FILSAFAT ILMU
“ HAKIKAT KEBENARAN ILMIAH ”
Disusun Oleh :
GUSTI AYU PUTU PADMAWATI
NIM. 1911041026
1
Konsep dan pencarian kebenaran itu sendiri telah berubah dan
berkembang dari masa kemasa dimulai dengan hadirnya para filsuf yang
mengusung idealisme shopisme hingga era saat ini yang mana
kebenaran bersifat relatif, terkait ideologi dan mendasarkan kepentingan
orang yang menganut paham tersebut. Sehingga kebenaran menjadi
relatif sesuai dengan yang mempercayainya. Kebenaran yang relatif ini
membuat puluhan, ratusan bahkan ribuan ahli bisa saja menyampaikan
pendapat mereka yang berbeda-beda terhadap pengertian dan
pemahaman konsep tentang kebenaran. Seakan membenarkan paham
yang skepti dari Pyrrho seorang filsuf yang hidup di tahun 365-275 SM
yang menyatakan “Pelopor golongan skeptis ini menyatakan bahwa di
dunia ini tidak ada kepastian, maka manusia tidak mungkin menemukan
kebenaran”. Sehingga pada dasarnya Pyrrho menyatakan bahwa
kebenaran itu bersifat relatif.
Sejatinya kebenaran ialah sebuah nilai utama yang terdapat di
dalam kehidupan manusia yang menjadi sebagai nilai-nilai yang
berperan di dalam batin dan hati nurani manusia. Artinya sifat manusiawi
atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran. Lalu kebenaran yang bagaimana yang dicari oleh
manusia? Menurut Sutardjo kebenaran yang ingin diraih manusia dalam
filsafat ialah sesungguhnya kebenaran yang hakiki dan disebut sebagai
kebenaran sejati atau pun kebenaran filsafatif[1]. Namun begitu sulitnya
mencapai kebenaran yang hakiki tersebut, karena kebenaran yang murni
hanyalah datang dari Ilahi Yang Maha Kuasa. Sedangkan kebenaran
yang berasal dari Ilahi tersebut sulit untuk diterima secara logis,
sistematis dan akademis empiris. Sehingga yang dicari oleh manusia
saat ini adalah kebenaran yang ilmiah dan disebut dengan kebenaran
ilmiah.
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari
makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan
dimanfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk
mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria
2
ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan
realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada
dalam lingkup religi atau pun yang metafisika dan mistik, atau pun yang
non ilmiah lainnya. Disinilah perlunya pengembangan sikap dan
kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Pada tahapan inilah sebagai contoh para atheis menolak
kebenaran akan adanya Ilahi yang mengatur semesta alam, dikarenakan
alasan hal terebut tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan pikiran logis.
Mereka seakan beranggapan kebenaran akan ilahi merupakan suatu
dongeng yang dibuat untuk manusia oleh penguasa agar dapat
dikendalikan. Namun uniknya meskipun tidak mempercayai akan
kebenaran Ilahi namun para atheis mempercayai akan kebenaran
universal yang mana ada sesuatu yang universal yang mengatur
semesta alam ini. Nama yang berbeda namun memiliki Konsep yang
hampir sama. Oleh karena itu kebenaran dapat ditemukan bahkan
ditengah ketidak percayaan terhadap kebenaran tersebut.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut
ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi
strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand),
yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar
motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan
dalam satu kesatuan sistem.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang
disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap
kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau
tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau
menerima suatu produk pemikiran manusia. Lalu timbul suatu
pertanyaan, bagaimana cara manusia menemukan kebenaran yang
beragam tersebut ?
3
1.2 Rumusan Permasalahan
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara
ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau
empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang
berlaku di alam itu dapat dimengerti.Ilmu pengetahuan harus dibedakan
dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang
tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul.
Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena
alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam
struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur
tersebut.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan
rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran
secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan
pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan
kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan
dan pertama yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping
melalui indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam
mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang
Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan
iman dan kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan
kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam
kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan
kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak
akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana
selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Selalu menjadi pertanyaan bagaimana cara memperoleh
kebenaran tersebut hingga kebenaran tersebut diakui? Sebagaimananya
seperti kehidupan kita, maka kebenaran juga bekerja dan ditemukan
dengan cara yang misterius. Tidak ada yang menyangka kapan
kebenaran akan ditemukan. Beberapa orang mungkin menggunakan
ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran, sedangkan beberapa
orang lain menemukan kebenaran dengan hanya berdasarkan cerita
orang lain, atau melalui pengalaman pribadi.
