TPP Fixx
TPP Fixx
KELOMPOK 4
Anggota :
FAKULTAS KEDOKTERAN
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal Tugas Pengenalan
Profesi ”Evaluasi Kasus Nyeri Kepala Primer di Masyarakat” Blok IX “Neuro-
Muskulo-Skeletal” sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beserta salam
selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para
keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan
di masa mendatang.
Dalam penyelesaian Proposal Tugas Pengenalan Profesi ini, penulis banyak
mendapat bantuan, bimbingan, dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual.
3. dr. Indriyani, M.Biomed selaku pembimbing TPP kelompok 4.
4. Teman-teman seperjuangan.
5. Semua pihak yang membantu penulis.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga Proposal
Tugas Pengenalan Profesi ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 6
PENDAHULUAN .................................................................................................. 6
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 6
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7
1.3.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 7
1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
BAB II .................................................................................................................... 8
3
2.3.2.2 Klasifikasi Tension-type Headache ............................................ 24
2.3.2.3 Etiologi Tension-type Headache ................................................. 25
2.3.2.4 Epidemiologi Tension-type Headache ........................................ 26
2.3.2.5 Patofisiologi Tension-type Headache ......................................... 26
2.3.2.6 Manifestasi Klinis Tension-type Headache................................ 30
2.3.2.7 Penegakan Diagnosis Tension-type Headache .......................... 31
2.3.2.8 Tata Laksana Tension-type Headache ....................................... 32
2.3.2.9 Pencegahan Tension-type Headache .......................................... 33
2.3.2.10 Komplikasi Tension-type Headache ......................................... 34
2.3.2.11. Standar Kompetensi Dokter Indonesia ................................... 34
2.3.3 Nyeri Kepala Tipe Cluster (Cluster Headache) ............................... 34
2.3.3.1 Definisi Cluster Headache ........................................................... 34
2.3.3.2 Klasifikasi Cluster Headache ...................................................... 35
2.3.3.3 Etiologi Cluster Headache ........................................................... 35
2.3.3.4 Epidemiologi Cluster Headache ................................................. 37
2.3.3.5 Patofisiologi Cluster Headache ................................................... 37
2.3.3.6 Manifestasi Klinis Cluster Headache ......................................... 40
2.3.3.7 Penegakan Diagnosis Cluster Headache .................................... 42
2.3.3.8 Tata Laksana Cluster Headache ................................................ 43
2.3.3.9 Pencegahan Cluster Headache .................................................... 46
2.3.3.10 Komplikasi Cluster Headache .................................................. 46
2.3.3.11 Standar Kompetensi Dokter Indonesia .................................... 46
2.4 Nyeri Kepala Sekunder ............................................................................. 47
4
BAB IV ................................................................................................................. 49
BAB V................................................................................................................... 71
LAMPIRAN ......................................................................................................... 78
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri kepala atau headache adalah suatu rasa nyeri atau rasa yang tidak
enak pada daerah kepala, termasuk meliputi daerah wajah dan tengkuk leher
(Perdossi, 2013). Nyeri kepala merupakan keluhan yang umum dialami oleh
masyarakat.
Menurut WHO (2012), sekitar 47% populasi dewasa di dunia setidaknya
pernah mengalami satu kali nyeri kepala dalam satu tahun. Nyeri kepala
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Nyeri kepala dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari, menurunkan kualitas hidup, dan
meningkatkan beban ekonomi (WHO, 2012). Seseorang dapat mengalami
hambatan dalam menjalani aktivitas bila tengah mengalami nyeri kepala
(Martelletti., et al, 2007).
Secara umum, nyeri kepala dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer merupakan nyeri
kepala yang dialami oleh seseorang tanpa adanya kelainan yang mendasarinya,
sedangkan nyeri kepala sekunder terjadi sebagai akibat adanya kelainan,
seperti akibat trauma kepala. Nyeri kepala primer lebih sering terjadi daripada
nyeri kepala sekunder. Empat kelompok besar nyeri kepala primer berdasarkan
Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala edisi ke-2 yang dibuat oleh Komite
Klasifikasi Nyeri Kepala International Headache Society (IHS) adalah nyeri
kepala tipe tegang (tension-type headache), migrain, nyeri kepala klaster
(cluster headache), dan sefalgia trigeminal otonomik, serta nyeri kepala primer
lainnya (Perdossi, 2013). Nyeri kepala primer umumnya terjadi pada kelompok
usia 18-65 tahun (Gorelick et al., 2014). Nyeri kepala primer lebih sering
terjadi pada orang-orang yang berpendidikan tinggi, yaitu setingkat sekolah
menengah atas atau lebih. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya nyeri
kepala, antara lain stress emosional, menstruasi, kurang tidur, kelelahan,
perubahan cuaca, dan makanan (Iliopoulos et al., 2015).
6
Pada Tugas Pengenalan Profesi Blok IX ini, kelompok 4 akan
melaksanakan Tugas Pengenalan Profesi yang berjudul “Evaluasi Kasus Nyeri
Kepala Primer di Masyarakat” yang bertujuan untuk mengetahui macam-
macam kasus nyeri kepala primer di masyarakat.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri Kepala
Nyeri kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan
suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala. Rasa nyeri
berasal dari jaringan dan struktur yang mengelilingi otak karena otak itu sendiri
tidak memiliki saraf yang menimbulkan sensasi nyeri. Periosteum yang
mengelilingi tulang, otot yang membungkus tengkorak, sinus, mata, dan telinga
serta selaput yang menutupi permukaan otak dan sumsum tulang belakang,
arteri, vena, dan saraf, semua bisa menjadi meradang atau terjadi iritasi
menyebabkan rasa nyeri kepala. Nyeri ini mungkin akan terasa tajam,
berdenyut, konstan atau intens (Hidayati, 2016).
Nyeri kepala juga merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh
pasien saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai
saat ini nyeri kepala masih merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh
nyeri kepala mulai dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai
kecemasan (Hidayati, 2016).
