Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

“KONSEP DAN MANAJEMEN HIV/AIDS”

Disusun Oleh :

Kelompok 1

Dosen Pembimbing :

Ns. Nilam Noorma, S. Kep., M. Kes

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2018

i
TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN HIV/AIDS

“KONSEP DAN MANAJEMEN HIV/AIDS”

Disusun Oleh :

Arfan

Arsyawina

Aris Diyan Yulistiawan

Hana Yolanda

Oky Rianto Wibowo

Fitria Khairun Nisa

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2018

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Atas rahmat dan hidayahnya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, Shalawat serta salam semoga
selalu terhaturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, Para
Keluarga, Sahabatnya dan para pengikutnya yang tetap istiqamah hingga akhir
Zaman. Dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen-Dosen yang telah
memberi kami Masukan dan arahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan HIV/AIDS
yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah tersebut.

Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi


kesempurnaan Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak
diketahui oleh penulis. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca baik itu sebagai acuan maupun sebagai masukkan dan juga semoga
makalah ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.

Samarinda, 05 Desember 2018

Kelompok

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 3
C. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 3
BAB II................................................................................................................................. 4
TINJAUAN TEORI ............................................................................................................ 4
A. Konsep Dasar Penyakit ........................................................................................... 4
B. Peran Perawat dalam Penanggulangan HIV/AIDS ............................................... 11
C. Manajemen Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS ............................................ 12
BAB IV ............................................................................................................................. 23
PENUTUP ........................................................................................................................ 23
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 23
B. Saran ..................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus HIV/AIDS masih menjadi perhatian dunia dikarenakan angka
kejadian kasus yang terus meningkat. Pada tahun 2015, Indonesia
menduduki peringkat kedua yang diestimasikan sebagai penyumbang
ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) terbanyak di Asia Tenggara setelah
India (60%) yaitu sebesar 20% (WHO, 2016). Indonesia mengalami
kenaikan kejadian insiden HIV menjadi 41.250 orang pada tahun 2016 yang
sebelumnya yaitu sebesar 30.935 orang pada tahun 2015 (Ditjen PP dan PL
Kemenkes RI, 2014).
Tingginya kasus HIV memerlukan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV. Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS adalah masih tingginya stigma terhadap
orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Bentuk stigma diantaranya tidak
bersedia makan makanan yang disediakan atau dijual oleh ODHA, tidak
membolehkan anaknya bermain bersama dengan anak HIV, tidak mau
menggunakan toilet bersama dengan ODHA, bahkan menolak untuk tinggal
dekat dengan orang yang menunjukkan gejala HIV/AIDS. Stigma berasal
dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang mempercayai bahwa
penyakit HIV merupakan akibat dari perilaku amoral yang tidak dapat
diterima masyarakat yang tergambar dalam pandangan negatif sebagai
akibat dari perasaan takut berlebihan jika berada dekat dengan ODHA
(Shaluhiyah, Musthofa, and Widjanarko 2015).
Munculnya stigma dapat disebabkan karena kurangnya keterlibatan
masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS seperti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS. Akibatnya,
banyak masyarakat yang kurang mendapatkan informasi yang tepat
mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan HIV/AIDS.

1
Perilaku diskriminatif pada ODHA tidak hanya melanggar hak asasi
manusia, melainkan juga sama sekali tidak membantu upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS (Wati et al. 2017).
Adanya stigma pada ODHA akan mengakibatkan berbagai dampak
seperti isolasi sosial, penyebarluasan status HIV dan penolakan dalam
berbagai lingkup kegiatan kemasyarakatan seperti dunia pendidikan, dunia
kerja, dan layanan kesehatan. Tingginya penolakan masyarakat dan
lingkungan akan kehadiran orang yang terinfeksi HIV/AIDS menyebabkan
sebagian ODHA harus hidup dengan menyembunyikan status (Maman et al.
2009).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya stigma pada
ODHA di masyarakat. Pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan
pengetahuan mengenai HIV/AIDS merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya pengurangan stigma. Orang yang memiliki
pengetahuan cukup tentang faktor risiko, transmisi, pencegahan, dan
pengobatan HIV/AIDS cenderung tidak takut dan tidak memberikan stigma
terhadap ODHA (Shaluhiyah dkk, 2015) Selain pengetahuan yang kurang,
pengalaman atau sikap negatif terhadap penularan HIV dianggap sebagai
faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma. Pendapat tentang
penyakit AIDS merupakan penyakit kutukan akibat perilaku amoral juga
sangat mempengaruhi orang bersikap dan berperilaku terhadap ODHA
(Daromis, 2011).
Hal tersebut didukung oleh Situmeang, dkk (2017) bahwa prevalensi
remaja yang mempunyai stigma terhadap ODHA sebesar 71,63%,
prevalensi remaja yang memiliki pengetahuan kurang tentang HIV/AIDS
sebesar 49,10%. Pengetahuan yang kurang tentang HIV 1,210 kali lebih
berisiko mempunyai stigma terhadap ODHA dibandingkan dengan
pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS. Akan tetapi, berbeda dengan
hasil penelitian Badawi (2015) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara pengetahuan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS

