Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FILSAFAT ILMU
“ HAKIKAT KEBENARAN ILMIAH ”

Disusun Oleh :
GUSTI AYU PUTU PADMAWATI
NIM. 1911041026

MI MADE SUMAWATI ASIH


NIM. 19110419

NI MADE WIWIEK ANDRIYANI


NIM. 1911041021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PAUD


FAKULTAS DHARMA ACARYA
STAH NEGERI MPU KUTURAN
SINGARAJA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Filsafat berasal dari kata filo dan sofia (bahasa Yunani). Filo
artinya cinta atau menyenangi dan sofia artinya bijaksana. Konon orang
yang selalu mendambakan kebijaksanaan adalah orang-orang yang
pandai, dan orang yang selalu mencari kebenaran. Sejarah mencatatkan
para ilmuwan melakukan segala macam cara dalam rangka mencari
bermacam-macam kebenaran. Berbagai penelitian, pengamatan akan
data dan peristiwa dilakukan untuk menemukan sebuah kebenaran. Dan
setelah penemuan akan kebenaran itu ditemukan maka orang yang
mempercayai kebenaran tersebut akan mati-matian mempertahankan
kebenaran yang dipercayainya. Bahkan terkadang mengorbankan jiwa
dan raga terutama kebenaran akan Tuhan.
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri.
Menurut Abbas Hamami dalam Tim Dosen Filsafat UGM (2003: 135)
menguraikan bahwa kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu
kata benda yang konkret maupun abstrak. Kebenaran yang abstrak
sejatinya kebenaran yang dapat dilihat, ilmiah dengan data dan
pengujian dan dinilai dengan objektivitas sedangkan kebenaran yang
abstrak ialah kebenaran yang tidak dapat dinilai dengan metode ilmiah
,memiliki peniliaian yang subjektif, yang dinilai dari sisi sentimental dan
emosional sang penilai.
Kebenaran sendiri dalam bahasa Yunani disebut dengan alettheia.
Sebagaimana pengertian Plato tentang kebenaran sebagai alettheia
secara etimologis “ketersingkapan adanya”. Selama kita masih terkait
pada “yang ada” dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada itu”, maka
kita belum berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya itu masih
tersembunyi”. Setelah (ketika) selubung yang menutupi “semua yang
ada” itu disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka
terbukalah “adanya” atau bertemulah klita dengan kebenaran.

1
Konsep dan pencarian kebenaran itu sendiri telah berubah dan
berkembang dari masa kemasa dimulai dengan hadirnya para filsuf yang
mengusung idealisme shopisme hingga era saat ini yang mana
kebenaran bersifat relatif, terkait ideologi dan mendasarkan kepentingan
orang yang menganut paham tersebut. Sehingga kebenaran menjadi
relatif sesuai dengan yang mempercayainya. Kebenaran yang relatif ini
membuat puluhan, ratusan bahkan ribuan ahli bisa saja menyampaikan
pendapat mereka yang berbeda-beda terhadap pengertian dan
pemahaman konsep tentang kebenaran. Seakan membenarkan paham
yang skepti dari Pyrrho seorang filsuf yang hidup di tahun 365-275 SM
yang menyatakan “Pelopor golongan skeptis ini menyatakan bahwa di
dunia ini tidak ada kepastian, maka manusia tidak mungkin menemukan
kebenaran”. Sehingga pada dasarnya Pyrrho menyatakan bahwa
kebenaran itu bersifat relatif.
Sejatinya kebenaran ialah sebuah nilai utama yang terdapat di
dalam kehidupan manusia yang menjadi sebagai nilai-nilai yang
berperan di dalam batin dan hati nurani manusia. Artinya sifat manusiawi
atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran. Lalu kebenaran yang bagaimana yang dicari oleh
manusia? Menurut Sutardjo kebenaran yang ingin diraih manusia dalam
filsafat ialah sesungguhnya kebenaran yang hakiki dan disebut sebagai
kebenaran sejati atau pun kebenaran filsafatif[1]. Namun begitu sulitnya
mencapai kebenaran yang hakiki tersebut, karena kebenaran yang murni
hanyalah datang dari Ilahi Yang Maha Kuasa. Sedangkan kebenaran
yang berasal dari Ilahi tersebut sulit untuk diterima secara logis,
sistematis dan akademis empiris. Sehingga yang dicari oleh manusia
saat ini adalah kebenaran yang ilmiah dan disebut dengan kebenaran
ilmiah.
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari
makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan
dimanfaatkan oleh manusia. Disamping itu proses untuk
mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah. Kriteria

