. Penatalaksanaan Gagal Jantung
Tromboembolisme dan Antikoagulan
PPCM berhubungan dengan angka kejadian tromboembolisme yang tinggi
dibandingkan dengan kardiomiopati bentuk lain. Periode peripartum adalah
keadaan hypercoagulable. Dilasi kardiak, kerusakan endothelial, dan
imobilisasi berkontribusi dalam pembentukan clot pada PPCM. Karena
tingginya risiko tromboembolisme, antikoagulan disarakan untuk diberikan
pada ibu hamil dengan PPCM setidaknya selama kehamilan dan 2 bulan
pertama post-partum. Heparin dan unfractionated heparin aman diberikan
selama kehamilan.
f. Komplikasi

58
Komplikasi pada maternal termasuk hipoksia, tromboembolisme, gagal
jantung progresif, dan aritmia. Komplikasi fetal yang dapat terjadi antara
lain; distress karena hipoksia maternal, distress karena hipoperfusi plasental
sebagai akibat dari cardiac output yang buruk, hypovolemia maternal kibat
diuresis yang berlebihan, atau hipotensi karena reduksi afterload yang
agresif.

2.9. Manajemen Masa Kritis


 Airway (Jalan Napas)
Pada wanita hamil, diameter internal dari trakea akan berkurang akibat
pembengkakan kapiler mukosa. Pasa wanita dengan preeklamsia, perubahan
ini akan diperparah dengan adanya penyempitan jalan napas bagian atas
akibat edema phayngolaryngeal. Tanda-tanda obstruksi jalan napas adalah
dysphonia, suara serak, mendengkur, stridor dan hypoxemia. Terdapat
peningkatan sebesar 34% pada nilai Mallampati kelas 4 dari trimester
pertama sampai ketiga
Terdapat 11 kali lebih sulit untuk prosedur intubasi pada wanita dengan
Mallampati kelas IV dibanding kelas I. Perubahan airway walaupun berubah
secara perlahan selama kehamilan, namun perubahan akut bisa ditemukan
selama inpartu. Terdapat beberapa perubahan yang terjadi selama masa
inpartu antara lain
o Adanya edema jaringan lunak, akan menyebabkan berkurangnya volume
komponen oral (gigi seri sampai oropharyngeal junction) dan komponen
faringeal (oropharyngeal junction ke glotis)
o Edema jalan napas yang ditemukan selama inpartu dapat memberat saat
inpartu kala 2 karena usaha pengeluaran fetus dan plasenta atau setelah
ekstubasi usai sectio caesaria

Karena adanya perubahan-perubahan ini, sangat penting untuk mengevaluasi


ulang jalan napas sebelum induksi anestesi umum daripada hanya menilai
dari keadaan prelabor

59
Pembengkakan kapiler nasal selama kehamilan meningkatkan risiko epistaxis
setelah pemasangan instrumentasi nasal. Pemasangan instrumen nasal dapat
diawali dengan penggunaan agen vasokontriktor topikal, namun harus tetap
dievaluasi parameter hemodinamik maternal dan perfusi uteroplacental

 Observasi Hemodinamik
Tekanan darah arterial sistemik dapat berubah cepat pada wanita dengan
preeklamsia berat, diakibatkan karena progresi penyakit dan merupakan
respon untuk administrasi dari cairan intravena dan obat antihipertensi. Selain
itu, preeklamsi berhubungan dengan berbagai derajat deplesi volume
intravaskular dan penilaian klinis status volume intravaskular cukup sulit.
Sehingga, monitoring vaskular invasif bisa bermanfaat untuk manajemen
beberapa wanita dengan preeklamsia berat. Indikasi paling sering
pemasangan kateter arteri radialis adalah
o Tekanan darah maternal tidak terkontrol
o Butuhnya pengukuran darah arteri secara berkala, khususnya pada pasien
dengan edema pulmoner
o Rencana penggunaan vasodilator rapid-acting (misal sodium
nitroprusside, nitroglycerin, infus nikaedipin)
o Penggunaan SPV yang dihitung untuk memperkirakan status volume
intravascular
o Perlunya monitoring tekanan darah secara berkelanjutan selama induksi
anestesi umum pada wanita dengan preeklamsi berat
Monitoring invasif sentral dapat dilakukan untuk penilaian oliguria dan untuk
observasi respon pasien terhadap pemberian cairan, namun pada
kenyataannya jarang digunakan. Monitoring invasif sentral , kateter CVP
(Central Venous Pressure) adekuat untuk banyak kasus, kateter arteri
pulmoner secara umum hanya digunakan pada pasien dengan penyakit
jantung berat. Penempatan CVP invasif atau katter arteri pilmoner bukan
prosedur sederhana. Risiko yang dapat ditemui termasuk trauma arterial,
pneumothorax, emoboli vena paru, nerutopati, dan aritmia jantung. Risiko