2
dengan stigma masyarakat pada ODHA di Kecamatan Dewantara
Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian Shaluhiyah, dkk (2015) juga menyimpulkan faktor yang
mempengaruhi stigma terhadap ODHA di Kabupaten Grobogan adalah
sikap keluarga terhadap ODHA dan persepsi responden terhadap ODHA.
Keluarga dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan
empat kali lebih besar memberikan stigma terhadap ODHA, sedangkan
responden dengan sikap negatif terhadap ODHA memiliki kemungkinan
dua kali lebih besar dalam memberikan stigma terhadap ODHA. Hal itu juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan Li Li (2007) bahwa terdapat
hubungan antara sikap prasangka pribadi dengan stigma terkait HIV dalam
pengaturan pelayanan kesehatan di Cina.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui peran perawat dalam penanggulangan HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui manajemen pelayanan penanggulangan HIV/AIDS

C. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan sistematika
sebagai berikut:
BAB I - PENDAHULUAN: Memuat latar belakang penulisan, tujuan
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II - TINJAUAN TEORI: Mencakup konsep dasar penyakit yang
terdiri dari pengertian, penyebab, manifestasi klinis, web of caution (woc),
pemeriksaan penunjang dan komplikasi. Juga memuat tentang peran
perawat dalam penanggulangan HIV/AIDS dan manajemen pelayanan
penanggulangan HIV/AIDS
BAB III - PENUTUP: Mencakup kesimpulan dan saran

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
AIDS singkatan dari Acquired Immuno Defeciency Syndrome.
Acquired berarti diperoleh, karena orang hanya menderita bila terinfeksi
HIV dari orang lain yang sudah terinfeksi, Immuno berarti sistem
kekebalan tubuh, Defeciency berarti kekurangan yang menyebabkan
rusaknya sistem kekebalan tubuh dan Syndrome berarti kumpulan
gejala atau tanda yang sering muncul bersama tetapi mungkin
disebabkan oleh satu penyakit atau mungkin juga tidak yang sebelum
penyebabnya infeksi HIV ditemukan. Jadi, AIDS adalah kumpulan
gejala akibat kekurangan atau kelemahan system kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Gallant. J, 2010).
Orang dengan HIV dan AIDS yang sering disingkat ODHA
adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV dan AIDS. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. HIV memiliki sifat retrovirus yang berarti
virus yang dapat menggunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi
kembali dirinya (Kemenkes RI,2014).

2. Etiologi
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV yaitu suatu virus yang
masuk ke dalam kelompok retrovirus yang biasanya menyerang organ-
organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini juga bisa
dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di
dalam darah, dan penularan masa perinatal (Bararah & Jauhar, 2013),
Penyebab AIDS adalah golongan retrovirus RNA yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sel target virus ini terutama sel

4
limfosit karena mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut
Cluster of Differentiation Four (CD4). Virus HIV hidup dalam darah,
saliva, semen, air mata dan mudah mati di luar tubuh. HIV dapat juga
ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel gelia jaringan otak.
Walau sudah jelas dikatakan HIV sebagai penyakit AIDS, asal usul virus
ini masih belum diketahui secara pasti. Virus ini sebelumnya dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Badan kesehatan Dunia,
World Health Organization (WHO) kemudian memberikan nama HIV
sesuai dengan hasil penemuan International Committee on Toxonomy
of Viruses pada tahun 1986 (Kadiandagho, 2015).
HIV yang dahulu disebut Human T Limfotrofic Virus-III (HTLV-
III) atau Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), adalah suatu
retrovirus manusia sitopatik dari famili Lentivirus. Retrovirus
mengubah Ribonukleat Acid (RNA) menjadi Deoksiribonukleat Acid
(DNA) setelah masuk ke dalam sel. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus
sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS diseluruh
dunia. (Sylvia, 2005).