2
ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan
realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada
dalam lingkup religi atau pun yang metafisika dan mistik, atau pun yang
non ilmiah lainnya. Disinilah perlunya pengembangan sikap dan
kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Pada tahapan inilah sebagai contoh para atheis menolak
kebenaran akan adanya Ilahi yang mengatur semesta alam, dikarenakan
alasan hal terebut tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan pikiran logis.
Mereka seakan beranggapan kebenaran akan ilahi merupakan suatu
dongeng yang dibuat untuk manusia oleh penguasa agar dapat
dikendalikan. Namun uniknya meskipun tidak mempercayai akan
kebenaran Ilahi namun para atheis mempercayai akan kebenaran
universal yang mana ada sesuatu yang universal yang mengatur
semesta alam ini. Nama yang berbeda namun memiliki Konsep yang
hampir sama. Oleh karena itu kebenaran dapat ditemukan bahkan
ditengah ketidak percayaan terhadap kebenaran tersebut.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut
ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi
strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand),
yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar
motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan
dalam satu kesatuan sistem.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang
disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap
kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau
tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau
menerima suatu produk pemikiran manusia. Lalu timbul suatu
pertanyaan, bagaimana cara manusia menemukan kebenaran yang
beragam tersebut ?

3
1.2 Rumusan Permasalahan
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara
ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan
menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau
empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang
berlaku di alam itu dapat dimengerti.Ilmu pengetahuan harus dibedakan
dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang
tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul.
Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena
alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam
struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.
Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur
tersebut.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan
rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran
secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur,
khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan
pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan
kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan
dan pertama yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping
melalui indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam
mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya

4
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang
Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan
iman dan kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan
kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam
kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan
kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak
akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana
selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Selalu menjadi pertanyaan bagaimana cara memperoleh
kebenaran tersebut hingga kebenaran tersebut diakui? Sebagaimananya
seperti kehidupan kita, maka kebenaran juga bekerja dan ditemukan
dengan cara yang misterius. Tidak ada yang menyangka kapan
kebenaran akan ditemukan. Beberapa orang mungkin menggunakan
ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran, sedangkan beberapa
orang lain menemukan kebenaran dengan hanya berdasarkan cerita
orang lain, atau melalui pengalaman pribadi.
Setelah ditemukan lalu akan muncul pertanyaan baru jenis
kebenaran yang bagaimana yang kita temukan tadi?. Dalam bentuk
kajian yang bagaiman yang kebenaran yang kita temukan tersebut?.Hal
ini tentunya terpengaruh dengan bagaimana kondisi dan latar belakang
Si pencari kebenaran tersebut. Sehingga antara tiap orang akan berbeda
pemahaman terhadap kebenaran, yang ingin mereka temukan. Apalagi
ditengah paham modern sekarang ini yang mana suatu kebenaran
hampir selalu dianggap relatif, dan bukanlah sesuatu yang pasti, dan
dapat diprediksi. Bahkan untuk kebenaran di dunia exact sekalian masih
ditemukannya ketidak pastian diantara angka-angka yang menunjukan
bilangan nominal.

5
Dengan bermacam-macamnya kebenaran tentunya setiap
kebenaran akan memiliki ciri khas yang menjadi sifat dari kebenaran
tersebut. Abas Hamami Mintaredja dalam Surajiyo (2008: 103)
menguraikan bahwa “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata
benda yang konkret maupun abstrak. Kebenaran tidak terlepas dari
kualitas, sifat, hubungan, dan nilai, dengan adanya beberapa kategori
tersebut, tidak berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki
pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda
satu dengan yang lainya. Dari situlah akan terlihat sifat-sifat kebenaran,
dan tergantung dengan berbagai pengetahuan yang dibangun. Lalu
bagaimana sifat dari kebenaran yang dimaksud tersebut?
Dan pada akhirnya kebenaran yang ditemukan akan menjadi
suatu acuan dan menjadi suatu teori yang akan dikaji, diuji, diakui dan
mungkin akan dibantahkan oleh orang lain dengan hasil pengujiannya
atau pun teori lain yang bersifat kontradiktif dengan teori kebenaran yang
sebelumnya. Oleh karena itu kami rumusan permasalahan yang penulis
ajukan untuk diketahui jawabannya ialah :
1. Bagaimanakah cara-cara memperoleh suatu kebenaran ?
2. Apa dan bagaimana jenis kajian dari kebenaran tersebut?
3. Apa saja dan bagaimana sifat yang menjadi ciri khas suatu
kebenaran ilmiah tersebut?
4. Teori kebenaran ilmiah apa saja yang telah berkembang saat ini?
5. Apa yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah?

