Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana.
Harapan kami Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca untuk mengetahui informasi tentang penyakit HIV/AIDS pada
ibu hamil/perempuan sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
PENDAHULUAN
1 .1 Latar Belakang
Infeksi HIV/AIDS ( Human immuno Deficiency Virus / Acquired Immune Deficiency
Syndrom ) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual,
sedangkan pada anak tahun 1983. enam tahun kemudian ( 1989 ). AIDS sudah termasuk penyakit
yang mengancam anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih
dari 8000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik, karena itu infeksi HIV
dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubbinstein dan Amman pada tahun
1983 di Amerika serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada anak di Amerika makin lama makin
meningkat. Pada bulan Desember di Amerika dilaporkan 1995 maupun pada anak yang berumur
kurang dari 13 tahun menderita HIV dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4480 kasus. Jumlah ini
merupakan 1,5 % dan seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di Eropa sampai
tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV terbanyak pada orang dewasa
maupun pada anak – anak tertinggi di dunia adalah di Afrika.
Sejak dimulainya epidemi HIV/ AIDS, telah mematikan lebih dan 25 juta orang, lebih dan
14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya karena AIDS. Setiap tahun juga
diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS, 500 000 diantaranya adalah anak usia dibawah
15 tahun. Setiap tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang
atau berkembang, dengan angka transmisi sebesar ini maka dari 37,8 juta orang pengidap infeksi
HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2,1 juta anak- anak dibawah 15 tahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) suatu gejala penyakit yang menunjukkan
kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi tertentu / keganasan
tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) oleh virus yang
disebut dengan HIV. Sedang Human Imuno Deficiency Virus merupakan virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian mengakibatkan AIDS. HIV sistem kerjanya
menyerang sel darah putih yang menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk dalam
limfosit yang disebut dengan T4 atau sel T penolong. ( T helper ), atau juga sel CD 4. HIV
tergolong dalam kelompok retrovirus sub kelompok lentivirus. Juga dapat dikatakan mempunyai
kemampuan mengopi cetak materi genetika sendiri didalam materi genetik sel – sel yang
ditumpanginya dan melalui proses ini HIV dapat mematikan sel – sel T4.
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang disebabkan oleh
infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan
mengenai kelompok resiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau biseksual, penyalahgunaan
obat intra vena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dan
individu yang terinfeksi virus tersebut.
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan dalam
respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan
berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang
terjadi.
2.2 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV
yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang
lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan
selama hidup penderita tersebut..
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung
(envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid).
Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan
glikoprotein. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.
3. Perempuan yang menggunakan obat bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4. Individu yang terpajan ke semen atau cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan
orang yang terinfeksi HIV.
5. Orang yang melakukuan transfusi darah dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap
orang yang terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita
hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara
berkembang istri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini
dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa
suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Virus HIV tergolong retrovirus, yang merupakan standar RNA, tunggal terbungkus. Bila
memasuki tubuh, virus akan melekat pada reseptor CD4 sel terinfeksi. Kemudian virus
mempergunakan enzimreverse transcriptase, yang mampu membentuk DNA ganda. Standar DNA
ganda ini mampu masuk sirkulasi sel menuju intinya dan bersatu dengan DNA inti sel yang asli.
DNA virus dapat membentuk RNA yang terinfeksi dan RNA yang akan membawa tanda (berita)
sehingga dapat membentuk protein.
Pertumbuhan virus HIV terbatas pada limfosit, monosit, makrofag, dan sumber pembentuk sum-
sum tulang tertentu. Secara intraseluler, virus dapat memecah diri sehingga setelah selnya hancur
dapat dikeluarkan virus HIV baru yang akan menyerang sel lainnya. Bentuk virus HIV selalu
berubah-ubah, sesuai dengan sel yang diserangnya sehingga sulit untuk membuat antibody atau
antigen agar mampu membuat vaksinnya. Oleh karena itu, obatnya masih sulit untuk dibuat sampai
saat ini.
2.5 Penularan
Penularan HIV dari ibu kepada bayinya dapat melalui:
Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (antepartum) (5-10 %)
Selama persalinan (intrapartum) (10-20 %)
Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (postpartum)
Bayi tertular melalui pemberian ASI
Sebagian besar (90%), infeksi HIV pada bayi disebabkan penularan dari ibu, hanya sekitar
10% yang terjadi karena proses tranfusi.