3. Tanda dan Gejala


Penyakit ini disertai kumpulan gejala (syndrome) antara lain gejala
infeksi dan penyakit oportunistik yang timbul akibat menurunnya daya
tahan tubuh penderita. Menurunnya kekebalan menjadikan penderita
rentan terhadap infeksi oportunistik dimana infeksi mikroorganisme
yang dalam keadaan normal bersifat apatogen. Pada penderita AIDS
mikroorganisme yang bersifat apatogen dapat menjadi patogen
(Kadiandagho, 2015).
Adapun yang termasuk gejala mayor yaitu:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronik berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan Neorologis

5
5) Demensia atau HIV ensepalopati
Gejala minor :
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata yang gatal
3) Adanya Herpes Zoster Multisegmental dan atau berulang
4) Kandidiasis orofariengeas 15
5) Herpes Simpleks kronik progresif
6) Limfadenopati Generalisata (pembesaran kelenjar getah bening)
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin.

4. Web Of Caution (WOC)


Terlampir
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan
gejala klinis melalui 4 fase:
a. Fase 1 : Terinfeksi HIV
Rentang waktu sejak virus HIV masuk kedalam tubuh
sampai antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window
period. Lama window period antara 15 hari sampai 6 bulan. Dalam
fase ini umumnya seseorang yang telah terinfeksi HIV masih
tampak dan merasa sehat-sehat saja, tanpa menunjukkan gejala
apapun bahwa ia sudah tertular HIV akan tetapi orang ini juga sudah
menularkan HIV pada orang lain (Katiandagho, 2015).
b. Fase 2 : Gejala-gejala mulai terlihat
Dalam fase ini umumnya gejala-gejala mulai nampak,
seperti hilangnya selera makan, gangguan pada rongga mulut dan
tenggorokan, diare, pembengkakan kelenjar, bercak-bercak dikulit,
demam serta keringat berlebihan di malam hari tetapi gejala diatas
belum dapat di jadikan patokan bahwa itu adalah AIDS, karena itu
masih gejala-gejala umum dan harus di periksakan ke dokter untuk
hasil yang lebih spesifik (Katiandagho, 2015).

6
c. Fase 3 : Penyakit AIDS
Dalam fase ini HIV benar-benar menimbulkan AIDS. Sistem
kekebalan tubuh semakin menurun sehingga tidak ada lagi
perlawanan terhadap penyakit yang menyerang termasuk kanker
dan infeksi. Perwujudan penyakit yang menyerang tubuh seseorang
tergantung pada virus, bakteri, jamur atau protozoa yang
menyebabkan infeksi, sehingga orang tersebut akan menderita
penyakit yang parah (Katiandagho, 2015).
d. Fase 4 : Penderita Meninggal karena salah satu Penyakit
Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa tanpa sistem
kekebalan tubuh yang baik sulit bagi seseorang untuk
mempertahankan hidupnya dari serangan penyakit. Seseorang bisa
bertahan hidup terhadap berbagai penyakit pada tahapan AIDS,
tetapi hanya berlangsung selama 1-2 tahaun saja, selanjutnya
penderita akan meninggal dunia karena penyakt atau komplikasi da
ri beberapa penyakit yang ia derita (Nurarif & Kusuma, 2015).

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Serologis
1) Tes antibody serum: Skrining Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dan Enzim Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA).
2) Tes blot western: Mengonfirmasi diagnosa Human
Immunodeficiency Virus (HIV)
3) Sel T limfosit: Penurunan jumlah total
4) Sel T4 helper: Indikator system imun
5) T8 (sel supresor sitopatik): Rasio terbalik (2 : 1) atau lebih besar
dari sel suppressor pada sel helper (T8 ke T4) mengindikasikan
supresi imun
6) P24 (Protein pembungkus Human Immunodeficiency Virus
(HIV): Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi
progresi infeksi

7
7) Kadar Ig: Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal
atau mendekati normal
8) Reaksi rantai polimerase: Mendeteksi DNA virus dalam jumlah
sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.
9) Tes PHS: Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV
mungkin positif
b. Budaya
Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan
spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya
infeksi: parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.
c. Neurologis
EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
d. Tes lainnya
1) Sinar X Dada: Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial
dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain
2) Tes Fungsi Pulmonal: Deteksi awal pneumonia interstisial
3) Skan Gallium: Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan
bentuk pneumonia lainnya
4) Biopsis: Diagnosa lain dari sarcoma kaposi
5) Brankoskopi/ pencucian trakeobronkial: Dilakukan dengan
biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru.