6
BAB II
PEMBAHASAN

Pemahaman tentang definisi kebenaran dalam alam pikir manusia


mungkin telah mengalami berbagai perubahan, mulai dari masa Yunani kuno
dengan sophisme, hingga paham modern saat ini tentang suatu kebenaran.
Selama berabad-abad para filsuf, ulama, ilmuwan, dan bahkan budayawan
dan seniman mencoba menemukan kebenaran yang masing-masing mereka
percayai dan temukan, sesuai dengan ilmu pengetahuan dan bidang mereka
masing-masing.
Terkadang hasil yang didapat dari pencarian kebenaran yang mereka
lakukan saat itu, ternyata dinilai jauh dari kebenaran yang dipahami saat ini,
sehingga kebenaran yang para filsuf dan kalangan pemikir yang mencoba
menemukan kebenaran tersebut akhirnya pendapat mereka terbantahkan.
Namun kendati hasilnya dinilai jauh dari kebenaran dengan selang waktu
yang cukup lama hingga terpatahkan oleh kebenaran yang orang lain
temukan kebenaran sebelumnya tersebut telah membentuk, merubah dunia
seperti saat ini. Lalu bagaimana kebenaran yang sesungguhnya tersebut,
untuk itu mari kita mulai membahasnya dari dengan bagaimana cara
memperoleh kebenaran.

2.1 Cara Memperoleh Kebenaran


Menurut I Gusti Rai Bagus Utama dalam bukunya berjudul “Filsafat Ilmu
dan Logika”, ada beberapa cara menemukan kebenaran, antara lain :
1. Penemuan secara kebetulan,
2. Penemuan kebenaran dengan coba-coba, coba dan ralat (trial n error),
3. Penemuan kebenaran melalui otoritas atau kewibawaan,
4. Penemuan kebenaran secara spekulatif,
5. Penemuan kebenaran lewat cara berpikir kritis dan rasional
6. Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah.

7
Jika diuraikan maka sebagai berikut :
1. Penemuan Kebenaran Secara Kebetulan.
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang
berlangsung tanpa sengaja. Dalam sejarah manusia ada banyak
penemuan yang didapatkan secara kebetulan atau tidak sengaja, dan
hal itu akhir menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan
umat manusia. Karena kebenaran ini tidak diperoleh melalui penelitian
yang menggunakan metode tertentu, maka kebenaran jenis ini tidak
dapat diterima oleh dunia.keilmuan atau dunia metode ilmiah, dengan
alasan tidak dapat digunakan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.

2. Penemuan Kebenaran dengan Trial and Error.


Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya sesuatu
kepastian akan berhasil atau penemuan coba dan ralat ini belum tentu
akan mencapai kebenaran yang dicarinya. Memang ada aktifitas
mencari kebenaran, tetapi aktifitas itu mengandung unsur spekulaitf
atau untung-untung. Penemuan dengan cara ini kerap kali
memerlukan waktu yang lama, karena tanpa rencana, tanpa rencana,
tidak terarah, tanpa pedoman dan tidak diketahui tujuannya. Cara
coba dan ralat ini pun tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam
usaha untuk mengungkapkan kebenaran.

3. Penemuan Kebenaran Melalui Otoritas atau Kewibawaan


Pendapat orang-orang memiliki otoritas (kewibawaan, pengaruh,
kekuasaan), misalnya: orang-orang yang memiliki kedudukan dan
kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran, meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti
tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam
merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang
menyangsikannya. Namun demikian ada kalanya pendapat itu
ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian
pendapat pemegang otorias itu bukanlah pendapat yang berasal dari

8
penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai
oleh subjektivitas.