BBL memproduksi respon antibodi yang tidak terlalu aktif, lebih terbatas terhadap infeksi HIV.
Bayi lahir dengan ibu HIV seropositif : memiliki antibody HIV saat lahir. Bayi tidak terinfeksi
akan kehilangan antibodi maternal sekitar 8-15 bulan. Sebagian besar bayi terinfeksi :
mengembangkan antibodi mereka sendiri dan tetap seporopositif. Bayi yang memperlihatkan
tanda-tanda infeksi saat lahir cenderung meninggal dalam satu bulan.
2.6 Pencegahan
Pencegahan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :
1. Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar vital load rendah
sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan
HIV.
2. Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral (Nevirapine) saat persalinan dan bayi baru dilahirkan
dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan metode sectio caesar karena terbukti mengurangi
resiko penularan sebanyak 80%.
3. Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
Untuk mengurangi resiko penularan, ibu dengan HIV positif bisa memberikan susu
formula pengganti ASI, kepada bayinya. Namun, pemberian susu formula harus sesuai dengan
persyaratan AFASS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu Acceptable = mudah diterima,
Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, dan Safe
= aman penggunaannya
Pada daerah tertentu di mana pemberian susu formula tidak memenuhi
persyaratan AFASS, ibu HIV positif harus mendapatkan konseling jika memilih untuk
memberikan ASI eksklusif.
2.7 Bayi dari Ibu dengan HIV/AIDS (BIHA)
Seorang neonatus yang mendapatkan eksposur HIV, seperti pada kondisi dilahirkan oleh
ibu yang mengidap infeksi HIV memiliki resiko untuk tertular virus tersebut. HIV dapat
ditransmisikan melalui darah dan cairan tubuh. Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi pada
masa gestasi , persalinan maupun menyusui. Kejadian transmisi paling sering terjadi pada masa
perinatal yang mana terjadi pada 50-65% kasus. Penularan HIV dari ibu ke janin dapat terjadi pada
trimester pertama maupun kedua, yang dibuktikan dengan analisis virologi pada janin yang
mengalami abortus. Sekitar 20-30% transmisi HIV terjadi pada masa gestasi tersebut. Selebihnya,
transmisi dapat terjadi pada masa menyusui pada 12-20% kasus.
Resiko transmisi akan meningkat apabila viral load ibu pada saat melahirkan tinggi serta
apabila tidak dilakukan profilaksis antepartum dan atau postpartum. Selain itu, metode persalinan
pervaginam memiliki resiko transmisi HIV yang lebih tinggi dibandingkan dengan
persalinan sectio caesario.
Kondisi lain yang meningkatkan resiko terjadinya transmisi HIV dari ibu ke anak antara
lain adalah wanita hamil yang mendapatkan antiretroviral antepartum dan intrapartum tetapi
memiliki supresi virus yang suboptimal saat persalinan, terutama apabila persalinan dilakukan
pervaginam. Resiko akan semakin tinggi apabila wanita hamil tersebut hanya mendapatkan
antiretroviral intrapartum saja atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali. Selain itu, resiko
penularan juga tinggi pada ibu yang diketahui memiliki infeksi vius yang resisten terhadap ARV.
Resiko seorang bayi mendapatkan infeksi HIV dari ibu yang sudah terinfeksi akan kecil
apabila wanita tersebut mendapatkan regimen standar profilaksis ARV selama kehamilan dan
persalinan serta memiliki viral load yang tidak terdeteksi pada saat persalinan. Juga, pada bayi
yang mengalami persalinan dengan metode sectio cesario pada ibu hamil dengan viral load yang
rendah.
2.8 Penatalaksanaan
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif dengan hasil tes reagen 1 (A1), reagen 2 (A2), dan reagen 3
(A3) ketiganya positif.
Keterangan:
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostik HIV dapat
diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes
ulang menjelang persalinan (32-36 minggu).
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena
antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga
usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak
serta merta menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV.
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang.
Real time PCR (RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan
dengan harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan
hingga generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan
kualitas uji laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah
lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di
negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA
maupun RNA HIV.Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV
pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi
infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau
yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji
antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12
bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test)
dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam
penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai
anemia, leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek
langsung HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat
infeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun.
Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen
atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi
kulit terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin
meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi
spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.
Penatalaksanaan umum
1) Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka :
2) Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga.
3) Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi.
4) Bayi tetap diberi imunisasi rutin, kecuali terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat,
jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR).
5) Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR
DNA/RNA HIV :
Beri dukungan mental pada orang tuanya
Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi.
Tatalaksana bayi dari ibu HIV positif pada saat persalinan :
1) Dengan menerapkan universal precaution.
2) Bila obat antiretroviral tersedia dapat diberikan kepada bayi.
3) Obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada neonatus adalah Zidovudine
selama 6 minggu atau nevirapine sebanyak 1 kali pemberian.
Terapi Anti Retrovirus
Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular
sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI :
a) Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau
mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke
bayinya.Tujuan pemberian Antiretro Viral terapi adalah untuk menekan HIV viral load
sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4 + sel sampai mencapai lebih dari
25%( Cloherty).
b) Bila ibu sudah mendapat Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah
lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai
sejak bayi umur 12 jam.
c) Bila ibu sudah mendapat Nevirapine dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih
berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat
badan secara oral pada umur 12 jam.
d) Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2 x sehari, pemberian 3 kali seminggu,
diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal (Polin), karena
peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.
e) Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian
minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan Tindak Lanjut).
Pemberian Minum
a) Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. Hargai dan
dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang
pilihan yang terbaik untuk bayinya.
b) Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi HIV. Meskipun
demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian,
khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan
fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh
keluarga.
c) Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian minum :
Susu formula dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga kebersihannya dan
selalu dapat tersedia.
ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat
disediakan.Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula.
Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6
bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan.
d) Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah :
Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
Pemberian ASI oleh Ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
e) Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan dukunglah
pilihannya.
f) Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus
(lihat bawah).
g) Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus (seperti dibawah ini) :
Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus
menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara
eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;
Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri
dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar.
Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu hewani,
bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya
infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif
Pemberian ASI
a) Bila memilih menyusui, dukung dan hargai keputusannya.
b) Pastikan bayi melekat dan mengisap dengan baik untuk mencegah terjadinya
Mastitis dan gangguan pada puting susu.
c) Nasihati Ibu segera kembali apabila ada masalah pada payudara atau putingnya,
atau bayi mengalami kesulitan minum.
d) Pada minggu pertama, nasihati Ibu melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk
menilai perlekatan dan posisi bayi waktu menyusu sudah baik, serta keadaan
payudara ibu.
e) Atur konseling selanjutnya untuk mempersiapkan kemungkinan ibu menghentikan
menyusui lebih awal.
B. Masalah Kebidanan
1. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (diare)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dispneu
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan frekuensi buang air besar sering (diare)
C. Diagnosa Kebidanan
1. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif (diare)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan terjadi keseimbangan cairan
Kriteria hasil :
· Tekanan darah normal
· Keseimbangan masukan dan haluaran selama 24 jam
· Tidak ada distensi vena jugularis
· Hidrasi kulit
· Membran mukosa normal
· Turgor kulit baik
NIC : Fluid management
· Timbang popok jika diperlukan
· Pertahankan intake dan output
· Monitor status hidrasi
· Monitor vital sign
· Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
Nutrition Monitoring
· Monitor adanya penurunan berat badan
· Monitor interaksi anak / orang tua selama makan
· Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
· Monitor turgor kulit
· Monitor mual dan muntah
· Monitor pertumbuhan dan perkembangan
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan frekuensi buang air besar sering (diare).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kulit anak tetap bersih, utuh dan
bebas iritasi
NOC : Tissue integrity
· Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperature dan
pigmentasi)
· Tidak ada luka atau lesi pada kulit
· Perfusi jaringan baik
· Mampu melindungi kulit
· Mampu mempertahankan kelembaban kulit
DAFTAR PUSTAKA
Wong, D.L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik (terjemahan). Edisi 4. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Nursalam dan Kurniawati, N.D. (2007). Asuhan Keperawatam Pada Pasien Terifeksi HIV/AIDS.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit salemba Medika
Sint TT, Lovich R, Hammond W, Kim M, Melillo S, Lu L, dkk. Challenges in Infant and Young
Child Nutrition in The Context of HIV. AIDS. 2013, 27(Suppl2):S169–S177.
WHO. Consolidated Guidelines on the Use of Antiretroviral Drugs for Treating and Preventing
HIV Infection. London: World Health Organization; 2013. p. 100-8, 234-5.
HIV and Infant Feeding: Infant and Young Child Feeding in The Context of HIV. China:World
Health Organization; 2003. P.5-7