Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul

pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar

glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif

dilatarbelakangi oleh resistensi insulin. Diabetes mellitus adalah penyakit

metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai

normal (Soegondo, 2011; Kemenkes RI, 2013).

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di

Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun

2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM

sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes

Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di

Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.

Dengan angka tersebut Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau

naik dua peringkat dibandingkan data IDF tahun 2013 yang menempati

peringkat ke-7 di dunia dengan 7,6 juta orang penyandang DM (Perkeni,

2015).

Prevalensi penyakit DM di Indonesia sebesar 5,7% yang terdiri atas

1,5% atau sebesar 26% dari total penderita mengetahui bahwa dirinya DM

1
(diagnosed diabetes mellitus) dan 4,2% atau sebesar 74% dari total penderita

tidak mengetahui bahwa dirinya DM (undiagnosed diabetes mellitus), dimana

prevalensi DM meningkat pada usia ≥ 35 tahun dan menurun setelah usia >

74 tahun (DEPKES RI, 2008).

Prevalensi diabetes se-Indonesia diduduki oleh Provinsi Jawa Timur

karena diabetes merupakan 10 besar penyakit terbanyak. Menurut data Profil

Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2015, DM merupakan penyakit tidak

menular yang termasuk dalam 10 penyakit pasien rawat inap terbanyak kedua

di Jawa Timur setelah hipertensi. Penyakit diabetes mellitus di Jawa Timur

masih merupakan ancaman masalah kesehatan yang serius saat ini. Terdapat

300 ribu pasien diabetes mellitus di Jawa Timur dari jumlah total penduduk

33 juta orang di Indonesia. Prevalensi diabetes mellitus di Provinsi Jawa

Timur adalah 1,43%-1,47% (Wulandari dan Martini, 2013; Jauhari, 2016).

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang tidak dapat

disembuhkan dan disandang selama seumur hidup. Pasien dan keluarga juga

mempunyai peran yang penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi untuk

memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, dan

penatalaksanaan diabetes mellitus. Pengetahuan yang baik sangat membantu

meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam upaya penatalaksanaan diabetes

mellitus guna mencapai hasil yang lebih baik. Pengetahuan penderita diabetes

mellitus tentang penyakitnya dapat meningkatkan peran aktif mereka untuk

ikut serta dalam pengelolaan dan pengendalian diabetes mellitus (Perkeni,

2015). Keberhasilan suatu pengobatan diabetes mellitus sangat dipengaruhi

2
oleh kepatuhan penderita untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan

yang tinggi, pengobatan diabetes mellitus dapat terlaksana secara optimal dan

kualitas kesehatan bisa tetap stabil. (Saifunurmazah, 2013). Kepatuhan adalah

tingkat pasien melaksanakan bagaimana cara pengobatan dan perilaku yang

disarankan oleh dokter atau oleh tenaga medis yang lain (Prayogo, 2013).

Jumlah pasien posyandu lansia yang dilaporkan di Wilayah Kerja Desa

Sekardangan Kabupaten Sidoarjo tahun 2019 sebanyak 172 orang. Jumlah

kunjungan pasien diabetes mellituspada bulan April sebanyak 88 orang,

sedangkan pada bulan Mei 2019 jumlah kunjungan pasien diabetes mellitus

dilaporkan sebanyak 34 orang. Berikut adalah tabel cakupan pasien diabetes

mellitus posyandu lansia bulan April-Mei 2019 di wilayah kerja Puskesmas

Sekardangan Kabupaten Sidoarjo.

Tabel 1.1: Cakupan Pasien Diabetes Mellitus Posyandu Lansia Bulan

April-Mei 2019 di Wilayah Kerja Puskesmas Sekardangan Kabupaten

Sidoarjo.

Jumlah Kunjungan
Desa DM
April Mei
Sekardangan 12 7
Celep 11 7
Pucang 2 0
Bulusidokare 39 20
Gebang 3 0
Rangkah
21 0
Kidul
Total 88 34
Data dari posyandu lansia, 2019

3
Dari teori yang dikemukakan, upaya pencegahan dapat dilakukan agar

terhindar dari penyakit DM, baik secara primer maupun sekunder.

Pencegahan primer yaitu berupa pencegahan melalui modifikasi gaya hidup

seperti pola makan yang sesuai aktivitas fisik yang memadai atau olahraga.

Adapun pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pengecekan atau

kontrol fisik dan pengecekan urine. Keberhasilan suatu pengobatan baik

secara primer maupun sekunder, sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita

DM untuk menjaga kesehatannya (Saifunurmazah, 2013). Dilihat dari data di

atas, jumlah pasien diabetes mellitus yang tertinggi terdapat pada desa

Bulusidokare. Sedangkan kepatuhan untuk kotrol pada pasien dengan

penyakit diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas Sekardangan masih

rendah dan kepatuhan berobat untuk pasien-pasien tersebut belum pernah

diteliti. Maka, peneliti bermaksud untuk mengkaji hubungan karakteristik

pasien (usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dan tingkat

pengetahuan dengan kepatuhan berobat pada pasien diabetes mellitus di

posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo. Sehingga rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut:

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara karakteristik pasien (usia, jenis kelamin,

pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dan tingkat pengetahuan tentang

komplikasi diabetes mellitus dengan kepatuhan berobat pada pasien diabetes

mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo?