60
lain akibat pengembangan balon kateter arteri pulmoner termasuk perdarahan
arteri pulmoner fatal, tromboembolisme, sepsis, dan kerusakan endocardial
Penggunaan Transthoracic Echocardiography (TTE) bisa dilakukan untuk
monitoring invasif fungsi jantung dan status volume. TTE bermanfaat
khususnya pada medis yang berpengalaman sebagai penunjuk manajemen
cairan pada wanita preeklamsia dengan risiko edema pulmoner dan oliguria.
Edema pulmoner dapat diketahui dengan USG paru
Analisis pulse waveform disarankan sebagai metode invasif minimal untuk
mengukur Cardiac Output pada pasien dengan preeklamsia berat.
Kesimpulannta, adanya preeklamsia berat bukan merupakan indikasi
monitoring tekanan arteri pulmoner ataupun pemasangan CVP. Tidak
terdapat indikasi monitoring hemodinamik sentral yang unik untuk
preeklamsia. Preeklamsia adalah oenyakit sirkulasi perifer, bukan sirkulasi
sentral Indikasi monitoring invasif sentral sama pada penyakit multisistemm
lain seperti sepsi berat, disfungsi organ multisistem, edema pulmoner,
penyakit jantung kongenital, dan kardiomiopati.
Penggunaan monitoring TTE dan arterial waveform dapat menyediakan
mrtode kurang invasif untuk mengukur parameter hemodinamik pada pasien
preekl. Beberapa wanita perlu ditransfer ke unit terapi intensif yang
menyediakan manajemen critical care.

 Terminasi Kehamilan
Persalinan per vaginam sebaiknya dilakukan pada seluruh wanita dengan
preeklamsia tanpa gejala berat, dengan anggapan tidak ada indikasi persalinan
caesar yang lain. Persalinan per-vaginam juga sebaiknya dilakukan pada
semua wanita dengan penyakit berat, terutama jika usia gestasi di atas 34
minggu. Persalinan pervaginam lebih dipilih dibanding persalinan caesar
untuk wanita dengan preeklamsia, karena untuk menghindari tambahan stress
operasi pada terhadap perubahan fisiologis multipel. Induksi persalinan
sebaiknya dilakukan secara agresif setelah keputusan untuk persalinan sudah
dibuat. Pada usia gestasi preterm di saat peralinan diindikasikan, dan kondisi
fetal dan maternal cukup stabil untuk mempertahankan kehamilan selama 48

61
jam, glukokortikoid dapat diberikan dengan aman untuk mempercepat
maturitas pulmoner fetal. Persalinan caesar bisa silakukan jika kondisi
maternal atau fetal memerlukan persalinan segera atau jika indikasi lain untik
persalinan caesar ada. [ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Untuk mempercepat maturitas paru-paru fetal, seluruh wanita yang
mengalami preeklamsia berat atau sindrom HELLP di antara usia gestasi 24-
33 minggu sebaiknya memerima terapi kortikosteroid. Beberapa penelitian
menunjukkan, pemberian betametasone pada ibu dengan preeklamsia berat
dengan usia kehamilan 26-34 minggu menunjukkan reduksi yang signifikan
pada jumlah sindrom distres pernapasan neonatus dan penurunan angka
kejadian perdarahan intraventrikular neonatal, infeksi, dan kematian.
[ CITATION Cun14 \l 1057 ]
Data yang ada juga menunjukkan terapi dengan kortikosteroid menghasilkan
peningkatan jumlah platelet pada wanita dengan HELLP, dengan
dexmathasone lebih baik dibanding betametason. [ CITATION Cun14 \l 1057 ]

