Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

ILMU SARAF

PARKINSON’S DISEASE

Penyusun:
Fifin Yuliya C 20190420019
Juliyanti 20190420107
Kadek Bahnie 20190420108
Karinda Frida A 20190420109
Kartika Dwi R 20190420110
Kenny Yulian 20190420111
Kinanti Hapsari 20190420112

BAGIAN ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

RUMKITAL DR RAMELAN SURABAYA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “PARKINSON’S DISEASE” telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Saraf Rumkital DR. Ramelan
Surabaya.

Mengetahui

Dosen Pembimbing

dr. Olivia Mahardani Adam, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “PARKINSON’S DISEASE”. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas baca untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Saraf
Rumkital DR. Ramelan Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai
tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Olivia Mahardani Adam, Sp.S selaku pembimbing
2. Para dokter di bagian saraf Rumkital DR. Ramelan Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di bagian saraf Rumkital DR. Ramelan
Surabaya
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga referat
ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, 18 Agustus 2019

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v

BAB I............................................................................................................... 1

BAB II .............................................................................................................. 3

2.1 Definisi.................................................................................................. 3

2.2 Etiologi.................................................................................................. 3

2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 5

2.4 Faktor Resiko ....................................................................................... 6

2.5 Gambaran Klinis ................................................................................... 7

2.6 Patofisiologi .......................................................................................... 8

2.7 Diagnosa ............................................................................................ 13

2.8 Diagnosa Banding .............................................................................. 14

2.9 Manajemen......................................................................................... 15

2.10 Komplikasi ........................................................................................ 20

2.11 Prognosis ......................................................................................... 21

BAB III ........................................................................................................... 22

REFERENSI ................................................................................................. 23

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ....................................................................................................... 17

Tabel 2.2 ....................................................................................................... 18

Tabel 2.3 ....................................................................................................... 20

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ................................................................................................... 10

Gambar 2.2 ................................................................................................... 16

v
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Parkinson adalah suatu sindrom kelainan degeneratif sistem


saraf pusat yang sering merusak motorik penderitanya, mempengaruhi
keterampilan, ucapan, dan fungsi lainnya. Kelainan ini muncul dengan
bertambahnya usia (Tursinawati dkk, 2017). Biasanya mulai timbul pada usia
40-70 tahun, tetapi juga dapat terjadi pada orang yang lebih muda dan lebih
banyak pada pria dengan rasio pria dibandingkan wanita yaitu 3:2
(Muliawan dkk, 2018). Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif
kedua yang paling umum di seluruh dunia dengan insiden dan prevalensi yang
meningkat seiring perubahan demografi populasi (Sveinbjornsdottir, 2016).
Menurut dr. Yanuarita Tursinawati dkk dalam Buku Ajar Sistem Saraf
(2017) mengatakan bahwa penyakit Parkinson merupakan proses degeneratif
yang melibatkan neuron dopaminergik dalam substansia nigra (daerah ganglia
basalis yang memproduksi dan menyimpan neurotransmitter dopamin).
Daerah ini memainkan peran yang penting dalam sistem ekstrapiramidal yang
mengendalikan postur tubuh dan koordinasi gerakan motorik volunteer. Ole-
Bjorn Tysnes dan Anette Storstein (2017) juga mengatakan bahwa penyakit ini
pada awalnya dideskripsikan oleh James Parkinson dalam bukunya ‘‘Essay on
The Shaking Palsy’’ tahun 1817, yang menguraikan tentang tanda-tanda
motorik utama yang menjadi ciri khas dari penyakit Parkinson yaitu
bradikinesia, kekakuan dan tremor. Selain itu, seseorang dengan penyakit
Parkinson juga mungkin mengalami masalah dengan postur, keseimbangan,
koordinasi, dan berjalan. Gejala umum non-motorik penyakit Parkinson
meliputi masalah tidur, sembelit, kecemasan, depresi, dan kelelahan
(Standaert dkk, 2019).
Terdapat berbagai macam kriteria diagnosis untuk mempermudah
dalam melakukan diagnosis terhadap penyakit Parkinson. Saat ini umumnya