C. Tujuan Penelitian

4
1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara karakteristik pasien (usia, jenis

kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dan tingkat pengetahuan

tenatng komplikasi diabetes mellitus dengan kepatuhan berobat pada

pasien diabetes mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten

Sidoarjo.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis

kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan di posyandu lansia Desa

Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

b. Menigidentifikasi tingkat pengetahuan tentang komplikasi diabetes

mellitus pasien diabetes mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare

Kabupaten Sidoarjo.

c. Mengidentifikasi kepatuhan berobat pasien diabetes mellitus di

posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

d. Menganalisis hubungan antara karakteristik pasien (usia, jenis

kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dengan kepatuhan berobat

pada pasien diabetes mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare

Kabupaten Sidoarjo.

e. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan tentang komplikasi

diabetes mellitus dengan kepatuhan berobat pada pasien diabetes

mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

5
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis

Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi Puskesmas

Sekardangan Kabupaten Sidoarjo sabagai dasar puskesmas untuk

memberikan promosi kesehatan kepada masyarakat mengenai hubungan

antara karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang komplikasi diabetes

mellitus dengan kepatuhan berobat pada pasien diabetes mellitus di

posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

2. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran tentang hubungan antara karakteristik dan

tingkat pengetahuan tentang komplikasi diabetes mellitus dengan

kepatuhan berobat pada pasien diabetes mellitus di posyandu lansia Desa

Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Berdasarkan definisi American Diabetes Association (ADA) tahun

2010, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (ADA, 2010).

2. Klasifikasi

Menurut Perkeni (2011), klasifikasi diabetes melitus adalah sebagai

berikut.

a. Diabetes Melitus tipe 1 : Destruksi sel beta pancreas, umumnya terjadi

defisiensi insulin absolute sehingga mutlak membutuhkan terapi insulin.

Biasanya disebabkan karena penyakit autoimun atau idiopatik

b. Diabetes Melitus tipe 2 : Bervariasi, mulai yang dominan resistensi

insulin disertai defisiensi insulin relative, sampai dominan defek sekresi

insulin sebagai akibat dari resistensi insulin.

c. Diabetes Melitus tipe lain :

1) Defek genetik fungsi sel beta

2) Defek genetik kerja insulin

3) Penyakit eksokrin pancreas

7
4) Endokrinopati

5) Karena obat/zat kimia/ iatrogenik

6) sebab imunologi yang jarang

d. Diabetes melitus gestasional : Diagnosis DMG adalah DM atau TGT atau

GDPT yang pertama kali diketahui pada saat kehamilan berlangsung.

3. Epidemiologi

Menurut penelitian epidemiologi angka kejadian diabetes melitus

cenderung mengalami peningkatan angka insidensi dan prevalensi. Proporsi

kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang

menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita

diabetes melitus tipe 1 (Fatimah, 2015; KEMENKES RI, 2016).

Pada tahun 2013 berdasarkan penelitian oleh IDF (Internasional

Diabetes Federation) atlas edisi ke-6 tahun 2013, Indonesia tercatat jumlah

penderita Diabetes Melitus 8,5 juta ( prevalensi 5,55%) dan pada saat itu

menempati nomer 7 urutan di dunia (KEMENKES RI, 2016)

Penelitian yang dilakukan RISKESDAS-2007, pada saat penelitian

dilaksanakan jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta jiwa. Data

penelitian diambil dari 33 provinsi pada usia 15 tahun atau lebih dengan

jumllah sampel 19.114 yang diambil dari populasi daerah urban. Dengan

asusmsi populasi penduduk Indonesia 230 juta jiwa didapatkan jumlah

penderita Diabetes Melitus di Indonesia adalah 10 juta, dengan prevalensi

Diabetes Melitus 5,7 % (Pria 4,9%, wanita 6,4%). Dari prevalensi Diabetes

Melitus 5,7% ternyata terdiri dari 26,3% pasien yang mengetahui mengidap

8
Diabetes Melitus (diagnosed Diabetes Melitus), sedangkan 73,7% tidak

mengetahui adanya Diabetes Melitus sebelumnya (Undiagnosed diabetes

mellitus). Hasil RISKESDAS-2007: terdapat 10 provinsi dengan prevalensi

diabetes 10 terbesar diantaranya:

a. Maluku utara, prevelensi 11.1 %

b. Kalimantan Barat, prevelensi 11,1%

c. Riau, prevelensi 10,4%

d. Bangka Belitung, prevelensi 8,6%

e. Nangroe Aceh Darussalam, prevelensi 8,5%

f. Sulawesi Utara, prevelensi 8,1%

g. Jawa Tengah, prevelensi 7,8%

h. Gorontalo, prevelensi 7,7%

i. Jawa Timur, prevelensi 6,8% (Surabaya 7,0%)

j. DKI Jakarta 6,6%

4. Faktor Resiko

Diabetes mellitus mempunyai karakteristik yang khas yaitu

hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan bagian dari sindrom metabolik

atau sindrom resistensi insulin. Sindrom metabolic merupakan sekumpulan

kelainan metabolic yang mengarah pada resiko penyakit kardiovaskular dan

diabetes. Sindrom metabolik ditegakkan dengan adanya minimal tiga dari

kriteria berikut (Askandar, 2015):

a. Lingkar pinggang ≥ 90 cm untuk laki-laki atau ≥80 cm untuk perempuan.

b. Trigliserida Plasma ≥ 150 mg/dL atau sedang mengkonsumsi obat

9
penurun kolesterol (Kriteria Asia Pasifik)

c. HDL plasma <40 mg/dL pada laki-laki atau >50 pada perempuan

d. Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg atau sedang mengkonsumsi obat anti

hipertensi.

e. Glukosa darah puasa >100 mg/dL.

5. Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang

berperan yaitu adanya Resistensi insulin dan Disfungsi sel B pancreas.

Diabetes mellitus tipe 2 disebabkan karena sel sel sasaran insulin gagal atau

tidak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut sebagai

“resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas

dan kurangnya aktivitas fisik serta penuaan (Fatimah, 2015).

Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2 hanya

bersifat relatif dan tidak absolut. Pada awal perkembangan diabetes mellitus

tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya

sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak

ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi

kerusakan sel-sel B pankreas (Fatimah, 2015).

Secara garis besar patofisiologi diabetes mellitus tipe-2 disebabkan

oleh delapan hal (omnius octet): (PERKENI, 2015)

a. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat terdiagnosa DM tipe-2, diperkirkirakan pasien tersebut sudah

mengalami kehilangan 50% massa sel beta pancreas, sehingga terjadi

10
ketidakseimbangan antara sekresi insulin dan resistensi insulin.

b. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan

memicu gluconeogenesis, sehingga produksi glukosa dalam keadaan

basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat.

c. Otot

Pada DM tipe-2 didapatkan gangguan kerja insulin yang multiple di

intramioselular.

d. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap anti lipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA= Free

Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses

glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.

e. Usus

Glukosa yang masuk ke dalam usus melalui makanan memicu respon

insulin lebih besar dari pada diberikan melalui intravena. Saluran

pencernaan mempunyai fungsi dalam penyerapan karbohidrat melalui

kerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi

monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat

meningkatkan glukosa darah setelah makan.

f. Sel alfa pancreas

Sel alfa berfungsi dalam sintesis glucagon yang dalam keadaan puasa

kadarnya di dalam plasma akan meningkat.

11
g. Ginjal

Ginjal memfiltrasi 163 gram glukosa sehari. 90% dari glukosa terfiltrasi

ini akan diserap kembali oleh SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter)

pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan

diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus descenden dan ascenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada DM tipe-2 terjadi

peningkatan ekspresi SGLT-2.

h. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obesitas baik DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan kompensasi dari resistensi insulin.

6. Gejala Klinis

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar

berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. penderita DM tipe-2 rata- rata

berumur 40 tahun atau lebih dan punya berat badan lebih (overweight) atau

obesitas (Obesity). Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia

dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejal tidak

khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata

kabur, disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita (PERKENI,

2015).

7. Diagnosis

a. Menurut Askandar (2015), kriteria diagnosis DM meliputi:

1) Gejala Klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL

12
2) Atau Gejala Klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL

3) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL

4) Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 % dengan metode yang terstandarisasi

oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP)

b. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: Toleransi

Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

(Askandar, 2015).

Tabel 2.1: Tes Laboratorium

HbA1c (%) Glukosa Darah Puasa Glukosa plasma 2 jam

(mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 6,5 ≥126 mg/dL ≥200 mg/dL

Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 < 100 <140

Sumber: Askandar, 2015

13
c. Langkah-langkah Diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa

Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Khas (+) Keluhan khas (-)

GDP ≥ 126 < 126 ≥ 126 ≥110-125 ≥ 126 <110

GDS ≥ 200 <200 ≥ 200 ≥ 110-199 ≥ 200

Ulang GDS/GDP

GDP ≥ 126 < 126 TTGO GD


2 jam
GDS ≥ 200 <200

>200 140-199 <140

DIABETES MELITUS TGT GDPT Normal

Gambar 2.1 Langkah-langkah Diagnostik Diabetes Mellitus

Sumber: PERKENI, 2015

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis

diabetes melitus tipe-2 dan prediabetes pada kelompok resiko tinggi yang

tidak menunjukan gejala DM yaitu: (PERKENI, 2015)

14
1) Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23

kg/m2)

Kelompok resiko tinggi DM bila terdapat kelompok dengan berat

badan lebih yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai

berikut:

a) Aktivitas fisik yang kurang.

b) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DMdalam

keluarga).

c) Kelompok ras/etnis tertentu.

d) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >

4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).

e) Hipertensi (≥ 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk

hipertensi).

f) HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL.

g) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.

h) Riwayat prediabetes.

i) Obesitas berat, akantosis nigrikans.

j) Riwayat penyakit kardiovaskular.

2) Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa

plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun kecuali pada

kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

15
Apabila tidak ada fasilitas pelayanan TTGO maka dapat

digunakan pemeriksaan penyaring dengan menggunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM

(PERKENI, 2015).

8. Komplikasi

Menurut Prince & Wilson (2012), komplikasi-komplikasi

Diabetes Mellitus dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

a. Komplikasi Metabolik Akut :

1. Ketoasidosis diabetik

2. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik

3. Hipoglikemia

b. Komplikasi Kronik Jangka Panjang :

1. Retinopati diabetik

2. Glomerulosklerosis diabetik

3. Nefropati diabetik

4. Neuropati perifer

Penyakit makrovaskular mengacu pada aterosklerosis dengan

berkembangnya penyakit arteria koronaria, stroke, penyakit pembuluh

darah perifer, dan meningkatnya risiko infeksi.