8
2.3 Nyeri Kepala Primer
2.3.1 Migrain
2.3.1.1 Definisi Migrain
Migrain sendiri merupakan salah satu jenis nyeri kepala primer
yang diklasifikasikan oleh International Headache Society (IHS)
dan merupakan penyebab nyeri kepala primer kedua setelah
Tension Type Headache (TTH). Migrain ditandai dengan nyeri
kepala yang umumnya unilateral dengan sifat nyeri yang
berdenyut, dan lokasi nyeri umumnya di daerah frontotemporal
(Price & Wilson, 2013).
Menurut International Headache Society (IHS), migrain
adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4 –
72 jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas
nyerinya sedang sampai berat dan diperhebat oleh aktivitas, dan
dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia (IHS, 2004).
Migrain merupakan ganguan yang bersifat familial dengan
karakteristik serangan nyeri kepala yang episodic (berulang-ulang)
dengan intensitas, frekuensi dan lamanya yang berbeda-beda.
Nyeri kepala biasanya bersifat unilateral, umumnya disertai
anoreksia, mual dan muntah (IHS, 2004).
9
unilateral, mual dan kadang muntah kejadian ini umumnya
berurutan dan manifestasi nyeri biasanya tidak lebih dari 60 menit.
Migrain tanpa aura (common migraine). Nyeri pada salah satu
bagian sisi kepala dan bersifat pulsatile dengan disertai mual,
fotofobia dan fonofobia, intensitas nyeri sedang sampai berat, nyeri
diperparah saat aktivitas dan berlangsung selama 4 sampai 72 jam.
10
3) Stres
Stres berkontribusi sebanyak 79,7 % sebagai pencetus
migrain. Terlalu letih, sibuk, kurang tidur, emosi berlebih, atau
ketegangan dapat memicu kelenjar adrenal untuk melepaskan
hormon noradrenalin, tetapi beberapa kasus migrain dapat muncul
setelah ketegangan reda atau masa stres sudah lewat.
4) Rangsangan sensorik
Beberapa rangsangan sensorik diketahui dapat memicu
terjadinya migrain, seperti sinar yang terang dan menyilaukan
(38,1 %), serta bau yang menyengat (43,7 %).
5) Aktivitas fisik
Pemicu migrain yang berkaitan dengan aktivitas fisik
diantaranya aktivitas fisik yang berlebih termasuk aktivitas seksual
(27,3 %), perubahan pola tidur, seperti terlalu banyak tidur atau
kurang tidur (32 %), dan gangguan saat tidur (49,8 %).
6) Perubahan lingkungan
Perubahan cuaca, iklim, tingkat barometer, perbedaan zona
waktu dan perbedaan ketinggian diketahui diketahui berkontribusi
sebagai pencetus migrain sebesar 53,2 %.
7) Alkohol
Alkohol termasuk zat diuretik, yaitu zat yang dapat
menyebabkan dehidrasi pada tubuh sehingga dapat mencetuskan
nyeri kepala migrain dengan kontribusi 37,8 %.
8) Merokok
Merokok berkontribusi sebagai pencetus migrain sebesar 35,7
%. Pengaruh merokok bukan hanya terhadap orang yang merokok
tetapi juga terhadap perokok pasif disekitarnya. Kandungan nikotin
akan menyebabkan pembuluh darah menyempit dan aliran darah
ke otak berkurang.
11
2.3.1.4 Epidemiologi Migrain
Nyeri kepala migrain diperkirakan dua sampai tiga kali lebih
sering pada perempuan daripada laki-laki, cenderung dijumpai
dalam satu keluarga, diperkirakan memiliki dasar genetik, dan
biasanya dijumpai pada perempuan muda yang sehat. Pengidap
migrain yang memiliki keluarga dekat yang juga mengidap migrain
memiliki persentase 75 – 80 %. Migrain paling sering terjadi pada
perempuan berusia kurang dari 40 tahun, walaupun dapat juga
dijumpai pada menopause akibat perubahan produksi hormon
(Price and Wilson, 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa migrain menempati
urutan kedua terbanyak setelah nyeri kepala tipe tegang, yaitu
sebanyak 29,5 % dari populasi. Migrain menjadi penyebab pasien
datang untuk berobat dan menempati urutan ke - 19 dari semua
penyakit yang menyebabkan disabilitas di dunia (Lipton, 2006).
Prevalensi migrain pada orang dewasa adalah 10-12 % setahun,
dimana prevalensi untuk laki-laki adalah 6 % dan untuk perempuan
adalah 15-18 %, sedangkan perbandingan antara migrain tanpa
aura dengan migrain dengan aura adalah 5:1 (Ropper, 2005). Data
populasi lain melaporkan bahwa gangguan sakit kepala paling
sering pada orang dewasa di dunia adalah nyeri kepala umum
sebanyak 46 %, migrain sebanyak 11 %, dan nyeri kepala tipe
tegang sebanyak 42 % (MacGregor et al., 2011).
12
1. Teori Vascular
Teori vaskular, adanya gangguan vasospasme menyebabkan
pembuluh darah otak berkonstriksi sehingga terjadi hipoperfusi
otak yang dimulai pada korteks visual dan menyebar ke depan.
Penyebaran frontal berlanjutan dan menyebabkan fase nyeri kepala
dimulai (Sjahrir, Hasan, 2004).
2. Teori Neurovascular-Neurokimia (Trigeminovascular)
Adanya vasodilatasi akibat aktivitas NOS dan produksi NO
akan merangsang ujung saraf trigeminus pada pembuluh darah
sehingga melepaskan CGRP (Calcitonin Gene Related). CGRP
akan berikatan pada reseptornya di sel mast meningens dan akan
merangsang pengeluaran mediator inflamasi sehingga
menimbulkan inflamasi neuron. CGRP juga bekerja pada arteri
serebral dan otot polos yang akan mengakibatkan peningkatan
aliran darah. Selain itu, CGRP akan bekerja pada post junctional
site second order neuron yang bertindak sebagai transmisi impuls
nyeri. Teori sistem saraf simpatis, aktifasi sistem ini akan
mengaktifkan lokus sereleus sehingga terjadi peningkatan kadar
epinefrin. Selain itu, sistem ini juga mengaktifkan nukleus dorsal
rafe sehingga terjadi peningkatan kadar serotonin. Peningkatan
kadar epinefrin dan serotonin akan menyebabkan konstriksi dari
pembuluh darah lalu terjadi penurunan aliran darah di otak.