1
di Indonesia digunakan kriteria diagnosis yaitu menurut Hughes dan menurut
Koller (Muliawan dkk, 2018). Banyak faktor risiko yang terkait dengan penyakit
Parkinson termasuk stres oksidatif, pembentukan radikal bebas, dan
peningkatan kolesterol yang dapat menyebabkan komplikasi serius, termasuk
pneumonia dan sering dikaitkan dengan kematian (DeMaagd dkk, 2015).
Tatalaksana dari penyakit Parkinson dapat dilakukan secara farmakologis dan
non farmakologis. Terapi non farmakologis seperti aktivitas fisik, makan
makanan yang sehat, memperhatikan kesehatan mental serta pembedahan.
Tindakan pembedahan Deep Brain Stimulation (DBS) merupakan salah satu
bentuk dari pembedahan stereotaktik yang saat ini telah menjadi pilihan utama
dari prosedur pembedahan pada penyakit Parkinson (Muliawan dkk, 2018).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan oleh Dr. James
Parkinson pada tahun 1817 sebagai “shaking palsy”. Ini adalah penyakit
neurodegeneratif progresif kronis yang ditandai oleh fitur motorik dan
nonmotor. Penyakit ini memiliki dampak klinis yang signifikan pada pasien, dan
keluarga melalui efek degeneratif progresifnya pada mobilitas dan kontrol otot.
Gejala motorik penyakit parkinson dikaitkan dengan hilangnya neuron
dopaminergik striatal, meskipun adanya gejala nonmotor mendukung
hilangnya neuron di daerah nondopaminergik juga. Istilah parkinsonisme
adalah kompleks gejala yang digunakan untuk menggambarkan fitur motorik
penyakit parkinson, yang meliputi tremor istirahat, bradikinesia, dan kekakuan
otot. Penyakit parkinson adalah penyebab paling umum dari parkinsonisme,
meskipun sejumlah penyebab sekunder juga ada, termasuk penyakit yang
meniru penyakit parkinson dan penyebab yang diinduksi oleh obat
(DeMaagd, dkk, 2015).
Penyakit Parkinson (PD) adalah gangguan neurodegeneratif yang
ditandai dengan disfungsi motorik progresif terutama terkait dengan hilangnya
neuron dopaminergik di substantia nigra. Diagnosis klinis penyakit parkinson
didasarkan terutama pada adanya gejala parkinson kardinal, termasuk tremor
istirahat, kekakuan, akinesia dan ketidakstabilan postural, tanpa bukti tanda-
tanda neurologis tambahan yang menjadi ciri parkinsonisme atipikal
(Elbaz, 2016).

2.2 Etiologi

Penyebab sebagian besar kasus penyakit parkinson masih belum


diketahui ilmuwan percaya bahwa genetika dan lingkungan saling berinteraksi
menyebabkan penyakit parkinson pada kebanyakan orang yang memilikinya.
Berikut beberapa kemungkinan penyebab penyakit parkinson :

3
1. Faktor genetik

Ada beberapa gen yang ketika bermutasi dapat meningkatkan risiko


penyakit parkinson. Salah satunya, yang disebut LRRK2, sangat sering di
keluarga keturunan Afrika Utara atau Yahudi. Mutasi dalam gen alpha-
synuclein juga telah ditemukan untuk memicu penyakit parkinson, tetapi ini
sangat jarang. Gen lain yang berkontribusi terhadap penyakit parkinson
termasuk gen GBA, gen parkin dan gen DJ-1. Namun, dalam sebagian besar
kasus, tidak ada penyebab genetik primer ditemukan. Ketika studi penyakit
parkinson berlanjut, ada kemungkinan lebih banyak genetik faktor risiko akan
ditemukan.

2. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan tertentu, seperti paparan signifikan terhadap


pestisida atau logam berat tertentu dan cedera kepala berulang, dapat
meningkatkan risiko penyakit parkinson. Kebanyakan orang tidak memiliki
penyebab lingkungan yang jelas untuk penyakit parkinson mereka, dan karena
bertahun-tahun bisa lewat antara paparan faktor lingkungan dan gejala yang
muncul dari penyakit parkinson. Namun, sepertinya faktor lingkungan itu
mempengaruhi perkembangan penyakit parkinson, mungkin khususnya di
Indonesia orang yang juga memiliki kerentanan genetik
(Standaert dkk, 2019).

Menurut Ole-Bjorn Tysnes dan Anette Storstein (2017) penyebab


penyakit parkinson tidak diketahui untuk sebagian besar kasus yang
diidentifikasi. Selama beberapa tahun terakhir, faktor risiko genetik telah
diidentifikasi. Anggota keluarga tingkat pertama dari pasien yang terkena
memiliki peningkatan risiko 2 – 3 kali lipat untuk mengembangkan penyakit
dibandingkan dengan subyek dalam populasi umum atau kontrol. Penyebab
monogenetik dari penyakit parkinson telah diidentifikasi, tetapi dianggap
sangat jarang sampai identifikasi mutasi yang kaya leucine repeat kinase
(LRRK2) mutasi yang pada populasi tertentu menyebabkan hingga 40% dari

4
kasus. Mutasi heterozigot GBA, varian a-synuclein adalah contoh faktor risiko
genetik untuk penyakit parkinson. Faktor-faktor risiko lingkungan yang
diketahui dari penyakit parkinson dapat dikaitkan dengan faktor-faktor risiko
genetik untuk memengaruhi risiko umum penyakit. Merokok, alkohol, dan
paparan vitamin D adalah contoh faktor lingkungan yang dapat memengaruhi
risiko penyakit, di samping faktor genetik.

2.3 Epidemiologi

Usia dan Jenis Kelamin

Laki-laki 1,5 atau dua kali lebih banyak terkena PD dalam sebagian besar studi.
Prevalensi PD tinggi pada dekade ke-7 dan ke-8 di seluruh lokasi geografis.
Dalam beberapa penelitian, prevalensi menurun pada dekade ke-8, mengikuti
puncak pada kelompok usia 70-79. Dalam meta-analisis, prevalensi di antara
kelompok usia 70-79 tahun lebih sedikit pada orang Asia dibandingkan dengan
populasi Barat (Masoom M abbas,dkk, 2017).