4. Penemuan Kebenaran Secara Spekulatif.


Penemuan kebenaran secara spekulatif mirip dengan cara coba
dan ralat, akan tetapi perbedaannya dengan coba dan ralat memang
ada. Seseorang yang menghadapi suatu masalah yang harus
dipecahkan pada penemuan secara spekulatif, mungkin sekali ia
membuat sejumlah alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin
memilih salah satu alternatif pemecahan itu sekalipun ia tidak yakin
benar mengenai keberhasilannya.

5. Penemuan Kebenaran Melalui Cara Berpikir Kritis dan Rasional


Melalui cara berpikir kritis dan rasional telah banyak
mengahsilkan penemuan tentang kebenaran sesuatu. Dalam
menghadapi berbagai masalah, manusia berusaha menganalisisnya
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya untuk
sampai pada pemecahan masalah secara tepat. Cara berpikir yang
ditempuh pada tingkat permulaan dalam memecahkan masalah
adalah dengan cara berpikir analitis dan cara berpikir sintesis.

6. Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah


Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah adalah yang
dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin
tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Penyaluran sampai pada
taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap
akibat dan bahwa setya gejala yang tampak dapat dicari
penjelasannya secara ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat
ciri-ciri umum, yaitu :
a) Pelaksanaannya yang metodis harus mencapai satu keseluruhan
yang logis dan koheren. Artinya dituntut adanya system dalam
metode maupun dalam hasilnya. Jadi susunannya logis.

9
b) Bersifat universal.
c) Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin oleh objek
dan tidak mengalami distorsi karena adanya pelbagai prasangka
subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin objektivitasnya,
tuntutan inter subjektivitas perlu dipenuhi.
d) Penelitian ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua penelitian
yang relevan.
e) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuan
yang lain. Oleh karena itu penelitian ilmiah harus dapat
dikomunikasikan.

2.2 Jenis dan Kajian Kebenaran


Kebenaran yang ditemukan akan dikelompokan menjadi beberapa
jenis melalui kajian keilmuan. Dengan dikaji terlebih dahulu, sebelum di
publikasikan dan disebarkan ke masyarakat. hingga akhirnya kebenaran
tersebut diakui, dan tidak terbantahkan, dalam hal kebenaran merupakan
suatu ilmu ataupun pengetahuan ada tiga jenis kajian yang dilakukan:
1. Kebenaran epistemological adalah pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan manusia. Kadang-kadang disebut dengan
istilah veritas cognitionis atau juga veritas logica.
2. Kebenaran ontological, adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang
melekat pada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila
dihubungkan dengan kebenaran epistemologikal, kadang-kadang
disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada didalam objek
pengetahuan itu sendiri.
3. Kebenaran semantikal, adalah kebenaran yang terdapat serta
melekat didalam tutur bahasa dan kata. Kebenaran semantikal
disebut juga kebenaran moral (veritas moralis), hal tersebut tidak
tergantung apakah tutur kata atau bahasa itu menghianati atau tidak
terhadap kebenaran epistemological ataupun kebenaran ontological,
semua itu tergantung pada manusia yang mempunyai kemerdekaan
untuk tutur kata ataupun bahasa itu.

10
2.3 Sifat dan Karakter Kebenaran
Setelah melalui proses pengelompokan dan pengkajian maka
kebenaran yang ditemukan akan diketahui, sifat dan karakternya. Abas
Hamami Mintaredja dalam Surajiyo (2008: 103) menguraikan bahwa
“kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret
maupun abstrak. Kebenaran tidak terlepas dari kualitas,sifat, hubungan,
dan nilai, dengan adanya beberapa kategori tersebut, tidak berlebihan
jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan
memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang
lainya. Dari situlah akan terlihat sifat-sifat kebenaran, dan tergantung
dengan berbagai pengetahuan yang dibangun. Sehingga ada tiga
macam sifat yang umumnya ditemukan dalam suatu kebenaran, yaitu:
1. Kebenaran terkaiat kualitas pengetahuan.
Artinya bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
yang mengetahui suatu objek, ditilik dari jenis pengetahuan yang
dibangun, dengan maksud apakah pengetahuan yang dimaksud itu
adalah :
(a) Pengetahuan biasa,
(b) Pengetahuan Ilmiah,
(c) Pengetahuan Filsafat,
(d) Pengetahuan kebenaran agama.
2. Kebenaran terkait karakteristik dan cara kebenaran tersebut
membangun pengetahuan.
Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari
bagaimana cara atau dengan alat apa seseorang membangun
pengetahuannya. Apakah ia membangun dengan pengindraan, akal
pikiran atau rasio, intuisi atau keyakinan. Implikasi dari penggunaan
dari alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan
mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh
pengetahuan yang akan memiliki cara tertentu untuk
membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui

11
indra, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus
melalui indra pula, begitu pula dengan cara yang lain.