Penurunan aliran darah di otak akan merangsang serabut saraf
trigeminovaskular. Jika aliran darah berkurang maka dapat terjadi
aura. Apabila terjadi penurunan kadar serotonin maka akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial dan
ekstrakranial yang akan menyebabkan nyeri kepala pada migrain
(Sjahrir, Hasan, 2004).
13
3. Teori Cortical Spreading Depresion
Dimana pada orang migrain nilai ambang saraf menurun
sehingga mudah terjadi eksitasi neuron lalu berlaku short-lasting
wave depolarization oleh pottasium-liberating depression
(penurunan pelepasan kalium) sehingga menyebabkan terjadinya
periode depresi neuron yang memanjang. Selanjutnya, akan terjadi
penyebaran depresi yang akan menekan aktivitas neuron ketika
melewati korteks serebri (Sjahrir, Hasan, 2004).
14
1. Fase Prodromal
Fase ini dialami 40-60 % penderita migrain. Gejalanya
berupa perubahan mood, irritable, depresi, perasaan lemah,
letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan
tertentu (seperti cokelat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul
beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri kepala. Fase ini
memberi petanda kepada penderita atau keluarga bahwa akan
terjadi serangan migrain.
2. Fase Aura
Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang
mendahului atau menyertai serangan migrain. Fase ini muncul
bertahap selama 5 - 20 menit. Aura ini dapat berupa sensasi
visual, sensorik, motorik, atau kombinasi dari aura-aura
tersebut. Aura visual muncul pada 64% pasien dan merupakan
gejala neurologis yang paling umum terjadi. Yang khas untuk
migrain adalah scintillating scotoma (tampak bintik-bintik kecil
yang banyak), gangguan visual homonym, gangguan salah satu
sisi lapangan pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna
yang bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan visual lainnya
adalah adanya scotoma (fenomena negatif) yang timbul pada
salah satu mata atau kedua mata. Kedua fenomena ini dapat
muncul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada migren
yang paling umum terjadi adalah aura visual dan sensorik. Aura
motorik dan gangguan berbahasa jarang terjadi. Aura visual dan
sensorik terdiri dari gejala positif atau negatif. Gejala visual
positif berupa pola terang atau kompleks, seperti skotoma
zigzag yang gemilang, atau berupa bintik- bintik dan seperti
cahaya senter. Gejala visual negatif berupa gangguan lapang
pandang, skotoma kosong, atau kabur. Aura sensorik dapat
berupa hipersensitivitas atau parestesia. (Perdossi, 2013)
15
Aura pada migrain biasanya hilang dalam beberapa menit
dan kemudian diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri
kepala, walaupun ada yang melaporkan tanpa periode laten.
3. Fase nyeri kepala
Nyeri kepala migrain biasanya berdenyut, unilateral, dan
awalnya berlangsung di daerah frontotemporalis dan okular,
kemudian setelah 1 - 2 jam menyebar secara difus kearah
posterior. Serangan berlangsung selama 4 - 72 jam pada orang
dewasa, sedangkan pada anak-anak berlangsung selama 1 - 48
jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang sampai berat, dan
kadang-kadang sangat mengganggu pasien dalam menjalani
aktivitas sehari-hari.
4. Fase Postdromal
Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi menurun,
dan terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa
“segar” atau euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang
lainnya merasa depresi dan lemas.
16
a. Sekurang-kurangnya 5 kali serangan, dan memenuhi kriteria B-
D.
b. Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4 - 72 jam (tidak
diobati atau pengobatan yang tidak adekuat).
c. Nyeri kepala yang terjadi sekurang-kurangnya dua karakteristik
sebagai berikut :
1. Lokasi unilateral.
2. Sifatnya berdenyut.
(Aminoff, 2015)
17
3. Gejala aura berlangsung selama 5-60 menit.
(Aminoff, 2015)
18
2.3.1.8 Tata Laksana Migrain
Pengobatan Non-Medik
Pengobatan Simptomatik
Pengobatan Abortif
19
c. Sumatriptan suksinat merupakan agonis selektif reseptor 5-
Hidroksi triptamin (5-HT1D) yang efektif dan cepat
menghilangkan serangan nyeri.
2. Antagonis β adrenergik
20
diduga dapat menaikkan ambang batas migrain dengan cara
memodulasi neurotransmisi adrenergik datau serotonergik pada
jalur kortikal atau subkortikal mencegah dilatasi arteri
ekstrakranial, memblok pengambilan serotonin oleh platelet.
Propanolol secara adekuat diabsorbsi setelah pemberian oral.
Kosentrasi plasma puncak terjadi setelah 1-2 jam pemberian.
Dosis efektif propanolol dalam mencegah serangan migraine
bervariasi antara 80-240 mg sehari dengan rata-rata 160 mg.
Terapi dimulai dengan 20 mg, dua kali sehari dan dosis dapat
ditingkatkan, jika diperlukan. Efek samping yang umum dari
propanolol meliputi mual, kram abdominal, diare, hipotensi
postural, dan ngantuk. Dosis sebaiknya dipertahankan pada
level dimana denyut jantung kurang dari 60 setiap menitnya.
Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan
asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit gagal jantung
kongestif, gangguan konduksi atrioventrikular, dan diabetes
melitus (S. King, Deborah, 2015).
