Anda di halaman 1dari 20

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER (UTS)

SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN

“TRANSFORMING SUSTAINABILITY CONTROL SYSTEM INTO MANAGEMENT


CONTROL SYSTEM WITHIN CORPORATE STRATEGY”

Dosen : Dr. Setianingtyas Honggowati,MM.,Ak.

Disusun oleh :

1. ERNA PURWATININGSIH NIM : S411902010


2. FARIZ SEPTIAN NIM : S411902012

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
Artikel :
SUSTAINABILITY STRATEGY AND MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS IN FAMILY FIRMS.
EVIDENCE FROM A CASE STUDY
Fabio Caputo, Stefania Veltri, and Andrea Venturelli
Academic Editor: Barbara Aquilani
Received: 23 March 2017; Accepted: 5 June 2017; Published: 7 June 2017

1. LATAR BELAKANG
Dalam beberapa dekade terakhir kita telah menyaksikan tekanan pada organisasi
untuk bertindak lebih bertanggung jawab secara sosial dan kaitannya dengan dampak pada
lingkungan. Lingkungan bisnis mulai menyadari akan pentingnya ketahanan, mulai
menampilkan secara retoris dalam laporan perusahaan dan pernyataan visi misi mereka.
Untuk mengartikan ketahanan, dapat merujuk pada Dyllick dan Hockerts yang
mendefinisikan sustainability sebagai “titik temu kebutuhan stakeholder langsung maupun
stakeholder tidak langsung tanpa mengurangi kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan stakeholder masa depan”. Untuk mencapai target ini, perusaahan perlu untuk
mengelola modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Definisi tersebut adalah pengertian di level
korporasi dari definisi pengembangan ketahanan yang dinyatakan oleh World Commission on
Environment and Development (WCED), pengembangan ketahanan itu sendiri berarti
“pengembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan
dari generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka nantinya. Dalam artikel ini,
penggunaan istilah ketahanan akan sering berganti dengan penggunaan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR), yang didefinisikan sebagai “konsep yang digunakan perusahaan
untuk mengintegrasikan kepedulian lingkungan dan sosial ke dalam operasi bisnis dan di
dalam hubungannya dengan para stakeholder”.
Meskipun dengan perkembangan literatur dan berasal dari latar belakang yang
berbeda, baik CSR maupun ketahanan menuju kepada masa depan yang sama. Kedua
memiliki kesamaan visi, yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi
dengan tangggung jawab lingkungan dan sosial, serta keduanya juga memiliki akar teoritis
yang sama tentang stakeholder. Merujuk pada teori, organisasi memiliki kewajiban tidak
hanya kepada stakeholder tetapi juga pada kelompok lain, seperti konsumen, pekerja,
penyuplai, dan masyarakat luas.
Penelitian tentang ketahanan dalam manajamen akutansi telah meningkatkan
ketertarikan para pencari beasiswa dengan fokus studi pada pelaporan eksternal, sebaliknya
penelitian yang memiliki perhatian kepada peran dari kontrol manajemen organisasi dalam
dukungannya dengan ketahanan masih cukup sedikit. Dengan kata lain, banyak penelitian
yang mengkaji tentang “mengapa” perusahaan terlibat dalam masalah ketahanan, namun
masih sedikit yang mengkaji tentang “bagaimana” perusahaan mengintegrasikan masalah
ketahanan ke dalam sistem manajemen kinerja perusahaan.
Terbaru ini, beberapa artikel menekankan pada pentingnya mengintegrasikan
ketahanan dengan sistem manajemen kinerja dan mempelajari perkembangan, struktur, dan
penggunaan sistem kontrol ketahanan yang lebih spesifik. Secara pasti, ketahanan dapat
menjadi penggerak untuk kesuksesan korporasi, tetapi sebelumnya organisasi perlu untuk
mengintegrasikan ketahanan ke dalam strategi dan sistem manajemen kinerja perusahaan.
Di sisi lain perlu digarisbawahi bahwa mengintegrasikan ketahanan ke dalam strategi
organisasi itu bukan perkara yang mudah, karena ini perlu menyelaraskan beberapa aspek
yang saling terkoneksi, seperti aspek teknikal, organisasional, maupun aspek kognitif.
Artikel terbaru menawarkan kerangka penelitian yang secara terbuka
menggambarkan dan mempertimbangkan beberapa kemungkinan model hubungan antara
masalah ketahanan, sistem kontrol perusahaan dan strategi organisasi. Kerangka kerja dari
The Gond dkk, mengidentifikasi 8 strategi ketahanan berdasarkan penggunaan yang berbeda
dan integrasinya ke dalam sistem pengendalian manajemen (MCS) dan sistem kontrol
ketahanan (SCS). Kerangka kerja dari The Gond dkk baru-baru ini telah diterapkan pada
perusahaan migas, dan dalam penelitian ini juga menggunakan kerangka kerja tersebut untuk
diterapkan dalam perusahaan keluarga italia yang beroperasi pada industri yang cukup
sensitif dengan masalah lingkungan (industri transportasi intermoda).
Tujuan dari studi adalah untuk meneliti bagaimana integrasi dari SCS model baru dan
MCS tradisional serta efek dari penerapan SCS dan MCS tersebut akan integrasi ketahanan
dalam strategi organisasi. Studi kualitatif dengan pendekatan longitudinal digunakan untuk
menelusuri alur integrasi ketahanan dengan berdasarkan kerangka kerja dari The Gond dkk.
Studi ini juga merupakan yang pertama menganalisa tentang integrasi dari ketahanan
ke dalam strategi organisasi dalam konteks bisnis keluarga, dengan sudut pandang internal
yang saling mempengaruhi dengan sistem kontrol perusahaan.
Perusahaan keluarga merupakan seting penelitian yang cukup menarik untuk
penelitian tentang masalah ketahanan, karena secara teoritis cukup kuat dan bukti empiris
mengatakan bahwa keterlibatan keluarga dalam sebuah bisnis dapat mempengaruhi perilaku
bisnis terkait masalah ketahanan.

2. PERMASALAHAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan antara ketahanan dengan
sistem pengendalian di dalam bisnis keluarga, oleh karena itu akan dijelaskan 2 gambaran
besar mengenai permasalahan yang akan dibahas. Pertama, fokus pada masalah ketahanan
dan CSR dalam bisnis keluarga. Kedua, fokus pada studi empiris untuk melihat integrasi dari
masalah ketahanan ke dalam manajemen perusahaan dan sistem kontrol.
 Masalah ketahanan dan CSR dalam bisnis keluarga
Akhir-akhir ini kalangan akademis telah meneliti CSR dalam konteks bisnis keluarga.
Meskipun secara teoritis dan empiris pengertian dari bisnis keluarga masih menjadi
perdebatan, karakteristik bisnis keluarga adalah sentralisasi kontrol keluarga dan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan bisnis. Maka yang dihasilkan perusahaan
adalah produk dari interaksi antara keluarga dan bisnis.
Sejauh ini secara teoritis maupun empiris, tidak ada bukti yang menyatakan adanya
perbedaan antara CSR pada bisnis keluarga maupun pada bisnis non-keluarga. Studi
dari Adam dkk, juga menunjukkan tidak cukup bukti untuk menyatakan adanya
perbedaan perilaku etis pada bisnis keluarga maupun non keluarga, namun secara
garis besar menggarisbawahi bagaiman perbedaan karakteristik pada bisnis keluarga
mempengaruhi etika bisnis dan secara langsung mempengaruhi sikap mereka pada
stakeholder.
Kesimpulan dari masalah ketahanan dan CSR ini bahwa bisnis keluarga lebih
cenderung untuk menjaga reputasinya, untuk mendapat pengakuan dari para
stakeholder dan untuk menjaga kestabilan sosio-emosional mereka, tetapi juga
menunjukkan bahwa bisnis keluarga tidak hanya berada dalam satu sektor saja dalam
CSR yang dilakukannya.
 Masalah ketahanan dan manajemen pengendalian perusahaan
Fokus pada proses internal organisasi berarti menyelidiki peran dari sistem
pengendalian perusahaan yang diintegrasikan dengan ketahanan dalam sebuah
strategi organisasi. Baik secara khusus pada sistem kontrol, maupun secara luas pada
sistem manajemen kinerja perusahaan, idealnya mencakup seluruh aspek kontrol
organisasional. Kontrol organisasional berarti, kontrol dua bidang yang terkait dengan
sistem pengendalian manajemen (MCS), dan sistem kontrol ketahanan (SCS). Secara
lebih detil, pengendalian yang terkait MCS bertujuan untuk memastikan bahwa semua
proses dan akitifitas dari organisasi telah sesuai alur strategi dan tujuan organisasi,
sedangkan pengendalian SCS bertujuan untuk mengakomodir kepentingan ekonomis,
masalah lingkungan dan sosial, terkait dengan kinerja perusahaan.
Dalam kajian manajemen pengendalian, cukup meningkat fokus kajian pada masalah
ketahanan, tentang bagaimana MCS tradisional dapat digunakan untuk
mengintegrasikan tujuan/target ketahanan ke dalam strategi organisasi. Sementara
itu kebanyakan studi lain yang telah dilakukan secara spesifik hanya terfokus pada satu
alat kontrol ketahanan dan dihubungkan dengan MCS, seperti sustainability balance
scorecard, dartboards of sustainability, dll. Meskipun demikian, kajian tentang ini
terbatasi dalam 2 arus utama. Pertama, mayoritas dari studi terfokus hanya pada
masalah ketahanan lingkungan. Kedua, secara umum, penelitian hanya mengukur SCS,
dan hanya sedikit memperhatikan hubungan antara SCS dengan tradisional MCS.
Oleh karena itu, beberapa studi mulai menekankan tidak hanya pada pentingnya
membentuk SCS atau mendukung strategi ketahanan, tetapi juga untuk
mengintegrasikan SCS spesifik dengan MCS perusahaan untuk memastikan bahwa
operasi bisnis berjalan sesuai dengan target/tujuan ketahanan.

3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Orientasi
kualitatif menawarkan nilai tertentu pada tingkat spesifik organisasi; pada tingkat inilah
sebagian besar manajer dan akuntan manajemen membuat keputusan dan bertindak; pada
tingkat yang sangat kontekstual dan situasional spesifik inilah mereka mencari kebijakan dan
wawasan praktik. Untuk alasan ini, metodologi studi kasus telah digunakan untuk menyelidiki
masalah jalur integrasi keberlanjutan di perusahaan keluarga. Makalah ini menggambarkan
aplikasi pertama dari Gond et al. kerangka kerja ke perusahaan keluarga.
Organisasi yang dianalisis adalah perusahaan keluarga dan studi kasus telah menjadi
metodologi kualitatif yang paling banyak digunakan dalam penelitian bisnis keluarga hingga
saat ini. Secara konsisten dengan De Massis dan Kotlar, kami percaya bahwa studi kasus
adalah metodologi yang kuat untuk menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dan lebih
dalam tentang bisnis keluarga. Ciri-ciri utama dari studi kasus, pada kenyataannya, bisa sangat
relevan untuk penelitian bisnis keluarga karena perusahaan keluarga ada di persimpangan
dua sistem, keluarga dan bisnis yang berinteraksi dalam menghasilkan hasil organisasi
istimewa. Perusahaan keluarga, pada kenyataannya, dicirikan oleh kebutuhan untuk
menyeimbangkan identitas yang berbeda, minat, dan prioritas anggota keluarga dan sistem
bisnis, yang semuanya merupakan aspek yang sangat sulit ditangkap melalui metode
kuantitatif. Selain itu, studi kasus dapat sangat membantu untuk memahami bagaimana
proses dikerahkan di perusahaan keluarga, yang merupakan daerah yang agak diabaikan
sejauh ini, mengingat juga sifatnya yang heterogen.
Secara rinci, artikel ini menganalisis studi kasus tunggal mendalam dari perusahaan
keluarga Italia swasta yang mengikuti jalan yang membawanya ke pengungkapan pada tahun
2014 laporan keberlanjutan pertamanya. GTS Group, sebuah perusahaan keluarga Italia
selatan yang beroperasi di industri transportasi telah dipilih. GTS Group dipilih untuk
beberapa motif utama. Yang pertama terkait dengan keadaan di mana GTS Group dianggap
oleh para peneliti sangat cocok untuk menerangi fenomena yang sedang diselidiki dari sudut
pandang internal (yaitu, bagaimana perusahaan mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam
pengukuran kinerja perusahaan, sistem manajemen dan kontrol) sebagai organisasi kasus
sedang mengalami transformasi di bidang keberlanjutan yang mengarah pada 2014 untuk
pengungkapan laporan keberlanjutan pertamanya. Alasan kedua terkait dengan
pertimbangan bahwa keberlanjutan menjadi isu yang semakin penting di sektor di mana GTS
Group beroperasi, yang merupakan angkutan barang antar moda, yang ditandai dengan
produksi eksternalitas negatif yang tinggi. Motivasi ketiga terkait dengan sifat keluarga Grup,
karena kami ingin memahami apakah “kekeluargaan” dapat memengaruhi jalur GTS Group
menuju keberlanjutan. Akhirnya, kami memilih GTS Group karena kami memiliki tingkat akses
yang tinggi ke data perusahaan. Kami dapat mewawancarai para manajer GTS Group pada
beberapa kesempatan selama periode penelitian, dan CEO GTS Group memberi kami data
arsip yang luas yang berkaitan dengan sejarah perusahaan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus eksploratif dan longitudinal.
Sebuah studi kasus eksploratif harus digunakan ketika tujuannya adalah untuk memahami
bagaimana suatu fenomena terjadi; ini dilakukan untuk memperoleh indikasi yang berguna
pada area yang tidak (atau sebagian tidak) dieksplorasi, dan temuannya hanya merupakan
interpretasi awal dari suatu fenomena. Dalam organisasi kasus, kami menggunakan studi
kasus eksplorasi karena niat kami adalah untuk mengeksplorasi bagaimana strategi
keberlanjutan diintegrasikan dalam sistem kontrol manajemen perusahaan.
Pendekatan kami bersifat longitudinal karena menjelaskan pergerakan organisasi kasus
melalui berbagai tahap proses integrasi keberlanjutan yang mencakup periode dari 2008
hingga 2014 melalui kerangka Gond dan rekan kerja, yang kami rasa cocok untuk melakukan
ini. Studi longitudinal sangat penting dalam menilai keberlanjutan karena integrasi
keberlanjutan terjadi dalam periode waktu yang lama dan analisis longitudinal menanggapi
Gond dan rekan kerja yang menyerukan studi semacam ini. Paradigma teoritis yang
mendasari penelitian kami adalah model interpretatif. Dalam terang interpretivisme,
fenomena sosiologis tidak bisa begitu saja diamati tetapi juga harus ditafsirkan oleh peneliti.
Ini berarti bahwa tidak ada satu realitas absolut, tetapi perspektif yang diadopsi untuk
menafsirkan fakta menghasilkan kemungkinan yang agak berbeda.
Kami mengintegrasikan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber: wawancara, catatan
sejarah, data keuangan, data keberlanjutan, dan pengamatan langsung dengan tujuan
melakukan triangulasi (yaitu untuk mengadopsi sudut pandang yang berbeda dalam
mengamati fenomena yang sama). Harus ditekankan bahwa kami memilih untuk
menggunakan wawancara semi-terstruktur karena tingkat fleksibilitasnya yang tinggi dan
karena ia menawarkan kesempatan untuk membahas tema-tema yang dapat terungkap
selama wawancara semi-terstruktur.
Pengumpulan data dilakukan dari Maret 2015 hingga April 2015. Transkripsi
wawancara, catatan lapangan, dan analisis dokumenter dikodekan ke dalam tema-tema
utama. Setelah materi diberi kode, temuan dilaporkan dalam urutan kronologis dan
didasarkan pada integrasi keberlanjutan ke dalam berbagai aspek PMS. Akhirnya, analisis
tentang bagaimana integrasi keberlanjutan terjadi dilakukan berdasarkan hambatan dan
pemungkin integrasi keberlanjutan (dari perspektif kognitif, organisasi dan teknis) dan
konfigurasi organisasi yang dikategorikan menggunakan Gond et al. kerangka kerja.