Etnisitas

Beberapa penelitian berbasis catatan melaporkan prevalensi PD yang lebih


rendah di Afrika-Amerika dibandingkan dengan Kaukasia. Menariknya, tingkat
prevalensi untuk Afrika-Amerika lebih tinggi daripada Afrika di Nigeria yang
dipelajari menggunakan metode yang sama. Dalam studi insiden, insiden PD
lebih tinggi di antara Hispanik dan Kaukasia dibandingkan dengan Afrika
Amerika dan Asia (Masoom M abbas,dkk, 2017).

Variasi Geografis

Faktor-faktor risiko lingkungan seperti paparan pestisida dari praktik pertanian


di daerah pedesaan dan paparan industri terhadap logam berat di daerah
perkotaan industri mungkin berkontribusi penyebab PD. Dalam tinjauan faktor-
faktor risiko lingkungan dalam PD, bahwa kehidupan pedesaan di negara-
negara maju dan kehidupan perkotaan di negara-negara berkembang
meningkatkan risiko PD. Namun, studi Rochester dari AS telah melihat tren

5
yang meningkat selama tiga dekade terakhir, terutama di kalangan pria di luar
dekade ke-7. Meningkatnya insiden dapat dikaitkan dengan penurunan tingkat
merokok di kalangan pria AS dan perbedaan paparan faktor risiko seperti
pestisida, cedera kepala, dan kafein di antara jenis kelamin
(Masoom M abbas,dkk, 2017).

2.4 Faktor Resiko


Dasar yang tidak diketahui dari etiologi PD membuat penyakit ini tidak
dapat disembuhkan. Sekarang dianggap sebagai penyakit multifaktorial yang
dihasilkan dari paparan lingkungan terhadap berbagai faktor dan perbedaan
dalam kerentanan genetik. Berbagai faktor lingkungan yang mungkin terkait
dengan etiologi PD termasuk paparan pestisida dan herbisida, asupan
berbagai logam (tembaga, timah-tembaga, timah-besi, besi-tembaga), air
minum yang baik dan paparan neurotoksin (1-metil-1-4 fenil-1,2,3,6-
tetrahidropiridin), namun tidak satu pun di antaranya telah diidentifikasi sebagai
agen penyebab tunggal dari PD. Meskipun mutasi pada gen parkinson,
LRRK2, dan glukokerebrosidase umumnya ditemukan pada populasi
multietnis dengan PD awal familial, mutasi seperti itu jarang terjadi pada PD
awal sporadis, yang menyumbang sebagian besar pasien dengan PD. Dengan
demikian, faktor lingkungan mungkin lebih penting daripada faktor etnis dan
genetik dalam etiologi PD. Berbeda dengan faktor-faktor risiko tinggi yang
terkait dengan PD, banyak studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa
merokok secara terbalik terkait dengan terjadinya PD, bahkan dalam populasi
yang ditandai dengan prevalensi paparan pestisida yang tinggi, meskipun
pestisida atau herbisida mungkin tidak selalu terkait. dengan PD. Minum kopi
dan teh juga disarankan dikaitkan dengan risiko PD yang lebih rendah.
Aktivitas fisik juga dapat menjadi masalah sehingga tingkat aktivitas yang lebih
tinggi dapat menurunkan risiko PD. Juga disebutkan dalam satu makalah
adalah kemungkinan bahwa peningkatan indeks massa tubuh secara positif
terkait dengan risiko PD yang lebih tinggi (Shin-Yuan Chen, dkk, 2010).

6
2.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada penyakit Parkinson ditandai secara khas dengan
tetrad yang terdiri dari hipokinesia/bradikinesia, tremor saat istirahat,
instabilitas postural, dan kekakuan. Hal ini dapat dilihat dari penampakan
wajah pasien yang tanpa ekspresi, perlambatan pergerakan volunter, tremor
saat istirahat, postur tubuh yang bungkuk, instabilitas aksial, kekakuan, dan
adanya festinating gait. Gejala awal dari penyakit Parkinson mungkin sulit
untuk dikenali dan seringkali diabaikan oleh keluarga pasien karena sering
dihubungkan dengan perubahan akibat penuaan. Gejala klinis awal meliputi
bicara melambat, monoton, dan berantakan, kekakuan dan perlambatan
gerakan mengayun pada satu tangan pada saat berjalan, penurunan laju
berkedip menjadi 5-10 / menit (normal 12-20 / menit), melebarnya fissura
palpebralis sehingga pasien tampak melotot, serta penurunan pergerakan otot-
otot wajah sehingga membentuk gambaran khas wajah tanpa ekspresi atau
masked appearance (hipomimia) (Adams & Victor, 2014).
Temuan klinis pada pasien dengan penyakit parkinson antara lain:
tremor, kekakuan/rigiditas, hipokinesia, gangguan postur dan gait, serta
gangguan motor dan nonmotor lainnya. Tremor pada penyakit parkinson
secara khas paling tampak pada istirahat, dan meningkat pada saat stress
emosional dan berkurang saat beraktivitas. Tremor tidak jarang ditemukan
hanya pada satu ekstremitas saja, atau pada kedua ekstremitas pada satu sisi,
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum terjadi tremor seluruh
tubuh. Pada beberapa pasien, tremor tidak pernah berkembang menjadi
prominen (Aminoff, Greenberg, & Simon, 2015).
Rigiditas atau peningkatan tonus merupakan karakteristik dari
parkinsonism. Peningkatan tonus bertanggung jawab terhadap timbulnya
postur fleksi pada banyak pasien. Kekakuan pada parkinsonism digambarkan
sebagai rigiditas cogwheel oleh karena adanya interupsi pergerakan pasif
akibat adanya tremor (Aminoff, Greenberg, & Simon, 2015).
Hipokinesia, gejala paling mengganggu pada parkinsonism, merupakan