3. Methysergide
21
sehari, menjadi 1 mg, tiga kali sehari lalu menjadi 2 mg, 3 kali
sehari. Biasanya efektif dalam 1 atau 2 minggu. Jika tidak
terlihat keuntungan yang didapat, itu artinya kecil kemungkinan
untuk melanjutkan pemberian methysergide. Jika efektif,
pengobatan dilanjutkan selama 6 bulan. Penghentian obat
sebaiknya dilakukan bertahap dalam 2-3 minggu untuk
mencegah ”rebound headache”. Komplikasi fibrotik meliputi
fibrosis retoperitoneal menyebabkan sakit punggung, nyeri
abdominal ; fibrosis pleuropulmonal menyebabkan nyeri dada
atau dyspnea atau fibrosis valvular jantung menyebabkan
murmur jantung, kardiomegali, dan dyspnea. Setelah interval
bebas obat selama 1-2 bulan, obat dapat diberikan lagi selama 6
bulan Selama terapi methysergide, terjadi mual,
ketidaknyamanan epigastrik, paresthesia, dan kejang otot pada
45 % pasien yang diobati. Hal ini biasanya terlihat pada onset
terapi dan menurun atau menghilang seiring dengan
berlanjutnya terapi atau menurunnya dosis. Kira-kira 10 %
pasien tidak dapat melanjutkan pengobatan karena efek
samping. Supervisi yang ketat terhadap semua pasien itu
diwajibkan. Methysergide sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan ulkus peptik aktif, hipertensi berat, iskemik
jantung, penyakit vaskular perifer, trombophlebitis, penyakit
renal atau kehamilan (S. King, Deborah, 2015).
4. Amitriptilin
22
2.3.1.10 Komplikasi Migrain
Pada umumnya migrain dapat sembuh sempurna jika dapat
mengurangi paparan atau menghindari faktor pencetus dan
meminum obat yang teratur. Tetapi berdasarkan penelitian dalam
beberapa studi, terjadi peningkatan resiko untuk menderita stroke
pada pasien riwayat migrain, terutama pada perempuan.
(Hartwig, 2015). Komplikasi dari migrain yaitu meningkatnya
resiko untuk terserang stroke. Didapatkan bahwa pasien migrain
baik perempuan maupun laki-laki beresiko 2-5 kali untuk
mendapatkan stroke subklinis cerebellum, terutama yang
mengalami migrain dengan aura. Selain itu, migrain juga dapat
memicu timbulnya komplikasi penyakit metabolik pada
seseorang seperti diabetes melitus dan hipertensi, dyslipidemia
dan penyakit jantung iskemik (Anurogo, 2012).
23
disertai dengan vasokonstriksi ekstrakranium. Nyeri ditandai
dengan rasa kencang seperti pita disekitar kepala dan nyeri tekan
didaerah oksipitoservikalis (Hartwig dan Wilson, 2015).
24
berlangsung selama sekian jam atau terus menerus (kontinyu),
bilateral, rasa menekan/mengikat, intensitas mild or moderate,
tidak ada severe nausea atau vomiting, mungkin ada fotopobia /
fonopobia, tidak ada hubungannya dengan penyakit kepala
lainnya, paling tidak masa 2 bulan terakhir.
25
2.3.2.4 Epidemiologi Tension-type Headache
Tension–type Headache merupakan jenis nyeri kepala yang
paling sering, dengan prevalensi 63 % pada pria dan 86 % pada
wanita salama waktu estimasi 1 tahun. Onset awal Tension-type
headache terjadi pada masa dini kehidupan (40 % pada usia <20
tahun), dan puncaknya pada usia 20 dan 50 tahun. Lebih sering
terjadi wanita dewasa, dengan rasio wanita dan pria 4:3. Prevalensi
tension-type headache kronis (≥180 headache harian per tahun)
diperkirakan 2 % - 3 %. Walaupun 60 % penderita diperkirakan
mengalami gangguan fungsional, tetapi hanya 16 % penderita yang
memeriksakan dirinya (Kharisma, 2017).
26
Rangsang nyeri kepala dihantarkan oleh serabut saraf C dan A
delta ke kornu dorsalis dan inti trigeminal di trigemino cervical
complex (TCC), kemudian bersinapsis dengan neuron orde kedua.
Pada sinapsis ini terjadi modulasi rangsangan dari nosiseptor
primer dan mekanoreseptor yang berbahaya yang dibawa melalui
homosinaptik dan heterosinaptik ke sensitisasi sentral. Pada tingkat
molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan pelepasan
neuropeptida dan neurotransmiter (substansi P dan glutamat) yang
mengaktifkan reseptor pada membran postsinap, menghasilkan
aksi potensial dan mencapai puncak plastisitasnya sehingga
menurunkan ambang nyeri. tetapi pada individu yang rentan,
gangguan ini dapat memicu sinyal nyeri, yang disebabkan oleh
sensitisasi sentral. Nyeri tekan perikranium yang terus menerus
yang dibawa oleh serabut saraf C dan A beta yang bersinapsis di
trigemino cervical complex (TCC), menyebabkan terjadinya
alodinia dan hiperalgesia. Intensitas, frekuensi, dan nyeri tekan
perikranium yang terus menerus pada jaringan yang sama dan
terjadi perubahan molekul pada pusat yang lebih tinggi di
thalamus, sehingga terjadi sensitisasi sentral pada neuron tersier
dan terjadi perubahan pada persepsi nyeri (Chen, 2009).