Pemilihan Studi Kasus : GTS Group


GTS Group dipilih sebagai karakteristik kasus yang memenuhi tujuan penelitian ini. GTS Group
(organisasi kasus), sebuah organisasi perusahaan keluarga yang beroperasi dalam transportasi antar
moda, sedang mengalami transformasi di bidang keberlanjutan. Perusahaan melaporkan informasi
keberlanjutan, menampilkan dirinya sebagai yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,
dan telah menerima sejumlah penghargaan terkait keberlanjutan lingkungan dan pada tahun 2014
menerbitkan laporan keberlanjutan pertamanya. GTS Group dengan demikian dipilih karena penulis
memiliki akses yang mendalam ke perusahaan dan karena kasus tersebut menawarkan latar yang
berbeda dan luar biasa untuk mengamati fenomena yang sedang diselidiki.
GTS Group beroperasi di pasar Eropa untuk transportasi kereta api, di sektor transportasi antar moda.
Sektor-sektor yang diminati Grup GTS adalah sebagai berikut (Laporan Keberlanjutan Grup GTS 2014):
 Layanan transportasi barang atas nama pihak ketiga di negara-negara Eropa utama;
 Layanan transportasi terminal ke terminal;
 Pengaturan dan pengelolaan jasa transportasi dan logistik atas nama pihak ketiga;
 Layanan traksi rel di wilayah Italia dan Swiss;
 Layanan pelatihan, manajemen dan pemeliharaan kompetensi di sektor kereta api; dan
 Konstruksi dan pengelolaan properti.
Struktur Grup GTS terdiri dari tujuh entitas yang beroperasi di sektor yang saling
melengkapi, tetapi sehubungan dengan pergantian tersebut, diciptakan oleh dua anak
perusahaan, perusahaan terbatas Layanan Transportasi Umum dan perusahaan terbatas GTS
Group Rail, yang masing-masing berurusan dengan transportasi antar moda dan layanan
traksi di sektor pengangkutan dan penumpang. GTS Group, yang didirikan pada tahun 1977,
berada dalam fase pertumbuhan dan perubahan: suksesi manajerial generasi (dari ayah ke
anak) sedang berlangsung dan Grup bekerja untuk terdaftar di Bursa Efek Italia (Borsa
Italiana) dalam tiga tahun ke depan. GTS Group, pada kenyataannya, telah dipilih dan
dimasukkan dalam program Borsa Italiana dalam denominasi "Elite". Program ini mendukung
perusahaan Italia terbaik yang bertujuan untuk bersaing di pasar internasional dengan
memberdayakan kompetensi industri, keuangan, dan pengorganisasiannya.

Menerapkan Wawancara Semi-Terstruktur


Panduan wawancara disiapkan berdasarkan informasi dari tujuan utama untuk menyelidiki,
yaitu, untuk menentukan bagaimana keberlanjutan diintegrasikan ke dalam berbagai aspek
manajemen kinerja sehingga dapat menangkap gambaran holistik dari integrasi keberlanjutan. Kami
juga tertarik pada bagaimana informan kami memahami interaksi antara MCS dan SCS. Selain itu,
orang yang diwawancarai ditanya tentang sistem kontrol khusus, berdasarkan peran mereka dalam
organisasi. Pengamatan selama kunjungan lapangan, review dokumen publik (yaitu, laporan tahunan
dan laporan keberlanjutan), analisis laporan internal perusahaan yang relevan (seperti manual
manajemen lingkungan, analisis materialitas pemangku kepentingan dan Indikator Kinerja Utama
(KPI)), dan presentasi dalam briefing dan seminar oleh karyawan yang relevan memungkinkan
triangulasi data.
Empat manajer area organisasi utama Grup GTS yang terlibat dalam manajemen dan
pelaporan keberlanjutan diwawancarai, khususnya pemilik dan pendiri (dan juga Presiden Dewan
Direksi); CEO, yang merupakan putra pendiri GTS Group, Direktur Jenderal dan Chief Financial Officer
(CFO), bertanggung jawab untuk mengoordinasikan administrasi, keuangan, dan kontrol. Tabel 2
menjelaskan secara lebih rinci tingkat hirarki orang yang diwawancarai di Grup GTS, berapa kali kami
mewawancarai mereka, durasi setiap wawancara, dan peran organisasi yang tercakup dalam Grup
GTS.