3..Kebenaran terkait terjadinya Pengetahuan


Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan pada terjadinya
pengetahuan, artinya bahwa bagaimana relasi atau hubungan antar
subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun
pengetahuan, subjek atau objek. Jika subjek yang berperan, maka
jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang bersifat
subjektif,artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya
amat tergantung pada sujek yang memiliki pengetahuan itu.

2.4 Teori Kebenaran


Pembahasan masalah mengenai “kebenaran” sejatinya telah terjadi
suatu bahasan yang amat serius sejak awal perkembangan pemikiran
filsafat mengingat filsafat menjadi bapak dari ilmu-ilmu yang berkembang
sesudahnya. Sejaka zaman kehidupan filosof Plato yang kemudian
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Aristoteles. Plato melalui
metode dialog membangaun teori pengetahuan yang cukup lengkap
sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Sejak itulah teori
pengetahuan berkembang terus untuk mendapatkan penyempurnaan
sampai sekarang.
Hamersma menguraikan pandangan Jaspers sebagai berikut, dia
menyatakan sesungguhnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi
dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Teori
kebenaran selalu parallel dengan teori pengetahuan-pengetahuan yang
dibangunnya..Teori-teori kebenaran yang telah berkembang itu antara
lain adalah :
(1) Teori Kebenaran Korespondensi,
(2) Teori kebenaran Koherensi,
(3) Teori Kebenaran Pragmatis,
(4) Teori Kebenaran Sintaksis,

12
(5) Teori Kebenaran Semantik,
(6) Teori Kebenaran Non-deskripsi,
(7) teori Kebenaran Logis yang berlebihan.

Jika diuraikan maka, sebagai berikut :


1. Teori Kebenaran korespondensi
Menurut Hamami bahwa teori Kebenaran Saling Bersesuaian
(Correspondence Theory of Truth) adalah teori kebenaran yang
paling awal dan yang paling tua. Teori ini berpandangan bahwa
suatu proposisi bernilai benar apabila saling bersesuaian dengan
dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara
langsung pada dunia kenyataan. Sebagai contoh: “air akan
menguap jika dipanaskan hingga 100˚C, pengetahuan tersebut
dinyatakan benar jika kemudian dilaksanakan percobaan dengan
cara m, memanaskan air hingga 100˚C, apabila hal tersebut benar-
benar terjadi, air menguap pada suhu tersebut berarti pengetahuan
itu benar, jika tidak berarti pengetahuan salah.

2. Teori Koherensi
Teori koherensi ini dibangun oleh para pemikir rasionalis
seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bredley. Surajiyo (2008: 105)
menyebut teori ini dengan teori-teori Kebenaran Saling
Berhubungan (Coherence Theory of Truth) dengan mengutip
pendapat Kattsoff. Surajiyo menambahkan bahwa “suatu proposisi
cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
burhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar. Atau
jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling barhubungan
dengan pengalaman kita”. Pembuktian teori kebenaran koherensi
dapat melalui fakta sejarah apabila merupakan proposisi sejarah,
atau memakai logika apabila merupakan pernyataan yang bersifat
logis.

13
3. Teori Kebenaran Pragmatis
Surajiyo (2008:106) menambahkan bahwa teori kebenaran
pragmatis ini juga disebut dengan kebenaran Inherensi (Inheren
Theory of Truth). Kebenaran ini berpandangan bahwa suatu
proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang
dapat dipergunakan atau bermanfaat.

4. Teori Kebenaran Sintaks


Surajiyo (2008:106) menguraikan bahwa penganut Kebenaran
Sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau
tata bahasa yang melekat padanya. Dengan demikian suatu
pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti
aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi itu mempunyai arti. Teori ini
berkembang diantara filososf analisis bahasa, terutama yang begitu
ketat terhadap pemakaian gramatika.