Patofisologi TTH secara pasti belum diketahui, namun beberapa
penelitian menyatakan bahwa sensitisasi perifer (nosisepsi dari
jaringan miofasial perikranium) dan sensitisasi sentral
(peningkatan rangsangan pada centra lnervus system) memegang
peranan penting pada patofisiologi TTH (Ashina dkk., 2013). Asal
nyeri kepala pada TTH sejak dahulu dikaitkan dengan kontraksi
otot yang berlebihan, iskemia, dan radang pada otot-otot kepala dan
leher. Sejumlah studi menunjukkan bahwa jaringan miofasial pada
pasien dengan TTH dikatakan lebih nyeri dibandingkan pada
kontrol, dan nyeri tekan pada saat palpasi juga berkaitan dengan
intesitas dan frekuensi nyeri pada TTH (Ashina dkk., 2013). Salah
27
satu teori yang dominan pada patofisiologi TTH adalah adanya
input nosiseptik dari jaringan miofasial perikranial yang akan
meningkatkan eksitabilitas jalur nyeri ke susunan saraf pusat. Ada
dua faktor yang berperan pada proses terjadinya TTH, yaitu: (1)
Faktor perifer, dimana rangsang nyeri diantarkan oleh serabut saraf
dengan selubung myelin tipis (serabut saraf A delta) dan serat tidak
bermielin (serabut saraf C). Pada TTH bermacam stimuli
menimbulkan eksitasi dan sensitisasi pada nosiseptor di miofasial
yang akan menyebabkan sensitivitas nyeri. Peregangan gigi, posisi
statis saat kerja, mediator kimia (asam laktat dan piruvat), kontraksi
lokal miofasial, tekanan darah yang rendah (disebut dengan
ischemic muscle contraction) dan proses inflamasi bisa
menyebabkan sensitisasi pada nosiseptor nyeri. (2) Faktor sentral,
peningkatan sensitisasi miofasial pada TTH disebabkan oleh faktor
sentral yaitu sensitisasi dari neuron orde kedua di kornu dorsalis
medula spinalis atau nukleus trigemini kaudalis (TNC). Sensitisasi
supra spinal ini bersamaan dengan penurunan antinosiseptik dari
struktur supra spinal. Dari beberapa studi memperlihatkan adanya
disfungsi sistem modulasi endogen supra spinal pada chronic
tension type headache (CTTH), hal ini yang menyebabkan
terjadinya sensitisasi sentral (PERDOSSI, 2015). Timbulnya
CTTH berkaitan dengan aktivasi sistem miofasial perifer
(sensitisasi perifer) dan sensititasi sentral. Proses tersebut
dipengaruhi oleh neurotransmiter dan mediator inflamasi seperti
substansi-P, bradikinin, calcitonin gene-related peptide (CGRP)
serotonin dan norefineprin. Kondisi ini akan mengakibatkan
aktifnya nosiseptor perifer yang berlanjut dengan sensitisasi sentral
yang dapat berlanjut hingga nyeri bersifat kronis akibat dari impuls
nyeri yang terus-menerus dipersepsikan (Bendsten dkk., 2011).
Pada nyeri kepala juga terjadi proses inflamasi steril. Adanya
inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan
28
kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan
sitokin Interleukin-1 (lL-1), Interleukin-6 (lL-6) dan Tumor
Necrotizing Faktor α (TNF-α) dan Nerve Growth Faktor (NGF).
Mast cell melepas metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan
asam arakidonat dengan kemampuan melakukan sensitisasi di
terminal sel saraf (Buzzi dkk, 2003). Terjadinya TTH juga sering
dihubungan dengan kelainan stres psikopatologi, seperti stres,
ansietas dan depresi. Stres mengaktifkan nuclear faktor k-light-
chain (NFkB) yang menyebabkan teraktivasinya inducible nitric
oxide synthase (iNOS) dan cyclooxygenase-2 (COX-2). Seperti
diketahui iNOS dan COX-2 berperan dalam proses terjadinya
nyeri. Pada keadaan normal, stres mengaktivasi sistem
glucocorticoid adrenal axis, yang diketahui meningkatkan eksitasi
glutaminergik di central nervus system (CNS). Meningkatnya
glutamat ini mengaktifkan reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) dan melalui jalur second-messenger, kemudian
mengaktifkan NFkB, meningkatkan iNOS dan memproduksi
NitricOxide (NO), yang menyebabkan vasodilatasi dan perubahan
oksidatif. Hal ini dapat menyebabkan nyeri kepala yang
disebabkan dilatasi pembuluh darah intrakranial, duramater, dan
struktur lainnya, dan jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan
TTH dan berpotensi menyebabkan nyeri pada otot perikranium
dengan cara sensitisasi perifer dan sentral (Chen, 2009).
29
2.3.2.6 Manifestasi Klinis Tension-type Headache
TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul yang
menetap atau konstan, dengan intensitas bervariasi, juga
melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini terkadang dideskripsikan
sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala dengan
intensitas ringan–sedang (nonprohibitive) dan kepala terasa
kencang. Kualitas nyerinya khas, yaitu : menekan (pressing),
mengikat (tightening), tidmeak berdenyut (nonpulsating). Rasa
menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di kedua sisi kepala
(bilateral), juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku.
Dapat disertai anorexia, tanpa mual dan muntah. Dapat disertai
photophobia (sensasi nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar
cahaya) atau phonophobia (sensasi tak nyaman karena rangsang
suara). TTH terjadi dalam waktu relatif singkat, dengan durasi
berubah-ubah (TTH episodik) atau terus-menerus (TTH kronis).
Disebut TTH episodik bila nyeri kepala berlangsung selama 30
menit hingga 7 hari, minimal 10 kali, dan kurang dari 180 kali
dalam setahun. Disebut TTH kronis bila nyeri kepala 15 hari dalam
sebulan (atau 180 hari dalam satu tahun), selama 6 bulan.
30
Penderita TTH kronis sangat sensitif terhadap rangsang.
Berdasarkan analisis multivariat karakteristik klinis, kriteria
diagnostik TTH yang memiliki nilai sensitivitas tinggi adalah tidak
disertai muntah (99 %), tidak disertai mual (96 %), lokasi bilateral
(95 %), tidak disertai fotofobia (94 %). Sedangkan yang memiliki
nilai spesifisitas tinggi adalah intensitas ringan (93 %), kualitas
menekan atau mengikat (86 %), tidak disertai fonofobia (63 %),
kualitas tidak berdenyut (57 %) (Ravishankar K., dkk, 2011).
31
Pada TTH juga dijumpai variasi TrPs, yaitu titik pencetus nyeri
otot (muscle trigger points). Baik TrPs aktif maupun laten dijumpai
di otot-otot leher dan bahu penderita TTH. TrPs berlokasi di otot-
otot splenius capitis, splenius cervicis, semispinalis cervicis,
semispinalis capitis, levator scapulae, upper trapezius, atau
suboccipital. TrPs di otot-otot superior oblique, upper trapezius,
temporalis, sub occipital, dan sternocleidomastoid secara klinis
relevan untuk diagnosis TTH episodic dan kronis (Anugoro, 2014).