Wawancara semi-terstruktur dilakukan dari Maret 2015 hingga April 2015. Setiap manajer
diwawancarai secara individual. Wawancara, yang berlangsung masing-masing satu jam, dilakukan
untuk pedoman yang disiapkan oleh para peneliti. Untuk mempertahankan spontanitas, kami
memberi tahu mereka tujuan umum dari penelitian ini, tanpa mengungkapkan pertanyaan spesifik,
untuk menghindari jawaban pra-preparina yang diwawancarai. Pada wawancara pertama, untuk
membangun hubungan yang baik dengan yang diwawancarai, para peneliti memperkenalkan diri dan
penelitian mereka sebelum mengikuti wawancara semi-terstruktur awal yang menggambarkan tema
pertanyaan utama. Wawancara-wawancara berikutnya mulai mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang
sudah disiapkan sebelumnya, tetapi menyerahkan kepada orang yang diwawancarai kemungkinan
untuk memberikan pertimbangan lebih lanjut. Itu adalah pilihan yang tepat di pihak pewawancara:
alih-alih terdiri dari pertanyaan dan jawaban yang telah ditentukan, skrip digunakan sebagai pedoman
untuk interaksi. Pilihan pertanyaan terbuka dimaksudkan untuk memungkinkan orang yang
diwawancarai untuk memberikan informasi sebanyak mungkin, dengan pewawancara campur tangan
sesedikit mungkin dalam jawaban mereka. Penting untuk digarisbawahi bahwa, sebelum
mewawancarai manajer Grup GTS, skrip tersebut diuji untuk mengidentifikasi pertanyaan yang
ambigu, tidak jelas, dan tidak perlu, dan kemudian disusun ulang dengan mengklarifikasi beberapa
pertanyaan dan menulis ulang yang lain. Sebelum menutup setiap wawancara, dipastikan bahwa
semua tema pertanyaan wawancara ditangani. Wawancara direkam dan ditranskrip serta didukung
oleh catatan yang diambil selama wawancara. Data wawancara kemudian dipecah dan dianalisis
sesuai dengan tema pertanyaan wawancara. Analisis data kualitatif diterapkan pada data wawancara.
Ini memungkinkan para peneliti untuk fokus pada jawaban yang disampaikan oleh responden dalam
hal makna mereka, sambil juga menjaga sensitivitas terhadap konteks. Peluang lebih lanjut untuk
memperdebatkan temuan muncul dari analisis kualitatif yang terjadi selama presentasi oleh GTS
Group dari laporan keberlanjutan pertamanya pada Mei 2015.
Bertujuan validitas internal, hasil analisis juga triangulasi dengan sumber bukti lain; untuk
memberikan validitas pada data yang dianalisis. Triangulasi melibatkan analisis buklet dan informasi
lain tentang GTS Group di halaman web, di beranda perusahaan, pada laporan organisasi, pada
pedoman spesifik yang disediakan oleh manajer GTS Group dan dengan informasi lain, finansial dan
non-finansial, diambil kebanyakan di media.

Jalur Grup GTS menuju Integrasi Keberlanjutan dalam PMSnya


2008 - Rel GTS Group didirikan dan memperoleh lisensi kereta api di jaringan
nasional Italia
2009 - Suksesi dalam GTS Group dari putra pendiri bisnis
2011-2013 - GTS Group pindah ke strategi keberlanjutan integrasi yang berbeda, yang
dalam Gond et al. kerangka kerja diidentifikasi sebagai strategi
keberlanjutan yang digerakkan oleh kepatuhan, dicirikan juga oleh
integrasi rendah antara MCS dan SCS, tetapi oleh penggunaan interaktif
MCS
2014-2015 - Mengidentifikasi konfigurasi strategi yang dinamai oleh Gond et al. sebagai
integrasi keberlanjutan periferal, di mana MCS masih digunakan secara
interaktif dan SCS dalam cara diagnostik, tetapi ada tingkat integrasi yang
tinggi antara kedua sistem kontrol perusahaan ini.
Berikut grafik jalur GTS Group menuju integrasi berkelanjutan :

Jalur GTS Group menuju integrasi keberlanjutan beralih dari strategi yang dipisahkan secara aktif (A)
ke strategi keberlanjutan yang digerakkan oleh kepatuhan (C) dan kemudian konfigurasi integrasi
keberlanjutan perifer (G). Pada saat penelitian, GTS Group bergerak menuju strategi keberlanjutan
yang terintegrasi (H).
Dalam GTS Group, jalur menuju integrasi keberlanjutan terdapat proses bertahap, disukai oleh
integrasi progresif dalam tiga dimensi (teknis, organisasi, kognitif) dan pergeseran dari diagnostik ke
penggunaan MCS dan SCS yang interaktif. Selama tahun-tahun awalnya, GTS Group tidak memiliki
strategi keberlanjutan, dan masalah keberlanjutan yang muncul karena meningkatnya tekanan untuk
meningkatkan kinerja kesehatan dan keselamatan dalam industri dikelola sesekali, bukan dengan cara
yang terstruktur. Segera setelah GTS Group memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang isu-
isu keberlanjutan, integrasi MCS dan SCS terjadi, melalui diagnostik pada awalnya dan langkah-langkah
interaktif di kemudian hari, membawa GTS Group ke Konfigurasi G yang sebenarnya (integrasi
keberlanjutan perifer).
Namun demikian, Grup GTS melanjutkan langkahnya menuju strategi keberlanjutan integrasi
penuh, yang diwakili oleh Konfigurasi H. Tabel 3 menyoroti tingkat integrasi antara MCS dan SCS dalam
berbagai strategi keberlanjutan integrasi yang diterapkan dalam Grup GTS dan penggunaannya
(diagnostik atau interaktif) dari MCS dan SCS.

Pengaruh Eksternal yang Mempengaruhi Jalur Integrasi Keberlanjutan Grup GTS


Analisis pada Tabel 3 dengan jelas menyoroti bahwa lingkungan operasi Grup GTS memiliki
pengaruh pada pergerakan Grup GTS dari satu konfigurasi ke konfigurasi berikutnya. Jalur menuju
integrasi keberlanjutan dalam strategi GTS Group mencakup integrasi sistemik (bergerak dari level
integrasi rendah ke integrasi tinggi) dan mobilisasi strategis (bergerak dari diagnostik ke penggunaan
sistem interaktif). Kedua kasus dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Mengenai pengaruh eksternal, teori paling terkenal yang digunakan untuk menjelaskan respons
organisasi terhadap tekanan institusional adalah teori institusional, yang menurutnya pengaruh
institusional dapat diklasifikasikan sebagai tiga jenis: regulatif, normatif, dan kognitif.
 Regulatif memengaruhi tekanan organisasi untuk berubah ketika undang-undang dan
peraturan mendorong mereka menuju standar yang lebih tinggi.
 Kekuatan normatif adalah kekuatan yang diberikan oleh kebiasaan, norma, harapan, dan
tuntutan.
 Pengaruh kognitif memindahkan organisasi dari "sadar ke bawah sadar" ketika pengaruh
regulatif dan normatif menjadi terinternalisasi dan rutinitas baru terbentuk.
Pengaruh regulasi, normatif, dan kognitif terkait dengan berbagai motivasi yang mendorong
organisasi untuk mengintegrasikan keberlanjutan dalam strategi perusahaan. Perilaku ini dapat
didorong oleh rasa takut akan penalti dalam konteks yang diatur, kesempatan untuk mendapat untung
atau kasus bisnis dalam konteks normatif, atau kewajiban yang dibebankan sendiri untuk melakukan
hal yang benar dalam konteks kognitif. Dasar-dasar motivasi ini juga relevan karena mereka
memengaruhi jenis hubungan yang dikembangkan organisasi dengan para pemangku
kepentingannya.
Tabel 4 menyajikan rekonstruksi sementara peristiwa-peristiwa utama.