62
BAB III
KESIMPULAN
BAB III KESIMPULAN

1. Perubahan fisiologis pada kehamilan dapat terjadi, mulai dari perubahan berat
badan, sistem respirasi, perubahan volume darah, perubahan pada ginjal,
saluran cerna, hingga perubahan pada system saraf pusat dan perifer serta
perubahan lainnya, pada keadaan tertentu perubahan ini dapat menjadi suatu
penyakit patologis pada ibu hamil.
2. Beberapa penyakit pada ibu hamil yang dapat jatuh dalam masa kritis antara
lain preeklampsia-eklampsia, sepsis, dan perdarahan obstetri, yang dapat
menyebabkan kondisi seperti penurunan kesadaran, syok septik, syok
hemoragik, dan komplikasi maternal dan fetal lain yang dapat
membahayakan kehidupan ibu dan bayi.
3. Hipertensi pada kehamilan dapat meningkatkan risiko eklampsia ataupun
stroke maternal pada ibu. Selanjutnya, jika terjadi preeklampsia, risiko
perdarahan postpartum, abruption plasenta serta gagal jantung juga dapat
terjadi. BBLR, asfiksia perinatal, kematian janin intrauterine atau intrapartum
dapat terjadi jika ibu hamil telah mengalami preeklampsia atau telah progresif
menjadi preeklampsia berat atau sindrom HELLP. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah pemberian antihipertensi per oral untuk mempertahankan
TDS di 120-160 mmHg dan TDD di 80-105 mmHg. Jika terjadi hipertensi
emergensi (tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >
110 mmHg bertahan minimal 15 menit), pemberian antihipertensi intravena
atau nifedipin per oral untuk menurunkan peningkatan tekanan darah yang
akut. Pemberian profilaksis kejang yaitu magnesium sulfat juga perlu
diberikan pada ibu hamil dengan preeklampsia.
4. Korioamnionitis dapat meningkatkan risiko kelahiran premature, abrupsio
plasenta, atonia uteri, kematian, ataupun infertilitas pada endometritis.
Komplikasi lain adalah berujungnya penyakit menjadi kondisi sepsis, dan
lebih parah lagi, syok septik. Risiko pneumonia, meningitis, sepsis, dan
kematian pada neonatus juga meningkat jika lahir dari ibu yang mengalami

63
infeksi prenatal. Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah terminasi
kehamilan, penatalaksanaan suportif, pemberian antibiotik. Jika terjadi sepsis,
penatalaksanaan disesuaikan dengan paket 1 jam SSC.
5. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu dengan PPCM adalah hipoksia,
tromboembolisme, gagal jantung progresif, dan aritmia. Komplikasi fetal
yang dapat terjadi antara lain; distress karena hipoksia maternal, distress
karena hipoperfusi plasental sebagai akibat dari cardiac output yang buruk,
hypovolemia maternal kibat diuresis yang berlebihan, atau hipotensi karena
reduksi afterload yang agresif. Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah
penatalaksanaan umum untuk gagal jantung yaitu pemberian diuretic dan
antihipertensi, serta dapat dipertimbangkan pemberian antikoagulan.
6. Penatalaksanaan secara umum pasien yang memerlukan perawatan intensif
adalah mulai dari mengamankan airway (jalan napas), breathing, dan
circulation selanjutnya adalah pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan
laboratorium dan radiologi, penatalaksanaan sesuai penyebab, monitoring,
selain itu juga penatalaksanaan untuk kesehatan janinnya.
.

DAFTAR PUSTAKA

[1] F. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, C. Y. Spong, J. S. Dashe, B. L. Hoffman, B. M.


Casey and J. S. Sheffield, "Hypertensive Disorders," in Williams Obstetrics 24th Edition,
United States, McGraw-Hill, 2014, pp. 728-770.

[2] K. Kongwattanakul, P. Saksiriwuttho, S. Chaiyarach and K. Thepsuthammarat,


"Incidence, characteristics, maternal complications, and perinatal outcomes
associated with preeclampsia with severe features and HELLP syndrome," Int J
Womens Health, vol. 10, pp. 371-377, 2018.