8
6. Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral,
ginggivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan
cacat.
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS, karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik,
kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
2) Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/
ensefalitis. Dengan efek sakit kepala, malaise, demam, paralise,
total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi
sistemik, dan maranik endokarditis.
4) Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human
Immunodeficienci Virus (HIV)
c. Gastrointestinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma kaposi,
obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.

9
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi skunder
dan sepsis.
f. Sensorik
1) Pandangan: Sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan.
2) Pendengaran: Otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri.

10
B. Peran Perawat dalam Penanggulangan HIV/AIDS
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver )
Pada peran ini dapat dilakukan perawat dengan
mempertahankan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutukhan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan mengunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa
direncakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat
kebutuhan manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat
perkembangannya. Asuhan keperawatan yang diberikan dari hal ini
yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
2. Peran sebagai advokat (pembela pasien)
Peran perawat sebagai advokat pada pasien HIV/AIDS yaitu
dapat melakukan perawatan dalam membantu pasien, keluarga dalam
menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi ha katas
pelayananyang sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya,
hak privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan hak untuk
menerima ganti rugi akibat kelalaian.
Dalam sebuah penelitian didapatkan hasil bahwa anggapan
persepsi negatif dan diskriminasi itu sendiri ternyata terjadi di tenaga
kesehatan, didalam penelian yang dilakukan di Belgia tersebut di
katakan bahwa terjadi tindakan pembiaran, menunda tindakan bahkan
menolaknya. Hal ini menunjukkan bahwa stigma negatif dapat
memudarkan mental pelayan kesehatan (Arrey et al. 2017).
Dalam penelian lain yang dilakukan di Kenya dikarenakan
adanya persepsi negatif ternyata berdampak pada penurunan
penghasilan dalam keluarga yang mengalami HIV. Namun dalam
penelitian ini di dapatkan sebuah solusi untuk mengatasi masalah
ekonomi tersebut, antara lain adalah dengan menjalan usaha

11
mikrofinansial. Dimana usaha mikrofinansial ini dapat meningkatkan
pendapatan dari keluarga tersebut sebesar 16-22 persen (Ngala 2017).
3. Peran sebagai educator (pendidik)
Peran perawat sebagai educator pada pasien HIV/AIDS yaitu,
perawat membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan pengetahuan yang
diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari kllien setelah
dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari : dokter, ahli gizi, farmasi, dan lainnya
dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan
bentuk pelayanan selanjutnya.
5. Peran perawat sebagai konsultan (penasihat)
Dalam peran ini, perawat sebagai tempat konsutasi terhadap
masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran
ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.

C. Manajemen Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS


1. Ruang Lingkup Pelayanan
a. Voluntary Counseling and Testing (VCT)
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan
sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS
berkelanjutan. Pelayanan VCT berkualitas bukan hanya membuat
orang mempunyai akses terhadap pelayanan namun juga efektif
dalam pencegahan terhadap HIV. Layanan VCT dapat digunakan
untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi
tentang pencegahan HIV AIDS.

12
b. Care, Support and Treatment (CST)
Layanan perawatan yang tersedia meliputi konseling dan tes
HIV untuk tujuan screening dan diagnostik. Antiretroviral therapy
merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan terapi adalah
hal yang paling penting dalam menekan replikasi HIV dan
menghindari terjadinya resistensi. Pasien dianjurkan untuk
melakukan konseling antiretroviral (ARV). Konseling ini yang
terpenting adalah factor adheren atau kepatuhan untuk minum obat.
Isi dari konseling ini tentang minum obat tepat awaktu, tepat dosis
dan tepat penggunaan obat. Pasien diajarkan membuat pengingat
untuk minum obat misalnya alamdi telpon selluler. Pasien yang
terbuka kepada keluarga tentang statusnya, maka keluarga yang
menjadi pendamping minum obat (PMO) untuk mendukung
kepatuhan minum obat.
c. Infeksi Menular Seksual (IMS)
Tatalaksana IMS di klinik kulit dan kelamin, pengobatan
paliatif, akses kepada obat-obat HIV termasuk obat untuk infeksi
opportunistic, antiretroviral, intervensi terhadap Prevention Of
Mother To Child HIV Transmission (PMTCT) yang fokus di klinik
kebidanan dan anak, dukungan gizi, serta mengurangi stigma dan
diskriminassi dengan mangadakan sosialisasi dan training tentang
pelayanan HIV/AIDS kepada petugas kesehatan.
Pemilihan obat untul IMS harus sesuai dengan pedoman
penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Kemenkes RI tentang
kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu
angka kesembuhan yang tinggi, harga murah, toksisitas dan toleransi
yang masih dapat diterima, diberikan dosis tunggal, cara pemberian
peroral dan tidak merupakan kontra indikasi pada ibu hamil atau ibu
menyusui.