7
perlambatan pada gerakan volunter dan penurunan pergerakan otomatis,
seperti pada gerakan mengayun lengan saat berjalan. Wajah pasien secara
relatif tampak tidak bisa digerakkan (hipomimia atau mask-like facies), dengan
melebarnya fissura palpebra, penurunan frekuensi berkedip, ekspresi wajah
yang menetap, dan senyum yang muncul dan hilang secara perlahan. Suara
pasien menjadi lembut (hipofonia) dan tidak teratur. Tulisan tangan pasien
mengecil (mikrografia), gemetar, dan sulit dibaca
(Aminoff, Greenberg, & Simon, 2015).
Gangguan postur dan gait pada pasien ditandai dengan kesulitan untuk
bangun dari tempat tidur atau kursi, dan timbulnya postur fleksi saat berdiri.
Pasien biasanya merasa sulit untuk mulai berjalan, sehingga pasien akan
mencondongkan badan kedepan sebelum bisa mulai berjalan kedepan. Gait
atau cara berjalan pasien dikarakteristikkan dengan langkah yang pendek,
menumpuk-numpuk, dan tidak adanya ayunan lengan pada saat berjalan.
Biasanya terdapat ketidakseimbangan pada saat membelokkan badan dan
kesulitan untuk berhenti. Pada kasus yang lebih parah, pasien cenderung
berjalan dengan lebih cepat untuk mencegah pasien jatuh (festinating gait)
(Aminoff, Greenberg, & Simon, 2015).
Gangguan motor lain ditandai dengan blepharoclonus ringan dan
terkadang disertai blefarospasme. Biasanya tidak ada perubahan pada refleks
tendon (meskipun hiperrefleksia ringan dapat terjadi pada sisi yang terganggu).
Gejala gangguan nonmotor biasanya diawali dengan anosmia. Penurunan
kognitif, disfungsi eksekutif, dan perubahan kepribadian sering terjadi, begitu
juga dengan depresi dan kecemasan. Gejala gangguan otonomik meliputi
urgensi buang air kecil dan inkontinensia, dan konstipasi. Gangguan tidur juga
sering dijumpai (Aminoff, Greenberg, & Simon, 2015).

2.6 Patofisiologi

Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin yang masif


akibat kematian neuron di substansia nigra pars kompakta. Respon motorik

8
yang abnormal disebabkan oleh karena penurunan yang sifatnya progesif dari
neurotransmiter dopamin. Kerusakan progresif lebih dari 60% pada neuron
dopaminergik substansia nigra merupakan faktor dasar munculnya penyakit
parkinson. Sebagaimana sel tersebut mengalami kerusakan, maka kadar
dopamin menjadi berkurang hingga di bawah batas fisiologis. Jika jumlah
neuron dopaminergik hilang lebih dari 70 % maka gejala penyakit parkinson
akan mulai muncul. Untuk mengkompensasi berkurangnya kadar dopamin
maka nukleus subtalamikus akan over-stimulasi terhadap globus palidus
internus (GPi). Kemudian GPi akan menyebabkan inhibisi yang berlebihan
terhadap thalamus. Kedua hal tersebut diatas menyebabkan under-stimulation
korteks motorik (Gunawan dkk, 2017).

Substantia nigra mengandung sel yang berpigmen (neuromelamin)


yang memberikan gambaran “black appearance” (makroskopis). Sel ini hilang
pada penyakit parkinson dan substantia nigra menjadi berwarna pucat. Sel
yang tersisa mengandung inklusi atipikal eosinofilik pada sitoplasma “Lewy
bodies”. Berkurangnya neuron dopaminergik terutama di substansia nigra
menjadi penyebab dari penyakit parkinson. Dopamin merupakan salah satu
neurotransmitter utama diotak yang memainkan banyak fungsi berbeda di
susunan saraf. Terdapat 3 kelompok neuron utama yang mensintesis dopamin
yaitu substansia nigra (SN), area tegmentum ventral (VTA) dan nukleus
hipotalamus, sedang kelompok neuron yang lebih kecil lagi adalah
bulbusolfaktorius dan retina (Gunawan dkk, 2017).

Terdapat 2 kelompok reseptor dopamin yaitu D1 dan D2. Keluarga


reseptor dopamin D2 adalah D2, D3, D4. Ikatan dopamin ke reseptor D2 akan
menekan kaskade biokemikal postsinaptik dengan cara menginhibisi
adenilsiklase. Keluarga reseptor dopamine D1 adalah D1 dan D5. D1 akan
mengaktifkan adenilsiklase sehingga efeknya akan memperkuat signal
transmisi postsinaptik. Reseptor dopamin D1 lebih dominan dibanding D2,
sedang D2 lebih memainkan peranan di striatum . Densitas reseptor D2 akan

9
menurun rata- rata 6 – 10% per dekade dan berhubungan dengan gangguan
kognitif sesuai umur (Gunawan dkk, 2017).