[3] B. M. Scavone, "Antepartum and Postpartum Hemorrhage," in Chestnut's Obstetric


Anesthesia Principles and Practice Fifth Edition, Philadelphia, Elseveir, 2014, pp. 881-
914.

[4] S. Segal, "Fever and Infection," in Chestnut's Obstetric Anesthesia Principles and
Practice Fifth Edition, Philadelphia, Elseiver, 2014, pp. 862-864, 865-866.

[5] Z. Arany and U. Elkayam, "Peripartum Cardiomyopathy," Circulation AHA Journal, vol.

64
133, no. 14, pp. 1397-1409, 2016.

[6] D. Y. Bisri and T. Basri, Anatomi dan Fisiologi Wanita Hamil, Jakarta: Kolegium
Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, 2013, p. 2013.

[7] S.-P. P., N. P. Catherine, H. Tolppanen and A. Mebazaa, "Cardiovascular Journal of


Africa," Physiological Changes in Pregnancy, vol. 27, no. 2, pp. 89-94, 2016.

[8] S. T. Pandya and K. Mangalampally, "Critical care in obstetrics," Indian J Anaesth, vol.
62, no. 9, pp. 724-733, 2018.

[9] A. C. o. O. a. Gynecologist, "Hypertension in Pregnancy. Report of the American


College of Obstetricians and Gynecologists' Task Force on Hypertension in Pregnancy,"
Obstet Gynecol, vol. 122, no. 1122, p. belum tahu, 2013.

[10] Y. Lin, Y. Zhang, Y. Jiang and W. Song, "Medication for management of pregnancy-
induced," Clin Trials Degener Dis, vol. 3, no. 2, pp. 83-87, 2018.

[11] F. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, C. Y. Spong, J. S. Dashe, B. L. Hoffman, B. M.


Casey and J. S. Sheffield, "Obstetrical Hemorrhage," in Williams Obstetrics 24th
Edition, United States, McGraw-Hill, 2014, pp. 780-804.

[12] F. M. Bany-Mohammed, "Chorioamnionitis," Medscape, 8 Mei 2018. [Online].


Available: https://emedicine.medscape.com/article/973237-overview. [Accessed 9
Maret 2019].

[13] M. M. Levy, L. E. Evans and A. Rhodes, "The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018
update," 19 April 2018. [Online]. Available:
https://doi.org/10.1097/CCM.0000000000003119. [Accessed 3 January 2019].

[14] D. VanValkinburgh and J. J. McGuigan, "Inotropes And Vasopressors," StatPearls


Publishing, 27 Oktober 2018. [Online]. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482411/. [Accessed 3 Maret 2019].

[15] W. Wan and T. Gin, "General obstetric emergencies," in Oh’s Intensive Care Manual
Seventh Edition, United States, Elsevier, 2014, pp. 682-691.

[16] F. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, C. Y. Spong, J. S. Dashe, B. L. Hoffman, B. M.


Casey and J. S. Sheffield, "Cardiovascular Disorders," in Williams' Obstetrics 24th
Edition, United States, McGraw-Hill, 2014, pp. 988-990.

[17] M. I. Vidovich, "Cardiovascular Disease," in Chestnut's Obstetric Anesthesia Principles


and Practice 5th Edition, Philadelphia, Elsevier, 2014, pp. 989-990.

[18] B. T. Bateman and L. S. Polley, "Hypertensive Disorder," in Chestnut's Obstetric


Anesthesia Principles and Practice Fifth Edition, Philadelphia, Elseveir, 2014, pp. 825-
852.

[19] F. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, C. Y. Spong, J. S. Dashe, B. L. Hoffman, B. M.


Casey and J. S. Sheffield, "Obstetric Hemorrhage," in Williams Obstetrics 24th Edition,

65
United States, McGraw-Hill, 2014, pp. 780-814.

[20] M. Lindheimer, S. Taler and F. Cunningham, " Hypertension in pregnancy.," Journal of


the American Society of Hypertension, vol. 2, pp. 484-494, 2008.

66

Anda mungkin juga menyukai