32
No Medikamentosa Dosis Level
1 Paracetamol / asetaminofen 500 - 1000 mg
2 Aspirin 500 - 1000 mg
3 Ibuprofen 200 - 800 mg
4 Ketoprofen 25 - 50 mg
5 Naproxen 375 - 550 mg
6 Diclofenac 12,5 - 100 mg
7 Caffeine 65 - 200 mg
Table 1.1 dosis obat Tension Type Headache (Anugoro, 2014).
33
efektivitasnya. Obat ini tidak mengobati sakit kepala secara instan,
tetapi harus diminum setiap hari selama beberapa bulan sampai
sakit kepala berkurang (Waldie, Karen, 2015).
2.3.2.10 Komplikasi Tension-type Headache
TTH pada kondisi dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan
tetapi tidak membahayakan. Nyeri ini dapat sembuh dengan
perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah yang menjadi
latar belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis.
Nyeri kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia.
TTH biasanya mudah diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik,
dan dengan penatalaksanaan yang baik maka > 90 % pasien dapat
disembuhkan.
34
singkat nyeri peri orbital per hari dalam 4-8 minggu, kemudian
diikuti interval bebas nyeri rata-rata 1 tahun (Raskin, H. Neil,
2005).
Berdasarkan kriteria diagnosis yang disusun oleh International
Headache Society (IHS), nyeri kepala tipe cluster memiliki
karakteristik sebagai berikut :
a. Pasien mengeluhkan serangan nyeri kepala yang sangat hebat,
bersifat unilateral (orbital, supraorbital, atau temporal) yang
berlangsung selama 15- 180 menit, dan menyerang mulai dari
sekali hingga delapan kali per hari.
b. Serangan nyeri kepala disertai dengan satu atau lebih gejala
berikut (semuanya ipsilateral): injeksi konjungtiva, lakrimasi,
kongesti nasal, rinore, produksi keringat pada dahi dan wajah,
miosis, ptosis, atau edema palpebral.
35
Sekitar 10 sampai 20 % orang dengan cluster headache
mempunyai tipe kronik. Cluster headache kronik dapat
berkembang setelah suatu periode serangan episodik atau dapat
berkembang secara spontan tanpa di dahului oleh riwayat sakit
kepala sebelumnya. Beberapa orang mengalami fase episodik dan
kronik secara bergantian.
36
2.3.3.4 Epidemiologi Cluster Headache
Prevalensi dari nyeri kepala tipe cluster di Amerika Serikat
tidak diketahui. Kudrow memperkirakan nilai sebesar 0.4 % pada
pria dan 0.08 % pada wanita. Apabila dibandingkan dengan nyeri
kepala migrain yang klasik, nyeri kepala tipe cluster relative lebih
jarang ditemukan, dengan angka insidensi hanya sekitar 2 - 9 %
dari jumlah kasus migrain. Angka prevalensi pada pria adalah 0.4
– 1 %. Pada sebuah penelitian ekstensif yang melibatkan 100.000
penduduk San Marino, didapatkan angka prevalensi sebesar 0.07
% (Leroux, E., dkk, 2008). Nyeri kepala tipe cluster mulai
menyerang pada usia pertengahan (di atas 30 tahun) namun
demikian, terdapat laporan kasus pada pasien berusia 1 tahun dan
79 tahun. Nyeri kepala tipe ini lebih umum ditemukan pada pria
dibandingkan dengan wanita, dengan rasio 6 : 1 pada sekitar tahun
1960, namun menjadi 2 : 1 saat ini. Presentasi klinis pada wanita
dapat berbeda dengan pada pria, berdasarkan data dari United
States Cluster Headache Survey yang menunjukkan bahwa wanita
lebih cenderung mengalami nyeri kepala cluster pada usia yang
lebih muda, serta lebih cenderung mengalami insiden setelah usia
50 tahun (Blande, M, 2014). Hubungan antara faktor ras dan etnik
belum diteliti dengan baik, namun nyeri kepala ini ditemukan lebih
prevalen pada ras Afrika - Amerika, dan kurang terdiagnosis pada
wanita dengan kulit gelap (Blande, M, 2014).
37
Nervus trigeminus (N.V) adalah saraf campuran. Saraf ini
memiliki komponen yang lebih besar (porsio mayor) yang terdiri
dari serabut sensorik untuk wajah, dan komponen yang lebih kecil
(porsio minor) yang terdiri dari serabut motorik untuk otot-otot
pengunyah (mastikasi) (Brainstem, 2005). Ganglion trigeminale
(gasserian) bersifat seperti ganglia radiks dorsalis medulla spinalis
untuk persarafan sensorik wajah. Seperti ganglia radiks dorsalis,
ganglion ini mengandung sel-sel ganglion pseudounipolar, yang
prosesus sentralnya berproyeksi ke nucleus sensorik prinsipalis
nervis trigemini (untuk raba dan diskriminasi) dan ke nucleus
spinalis tigemini (untuk nyeri dan suhu). Nukleus mesensefali
nervis trigemini merupakan kasus khusus, karena sel-selnya mirip
dengan sel-sel ganglion radiks dorsalis meskipun terletak di dalam
batang otak; yaitu seakan-akan nukleus perifer telah dipindahkan
ke system saraf pusat. Prosesus perifer neuron pada nukleus ini
menerima impuls dari reseptor perifer di spindle otot yang berbeda
di dalam otot-otot pengunyah, dan dari reseptor lain yang
memberikan respons terhadap tekanan (Brainstem, 2005).
38
Ketiga nuclei yang disebutkan tadi membentang dari medulla
spinalis servikalis hingga ke mesensefalon, Ganglion trigiminale
terletak di basis kranii di atas apeks os. Petrosus, tepat di lateral
bagian posterolateral sinus kavernosus. Ganglion ini membentuk
tiga buah cabang nervus trigeminus ke area wajah yang berbeda,
yaitu nervus oftalmikus (V1), yang keluar dari tengkorak melalui
fisura orbitalis superior, nervus maksilaris (V2), yang keluar
melalui foramen rotudum; dan nervus mandibularis (V3), yang
keluar melalui foramen ovale (Brainstem, 2005).
Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) dan
morfometri berhasil mengidentifikasi area abu-abu pada bagian
posterior hipotalamus sebagai area inti dari defek pada nyeri kepala
tipe cluster (Blande, M, 2014).