13
d. Prevention of Mother to Child HIV Transmission (PMTCT)
Pelayanan PMTCT merupakan salah satu pelayanan tersedia
untuk klien yang berusia produktif, mempunyai istri atau suami.
Dalam sebuah penelitian terdapat sebuah kejadian yang unik
dimana penelitian ini dilakukan pada pencangkokan organ liver pada
anak yang non-HIV dari ibu yang positif HIV, dari penelian itu di
dapatkan bahwa tidak terdapat tanda HIV pada penemeriksaan
setelah pencangkokan tersebut, walau hal ini menunjukkan bahwa
sanya tidak terjadi pernyebaran HIV melalui pencangkokan organ
tersebut, namun hal ini masih harus di awasi dan di lakukan
penelitian lebih lanjut (Botha et al. 2018).

2. Batasan Operasional
a. Pelayanan VCT
1) Penerimaan klien
2) Konseling pra testing HIV AIDS
3) Konseling Pra testing HIV AIDS dalam keadaan khusus
b. Informed consent
c. Testing HIV dalam VCT

3. Landasan Hukum
a. Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
b. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002
tentang pedoman penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular
Seksual

14
d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/XII/2009
tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit
TB dan HIV.
e. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tenagh Nomor 5 Tahun 2009
tentang Penangggulangan HIV dan AIDS.

4. Tata Laksana Pelayanan


a. Konseling Pre testing
1) Penerimaan klien :
a) Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama,
sehingga nama tidak ditanyakan
b) Pastikan klien tepat waktu dan tidak menunggu
c) Buat catatan rekam medic klien dan pastikan setiap klien
mempunyai kodenya sendiri

Kartu periksa konseling dan testing dengan nomor kode dan


ditulis oleh konselor. Tanggung jawab klien dalam konselor:

a. Bersama konselor mendiskusikan hal-hal terkait tentang


HIV AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan
pertimbangan yang terkait dengan hasil negative atau
positif
b. Sesudah melaksanakan konseling lanjutan diharapkan
dapat melindungi diri dan keluarganya dari penyebaran
infeksi
c. Untuk klien yang dengan HIV positif memberitahu
pasangan atau keluarganya akan status dirinya dan rencana
kehidupan lebih lanjut

2) Konseling Pre testing


a) Periksa ulang nomor kode dalam formulir
b) Perkenalan dan arahan

15
c) Menciptakan kepercayaan klien pada konselor, sehingga
terjalin hubungan baik dan terbina saling memahami
d) Alasan kunjungan
e) Penilaian resiko agar klien mengetahui factor resikodan
menyiapkan diri untuk pre test
f) Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau
tidak terinfeksi
g) Konselor membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian resiko dan merespon kebutuhan emosi
klien
h) Konselor VCT membuat penilaian system dukungan
i) Klien memberikan persetujuan tertulis sebelum tes HIV
dilakukan

b. Informed consent
1) Semua klien sebelum menjalani tes HIV harus memberikan
persetujuan tertulis
Aspek penting dalam persetujuan tertulis adalah :
a) Klien diberi penjelasan tentang resiko dan dampak sebagai
akibat tindakan dan klien menyetujuinya
b) Klien mempunyai kemampuan mengerti/memahami dan
menyatakan persetujuannya
c) Klien tidak dalam terpaksa memberikan persetujuannya
d) Untuk klien yang tidak mampu mengambil keputusan karena
keterbatasan dalam memahami, maka konselor berlaku jujur
dan obyektif dalam menyampaikan informasi

2) Informed consent pada anak

16
Bahwa anak memiliki keterbatasan kemampuan berfikir
dan menimbang ketika dihadapkan dengan HIV AIDS. Jika
mungkin anak didorong untuk menyertakan orang tua atau wali,
namun apabila anak tidak menghendaki, maka layanan VCT
disesuaikan dengan kemaampuan anak untuk menerima dan
memproses serta memahami informasi hasil testing HIV AIDS.
Dalam melakukan testing HIV pada anak dibutuhkan
persetujuan orang tua / wali.