Gambar 2.1 Bentukan Lewy bodies pada area substantia nigra pada pasien dengan
penyakit parkinson (Gunawan, 2017).

Lewy bodies adalah inklusi sitoplasmik eosinofilik konsentrik dengan


halo perifer dan dense cores . Adanya Lewy bodies dengan neuron pigmen
dari substansia nigra adalah khas, akan tetapi tidak patognomonik untuk
penyakit parkinson, karena terdapat juga pada beberapa kasus parkinsonism
atipikal. Untuk lebih memahami patofisiologi yang terjadi perlu diketahui lebih
dahulu tentang ganglia basalis dan sistem ekstrapiramidal (Baehr MF,2005).
Dalam menjalankan fungsi motoriknya, inti motorik medula spinalis
berada dibawah kendali sel piramid korteks motorik, langsung atau lewat
kelompok inti batang otak. Pengendalian langsung oleh korteks motorik lewat
traktus piramidalis, sedangkan yang tidak langsung lewat sistem
ekstrapiramidal, dimana ganglia basalis ikut berperan. Komplementasi kerja
traktus piramidalis dengan sistem ekstapiramidal menimbulkan gerakan otot

10
menjadi halus, terarah dan terprogram.
Ganglia Basalis (GB)tersusun dari beberapa kelompok inti, yaitu:
1. Striatum (neostriatum dan limbic striatum) Neostriatum terdiri dari
putamen (Put) dan Nucleus Caudatus (NC).
2. Globus Palidus (GP)
3. Substansia Nigra (SN)
4. Nucleus Subthalami (STN) (Baehr MF,2005).

Pengaruh GB terhadap gerakan otot dapat ditunjukkan lewat peran


sertanya GB dalam sirkuit motorik yang terjalin antara korteks motorik dengan
inti medula spinalis. Terdapat jalur saraf aferen yang berasal dari korteks
motorik, korteks premotor dan supplementary motor area menuju ke GB lewat
Putamen. Dari putamen diteruskan ke GPi (Globus Palidus internus) lewat jalur
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) melalui GPe (Globus Palidus

11
eksternus) dan STN. Dari GPe diteruskan menuju ke intiinti talamus (antara
lain: VLO: Ventralis lateralis pars oralis, VAPC: Ventralis anterior pars
parvocellularis dan CM: centromedian). Selanjutnya menuju ke korteks dari
mana jalur tersebut berasal. Masukan dari GB ini kemudian mempengaruhi
sirkuit motorik kortiko spinalis (traktus piramidalis) (Baehr MF,2005).
Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi
neuron SNc adalah stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya
formasi oksiradikal, seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan α-
sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di gradasi
oleh ubiquitin-proteasomal pathway, 10 sehingga menyebabkan kematian sel-
sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain
(Baehr MF,2005):
 Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal
dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.
 Kerusakan mitikondria akibat penurunan produksi adenosin trifosfat
(ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres
oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian
sel.
 Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin
yang memicu apoptosis sel-sel SNc.
Dua hipotesis yang disebut juga mekanisme degenerasi neuronal pada
penyakit Parkinson ialah hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin.
1. Hipotesis Radikal Bebas Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari
dopamine dapat merusak neuron nigrostriatal, karena proses ini
menghasilkan hidrogren peroksid dan radikal oksi lainnya. Walaupun
ada mekanisme pelindung untuk mencegah kerusakan dari stress
oksidatif, namun pada usia lanjut mungkin mekanisme ini gagal.
2. Hipotesis Neurotoksin Diduga satu atau lebih macam zat neurotoksik
berperan pada proses neurodegenerasi pada Parkinson. Pandangan
saat ini menekankan pentingnya ganglia basal dalam menyusun

12
rencana neurofisiologi yang dibutuhkan dalam melakukan gerakan, dan
bagian yang diperankan oleh serebelum ialah mengevaluasi informasi
yang didapat sebagai umpan balik mengenai pelaksanaan gerakan.
Ganglia basal tugas primernya adalah mengumpulkan program untuk
gerakan, sedangkan serebelum memonitor dan melakukan pembetulan
kesalahan yang terjadi sewaktu program gerakan diimplementasikan.
Salah satu gambaran dari gangguan ekstrapiramidal adalah gerakan
involunter(Baehr MF,2005).

2.7 Diagnosa
Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang benar,
umumnya diagnosis penyakit Parkinson sudah dapat ditegakkan. Pemeriksaan
penunjang seperti CT Scan dan MRI juga perlu dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan diagnosis lain. Saat ini umumnya di Indonesia menggunakan
kriteria Hughes dan kriteria Koller (Muliawan dkk, 2018). Kriteria diagnosis
menurut Koller yaitu terdapat dua dari tiga gejala khas yang berlangsung
selama satu tahun. Sedangkan kriteria Hughes terbagi menjadi 3, yaitu :

1. Kriteria possible : jika terdapat salah satu gejala utama diantaranya


adalah tremor, bradikinesia, rigiditas dan kegagalan mempertahankan
refleks postural dan lama gejala kurang dari 3 tahun.
2. Kriteria probable : jika terdapat kombinasi dua atau tiga gejala utama
dan gejala alternatif lain yaitu halusinasi, demensia, ketidakstabilan
postural yang menonjol pada 3 tahun pertama, tak dapat bergerak sama
sekali (freezing) pada 3 tahun pertama, tremor istirahat asimetris,
rigiditas asimetris atau bradikinesia asimetris serta lama gejala lebih
dari 3 tahun.
3. Kriteria definite : jika terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua
gejala dengan satu gejala lain yang tidak simetris.