39
metabolisme yang abnormal berdasarkan marker neuron N-
asetilaspartat pada pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy
(Blande, M 2014). Neuron-neuron substansia P membawa impuls
motorik dan sensorik pada divisi maksilaris dan oftalmik dari
nervus trigeminus. Nervus ini berhubungan dengan ganglion
sphenopalatina dan pleksus simpatis perivaskuler karotis (Blande,
M, 2014).
Dilatasi vaskuler mungkin memiliki peranan penting dalam
pathogenesis nyeri kepala tipe cluster, meskipun hasil penelitian
terhadap aliran darah masih menunjukkan hasil yang tidak
konsisten. Aliran darah ekstra kranial mengalami peningkatan
(hipertermi dan peningkatan aliran darah arteri temporalis), namun
hanya setelah onset nyeri (Blande, M, 2014). Sekalipun bukti-bukti
terkait peranan histamine masih inkosisten, namun nyeri kepala
tipe cluster dapat dipresipitasi dengan sejumlah kecil histamine.
Terdapat peningkatan jumlah sel mast pada kulit area yang terasa
nyeri pada beberapa pasien, namun temuan ini tidaklah konsisten
(Blande, M, 2014).
40
Nyeri pada tipe cluster digambarkan sebagai berikut:
a. Karakterisitik : nyeri sangat hebat, menyiksa, menusuk, tajam,
bola mata seperti hendak dicungkil keluar.
b. Lokasi : unilateral, pada area periorbita, retro-orbital, temporal,
umumnya tidak menjalar sekalipun kadang-kadang dapat
menjalar ke area pipi, rahang, oksipital, dan tengkuk.
c. Distribusi : nyeri pada divisi pertama dan kedua dari nervus
trigemnius; sekitar 18 – 20 % pasien mengeluhkan nyeri pada
area trigeminus.
d. Onset : tiba-tiba, memuncak dalam 10-15 menit.
e. Durasi : 5 menit hingga 3 jam per episode.
f. Frekuensi : dapat terjadi 1-8 kali sehari selama berbulan-bulan.
g. Remisi : periode panjang bebas nyeri dapat ditemukan pada
sebagian pasien; panjang remisi rata-rata 2 tahun, namun dapat
berikisar antara 2 bulan hingga 20 tahun.
Nyeri dapat disertai dengan berbagai gejala parasipatis karnial,
antara lain :
a. Lakrimasi ipsilateral (84-91%) atau injeksi konjungtiva.
b. Hidung tersumbat (48-75%) atau rinore.
c. Edema palpebral ipsilateral.
d. Miosis atau ptosis ipsilateral.
e. Perspirasi pada dahi dan wajah sisi ipsilateral (26%)
(Matharu, M, 2009)
Produk alkohol dan tembakau dapat mempresipitasi serangan.
Pemicu lain dapat berupa cuaca panas, menonton televisi,
nitrogliserin, stress, relaksasi, rhinitis alergi, dan aktifitas seksual.
Selama periode serangan nyeri kepala tipe cluster, sebanyak 90 %
dari pasien menjadi gelisah dan tidak dapat beristirahat. Mereka
tidak dapat berbaring untuk istirahat; sebaliknya, pasien memilih
untuk berjalan dan bergerak kesana kemari. Pasien dapat merasa
putus asa dan membenturkan kepalanya pada permukaan yang
41
keras, menjerit kesakitan, serta berguling-guling (Ashkenazi, A,
2013).
a. Nyeri hebat atau sangat hebat unilateral pada area orbital, dan
atau temporal yang berlangsung 15 – 180 menit apabila tidak
ditangani.
b. Nyeri kepala disertai dengan setidaknya satu dari tanda
berikut:
Kriteria diagnosis untuk nyeri kepala tipe cluster tipe episodik dan
kronis berdasarkan International Headache Society :
42
lebih lama. Kriteria diagnosis : Setidaknya terdapat dua
periode cluster yang berlangsung selama 7 - 365 hari dan
diantarai dengan periode remisi selama lebih dari 1 bulan.
b. Tipe Kronik : Serangan berlangsung selama lebih dari 1 tahun
tanpa adanya periode remisi, atau dengan periode remisi
kurang dari 1 bulan. Kriteria diagnosis : Serangan berlangsung
selama lebih dari 1 tahun tanpa adanya periode remisi, atau
dengan periode remisi kurang dari 1 bulan.
43
Hydroxytryptamine-1 (5-HT1) menyebabkan efek vasokonstriksi
langsung dan dapat menghilangkan serangan.
Jenis agen triptan yang paling banyak diteliti sebagai terapi
nyeri kepala tipe cluster adalah sumatriptan. Injeksi per
subkutaneus dapat efektif menghilangkan nyeri oleh karena onset
kerja yang cepat. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
pemberian intranasal lebih efektif dibandingkan placebo, namun
tidak seefektif injeksi. Tidak terdapat bukti bahwa pemberian per
oral efektif. Dosis umumnya sebesar 6 mg per subkutaneus, yang
dapat diulangi pemberiaannya dalam 24 jam. Semprot nasal
(20mg) juga dapat digunakan. Jenis triptan lain yang dapat
digunakan untuk terapi nyeri kepala tipe cluster antara lain:
zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan, almotriptan, frovatriptan, dan
eletriptan. Beberapa peneliti telah mulai mempelajari
kemungkinan digunakannya triptan sebagai agen profilaksis nyeri
kepala tipe cluster.
Dihydroergotamine dapat menjadi agen abortif yang efektif.
Obat ini biasanya diberikan secara intravena atau intramuskuler;
juga dapat diberikan secara intranasal (0.5 mg bilateral).
Dihydroergotamine lebih jarang menimbulkan vasokonstriksi
arterial dibandingkan dengan ergotamine tartrate, dan lebih efektif
jika diberikan sedini mungkin. Opiat parenteral dapat digunakan
jika nyeri belum mereda. Karakteristik nyeri kepala tipe cluster
yang tidak dapat diprediksi menyebabkan tidak efektifnya
penggunaan agen narkosis atau analgetik oral. Terdapat resiko
penyalahgunaan obat. Cyanide dan capsaicin intranasal
menunjukkan hasil yang baik pada pengujian klinis. Penggunaan
capsaicin pada mukosa nasal menimbulkan penurunan angka
kejadian dan keparahan nyeri kepala tipe cluster yang signifikan.