3) Batasan umur untuk persetujuan


Anak berumur dibawah 12 tahun orang tua / wali yang
menandatangani informed consent, jika tak mempunyai orang
tua / wali maka kepala institusi, kepala puskesmas, kepala rumah
sakit, kepala klinik atau siapa yang bertanggungjawab atas diri
anak harus menandatangani informed consent. Jika anak
dibawah umur 12 tahun memerlukan testing HIV maka orangtua
atau wali harus mendampingi secara penuh

4) Persetujuan orang tua untuk anak


Orang tua dapat memberikan persetujuan konseling dan
testing HIV AIDS untuk anaknya. Namun sebelum meminta
persetujuan, konselor melakukan penilaian akan situasi anak,
apakah melakukan tes HIV lebih baik atau tidak. Jika orang tua
bersikeras ingin mengetahui status anak, maka konselor
melakukan konseling dahulu dan apakan orang tua akan
menempatkan pengetahuan atan status HIV anak untuk kebaikan
atau merugikan anak. Jika konselor ragu maka bimbinglah anak
untuk didampingi tenaga ahli. Anak senantiasa dibeitahu betapa
penting hadir nya seseorang yang bermakna dalam
kehidupannua untuk mengetahui kesehatan dirinya.

17
c. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah terjaga kerahasiaannya. Testing
dimaksudkan untuk menegakkan diagnose. Penggunaan testing
cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing
pada hari yang sama. Tujuan testing adalah :
1) Untuk menegakkan diagnosis
2) Pengamanan darah donor (skrining)
3) Untuk surveilans
4) Untuk penelitian

Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas,


hindari terjadinya kesalahan baik teknis (technical error), manusia
(human error) dan administratif (administrative error).

Bagi pengambil sampel darah harus memperhatikan hal-hal berikut:

1) Sebelum testing dilakukan harus didahului dengan konseling dan


informed consent
2) Hasil testing diverifikasi oleh dokter patologi klinis
3) Hasil diberikan dalam amplop tertutup
4) Dalam laporan pemeriksaan ditulis kode register
5) Jangan memberi tanda menyolok terhadap hasil positif atau
negatif
6) Meski sampel berasal dari sarana kesehatan yang berbeda tetap
dipastikan telah mendapat konseling dan menandatangani
informed consent

d. Konseling pasca testing


Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing:
1) Periksa ulang seluruh hasil klien dalam rekam medic. Lakukan
sebelum bertemu klien
2) Sampaikan kepada klien secara tatap muka

18
3) Berhati-hati memanggil klien dari ruang tunggu
4) Seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil tes
dengan cara verbal maupun non verbal di ruang tunggu
5) Hasil test harus tertulis

Tahapan penatalaksanaan konseling pasca testing


1) Penerimaan klien
- Memanggil klien dengan kode register
- Pastikan klien hadir tepat waktu dan usahakan tidak
menunggu
- Ingat akan semua kunci utama dalam penyampaian hasil
testing
2) Pedoman penyampaian hasil negative
- Periksa kemungkinan terpapar dalam periode jendela
- Gali lebih lanjut berbagai hambatan untuk seks yang aman
- Kembali periksa reaksi emosi yang ada
- Buat rencana tindak lanjut
3) Pedoman penyampaian hasil positif
- Perhatikan komunikasi non verbal saat klien memasuki
ruang konseling
- Pastikan klien siap menerima hasil
- Tekankan kerahasiaan
- Lakukan penyampaian secara jelas dan langsung
- Sediakan waktu cukup untuk menyerap informasi tentang
hasil
- Periksa apa yang diketahui klien tentang hasil
- Dengan tenang bicarakan apa arti hasil pemeriksaan
- Ventilasikan emosi klien
4) Konfidensialitas
Penjelasan secara rinci pada saat konseling pretes dan
persetujuan dituliskan dan dicantumkan dalam catatan medic.