Dalam Buku Ajar Sistem Saraf (2017), untuk kepentingan klinis

13
diperlukan adanya penetapan berat ringannya penyakit. Dalam hal ini
digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr yaitu:

1. Stadium 1 : terdapat gejala dan tanda pada satu sisi yang mengganggu,
biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul
dapat dikenali orang terdekat (teman).
2. Stadium 2 : terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan sikap/cara
berjalan terganggu.
3. Stadium 3 : gerak tubuh melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
4. Stadium 4 : terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya
untuk jarak tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri
sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
 .
5. Stadium 5 : stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak
mampu berdiri dan berjalan walaupun dibantu.
2.8 Diagnosa Banding
Menurut George DeMaagd dan Ashok Philip (2015) ada berbagai
diagnosis banding pada penyakit Parkinson antara lain:
 Penyakit Alzheimer
 Penyakit Wilson
 Tumor basal ganglia (mengalami perubahan kognitif dan halusinasi
visual)
 Tremor essensial
 Sindroma Parkinson (meliputi atrofi sistem multipel, kelumpuhan
supranuklear progresif, dan degenerasi kortikobasal)
 Penyakit Cerebrovaskuler
 Dementia Lewy bodies
 Penyakit metabolik (seperti hipoparatiroid, disfungsi tiroid, defisiensi
nutrisi)
 Post-traumatic brain injury

14
Tremor essensial terkadang salah dikenali sebagai gejala dari
penyakit Parkinson, namun tremor esensial memiliki karakteristik yang
berbeda dimana merupakan tremor intensional dengan frekuensi hingga 12
Hz, jarang ditemukan saat istirahat dan tidak diikuti gejala khas lain dari
Parkinson. Selain itu, tes laboratorium mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan kelainan lain, termasuk penyakit tiroid, pengukuran kadar
plasma tembaga dan seruloplasmin juga dapat dijamin untuk menyingkirkan
penyakit Wilson.

2.9 Manajemen
Terapi yang dilakukan pada pasien Parkinson difokuskan pada
perbaikan gejala dan mempertahankan gaya hidup yang aktif. Meskipun saat
ini tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit Parkinson, tetapi masih
ada kemungkinan untuk menyembuhkan gejala dengan cara memilih obat
yang sesuai dan dilakukan tindakan pembedahan pada beberapa kasus
(American Parkinson Disease Association, 2019).
Menurut American Parkinson Disease Association (2019), terapi pada pasien
Parkinson meliputi:
Gaya Hidup
 Latihan dan aktivitas sehari-hari
Faktanya, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa rutinitas olahraga
berjalan, latihan kekuatan, atau Tai Chi dapat membantu mempertahankan,
atau bahkan meningkatkan mobilitas, keseimbangan, dan koordinasi pada
orang dengan PD.
 Diet
Tidak ada satu diet yang direkomendasikan untuk PD, tetapi
mengkonsumsi makanan sehat sangat dianjurkan. Misalnya, makan
beberapa porsi buah dan sayuran sehari meningkatkan asupan serat dan
dapat membantu meringankan sembelit, selain meningkatkan kesehatan
secara umum. Juga, minum banyak air atau minuman non-alkohol dan

15
bebas kafein memastikan hidrasi yang memadai dan dapat mengurangi
kemungkinan kram otot.
Terapi untuk gejala motorik:
 Carbidopa-levodopa (Parcopa®, Rytary®, Sinemet®, Sinemet CR®)
Pengobatan yang paling efektif untuk PD adalah pengobatan kombinasi
carbidopa-levodopa. Bekerja dengan cara meningkatkan kadar dopamin
otak, yang kurang pada orang dengan PD sehingga dapat mengurangi
tremor, kekakuan, dan gerakan lambat. Carbidopa mencegah levodopa
dari kerusakan di dalam tubuh sebelum mencapai otak. Karena itu,
penambahan carbidopa memungkinkan levodopa masuk ke otak lebih
efisien.
 Agonis dopamine
Dapat diberikan sendiri pada tahap awal PD, atau sebagai tambahan untuk
carbidopa-levodopa. Tersedia dalam bentuk lepas lambat (Mirapex ER®,
Requip XL®), lepas cepat (Mirapex®, Requip®) dan skin patch (Neupro®).
Apokyn® (injeksi apomorphine hidroklorida) adalah agonis dopamin, tetapi
efeknya sangat cepat dan singkat. Apokyn® dicadangkan untuk orang
dengan PD lanjut yang mengalami masalah dengan imobilitas parah atau
"off periods" selama terapi levodopa.
 Inhibitor COMT: Entacapone (Comtan®), Tolcapone (Tasmar®)
Inhibitor COMT kadang-kadang digunakan dengan carbidopa-levodopa.
Seperti halnya carbidopa,obat ini mencegah kerusakan levodopa sebelum
mencapai otak.
 Inhibitor MAO-B selektif: Rasagiline (Azilect®), Safinamide (Xadago®),
Selegiline (Eldepryl®, Zelapar®)
Inhibitor MAO-B selektif memblokir enzim MAO-B di otak, yang memecah
dopamin. Ini adalah cara lain untuk meningkatkan kadar dopamin di otak.
Inhibitor MAO-B dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dengan obat
PD lainnya. Ketika digunakan lebih awal sebagai pengobatan tunggal,
inhibitor MAO-B dapat menunda kebutuhan untuk terapi carbidopa-