9. Penatalaksanaan

a. Non farmakologi

1) Edukasi

16
Edukasi diberikan kepada pasien dengan tujuan promosi hidup

sehat sebagai upaya pencegahan dan merupakan bagian yang

penting dari pengelolaan DM secara holistic. Materi edukasi terdiri

dari materi edukasi tingkat awal dan lanjutan (PERKENI, 2015)

a) Materi edukasi tingkat awal yaitu tentang perjalanan penyakit

DM, pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan,

penyulit DM dan resikonya, mengenal gejala dan penanganan

hipoglikemia, pentingnya perawatan kaki.

b) Materi edukasi tingkat lanjut tentang penyulit akut DM,

pengetahuan penyakit, dan elemen perawatan kaki.

2) Terapi nutrisi medis

Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari

penatalaksanaan DM tipe 2 secara komprehensif. Beberapa cara

perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut: (Askandar,

2015).

Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus

Broca yang dimodifikasi:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di

bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi:

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

(1)BB Normal: BB ideal ±10 %

(2)Kurus: kurang dari BBI - 10 %

17
(3)Gemuk: lebih dari BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/TB(m2)

3) Latihan Jasmani

Latihan jasmani apabila dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali

perminggu selama 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu

dapat menurunkan berat badan, memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah.

b. Farmakologi

1) Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan: (Askandar, 2015)

a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

b) Penghambat Alfa Glukosidase

c) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

d) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporte)

2) Terapi insulin

Terapi insulin ditunjukkan terutama pada penderita DM tipe 1, dan

sebagian penderita DM tipe 2 (Askandar, 2015).

B. Perilaku

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan perkataan

lain, perilaku kita pada umumnya dimovtivasi oleh suatu keinginan untuk

18
mencapai tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui

secara sadar oleh individu yang bersangkutan (Winardi, 2004).

Berikut merupakan definisi perilaku sebagai hasil dari konstruksi

teori-teori dan riset, sebagai berikut:

a. Perilaku merupakan sesuatu yang disebabkan karena sesuatu hal

b. Perilaku ditunjukkan ke arah sasaran tertenu

c. Perilaku yang dapat diobservasi dapat diukur

d. Perilaku yang tidak langsung dapat di observasi (contoh berpikir,

melaksanakan persepsi) juga penting dalam rangka mencapai tujuan-

tujuan

e. Perilaku dimotivasi

Skinner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi sesorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar), oleh karena perilaku itu terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap

organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Respons dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Respondent respons atau reflexive, yaitu respons yang ditimbulkan

oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya cahaya

terang menyebabkan mata tertutup. Respons ini mencakup perilaku

emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih.

b. Operant respons atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul

dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang

tertentu. Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya

19
dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya,

maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dalam melaksanakan

tugasnya.

1. Determinan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk

dibatasi karena perilaku merupakan resultansi dari berbgai faktor, baik

internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terinci perilaku

manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiawaan,

seperti pengatahuan keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap

dan sebagainya. Namun demikian pada ealitasnya sulit dibedakan atau

dideteksi gejala kejiawaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila

ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiawaan tersebut ditentukan atau

dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor

pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio-budaya masyarakat dan

sebagainya (Notoatmodjo. 2003).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut teori Lawrence Green dan kawan-kawan (1980)

menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok,

yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non

behiaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau

terbentuk dari 3 faktor yaitu:

20
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu karakteristik pasien

(jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan tingkat pendidikan), pengetahuan,

sikap, dan sebagainya.

b. Faktor pendukung (enabling factors), yang mencakup lingkungan

fisik, tersedia atau tidak, tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-

sarana keselamatan kerja.

c. Faktor pendorong (reinforcing factors), faktor-faktor ini meliputi

undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya

(Notoatmodjo, 2003).

C. Karakteristik Pasien

1. Usia

Usia sebagai salah satu sifat karakteristik tentang orang yang

dalam studi epidemiologi merupakan variabel yang cukup penting karena

cukup banyak penyakit ditemukan dengan berbagai variasi frekuensi yang

disebabkan oleh umur (Noor, 2008).

2. Jenis kelamin

Menurut Kartono dalam Astuti (2009) jenis kelamin/seks

merupakan kualitas yang menentukan individu itu laku-laki atau

perempuan yang menyatakan bahwa perbedaan secara anatomis dan

fisiologis pada manusia menyebabkan perbedaan struktur tingkah laku

dan struktur aktivitas antara pria dan wanita. Menurut Hawk (2005),

wanita lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan dari pada laki-laki,

dan wanita lebih sering berpartisipasi dalam pemeriksaan kesehatan.

21
3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.

Untuk melakukan pekerjaan tentunya di perlukan waktu, dengan

mempunyai pekerjaan yang membutuhkan waktu yang relatif lama,

kemungkinan untuk memperhatikan lingkungan cenderung menurun.

Selain itu, dengan kondisi pekerjaan yang menyita banyak waktu

ditambah dengan pendapatan yang relatif rendah masyarakat akan

cenderung untuk lebih memikirkan hal-hal pokok antara lain pangan,

sandang, papan (Rahmansyah, 2012).