Setelah ditemukan lalu akan muncul pertanyaan baru jenis
kebenaran yang bagaimana yang kita temukan tadi?. Dalam bentuk
kajian yang bagaiman yang kebenaran yang kita temukan tersebut?.Hal
ini tentunya terpengaruh dengan bagaimana kondisi dan latar belakang
Si pencari kebenaran tersebut. Sehingga antara tiap orang akan berbeda
pemahaman terhadap kebenaran, yang ingin mereka temukan. Apalagi
ditengah paham modern sekarang ini yang mana suatu kebenaran
hampir selalu dianggap relatif, dan bukanlah sesuatu yang pasti, dan
dapat diprediksi. Bahkan untuk kebenaran di dunia exact sekalian masih
ditemukannya ketidak pastian diantara angka-angka yang menunjukan
bilangan nominal.
5
Dengan bermacam-macamnya kebenaran tentunya setiap
kebenaran akan memiliki ciri khas yang menjadi sifat dari kebenaran
tersebut. Abas Hamami Mintaredja dalam Surajiyo (2008: 103)
menguraikan bahwa “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata
benda yang konkret maupun abstrak. Kebenaran tidak terlepas dari
kualitas, sifat, hubungan, dan nilai, dengan adanya beberapa kategori
tersebut, tidak berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki
pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda
satu dengan yang lainya. Dari situlah akan terlihat sifat-sifat kebenaran,
dan tergantung dengan berbagai pengetahuan yang dibangun. Lalu
bagaimana sifat dari kebenaran yang dimaksud tersebut?
Dan pada akhirnya kebenaran yang ditemukan akan menjadi
suatu acuan dan menjadi suatu teori yang akan dikaji, diuji, diakui dan
mungkin akan dibantahkan oleh orang lain dengan hasil pengujiannya
atau pun teori lain yang bersifat kontradiktif dengan teori kebenaran yang
sebelumnya. Oleh karena itu kami rumusan permasalahan yang penulis
ajukan untuk diketahui jawabannya ialah :
1. Bagaimanakah cara-cara memperoleh suatu kebenaran ?
2. Apa dan bagaimana jenis kajian dari kebenaran tersebut?
3. Apa saja dan bagaimana sifat yang menjadi ciri khas suatu
kebenaran ilmiah tersebut?
4. Teori kebenaran ilmiah apa saja yang telah berkembang saat ini?
5. Apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah?
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
Jika diuraikan maka sebagai berikut :
1. Penemuan Kebenaran Secara Kebetulan.
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang
berlangsung tanpa sengaja. Dalam sejarah manusia ada banyak
penemuan yang didapatkan secara kebetulan atau tidak sengaja, dan
hal itu akhir menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan
umat manusia. Karena kebenaran ini tidak diperoleh melalui penelitian
yang menggunakan metode tertentu, maka kebenaran jenis ini tidak
dapat diterima oleh dunia.keilmuan atau dunia metode ilmiah, dengan
alasan tidak dapat digunakan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
8
penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai
oleh subjektivitas.
9
b) Bersifat universal.
c) Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek
dan tidak mengalami distorsi karena adanya pelbagai prasangka
subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin objektivitasnya,
tuntutan inter subjektivitas perlu dipenuhi.
d) Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua penelitian
yang relevan.
e) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuan
yang lain. Oleh karena itu penelitian ilmiah harus dapat
dikomunikasikan.