Tabel 5–7 merangkum, untuk setiap tahap jalur Grup GTS menuju integrasi berkelanjutan, pengaruh
eksternal disorot di bagian sebelumnya, dengan mengklasifikasikannya ke dalam pengaruh regulatif,
normatif, dan budaya dan menunjukkan bagaimana mereka memengaruhi PMS korporat internal dan
hubungan. bahwa Grup GTS dikembangkan dengan pemangku kepentingan.
Hambatan dan Pemberdayaan yang Mempengaruhi Jalur Integrasi Keberlanjutan Grup GTS
Dinamika dalam penggunaan (diagnostik vs interaktif) dan integrasi MCS dan SCS pada
periode 2008-2015 membawa GTS Group melewati empat konfigurasi. The Gond et al. Kerangka kerja
memungkinkan kami untuk mengidentifikasi hambatan, dan memungkinkan, pergerakan dari satu
konfigurasi ke konfigurasi lainnya, membedakan mereka menjadi teknis, organisasi dan kognitif.
Dalam pergerakan dari Configuration A ke Configuration C, peran yang relevan dimainkan oleh
enabler teknis dan kognitif, yang berhasil mendorong GTS Group dalam mengintegrasikan isu-isu
keberlanjutan ke dalam strategi organisasi. Di antara pemacu kognitif, peran kunci dimainkan oleh
CEO GTS Group, sangat menyadari bahwa "pendekatan keberlanjutan merupakan alat yang mampu
menghasilkan nilai ekonomi di luar nilai sosial dan lingkungan" (dari wawancara semi-terstruktur
dengan CEO). Teknis (baik internal dan eksternal) dan pemacu kognitif juga mampu menetralisir
hambatan teknis dan kognitif, yaitu tidak adanya infrastruktur pengukuran kinerja keberlanjutan yang
sistematis dan kurangnya pelatihan dalam masalah sosial dan lingkungan bagi karyawan. Tabel 8
merangkum enabler dan hambatan teknis, organisasi dan kognitif utama yang mendukung transisi dari
Konfigurasi A ke Konfigurasi C.
Konsolidasi enabler teknis, kognitif, dan organisasional menyukai integrasi MCS dan SCS dan
perpindahan dari Konfigurasi C ke Konfigurasi G.
Pemberdayaan organisasi, terutama pembentukan tim kerja keberlanjutan, berhasil
mengatasi hambatan organisasi seperti kurangnya evaluasi kinerja yang sistematis dan penetapan
target. Di antara enabler teknis, penerapan sistem akuntansi biaya sosial dan lingkungan adalah alat
untuk menjembatani MCS dengan SCS. GTS Group, dalam kaitannya dengan keadaan untuk
mengevaluasi secara ekonomis kontrak dengan klien utama, menguraikan model yang mengarah pada
definisi margin operasional berkelanjutan tingkat pertama dan kedua menggunakan perbedaan biaya
operasional menjadi biaya langsung dan tidak langsung. Pada gilirannya, biaya langsung dibagi
menjadi biaya langsung ekonomi dan biaya langsung berkelanjutan sedangkan biaya tidak langsung
dibagi menjadi biaya tidak langsung ekonomi dan biaya tidak langsung yang berkelanjutan. Dari sudut
pandang kognitif, dukungan yang diberikan oleh CEO ke implementasi alat keberlanjutan juga
mendukung perpindahan dari Konfigurasi C ke Konfigurasi G. Tabel 9 merangkum faktor-faktor
pemungkin dan hambatan teknis, organisasi dan kognitif utama yang mendukung transisi dari
Konfigurasi C untuk Konfigurasi G.

Perpindahan berkelanjutan dari Konfigurasi G ke Konfigurasi H disukai oleh penggunaan


interaktif SCS. Pergeseran dari penggunaan diagnostik ke penggunaan interaktif SCS disukai oleh
kehadiran enabler teknis, organisasi dan kognitif. Pemberi enabler ini pada gilirannya memperkuat
integrasi teknis, organisasi, dan kognitif. Di antara enabler teknis, sistem perencanaan, pemantauan
dan penganggaran yang berkelanjutan dipromosikan di GTS Group. Dari sudut pandang organisasi,
penguatan kelompok kerja keberlanjutan adalah enabler utama, sementara dimensi kognitif, yang
secara universal dianggap oleh literatur sebagai yang paling penting, adalah faktor paling penting yang
bertanggung jawab atas pergerakan berkelanjutan dari organisasi. Grup GTS dari Konfigurasi H hingga
Konfigurasi G: perhatian terhadap keberlanjutan tidak hanya merupakan masalah yang terkait dengan
CEO, tetapi juga dengan manajemen tingkat atas dan menengah. Tabel 10 merangkum enabler dan
hambatan teknis, organisasi dan kognitif utama yang mendukung transisi dari konfigurasi G ke
konfigurasi H.