4. Tingkat Pendidikan

a) Definisi

Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan adalah upaya persuasi

atau pembelajaran kepada masyarakat, agar masyarakat mau melakukan

tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-

masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan

kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui

proses pembelajaran, sehingga perilaku tersebut diharapkan akan

berlangsung lama (long lasting) dan menetap (langgeng), karena didasari

oleh kesadaran. Dari beberapa definisi tentang pendidikan diatas dapat

disimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya persuasif yang dilakukan 8

untuk menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan potensi

22
yang dimiliki secara menyeluruh dalam memasuki kehidupan dimasa

yang akan datang.

b) Tingkat Pendidikan

Tingkat atau jenjang pendidikan adalah tahap pendidikan yang

berkelanjutan, yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta

didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan

pengajaran (Ihsan, 2011).

Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

menjelaskan bahwa indikator tingkat pendidikan terdiri dari jenjang

pendidikan dan kesesuaian jurusan. Jenjang pendidikan adalah tahapan

pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta

didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan,

yaitu terdiri dari:

i. Pendidikan dasar

Jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun

pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang

pendidikan menengah. Pendidikan dasar terdiri dari :

1) Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah

2) SMP atau MTs

Menurut Ihsan (2011) Pendidikan dasar diselenggarakan

untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam

9 masyarakat, berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan

keterampilan dasar.

23
ii. Pendidikan menengah

Jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan

menengah terdiri dari:

1) SMA dan MA

2) SMK dan MAK

Menurut Ihsan (2011) Pendidikan menengah dalam

hubungan kebawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan

pendidikan dasar. Adapun dalam hubungan keatas mempersiapkan

peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki

lapangan kerja.

iii. Pendidikan tinggi

Jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang

mencakup program sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi terdiri

atas:

1) Akademik

2) Institut

3) Sekolah Tinggi

c) Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan

Faktor yang Memperngaruhi Tingkat Pendidikan Faktor yang

mempengaruhi tingkat pendidikan menurut Hasbullah (2003) adalah

sebagai berikut:

24
1. Ideologi Semua manusia dilahirkan kedunia mempunyai hak yang

sama khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan dan

peningkatan pengetahuan dan pendidikan.

2. Sosial Ekonomi Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi

memungkinkan seseorang mencapai tingkat pendidikan yang lebih

tinggi.

3. Sosial Budaya Masih banyak orang tua yang kurang menyadari

akan pentingnya pendidikan formal bagi anak-anaknya.

4. Perkembangan IPTEK Perkembangan IPTEK menuntut untuk

selalu memperbaharui pengetahuan dan keterampilan agar tidak

kalah dengan negara maju.

Psikologi Konseptual pendidikan merupakan alat untuk

mengembangkan kepribadian individu agar lebih bernilai.

D. Tingkat Pengetahuan

1. Definisi

Pengertian Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap suatu objek dari indra yang

dimilikinya (Notoatmodjo, 2012).

2. Tingkat pengetahuan

a. Tahu (know)

Tahu adalah mengingat kembali memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

25
Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan

tentang suatu objek yang diketahui dan diinterpretasikan secara

benar

c. Aplikasi (application)

Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk mempraktekkan

materi yang sudah dipelajari pada kondisi real (sebenarnya).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan menjabarkan atau menjelaskan

suatu objek atau materi tetapi masih di dalam struktur organisasi

tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan yang lainnya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan menghubungkan

bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau objek

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan

a. Pendidikan

Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku

seseorang atau kelompok dan merupakan usaha mendewasakan

manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Budiman &

Riyanto, 2013). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka

26
semakin capat menerima dan memahami suatu informasi sehingga

pengetahuan yang dimiliki juga semakin tinggi (Sriningsih, 2011).

b. Informasi/ Media Massa

Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,

menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan,

menganalisis dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu.

11 Informasi diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan

perubahan dan peningkatan pengetahuan. Semakin berkembangnya

teknologi menyediakan bermacam-macam media massa sehingga

dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Informasi

mempengaruhi pengetahuan seseorang jika sering mendapatkan

informasi tentang suatu pembelajaran maka akan menambah

pengetahuan dan wawasannya, sedangkan seseorang yang tidak

sering menerima informasi tidak akan menambah pengetahuan dan

wawasannya.

c. Sosial

Budaya dan Ekonomi Tradisi atau budaya seseorang yang

dilakukan tanpa penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk

akan menambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi juga akan menentukan tersedianya fasilitas yang

dibutuhkan untuk kegiatan tertentu sehingga status ekonomi akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang. Seseorang yang

27
mempunyai sosial budaya yang baik maka pengetahuannya akan

baik tapi jika sosial budayanya kurang baik maka pengetahuannya

akan kurang baik. Status ekonomi seseorang mempengaruhi tingkat

pengetahuan karena seseorang yang memiliki status ekonomi

dibawah rata-rata maka seseorang tersebut akan sulit untuk

memenuhi fasilitas yang diperlukan untuk meningkatkan

pengetahuan.

d. Lingkungan

Lingkungan mempengaruhi proses masuknya pengetahuan

kedalam individu karena adanya interaksi timbal balik ataupun

tidak yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh individu.

Lingkungan yang baik akan pengetahuan yang didapatkan akan

baik tapi jika lingkungan kurang baik maka pengetahuan yang

didapat juga akan kurang baik.

e. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman orang lain

maupun diri sendiri sehingga pengalaman yang sudah diperoleh

dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Pengalaman

seseorang tentang suatu permasalahan akan membuat orang

tersebut mengetahui bagaimana cara menyelesaikan permasalahan

dari pengalaman sebelumnya yang telah dialami sehingga

pengalaman yang didapat bisa dijadikan sebagai pengetahuan

apabila medapatkan masalah yang sama.