16
levodopa. Inhibitor MAO-B selektif dapat diresepkan untuk melengkapi
terapi carbidopa-levodopa, terutama jika individu mengalami gejala
"wearing off" levodopa. Inhibitor MAO-B selektif untuk PD tersedia dalam
bentuk kapsul (Azilect®, Eldepryl®) atau tablet (Zelapar®).
 Anticholinergics: Benztropine (Cogentin®), Trihexyphenidyl
(Artane®)
Antikolinergik sering diresepkan untuk mengurangi tremor khas PD atau
untuk meringankan masalah yang terkait dengan “wearing off” terapi
levodopa. Antikolinergik ini juga harus dihindari dalam kombinasi dengan
antihistamin, obat-obatan psikiatrik tertentu, dan alkohol.
 Amantadine
Juga digunakan untuk mencegah atau mengobati influenza, amantadine
(Symmetrel®) terbukti berfungsi untuk meredakan tremor PD serta
kekakuan otot. Ini biasanya digunakan sebagai obat tambahan untuk terapi
lain PD. Selain itu, digunakan untuk mengurangi diskinesia atau gerakan
tak sadar yang disebabkan oleh levodopa.
 Pembedahan (Deep Brain Stimulation)
Adalah prosedur bedah saraf untuk orang dengan PD lanjut yang masih
mempertahankan respons yang baik terhadap levodopa, tetapi telah
mengalami fluktuasi motorik yang signifikan termasuk diskinesia. DBS juga
dapat digunakan untuk mengobati tremor yang resisten terhadap obat. DBS
melibatkan implantasi elektroda tipis permanen ke dalam bagian otak. Dua
pulse generator dioperasikan dengan baterai, seperti alat pacu jantung,
ditanam di bawah kulit dada atau perut. Pulse generator terhubung ke
elektroda stimulator melalui kabel, yang disalurkan di bawah kulit kepala
dan leher. Prosedur DBS dikaitkan dengan kemungkinan kecil infeksi,
stroke, perdarahan, atau komplikasi yang terkait dengan anestesi.

17
Tabel 2.1 Obat yang biasa digunakan dan direkomendasikan untuk
pengobatan gejala motorik penyakit Parkinson (Rizek P, et al. 2016).

Gambar 2.1 Gambaran prosedur Deep Brain Stimulation (National


Institute of Mental Health, 2015)

Obat Mekanisme Efek samping Dosis


kerja
Levodopa Memetabolisme Mual, muntah, 300-1200
(dengan dopamine konstipasi, mg/hari
carbidopa / halusinasi,
benserazide) hipotensi dan
diskinesia
Agonis dopamine Menstimulasi Seperti diatas Ropinirole 3-24
(ropinirole, secara langsung ditambah mg/hari.
pramipexole, reseptor edema,
rotigotine patch) dopamine mengantuk. Pramipexole 1,5
Alergi terhadap -4,5 mg/hari.
rotigotine patch.
Rotigotine 4-
8mg/24 jam

18
(patch).
Catechol-O- Mengeblok Peningkatan 200mg/pill,
methyltransferase aktifitas COMT pelepasan sampai 8x/hari.
(COMT) inhibitor perifer levodopa, diare,
(Entacapone) perubahan
warna urine.
Monoamine Mengeblok MAO- Mual, hipotensi, Rasagiline: 0,5 -
Oxidase (MAO) B untuk kebingungan 1 mg/hari
inhibitor mengurangi dan halusinasi
(Selegiline, metabolism Selegiline: 5 –
rasagiline) dopamine 10mg/hari
(central dan
perifer)
Amantadine Mengeblok Kebingungan, 100mg/hari
NMDA dan halusinasi,
reseptor edema tungkai,
asetilkolin kemerahan.

Antikolinergik Mata dan mulut 1 – 6 mg/hari


(Trihexyphenidyl) Mengeblok kering, retensi
reseptor urine,
asetilkolin memerparah
glaukoma

Tabel 2.2 Manajemen gejala non-motorik pada semua tahap penyakit


Parkinson (Rizek P, et al. 2016).
Gejala Keterangan Manajemen
Depresi Meliputi kecemasan,  Nortriptyline dan
amitryptiline (hati-
apatis, anhedonia.
hati pada lanjut
usia)

19
 Pramipexole
 Mirtazapine pada
malam hari
Psikosis Bisa diakibatkan  Clozapine
karena efek samping  Quetiapine
 Primavanserin
dari dopaminergic;
halusinasi visual.
Dementia 80% terjadi setelah 11  Rivastigmine 1,5 –
6 mg PO
tahun
 Done[ezil 5 –
10mg/hari
Hipotensi ortostatik Terjadi pada 30-60%  Hindari makan
yang terlalu
pasien
banyak dan
alcohol
 Midodrine
(peripheral alpha-
agonist) 2.5-10
mg/hari
 Fludrocortisone
0.05-0.1 mg/hari;
meningkatkan
tekanan darah
Rapid eye movement Terjadi pada 50%  Melatonin 3mg
(sampai 12mg
(REM)-sleep behavior pasien Parkinson
sebelum tidur,
efektifitas 80%).
disorder (RBD)  Clonazepam 0,5
02 mg (efektifitas
90%).