4. KESIMPULAN
Dengan menyelidiki integrasi keberlanjutan ke dalam PMS perusahaan di perusahaan keluarga
nyata yang beroperasi di industri yang peka terhadap lingkungan melalui Gond et al. Kerangka kerja,
penelitian ini memberikan beberapa kontribusi baik secara teori maupun dalam praktik.
Pertama, penelitian ini memberikan bukti bahwa faktor eksternal dan internal penting dalam
mempengaruhi jalur organisasi menuju integrasi berkelanjutan. Berkenaan dengan faktor-faktor
eksternal, selama Konfigurasi A (strategi dipisahkan secara aktif), peran penting dimainkan tekanan
yang diberikan pada organisasi untuk menjadi bagian dari industri di mana pendekatan aktif terhadap
keberlanjutan adalah norma. Oleh karena itu, Grup GTS harus membandingkan dirinya bukan dengan
perusahaan-perusahaan Apulian lain yang beroperasi di industri yang sama dan termasuk dalam
wilayah yang sama (yaitu, wilayah selatan Apulia di Italia), tetapi dengan perusahaan praktik terbaik
yang beroperasi dalam transportasi antar moda. Untuk mendapatkan legitimasi dari para pemangku
kepentingannya, Grup GTS harus mengacu pada praksis dalam hal keberlanjutan yang diadopsi oleh
pesaing berorientasi keberlanjutan langsungnya. Tekanan lain datang dari persyaratan pencatatan
wajib untuk pelaporan CSR agar dapat dimasukkan ke dalam program "Elite" dari bursa saham Italia
dan dari peraturan terkait keberlanjutan yang lebih ketat di negara-negara di mana GTS Group
memperluas operasinya. Di antara faktor internal yang mengarah pada integrasi keberlanjutan dalam
PMS Grup GTS, peran vital yang dimainkan oleh CEO Grup GTS dalam memastikan integrasi efektif
keberlanjutan dengan mensponsori perubahan organisasi dan menyediakan struktur dan personel
yang memadai harus digarisbawahi. Selain itu, kecenderungan perencanaan keberlanjutan jangka
panjang memungkinkan Grup GTS untuk membingkai tujuan keberlanjutannya dengan jelas.
Perubahan dari infrastruktur yang ditujukan terutama untuk mengungkapkan informasi sosial-
lingkungan kepada para pemangku kepentingan perusahaan, menjadi sebuah infrastruktur yang
bertujuan mengukur kinerja sosial, lingkungan, dan ekonomi menyebabkan pembaruan sistem
informasi secara bertahap; dengan cara ini, berbagai departemen dalam perusahaan semakin mampu
menyediakan data terstruktur dan indikator untuk laporan keberlanjutan.
Kontribusi yang relevan terkait dengan konfirmasi empiris bahwa integrasi progresif SCS
difasilitasi oleh enabler spesifik yang khas dari perusahaan keluarga, khususnya pada tingkat kognitif,
dengan peran penting yang dimainkan oleh CEO GTS Group yang bertindak sebagai wirausahawan
sosial. Namun demikian, proyek yang terkait dengan keberlanjutan membutuhkan keterlibatan
beberapa manajer terlatih di luar CEO. Antara 2013 dan 2015, jumlah manajer menengah yang terlibat
dalam pertemuan dan pengumpulan informasi dan data meningkat dan manajer menerima pelatihan
mendalam tentang tata kelola dan pelaporan untuk keberlanjutan, sehingga mengatasi hambatan
organisasi, kurangnya tata kelola untuk keberlanjutan.
Dalam perusahaan keluarga yang dianalisis, kesinambungan tampak terintegrasi ke dalam
bisnis inti perusahaan. GTS Group benar-benar peduli tentang memahami kebutuhan para pemangku
kepentingan, mengintegrasikan klaim para pemangku kepentingan dalam laporan keberlanjutan dan
mempertimbangkan penilaian kualitas para pemangku kepentingan dalam laporan tersebut. GTS
Group bertujuan untuk meningkatkan kinerja keberlanjutannya dengan juga memperbaiki kondisi
ekonomi para pemangku kepentingan internal (karyawan dan anggota) dan eksternal (masyarakat dan
pemasok lokal). Selain itu, temuan penelitian ini dapat merangsang diskusi tentang bagaimana
keberlanjutan dapat dimasukkan dalam PMS perusahaan dan memberikan bukti bahwa Gond et al.
Kerangka kerja bisa menjadi yang cocok untuk analisis longitudinal dari proses integrasi keberlanjutan
dari setiap jenis organisasi, termasuk perusahaan keluarga.
Salah satu batasan dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini difokuskan pada studi kasus
tunggal, sehingga membatasi generalisasi hasil yang dicapai. Keterbatasan lain terkait dengan cara di
mana dinamika dibingkai dalam kertas. Analisis longitudinal kami menggambarkan jalur Grup GTS
menuju integrasi keberlanjutan yang lebih baik, juga menganalisis faktor pemungkin dan hambatan
internal serta pengaruh eksternal yang memengaruhi jalur ini, tetapi tidak menganalisis tingkat
stabilitas setiap konfigurasi. Selain itu, dalam artikel ini, kami menggambarkan apakah Grup GTS
merespons secara diagnostik atau interaktif dengan MCS dan SCS terhadap pengaruh internal dan
eksternal, tidak mempertimbangkan bahwa reaksi dapat terjadi secara bersamaan di dalam SCS dan
di dalam MCS dan bahwa bisnis dapat merespons secara diagnostik. ke satu permohonan dan secara
interaktif ke yang lain.
Terlepas dari keterbatasan penelitian, kami percaya bahwa kontribusi makalah untuk teori
dan praktik adalah relevan, seperti yang dibahas dalam bagian ini. Studi kami mengadopsi pendekatan
empiris, tetapi juga dipandu oleh kerangka teoritis yang ketat, yang memungkinkan kami untuk
menangkap aspek kognitif, organisasi dan teknis dari integrasi keberlanjutan dalam PMS perusahaan.
Arah penelitian di masa depan dapat memperdalam studi kasus yang sedang diselidiki atau
memperluas ruang lingkup penelitian. Dalam kasus pertama, penelitian lebih lanjut dapat
menganalisis bobot spesifik yang dimainkan oleh setiap dimensi (kognitif, teknis, dan organisasi)
dalam mempromosikan atau menghambat integrasi keberlanjutan. Arah penelitian kedua dapat
mengeksplorasi faktor mana yang mempengaruhi stabilitas strategi integrasi keberlanjutan, dan
strategi mana yang lebih cenderung bertahan dari waktu ke waktu. Arah penelitian ketiga dapat
mengeksplorasi dimensi eksternal SCS, yang terkait dengan pemangku kepentingan, untuk memeriksa
bagaimana kebutuhan pemangku kepentingan dipertimbangkan dan diimplementasikan melalui SCS.
Arahan penelitian keempat dapat menyelidiki bagaimana elemen-elemen informal SCS dan MCS
mempengaruhi integrasi keberlanjutan dalam GTS Group. Arah penelitian lain dapat mengeksplorasi
orientasi keberlanjutan manajerial pada tingkat dan cara integrasi antara MCS dan SCS. Arah
penelitian tambahan dapat melakukan pemeriksaan yang lebih dalam yang mempertimbangkan
motivasi manajerial, karakteristik tingkat organisasi dan hubungan pemangku kepentingan untuk
mengeksplorasi jika faktor-faktor ini mampu menjelaskan alasan mengapa organisasi ketika
dihadapkan dengan berbagai tekanan eksternal bereaksi mengembangkan berbagai sumber daya
internal dan sistem kontrol. Akhirnya, penelitian masa depan dapat mengeksplorasi peran yang
dimainkan oleh akuntansi dalam integrasi keberlanjutan.
Dengan memperluas cakupan, penelitian di masa depan dapat memperluas penelitian ke
kumpulan perusahaan yang lebih luas, misalnya untuk perusahaan lain yang memiliki industri yang
sama atau perusahaan keluarga lain yang beroperasi di industri yang berbeda tetapi dalam konteks
yang sama. Ini bisa mengarah pada pemahaman yang lebih besar tentang fenomena tersebut ketika
praktik keberlanjutan dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks sosial-budaya tempat organisasi
beroperasi. Sebuah studi kasus komparatif dari perusahaan dapat menyoroti perbedaan dalam jalur
menuju integrasi keberlanjutan, proses utama yang terlibat dan hambatan umum untuk, dan
pemungkin integrasi,.
Integrasi keberlanjutan dalam PMS telah ditemukan mengarah pada kinerja keberlanjutan
yang lebih baik dalam organisasi kasus. Ini berarti bahwa sangat penting bahwa sistem untuk
mengendalikan keberlanjutan tidak dipisahkan dari PMS tradisional untuk menanamkan
keberlanjutan ke dalam inti organisasi dan menyoroti beberapa kemungkinan implikasi penelitian
untuk pemerintah, akademisi dan organisasi yang beroperasi di industri yang sama atau dengan yang
serupa. nilai-nilai dan kepercayaan (yaitu, perusahaan keluarga). Pemerintah dapat merenungkan
kemungkinan menerbitkan pedoman dan peraturan pelaporan untuk mendukung integrasi
berkelanjutan ke dalam PMS perusahaan keluarga. Akademisi dapat mempromosikan kesadaran dan
pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya mengukur dan mengelola biaya keberlanjutan,
sementara organisasi yang beroperasi dalam konteks yang sama dapat menyadari pentingnya
mengatasi hambatan kognitif dengan meningkatkan kesadaran akan manfaat keberlanjutan dan
keterlibatan pemangku kepentingan yang efektif untuk mendorong kinerja keberlanjutan.