28
f. Usia

Semakin bertambahnya usia maka akan semakin

berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga

pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin membaik dan

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kontrol

Azwar, 2010 menjelaskan perilaku ketaatan pada individu sangat dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu:

1. Pengetahuan, merupakan hal yang sangat mempengaruhi terbentuknya

perilaku seseorang. Pengetahuan pasien tentang perawatan pada penderita

diabetes mellitus yang rendah dapat menimbulkan kesadaran yang rendah

pula yang berdampak dan berpengaruh pada penderita diabetes mellitus

dalam mengontrol gula darah, kedisiplinan pemeriksaan yang akibatnya

dapat terjadi komplikasi berlanjut.

2. Sikap, yaitu reakti tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau obyak.

3. Ciri-ciri individual, meiputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan

status sosial ekonomi.

4. Partisipasi keluarga, merupakan keikutsertaan keluarga didalam membantu

pasien melaksanakan perawatan dan pengobatan pasien.

29
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat:

Faktor Predisposisi:

1. Karakteristik pasien
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Tingkat pendidikan

2. Tingkat pengetahuan
3. Sikap
4. Motivasi
5. Kondisi kesehatan

Faktor Pendukung:
Kepatuhan berobat
1. Dukungan keluarga pasien DM
2. Dukungan tokoh masyarakat
3. Dukungan petugas kesehatan

Faktor Pendorong:
1. Faktor sosial
2. Faktor ekonomi
3. Faktor budaya
4. Faktor media informasi

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian, Modifikasi Teori Lawrence


Green (1980)
Keterangan: : Diteliti : Tidak diteliti

30
Perilaku penderita dalam hal kepatuhan berobat pasien DM dipengaruhi

beberapa faktor. Menurut Teori Lawrence Green perilaku seseorang dapat

dipengaruhi atau terbentuk dari 3 faktor antara lain faktor predisposisi, faktor

pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi terdiri atas karakteristik

pasien (usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan), sikap,

motivasi, dan kondisi kesehatan. Faktor pendukung terdiri atas dukungan

keluarga, dukungan tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan. Dan faktor

pendorong terdiri atas faktor sosial, ekonomi, budaya, dan media informasi.

Dalam penelitian ini variabel terikat yang diteliti adalah kepatuhan

berobat pasien diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas Sekardangan

Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan variabel bebas yang terlibat antara lain

tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan.

B. Hipotesis

1. Ada hubungan antara karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis

kelamin, pekerjaan dan tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat

pasien diabetes mellitus di posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten

Sidoarjo.

2. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang komplikasi diabetes

mellitus dengan kepatuhan berobat pasien diabetes mellitus di posyandu

lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo.

31
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan pada penelitian ini menggunakan pendekatan secara

kuantitatif dengan jenis penelitian observasional-analitik. Penelitian ini

menggunakan pendekatan cross sectional, dimana pengumpulan data

dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan pengamatan subjek

studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian (Notoatmodjo, 2010).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Posyandu Lansia Puskesmas

Sekardangan Kabupaten Sidoarjo dengan waktu penelitian selama masa tugas

koas di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo pada Mei sampai Juni

2019.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus di

posyandu lansia Desa Bulusidokare Kabupaten Sidoarjo sebesar 59

orang.

32
2. Sampel

1) Besar Sampel

Pengambilan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan

berdasarkan rumus (Notoatmodjo, 1993):

𝑁
𝑛=
1 + N (d)2

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar populasi

d = Tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,1)

Sehingga besar sampel penelitian ini dapat dihitung :

59
𝑛=
1 + 59 (0,1)2

59
𝑛=
1 + 59 (0,01)

59
𝑛=
1 + 0,59

𝑛 = 37,1

𝑛 = 37

Jadi, besar sampel pada penelitian ini adalah minimal 37

responden yang diambil menggunakan metode purposive sampling.

3. Teknik sampling

Menurut Sugiyono (2016), purposive sampling adalah teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Alasan

33
menggunakan teknik purposive sampling karena tidak semua sampel

memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Oleh

karena itu, penulis memilih teknik purposive sampling yang

menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu

yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam

penelitian ini.

4. Kriteria

1) Kriteria inklusi:

a. Pasien posyandu lansia yang berumur ≥ 45 tahun bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sekardangan.

b. Pasien posyandu lansia yang telah ditegakkan menderita diabetes

mellitus.

c. Pasien posyandu lansia yang telah menjalani pengobatan diabetes

mellitus.

d. Pasien posyandu lansia bersedia untuk menjadi reponden

penelitian.

e. Tidak ada kelainan jiwa

2) Kriteria eksklusi:

a. Bila responden tidak bersedia untuk di wawancarai.

b. Bila responden merupakan pendatang sementara.

c. Bila responden tidak terdaftar di register posyandu lansia.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen (bebas)

34
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab atau

mempengaruhi timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian ini

variabel indpendennya adalah karakteristik pasien (usia, jenis kelamin,

pekerjaan, dan tingkat pendidikan) dan tingkat pengetahuan pasien

tentang komplikasi diabetes mellitus.

2. Variabel Dependen (terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang menjadi akibat karena

adanya variabel independen. Dalam penelitian ini variabel dependennya

adalah kepatuhan berobat pasien diabetes mellitus.