2.10 Komplikasi
Komplikasi dari Parkinson adalah komplikasi motorik, berupa suatu
komplikasi yang disebabkan karena adanya hubungan dengan pengobatan
yang diberikan pada pasien Parkinson. Pengobatan levodopa meningkatkan
risiko pengembangan diskinesia, yang merupakan gerakan yang tidak
terkontrol (American Parkinson Disease Association, 2019).

20
2.11 Prognosis
Harapan hidup pada pasien yang terdiagnosa Parkinson disease akan
menurun, yang ditandai dengan rasio odds menjadi 2,56 kali lebih tinggi resiko
kematiannya dibandingkan dengan orang yang tidak terdiagnosa. Pada pasien
Parkinson disease dengan early-onset perkembangannya akan lebih lambat
dibandingkan dengan late-onset. Pasien dengan early-onset akan lebih lambat
mencapai tahan III-V pada skala Hoehn dan Yahr scale. Sedangkan pada late-
onset perkembangan penyakitnya akan lebih cepat dan mengalami penurunan
fungsi kognitif (Rizek P, et al, 2016).

Tabel 2.3 Faktor Prognosis Parkinson disease (Rizek P, et al, 2016).


Prediktor yang memperlambat Prediktor yang mempercepat
Early-onset Late-onset
Tremor-predominan Laki-laki
Perempuan Postural instability
Kekakuan
Demensia
Stroke

21
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson (PD) adalah gangguan neurodegeneratif yang


ditandai dengan disfungsi motorik progresif terutama terkait dengan hilangnya
neuron dopaminergik di substantia nigra. Prevalensi pada penyakit parkinson
tinggi pada dekade ke-7 dan ke-8. Diagnosis klinis penyakit parkinson
didasarkan terutama pada adanya gejala parkinson kardinal, termasuk tremor
saat istirahat, kekakuan, akinesia dan instabilitas postural, tanpa bukti tanda-
tanda neurologis tambahan yang menjadi ciri parkinsonisme atipikal.
Parkinson dapat disebabkan karena faktor genetik seperti mutasi gen termasuk
gen GBA, gen parkin dan gen DJ-1. Selain itu, terjadinya penyakit parkinson
dapat juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti paparan signifikan
terhadap pestisida atau logam berat tertentu dan cedera kepala berulang,
dapat meningkatkan risiko penyakit parkinson. Diagnosa banding dari
parkinson adalah penyakit alzheimer, tumor basal ganglia, penyakit
cerebrovascular, dementia dll. Terapi pada Parkinson terdiri dari terapi suportif,
medikamentosa dan operatif. Harapan hidup pada pasien yang terdiagnosa
Parkinson disease akan menurun.

22
REFERENSI

Adams, & Victor. 2014. Adams and Victor's Principles of Neurology. Mc Graw
Hill Education.
American Parkinson Disease Association. 2019. Parkinson’s Disease
Handbook. Amerika : APDA
Aminoff, M. J., Greenberg, D. A., & Simon, R. P. 2015. Clinical Neurology. Mc
Graw Hill Education.
Baehr MF, Michael. Duu,s Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. United
States of America: Thieme; 2005.
DeMaagd, George dan Ashok Phillip. 2015. Parkinson’s Disease and Its
Management: P&T.
Elbaz, Alexander. 2016. Prodromal Symptoms of Parkinson’s Disease :
Implication For Epidemiological Studies of Disease Etiology. Perancis :
Elsevier.
Gunawan, Gerry, Mochamad D, & Shahdevi N. 2017. Parkinson dan Terapi
Stem Sel. Malang: Malang Neurology Journal 3(1): 39-46.
Masoom M. Abbas, MD, DM, Zheyu Xu, BA, MB BChir, MA, FRACP, Louis
C.S. Tan, MBBS, FRCP. 2017. Epidemiology of Parkinson’s Disease-
EastVersus West. International Parkinson and Movement Disorder
Society.
Muliawan, Eudon dkk. 2018. Diagnosis dan Terapi Deep Brain Stimulation
pada Penyakit Parkinson. Manado.
Rizek, Philippe, et al. 2016. An update on the diagnosis and treatment of
Parkinson disease. CMAJ 188(16): 1157–1165.
Shin-Yuan Chen, Sheng-Tzung Tsai. 2010. The Epidemiology of Parkinson’s
Disease. Buddhist Compassion Relief Tzu Chi Foundation.
Standaert, David G. dkk. 2019. Parkinson’s Disease Handbook. New York:
Medtronic.
Sveinbjornsdottir, Sigurlaug. 2016. The Clinical Symtomps of Parkinson’s
Disease. London: Journal of Neurochemistry.
Tursinawati, Yanuarita dkk. 2017. Buku Ajar Sistem Saraf. Semarang:
Unimus Press.
Tysnes, Ole-Bjorn dan Anette Storstein. 2017. Epidemiology of
Parkinson’s Disease: J Neural Transm.

23

Anda mungkin juga menyukai