5. PEMBAHASAN
GTS Group, sebuah organisasi perusahaan keluarga yang beroperasi dalam transportasi antar
moda, sedang mengalami transformasi di bidang ketahanan/keberlanjutan. Perusahaan melaporkan
informasi ketahanan/keberlanjutan, menampilkan dirinya sebagai yang bertanggung jawab secara
sosial dan lingkungan, dan telah menerima sejumlah penghargaan terkait keberlanjutan lingkungan
dan pada tahun 2014 menerbitkan laporan keberlanjutan pertamanya.
Jalur GTS Group menuju integrasi keberlanjutan beralih dari strategi yang dipisahkan secara
aktif (A) ke strategi keberlanjutan yang digerakkan oleh kepatuhan (C) dan kemudian konfigurasi
integrasi keberlanjutan perifer (G). Pada saat penelitian, GTS Group bergerak menuju strategi
keberlanjutan yang terintegrasi (H).
Dalam GTS Group, jalur menuju integrasi keberlanjutan terdapat proses bertahap, dibagi ke
integrasi progresif dalam tiga dimensi (teknis, organisasi, kognitif) dan pergeseran dari diagnostik ke
penggunaan MCS dan SCS yang interaktif. Selama tahun-tahun awalnya, GTS Group tidak memiliki
strategi keberlanjutan, dan masalah keberlanjutan yang muncul karena meningkatnya tekanan untuk
meningkatkan kinerja kesehatan dan keselamatan dalam industri dikelola sesekali, bukan dengan cara
yang terstruktur. Segera setelah GTS Group memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang isu-
isu keberlanjutan, integrasi MCS dan SCS terjadi, melalui diagnostik pada awalnya dan langkah-langkah
interaktif di kemudian hari, membawa GTS Group ke Konfigurasi G yang sebenarnya (integrasi
keberlanjutan perifer).
Beradasar dari rencana implementasi keberlanjutan secara strategis (SCS) ke dalam
perusahaan, dapat dilihat bahwa pada awalnya antara sistem pengendalian manajemen dan
pengendalian berkelanjutan berjalan terpisah. Seperti yang disebutkan diatas, pada saat awal
implementasi SCS, roadmap bergerak dari strategi keberlanjutan konfigurasi A menuju konfigurasi C
yang digerakkan oleh kepatuhan. Dari titik ini, integrasi dengan sistem pengendalian lebih ke
penggunaan model action control untuk mendukung terintegrasinya SCS. Empat bentuk dasar dari
action control yaitu behavioral constraint, preaction review, action accountability, dan
redundancy. Pemberdayaan organisasi, terutama pembentukan tim kerja keberlanjutan, berhasil
mengatasi hambatan organisasi seperti kurangnya evaluasi kinerja yang sistematis dan penetapan
target merupakan bentuk pengendalian action accountanbility.
Untuk roadmap selanjutnya, perpindahan dari Konfigurasi C ke Konfigurasi G adalah
penerapan sistem akuntansi biaya sosial dan lingkungan untuk menjembatani MCS dengan SCS. GTS
Group, dalam kaitannya dengan keadaan untuk mengevaluasi secara ekonomis kontrak dengan klien
utama, menguraikan model yang mengarah pada definisi margin operasional berkelanjutan tingkat
pertama dan kedua menggunakan perbedaan biaya operasional menjadi biaya langsung dan tidak
langsung. Pada gilirannya, biaya langsung dibagi menjadi biaya langsung ekonomi dan biaya langsung
berkelanjutan sedangkan biaya tidak langsung dibagi menjadi biaya tidak langsung ekonomi dan biaya
tidak langsung yang berkelanjutan. Dari sudut pandang MCS, model pengendalian dalam tahap
perpindahan konfigurasi ini menggunakan sistem pengendalian biaya, yaitu proses yang sistematis
dalam penetapan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, sistem informasi umpan balik,
membandingkan pelaksanaan nyata dengan perencanaan menentukan dan mengatur penyimpangan-
penyimpangan serta melakukan koreksi perbaikan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan,
sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efisien dalam penggunaan biaya.
Tahap selanjutnya adalah perpindahan dari konfigurasi G ke konfigurasi H. Pada tahap
konfigurasi ini, integrasi antara SCS dan MCS telah berjalan semakin interaktif, baik secara teknis,
organisasi, maupun kognitif. Pada tahap ini, penggunaan sistem perencanaan, pemantauan, dan
penganggaran yang berkelanjutan semakin berkembang di GTS Group. Perhatian terhadap
implementasi SCS tidak lagi hanya menjadi masalah yang terkait dengan CEO, tetapi juga lebih
menyeluruh hingga tingkat manajemen atas dan menengah. Ketika Pengaruh kognitif memindahkan
organisasi dari "sadar ke bawah sadar" telah tercapai, berarti pengaruh regulatif dan normatif menjadi
terinternalisasi dan rutinitas baru terbentuk. Artinya pada tahap ini diharapkan semua lapisan pekerja
GTS Group telah memiliki nilai dan sikap kerja yang sesuai dengan strategi ketahanan/keberlanjutan
yang telah diimplementasikan. Dengan kata lain, pada tahap ini, bentuk manajamen pengendalian
yang integral dengan SCS adalah cultural control, yaitu bentuk manajemen pengendalian dimana
manajer mengambil tindakan-tindakan untuk membentuk norma perilaku organisasional dan untuk
mendorong karyawan untuk mengawasi dan mempengaruhi perilaku satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kenneth A. Merchant; Wim A. Van der Stede. Management Control