19
Berbagi konfidensialitas adalah rahasia diperluas kepada orang
lain, terlebih dahulu dibicarakan kepada klien. Orang lain yang
dimaksud adalah anggota keluarga, orang yang dicintai, orang
yang merawat, teman yang dipercaya atau rujukan pelayanan
lainnya ke pelayanan medik dan keselamatan klien. Selain itu
juga disampaikan jika dibutuhkan untuk kepentingan hukum.
5) VCT dan etik pemberitahuan kepada pasangan
Dalam konteks HIV AIDS, WHO mendorong
pengungkapan status HIV AIDS. Pengungkapan bersifat
sukarela, menghargai otonomi dan martabat individu yang
terinfeksi, pertahankan kerahasiaan sejauh mungkin menuju
kepada hasil yang lebih menguntungkan individu, pasangan
seksual dan keluarga, membawa keterbukaan lebih besar kepada
masyarakat tentang HIV AIDS dan memenuhi etik sehingga
memaksimalkan hubungan baik antara mereka yang terinfeksi
dan tidak.
6) Isu-isu gender
Gender adalah sama pentingnya dengan memusatkan
perhatian terhadap penggunaan kondom, dengan konsistensi
tetap bertahan menggunakan kondom merupakan bentuk
perubahan perilaku.

e. Pelayanan Dukungan Berkelanjutan


1) Konseling Lanjutan
Salah satu layanan yang ditawarkankepada klien adalah
konseling lanjutan sebagai bagian layanan VCT apapun hasil
testing yang diterima klien. Namun karena persepsi klien
berbeda-beda terhadap hasil testing maka konseling lanjutan ini
seebagai pilihan jika dibutuhkan klien untuk menyesuaikan diri
dengan status HIV
2) Kelompok Dukungan VCT

20
Layanan ini dapat ditempat layanan klinik VCT dan di
Masyarakat. Konselor atau kelompok ODHA akan membantu
klien baik dengan hasil positif maupun negative untuk
bergabung dalam kelompok ini. Kelompok ini dapat diikuti oleh
pasangan dan keluarga.
3) Pelayanan Penanganan Manajemen Kasus
Tahapan dalam manajemen kasus, adalah identifikasi,
penilaian kebutuuhan pengembangan rencana tidak individu,
rujukan sesuai kebutuhan dan tepat serta koordinasi tindak
lanjut.
4) Perawatan dan Dukungan
Setelah diagnosis ditegakkan dengan HIV positif maka
klien dirujuk dengan pertimbangan akan kebutuhan rawatan dan
dukungan. Kesempatan ini digunakan klien dan klinisi untuk
menyusun rencana dan jadwal pertemuan konseling selanjutnya
dimana membutuhkan tindakan medic lebih lanjut, seperti terapi
profilaksis dan akses ke ART.
5) Layanan Psikiatrik
Banyak pengguna Zat psikoaktif saat menerima hasil
positif testing HIV, meskipun dudah dipersiapkan terlebih
dahulu, klien dapat mengalami goncangan yang berat, seperti
depresi, panic, kecemasan yang hebat, agresif bahkan bunuh diri.
Bila terjadi hal demikian maka perlu dirujuk ke fasilitas layanan
psikiatrik.
6) Konseling Kepatuhan Berobat
Dibutuhkan waktu untuk memberikan edukasi dan
persiapan guna meningkatkan kepatuha sebelum dimulai terapi
ARV. Sekali dimulai harus dilakukan monitoring terus menerus
yang dinilai oleh dokter, jumlah obat dan divalidasi dengan
daftar pertanyaan kepada pasien.konseling ini membantu klien

21
mencari jalan keluar dari kesulitan yang mungkin timbul dari
pemberian terapi dan mempengaruhi kepatuhan.
7) Rujukan
Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan
antara masyarakat dan rujukan yang sesuai dengan
kebutuhannya serta memastikan rujukan dari masyarakat ke
pusat VCT.
Sistem rujukan dan alur :
a) Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan.
Jika dokter mencurigai seseorang menderita HIV, maka
dokter merekomendasikan klien dirujuk ke konselor yang ada
di RS
b) Rujukan antar sarana kesehatan
c) Rujukan klien dari sarana kesehatan ke sarana kesehatan
lainnya
Rujukan ini dilakukan secara timbale balik dan berulang
sesuai dengan kebutuhan klien.
d) Rujukan klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana
kesehatan rujukan. Dari sarana kesehatan lainnya kesarana
kesehatan dapat berupa rujukan medic klien, rujukan
specimen, rujukan tindakan medic lanjut atau spesialistik.