5. Teori Kebenaran Semantik


Abbas Hamami dalam Surajio (2008:106) menggunakan istila
teori Kebenaran Semantik ini sebagai Kebenaran Berdasarkan Arti
(Semantic Theory of Truth). Dalam teori Kebenaran Semantik,
proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Setiap proposisi
akan ditanyakan apakah proposisi yang merupakan pangkal
tumpuan itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini
mempunyai tugas untuk menguak kesahan dari proposisi dalam
referensinya.

6. Teori Kebenaran non-deskripsi


Teori Kebenaran Non-deskripsi dikembangkan oleh para
penganut paham filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya

14
suatu pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat
tergantung pada peran dan fungsi pernyataan itu.

7. Teori Kebenaran Logic yang berlebihan


Teori kebenaran logik yang berlebihan (logical-superfluity
theory of truth) ini dikembangkan oleh para penganut paham
Filsafat Positivistik yang diawali oleh Ayer. Lebih Lanjut Tim Dosen
Filsafat UGM (2003:140) mengutip pendapat Gallagher (1984) yang
menyatakan bahwa pada dasarnya menurut teori kebenaran ini,
bahwa problem kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa
saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena
pada dasarnya apa “pernyataan” yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logic yang sama, yang masing-
masing saling melingkupinya.

2.5 Definisi dari “KEBENARAN ILMIAH”


Abbas Hamami dalam Tim Dosen Filsafat UGM (2003:135)
menguraikan bahwa kata “kebenaran ilmiah” dapat digunakan sebagai
suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Lebih lanjut Tim Dosen
Filsafat UGM (2003:135) menguraikan baahwa subjek dikatakan
menuturkan suatu kebenaran ilmiah, hal itu berarti bahwa subjek
menuturkan suatu proposisi yang benar (proposisi adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan). Sesuatu dapat dinyatakan benar
apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu
pasti memiliki : kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal
itu, karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat,
hubungan, dan nilai itu sendiri. Adanya berbagai kategori tersebut, maka
tidak berlebihan jika pada saat-saat tertentu setiap subjek memilki
pengetahuan dan persepsi yang berbeda terhadap sesuatu yang sama.
Sudarminta (2008: 127) menguraikan bahwa secara umum kebenaran
ilmiah biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang
dipikirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya.

15
Dalam pengertian ini, kenyataan yang sesungguhnya menjadi tolak ukur
penentu penilaian.
Kata Yunani unutk kebenaran adalah alettheia. Sebagaimana
ditafsirkan oleh Martin Heidegger, pengertian Plato tentang kebenaran
sebagai alettheia secara etimologis berarti ‘ketaktersembunyiian adanya”
atau “ketersingkapan adanya”. Selama kita masih terkait pada “yang
ada” dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada itu”, maka kita belum
berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya itu masih tersembunyi”.
Setelah (ketika) selubung yang menutupi “semua yang ada” itu
disingkapkan sehingga terlihat oleh mata batin kita, maka terbukalah
“adanya” atau bertemulah klita dengan kebenaran. Kebenaran disini
dimengerti sebagai sesuatu yang terletak pada objek yang diketahui atau
pada apa yang dikejar untuk diketahui. Menurut Plato, kebenaran
sebagai ketersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia
selama hidupnya di dunia ini. Berbeda dengan Plato Aristoteles
memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas
pernyataan yang dibuat oleh objek penahu ketika ia menegaskan suatu
putusan entah secara afirmatif (S itu P) atau negative (S itu bukan P).
Ada tidaknya kebenran dalam putusan yang bersifat afirmatif atau
negative tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai
pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak sesuai
dengan kenyataan. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian
anatar subjek penahu dengan objek yang diketahui. Bagi Aristoteles,
subjek yang mengetahui lebih penting dari objek yang diketahui
sebagaimana dalam pandangan Plato. Walaupun demikian, bagi
Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru
dimilki kalau subjek penahu (idealitas) dan objek yang diketahui (realitas)
itu identik satu sama lain dalam pengetahuan akal budi yang sempurna.
Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristoteles adalah
kebenaran logis dan linguistik proposional.

16
DAFTAR PUSTAKA

I Gusti Bagus Rai Utama. (2013). Filsafat Ilmu dan Logika. Bumi Aksara:
Jakarta.

Surajiyo (2008).Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Bumi Aksara: Jakarta

17

Anda mungkin juga menyukai