10
2.3 Sifat dan Karakter Kebenaran
Setelah melalui proses pengelompokan dan pengkajian maka
kebenaran yang ditemukan akan diketahui, sifat dan karakternya. Abas
Hamami Mintaredja dalam Surajiyo (2008: 103) menguraikan bahwa
“kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret
maupun abstrak. Kebenaran tidak terlepas dari kualitas,sifat, hubungan,
dan nilai, dengan adanya beberapa kategori tersebut, tidak berlebihan
jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang
lainya. Dari situlah akan terlihat sifat-sifat kebenaran, dan tergantung
dengan berbagai pengetahuan yang dibangun. Sehingga ada tiga
macam sifat yang umumnya ditemukan dalam suatu kebenaran, yaitu:
1. Kebenaran terkaiat kualitas pengetahuan.
Artinya bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
yang mengetahui suatu objek, ditilik dari jenis pengetahuan yang
dibangun, dengan maksud apakah pengetahuan yang dimaksud itu
adalah :
(a) Pengetahuan biasa,
(b) Pengetahuan Ilmiah,
(c) Pengetahuan Filsafat,
(d) Pengetahuan kebenaran agama.
2. Kebenaran terkait karakteristik dan cara kebenaran tersebut
membangun pengetahuan.
Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari
bagaimana cara atau dengan alat apa seseorang membangun
pengetahuannya. Apakah ia membangun dengan pengindraan, akal
pikiran atau rasio, intuisi atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan
dari alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan
mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh
pengetahuan yang akan memiliki cara tertentu untuk
membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui
11
indra, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus
melalui indra pula, begitu pula dengan cara yang lain.
12
(5) Teori Kebenaran Semantik,
(6) Teori Kebenaran Non-deskripsi,
(7) teori Kebenaran Logis yang berlebihan.
2. Teori Koherensi
Teori koherensi ini dibangun oleh para pemikir rasionalis
seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bredley. Surajiyo (2008: 105)
menyebut teori ini dengan teori-teori Kebenaran Saling
Berhubungan (Coherence Theory of Truth) dengan mengutip
pendapat Kattsoff. Surajiyo menambahkan bahwa “suatu proposisi
cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
burhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar. Atau
jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling barhubungan
dengan pengalaman kita”. Pembuktian teori kebenaran koherensi
dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah,
atau memakai logika apabila merupakan pernyataan yang bersifat
logis.
13
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Surajiyo (2008:106) menambahkan bahwa teori kebenaran
pragmatis ini juga disebut dengan kebenaran Inherensi (Inheren
Theory of Truth). Kebenaran ini berpandangan bahwa suatu
proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang
dapat dipergunakan atau bermanfaat.
14
suatu pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat
tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu.
15
Dalam pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolak ukur
penentu penilaian.
Kata Yunani unutk kebenaran adalah alettheia. Sebagaimana
ditafsirkan oleh Martin Heidegger, pengertian Plato tentang kebenaran
sebagai alettheia secara etimologis berarti ‘ketaktersembunyiian adanya”
atau “ketersingkapan adanya”. Selama kita masih terkait pada “yang
ada” dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada itu”, maka kita belum
berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya itu masih tersembunyi”.
Setelah (ketika) selubung yang menutupi “semua yang ada” itu
disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah
“adanya” atau bertemulah klita dengan kebenaran. Kebenaran disini
dimengerti sebagai sesuatu yang terletak pada objek yang diketahui atau
pada apa yang dikejar untuk diketahui. Menurut Plato, kebenaran
sebagai ketersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia
selama hidupnya di dunia ini. Berbeda dengan Plato Aristoteles
memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas
pernyataan yang dibuat oleh objek penahu ketika ia menegaskan suatu
putusan entah secara afirmatif (S itu P) atau negative (S itu bukan P).
Ada tidaknya kebenran dalam putusan yang bersifat afirmatif atau
negative tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai
pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak sesuai
dengan kenyataan. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian
anatar subjek penahu dengan objek yang diketahui. Bagi Aristoteles,
subjek yang mengetahui lebih penting dari objek yang diketahui
sebagaimana dalam pandangan Plato. Walaupun demikian, bagi
Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru
dimilki kalau subjek penahu (idealitas) dan objek yang diketahui (realitas)
itu identik satu sama lain dalam pengetahuan akal budi yang sempurna.
Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristoteles adalah
kebenaran logis dan linguistik proposional.
16
DAFTAR PUSTAKA
I Gusti Bagus Rai Utama. (2013). Filsafat Ilmu dan Logika. Bumi Aksara:
Jakarta.
17