22
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal
dengan istilah AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya
kelainan yang kompleks dalam sistem pertahanan selular tubuh dan
menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap mikroorganisme
oportunistik. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus atau disingkat dengan HIV. Penyakit ini merupakan penyakit kelamin,
yang pada mulanya dialami oleh kelompok kaum homoseksual. AIDS
pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat. Penyakit
ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh
komunitas kaum homoseksual.

B. Saran
1. Saran Bagi Institusi/Pemerintah
Melalui hak yang dimiliki oleh pemerintah untuk membuat
kebijakan, agar sekiranya dapat menyentuh kepada seluruh lapisan
masyarakat sehingga dalam penerapan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah mudah dilaksanakan dan dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Pemerintah bersama jajarannya selalu sigap dalam
menangani masalah HIV/AIDS sehingga penularannya dapat dicegah
sehingga tidak banyak jatuh korban yang berujung kepada kematian.
Pemerintah bisa menjadi tauladan bagi masyarakat sehingga perilaku
yang berisiko HIV/AIDS dapat dicegah. Selain itu agar kiranya
pemerintah selalu memperhatikan alokasi dana dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap penderita HIV/AIDS.

23
2. Saran Bagi Mahasiswa Perawat
Mahasiswa keperawatan mengikuti organisasi keagamaan yang ada,
karena merupakan potensi untuk sosialisasi dan promosi tentang
pencegahan HIV/AIDS. Selain itu mahasiswa membiasakan perilaku
yang dapat mencegah terinfeksi HIV/AIDS, baik saat di klinik maupun
dalam kehidupan sehari-hari, senantiasa menambah wawasan terbaru
mengenai perkembangan penularan HIV/AIDS, agar dapat secara
kontinyu memahami pencegahan HIV/AIDS, dan upaya promotif
melalui organisasi-organisasi kemahasiswaan mengenai
penanggulangan HIV/AIDS karena dengan demikian akan menambah
wawasan tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS di masyarakat
dan menghindari terjadinya stigma dan diskriminasi pada orang dengan
HIV/AIDS (ORHA)

3. Saran Bagi Masyarakat


Kegiatan pengabdian perawat kepada masyarakat seperti
penyuluhan kesehatan tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS
perlu dilakukan secara kontinyu terutama oleh pihak atau dinas yang
terkait karena melihat masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS. Selain bentuk
penyuluhan, perlu juga dikembangkan program HIV/AIDS yang
melibatkan pihak sekolah atau kampus, puskesmas, pemerintah,
kecamatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Katiandagho, Desmon, 2015, Epidemiologi HIV-AIDS, In Media, Bogor.

Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama. Buku Pegangan Paliatif Care HIV-AIDS.

Prince, Sylvia dan Lorraine. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Volume 1. Jakarta: EGC.

Seymour Jane. 2004. Paliative Care Nursing. New York: Two Pen Plaza.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:


EGC.

Sudoyo AW, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Pusat Penerbitan.

Weller, Barbara. 2005. Kamus Saku Perawat. Jakarata: EGC

Yuswana, TA. 2004. Perawatan Penderita Terminal. Surabaya: Psychiatry Update.

Arrey, Agnes Ebotabe, Johan Bilsen, Patrick Lacor, and Reginald Deschepper.
2017. “P E R C E P T I O N S OF S T I G MA AN D DISCRIMINATION
IN HEALTH CARE SETTINGS TOWARDS SUB-SAHARAN AFRI C AN
M I GR AN T W OM E N LI V IN G W I T H H I V / A ID S I N B E L G
IU M : A QU A L I T A T IV E STUDY.” 578–96.

Botha, Jean et al. 2018. “Living Donor Liver Transplant from an HIV-Positive
Mother to Her HIV-Negative Child : Opening up New Therapeutic Options.”
0(July):13–19.

Ngala, Consolata Oloo. 2017. “Microfinance and Income Levels of AIDS


Affected Households : A Quasi-Experimental Survey.” (January).

Shaluhiyah, Zahroh, Syamsulhuda Budi Musthofa, and Bagoes Widjanarko. 2015.

25
“Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan HIV / AIDS Public Stigma to
People Living with HIV / AIDS.” (3):333–39.

Wati, Novi Sulistia, Kusyogo Cahyo, Ratih Indraswari, and Fakultas Kesehatan.
2017. “PENGARUH PERAN WARGA PEDULI AIDS TERHADAP
PERILAKU PENGARUH PERAN WARGA PEDULI AIDS TERHADAP
PERILAKU DISKRIMINATIF PADA ODHA.” 5(April):198–205.

26

Anda mungkin juga menyukai