E. Definisi Operasional

Tabel 4.1: Definisi Operasional

Definisi Skala
No Variabel Parameter Alat Ukur Skor
operasional data
Variabel Usia adalah Ketentuan Kuisioner Nominal Jika usia
Independen satuan waktu usia menurut pasien:
Karakteristik yang mengukur WHO: 1.45-59
Pasien: waktu dan 1.Pra lansia: tahun =
1. Usia keberadaan antara usia 45 skor 0.
suatu sampai 59 2. ≥ 60
benda/makhluk, tahun tahun =
baik yang hidup 2.Lansia: ≥ skor 1.
maupun yang 60 tahun
mati. (Nugroho,
2008)
2. Jenis Kelamin Karakteristik Jika jenis Kuisioner Nominal Jika jenis
yang dilihat dari kelamin kelamin
penampilan luar. pasien: pasien:
1.Laki-laki 1.Laki-
2.Perempuan laki =
skor 0
2.Peremp
uan =
skor 1.
3. Pekerjaan Pekerjaan Ketentuan Kuisioner Nominal Jika
adalah sesuatu pekerjaan pekerjaa

35
Definisi Skala
No Variabel Parameter Alat Ukur Skor
operasional data
yang dikerjakan pasien: n pasien:
untuk 1.Tidak 1.Tidak
mendapatkan bekerja bekerja =
nafkah atau 2.Bekerja skor 0.
pencaharian (Notoatmodjo 2.Jika
masyarakat yang , 2010) bekerja =
sibuk dengan skor 1.
kegiatan atau
pekerjaan
sehari-hari akan
memiliki waktu
yang lebih untuk
memperoleh
informasi
4. Variabel Tingkat Ketentuan Kuisioner Nominal Jika
Independen pendidikan tingkat tingkat
Tingkat adalah suatu pendidikan pendidik
Pendidikan proses jangka pasien: an
panjang yang 1.Pendidikan pasien:
menggunakan rendah: SD- 1.Tinggi
prosedur SMP = skor 1
sistematis dan 2.Pendidikan 2.Renda
terorganisir, tinggi: SMA- = skor 0.
yang mana Perguruan
tenaga kerja tinggi
manajerial (Arikunto,
mempelajari 2006)
pengetahuan
konseptual dan
teoritis untuk
tujuan-tujuan
umu.
Variabel Kemampuan Mampu Kuisioner Nominal Jika
Independen pasien untuk menjawab pengetah
5. Tingkat menjawab dengan benar uan
Pengetahuan pertanyaan tentang: pasien:
mengenai 1.Pengertian 1.Baik,
komplikasi penyakit bila
diabetes diabetes jawaban
mellitus. mellitus benar
2.Tujuan (≥18) =
mengetahui skor 1
tentang 2.Kurang
penyakit , bila

36
Definisi Skala
No Variabel Parameter Alat Ukur Skor
operasional data
diabetes jawaban
mellitus benar
3.Komplikasi (≤18) =
diabetes skor 0
mellitus
4.Pencegahan
diabetes
mellitus
5.Pengobatan
diabetes
mellitus.
(Prince &
Wilson,
2012)
Variabel Tindakan 1.Patuh, Kuisioner Nominal Jika
Dependen penderita terkait pasien kepatuha
6. Kepatuhan ketaatan dalam mematuhi n pasien:
Berobat proses: kontrol anjuran 1.Patuh,
Pasien rutin dan minum dokter yaitu, bila
Diabetes obat rutin. minum obat jawaban
Mellitus teratur, benar
mengatur (≥18) =
pola makan, skor 1
rajin 2.Tidak
melakukan patuh,
aktivitas bila
ringan, jawaban
kontrol rutin. benar
2.Tidak (≤18) =
patuh, pasien skor 0
tidak rutin
minum obat,
tidak
mematuhi
anjuran
dokter, yaitu
tidak
mengatur
pola makan
yang benar,
tidak rajin
melakukan
aktivitas
ringan, tidak

37
Definisi Skala
No Variabel Parameter Alat Ukur Skor
operasional data
rutin kontrol.
(Bab 2)

F. Jenis, Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

1. Data primer

Pengumpulan data primer diperoleh langsung dari responden

melalui wawancara dengan menggunakan pedoman kuesioner

penelitian yang telah dipersiapkan dan sebelumnya responden diberi

penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan berobat pasien diabetes

mellitus selama 2 bulan di posyandu lansia wilayah kerja Puskesmas

Sekardangan. Prosedur pengumpulan data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara, yaitu studi lapangan yang

meliputi:

a. Survei awal

Survei awal dilakukan sebagai pengamatan awal terhadap kondisi

wilayah kerja Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo yang

menjadi obyek penelitian dan menggali masalah yang ada di dalamnya

guna memperoleh data yang terkait dengan penelitian.

b. Wawancara

Mengadakan wawancara langsung dengan narasumber dari pasien

diabetes mellitus di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo

38
untuk mengetahui secara umum tingkat pengetahuan pasien diabetes

mellitus tentang komplikasi diabetes mellitus di wilayah kerja

Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo.

c. Penyebaran kuesioner

Kuesioner digunakan untuk mendapatkan bukti langsung dari

obyek penelitian dalam hal ini pasien diabetes mellitus. Cara

memperoleh data dari kuesioner dengan mendatangi pasien diabetes

mellitus satu persatu.