System: Performance Measurement, Evaluation and Incentives. Fourth
Edition. 2017.
2. Gond, J.P.; Grubnic, S.; Herzig, C.; Moon, J. Configuring management
control systems: Theorizing the integration of strategy and sustainability.
Manag. Account. Res. 2012, 23, 205–223.
3. Duygulu, E.; Ozeren, E.; I¸ sildar, P.; Appolloni, A. The sustainable strategy
for small and medium sized enterprises: The relationship between
mission statements and performance. Sustainability 2016, 8, 698.
4. Hahn, R.; Kühnen, M. Determinants of sustainability reporting: A review
of results, trends, theory, and opportunities in an expanding field of
research. J. Clean. Prod. 2013, 59, 5–21.
5. Thijssens, T.; Bollen, L.; Hassink, H. Managing sustainability reporting:
Many ways to publish exemplary reports. J. Clean. Prod. 2016, 136, 86–
101.
6. Dyllick, T.; Hockerts, K. Beyond the business case for corporate
sustainability. Bus. Strategy Environ. 2002, 11, 130–141.
7. WCED. Our Common Future; Oxford University Press: Oxford, UK, 1987.
8. Steurer, R.; Langer, M.E.; Konrad, A.; Martinuzzi, A. Corporations,
stakeholders and sustainable development I: A theoretical exploration of
business-society relations. J. Bus. Ethics 2005, 61, 263–281.
9. Montiel, I. Corporate social responsibility and corporate sustainability:
Separate pasts, common futures. Organ. Environ. 2008, 21, 245–269.
10. Hahn, R. Integrating corporate responsibility and sustainable
development. J. Glob. Resp. 2011, 2, 8–22.
11. Ditillo, A.; Lisi, I.E. Exporing sustainability control systems’ integration: The
relevance of sustainability orientation. J. Manag. Account. Res. 2016, 28,
125–148.
12. Caputo, F.; Veltri, S.; Venturelli, A. A conceptual model of forces driving
the introduction of sustainability report in SMEs: Evidence from a case
study. Int. Bus. Res. 2017, 10, 39–50.
13. Adams, C.A.; McNicholas, P. Making a difference: Sustainability reporting,
accountability and organisational change. Account. Audit. Account. J.
2007, 20, 382–402.
14. Maas, K.; Crutzen, N.; Schaltegger, S. Special volume of the journal of
cleaner production on ‘Integrating corporate sustainability performance
measurement, management control and reporting’. J Clean Prod. 2014,
65, 7–8.
15. Morioka, S.N.; de Carvalho, M.M. A systematic literature review towards
a conceptual framework for integrating sustainability performance into
business. J. Clean. Prod. 2016, 136 Pt A, 134–146.
16. Morioka, S.N.; Carvalho, M.M. Measuring sustainability in practice:
Exploring the inclusion of sustainability into corporate performance
systems in Brazilian case studies. J. Clean. Prod. 2016, 136 Pt A, 123–133.
17. De Villiers, C.; Rouse, P.; Kerr, J. A new conceptual model of influences
driving sustainability based on case evidence of the integration of
corporate sustainability management control and reporting. J. Clean.
Prod. 2016.
18. Asif, M.; Searcy, C.; Zutshi, A.; Fisscher, O.A.M. An integrated
management systems approach to corporate social responsibility. J.
Clean. Prod. 2013, 56, 7–17.
19. Riccaboni, A.; Leone, E.L. Implementing strategies through management
control systems: The case of sustainability. Int. J. Prod. Perform. Manag.
2010, 59, 130–144.
20. Naranjo-Gil, D. The role of management control systems and top teams in
implementing environmental sustainability policies. Sustainability 2016,
8, 359.
21. Lopez-Valeiras, E.; Gomez-Conde, J.; Naranjo-Gil, D. Sustainable
innovation, management accounting and control systems, and
international performance. Sustainability 2015, 7, 3479–3492.
22. Schaltegger, S. Sustainability as a driver for corporate economic success:
Consequences for the development of sustainability management
control. Soc. Econ. 2011, 33, 15–28.
23. George, R.A.; Siti-Nabiha, A.K.; Jalaludin, D.; Abdalla, Y.A. Barriers to and
Enablers of Sustainability Integration in the Performance Management
Systems of an Oil and Gas Company. J. Clean. Prod. 2016, 136 Pt A, 197–
212.
24. Battaglia, M.; Passetti, E.; Bianchi, L.; Frey, M. Managing for integration:
A longitudinal analysis of management control for sustainability. J. Clean.
Prod. 2016, 136 Pt A, 213–225.
25. Campopiano, G.; de Massis, A.; Cassia, L. Corporate social responsibility:
A survey among SMEs in Bergamo. Procedia Soc. Behav. Sci. 2012, 62,
325–341.
26. Chrisman, J.J.; Chua, J.H.; Steier, L. Sources and consequences of
distinctive familiness: An introduction. Entrep. Theory Pract. 2005, 29,
237–247.
27. Sharma, P. Commentary: Familiness: Capital Stocks and Flows between
Family and Business. Entrep. Theory Pract. 2008, 32, 971–977.
28. Bergamaschi, M.; Randerson, K. The futures of family businesses and the
development of corporate social responsibility. Futures 2014, 75, 54–65.
29. Adams, J.; Taschian, A.; Shore, T. Ethics in family and non-family owned
firms: An exploratory study. Fam. Bus. Rev. 1996, 9, 157–170.
30. Hirigoyen, G.; Poulain-Rehm, T. The corporate social responsibility of
family business: An international approach. Int. J. Financ. Stud. 2014, 2,
240–265.
31. Dyer, W.G.; Whetten, D.A. Family firms and social responsibility:
Preliminary evidence from the S&P 500. Entrep. Theory Pract. 2006, 30,
785–802.
32. Berrone, P.; Cruz, C.; Gómez-Mejía, L.R.; Larraza-Kintana, M.
Socioemotional wealth and corporate responses to institutional
pressures: Do family-controlled firms pollute less? Admin. Sci. Quart.
2010, 55, 82–113.
33. Berrone, P.; Cruz, C.; Gómez-Mejía, L.R. Socioemotional wealth in family
firms: Theoretical dimensions, assessment approaches, and agenda for
future research. Fam. Bus. Rev. 2012, 25, 258–279.
34. Cennamo, C.; Berrone, P.; Cruz, C.; Gómez-Mejía, L.R. Socioemotional
Wealth and Proactive Stakeholder Engagement: Why Family-Controlled
Firms Care More About Their Stakeholders. Entrep. Theory Pract. 2012,
11, 1153–1173.
35. Deniz, M.D.L.C.D.; Suárez, M.K.C. Corporate social responsibility and
family business in Spain. J. Bus. Ethics2005, 56, 27–41.
36. Niehm, L.S.; Swinney, J.; Miller, N.J. Community social responsibility and
its consequences for family business performance. J. Small Bus. Manag.
2008, 46, 331–350.
37. Uhlaner, L.M.; van Goor-Balk, H.J.M. Family business and corporate social
responsibility in a sample of Dutch firms. J. Small Bus. Enterp. Dev. 2004,
11, 186–194.
38. Ding, S.; Wu, Z. Family ownership and corporate misconduct in US small
firms. J. Bus. Ethics 2013, 123, 183–195.
39. McGuire, J.; Dow, S.; Ibrahim, B. All in the family? Social performance and
corporate governance in the family firm. J. Bus. Res. 2012, 65, 1643–1650.
40. Campopiano, G.; De Massis, A. Corporate social responsibility reporting:
A content analysis in family and non-family firms. J. Bus. Ethics 2015, 129,
511–534.
41. Le Breton-Miller, I.; Miller, D. Family firms and practices of sustainability:
A contingency view. J. Fam. Bus. Strategy 2016, 7, 26–33.
42. Cowan, L.; Wright, V. An approach for analyzing the vulnerability of small
family business. Systems 2016, 4, 3.
43. Jørgensen, K.M. Conceptualising intellectual capital as language game and
power. J. Intellect. Cap. 2006, 7, 78–92.
44. De Massis, A.; Sharma, P.; Chua, J.H.; Chrisman, J.J.; Kotlar, J. State-of-the-
art of family business research. In Family Business Studies: An Annotated
Bibliography; De Massis, A., Sharma, P., Chua, J.H., Chrisman, J.J., Eds.;
Edward Elgar: Northampton, MA, USA, 2012.
45. Del Baldo, M. Corporate Social Responsibility and Corporate Family
Responsibility: Reflections in theory and practice. The case of Elica Group:
‘The best Place to Work’. Econ. Res. 2013, 26, 201–224.
46. Massa, L.; Farneti, F.; Scapini, R. Developing a sustainability report in a
small to medium enterprise: Process and consequences. Meditari
Account. Res. 2015, 23, 62–91.
47. Maas, K.; Schaltegger, S.; Crutzen, N. Integrating corporate sustainability
assessment, management accounting, control, and reporting. J. Clean.
Prod. 2016, 136 Pt A, 237–248.

Anda mungkin juga menyukai