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian

1. Teknik pengolahan data (Dahlan, 2014).

a. Editing data dari kuesioner

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan (Hidayat, 2008). Hasil

wawancara yang dikumpulkan melalui kuesioner perlu disunting

terlebih dahulu. Kalau masih ada data atau informasi yang tidak

lengkap, dan tidak mungkin dilakukan wawancara ulang, maka

kuesioner tersebut dikeluarkan.

b. Pengkodean jawaban dari responden (coding)

Selanjutnya dilakukan pengkodean yaitu mengubah data berbentuk

kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan

(Notoatmodjo, 2010).

Kode yang digunakan dalam penelitian ini:

1) Usia pasien diabetes mellitus

39
Usia pasien bila antara 45-59 tahun mendapat skor 0, bila ≥ 60

tahun mendapat skor 1. Hasil kode 1 untuk usia pra lansia, dan

kode 2 untuk usia lansia.

2) Jenis kelamin pasien diabetes mellitus

Jenis kelamin bila laki-laki mendapat kode 1, bila perempuan

mendapat kode 2.

3) Pekerjaan pasien diabetes mellitus

Bila pasien tidak bekerja mendapat kode 1, bila bekerja

mendapat kode 2.

4) Tingkat pendidikan pasien diabetes mellitus

Tingkat pendidikan pasien ada 5 opsi, bila memilih opsi 4 atau

5 mendapat skor 1 dan opsi 1, 2, atau 3 mendapat skor 0. Hasil

kode 1 untuk tingkat pendidikan rendah dan hasil kode 2 untuk

tingkat pendidikan tinggi..

5) Tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus

Tingkat pengetahuan pasien ada 20 pertanyaan nomer B1-B20,

setiap pertanyaan benar diberi skor 1 dan bila salah skor 0.

Pada hasil penelitian ini skor rentang 0-20. Total skor < 18

(kurang) diberi kode 1, dan total skor ≥ 18 (baik) diberi kode 2.

6) Kepatuhan berobat pasien diabetes mellitus

Kepatuhan berobat pasien diabetes mellitus ada 20 pertanyaan

C1-C20, setiap pertanyaan benar diberi skor 1 dan bila salah

skor 0. Pada hasil penelitian ini skor rentang 0-20. Total skor <

40
18 (tidak patuh) diberi kode 1, dan total skor ≥ 18 (patuh)

diberi kode 2.

c. Penilaian data dari kuesioner dan lembar observasi (scoring)

Scoring yang dilakukan meliputi menentukan nilai-nilai dari data-

data yang telah dikumpulkan apakah sudah sesuai dengan

poin/nilai batasan yang diinginkan baik tertinggi maupun terendah.

d. Tabulasi data

Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data dengan

memasukkan data kea lam table yaitu hasil data yang telah di

rekapitulasi dimasukkan table distribusi frekuensi untuk mencari

perbedaan dari masing-masing variabel.

2. Analisis data

a. Analisis univariat

Data disajikan secara deskriptif digunakan untuk

menggambarkan karakteristik responden, pengetahuan tentang

komplikasi diabetes mellitus dan kepatuhan pengobatan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan

antara 2 variabel independent dan dependent dianalisis satu persatu

yang di analisis menggunakan uji chi-square karena akan

menganalisis data nominal.

Teknik analisis data menggunakan uji chi-square:

41
∑(𝑓0−𝑓𝑒)2
Rumus uji chi-square: X2 = 𝑓𝑒

Dimana:

X2 : Nilai chi kuadrat

fe : Frekuensi yang diharapkan

F0 : Frekuensi yang diperoleh/diamati

Kesimpulan hipotesis:

Jika tidak memenuhi kriteria uji chi square yaitu nilai

expected count < 5 % maka digunakan uji fisher exact test.

H0 : Diterima jika nilai p>0,1; artinya tidak ada hubungan

antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat

pasien diabetes mellitus. Sedangkan

H0 : Ditolak jika nilai p<0,1; artinya ada hubungan antara

tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien

diabetes mellitus.

c. Analisis Odds Ratio

Tabel 4.2: Cara menghitung Odds Ratio

Kasus Kontrol

Eksposure + A B A+B

Eksposure - C D C+D

A+C B+D

𝐴𝐷
OR = 𝐵𝐶

42
Interpretasi:

OR = 1; tidak ada pengaruh sebagai pelindung ataupun faktor

resiko penyakit

OR < 1; faktor pelindung atau protektif

OR ≥ 1; faktor risiko/penyebab penyakit

Probabilitasnya dapat dihitung dengan rumus:

P = OR/(1+OR)

Kemampuan nilai OR pada tingkat kepercayaan sebesar

95% CI (confident interval):

1. Tidak bermakna, jika nilai antara lower limit dan upper limit

mencakup nilai 1.

2. Bermakna, jika nilai antara lower limit dan upper limit tidak

mencakup nilai 1.

43
H. Kerangka Operasional

Populasi

Seluruh pasien posyandu lansia di wilayah kerja Puskesmas Sekardangan

sebanyak 59 responden

Tekhnik Sampling
Purposive sampling

Sampel

Sampel dalam penelitian adalah 38 orang

Pengumpulan Data

Kuisioner

Pengolahan Data

Editing, Scoring, Coding, Tabulating

Analisis Data

Analisis odds ratio

Penyajian Hasil

Kesimpulan

Gambar 4.1 Kerangka operasional

44

Anda mungkin juga menyukai