Pemberian tetes lidokain secara intranasal (1mL larutan 10% yang
di oleskan pada masing-masing nostril selama 5 menit) dapat
44
membantu meredakan nyeri; namun demikian merupakan teknik
yang sulit (Ashkenazi, A, 2013).
Agen Profilaksis
Penyekat saluran, kalsium merupakan agen yang paling efektif
untuk profilaksis nyeri kepala tipe cluster. Pemberiannya dapat
dikombinasikan dengan ergotamine atau litium. Verapamil
merupakan penyekat saluran kalsium yang paling baik, sekalipun
jenis lainnya seperti nimodipine dan diltiazem juga telah
dilaporkan efektif.
Litium juga dipertimbangkan sebagai salah satu pilihan oleh
karena sifat siklik dari nyeri kepala tipe cluster yang serupa pada
gangguan bipolar. Litium secara efektif mencegah terjadinya nyeri
kepala tipe cluster. Litium masih direkomendasikan sebagai agen
lini pertama untuk terapi nyeri kepala tipe cluster. Terdapat
kecenderungan terjadinya efek samping didalam minggu pertama
penggunaan.
Methysergide, sangat efektif untuk profilaksis nyeri kepala tipe
cluster tipe episodik dan kronis. Agen ini dapat mengurangi
frekuensi nyeri, khususnya pada pasien-pasien berusia muda
dengan tipe episodik. Agen ini tidak boleh diberikan secara
kontinyu lebih dari 6 bulan. Beberapa penelitian kecil
menunjukkan bahwa antikonvulsan (misalnya topiramate dan
divalproex) dapat efektif sebagai agen profilaksis nyeri kepala tipe
cluster, sekalipun mekanisme kerjanya belum jelas.
Kortikosteroid sangat efektif dalam menghentikan siklus nyeri
kepala tipe cluster dan mencegah rekurensi nyeri. Prednison dosis
tinggi diberikan untuk beberapa hari pertama, diikuti dengan
penurunan dosis secara gradual. Mekanisme kerjanya masih belum
jelas. Anti depresan tricyclic lebih berguna sebagai profilaksis jenis
nyeri kepala yang lain (Ashkenazi, A, 2013).
45
2.3.3.9 Pencegahan Cluster Headache
(Hidayati, 2016)
46
2.4 Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang dikarenakan penyakit
lain sehingga terdapat peningkatan tekanan intrakranial atau nyeri kepala yang
jelas terdapat kelainan anatomi maupun struktur.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profsi (TPP) Blok IX dengan judul “Evaluasi Kasus Nyeri
Kepala Primer di Masyarakat” di laksanakan di masyarakat.
48
BAB IV
4.1 Hasil
1. Responden 1
Nama : Nn. SI
Alamat : Plaju
No Pertanyaan Jawaban
49
Leher terasa
kaku
Nyeri kepala
berlangsung 30 (30
menit hingga 7 menit)
hari (TTH
episodik)
Nyeri kepala 15
hari dalam
sebulan (atau
180 hari dalam
satu tahun),
selama 6 bulan.
(TTH kronik)
Phonophobia
(sensasi tak
nyaman karena
ragsang suara)
Photophobia
(sensasi tidak
nyaman di mata
saat terpapar
cahaya)
Anorexia
(gangguan pola
makan)
Kadang merasa
mual dan kadang
- kadang muntah
50
Lesu
Susah tidur
Perut kembung
Berdebar-debar
Sulit
berkonsentrasi
Faktor risiko :
Kecemasan, (stress,
depresi, stress, kelelahan)
kelelahan.
51
2. Responden 2
Nama : Nn. SA
Umur/Jenis Kelamin : 19 tahun / Perempuan
Alamat : Jl. Jepang
No Pertanyaan Jawaban
52
30 menit
hingga 7 hari
(TTH
episodik)
Nyeri kepala
15 hari dalam
sebulan (atau
180 hari dalam
satu tahun),
selama 6
bulan. (TTH
kronik)
Phonophobia
(sensasi tak
nyaman karena
ragsang suara)
Photophobia
(sensasi tidak
nyaman di
mata saat
terpapar
cahaya)
Anorexia
(gangguan
pola makan)
Kadang
merasa mual
dan kadang -
53
kadang
muntah
Lesu
Susah tidur
Perut kembung
Berdebar-
debar
Sulit
berkonsentrasi
Faktor risiko :
Kecemasan, (stress,
depresi, stress, kelelahan)
kelelahan.
5. Apa saja obat-obatan yang Jika nyeri kepala ringan (nyeri kepala
telah Anda konsumsi? masih bisa ditahan) responden
mengonsumsi obat warung seperti
bodrex atau paramex
54
Jika nyeri kepala berat (tidak bisa
ditahan), responden berobat ke dokter
dan diberi obat berupa diclofenac 3x1
3. Responden 3
Nama : Nn. RA
Umur/Jenis Kelamin : 24 tahun / Perempuan
Alamat : Mariana
No Pertanyaan Jawaban
55
Gejala aura :
1. Gangguan visual
: Gejala visual
positif berupa
pola terang atau
kompleks,
seperti skotoma
zigzag yang
gemilang, atau
berupa bintik-
bintik dan
seperti cahaya
senter. Gejala
visual negatif
berupa
gangguan
lapang pandang,
skotoma
kosong, atau
kabur.
2. Gangguan
sensorik : terasa
kesemutan,
hipersensitivitas,
parestesia
3. Gangguan
motorik : lemah
tangan dan kaki
Lamanya gejala aura (5-
60 menit)
56
Mual dan muntah
Phonophobia (sensasi
tak nyaman karena
ragsang suara)
Photophobia (sensasi
tidak nyaman di mata
saat terpapar cahaya)
57
5. Apa saja obat- Diclofenac 3x1 (50 mg)
obatan yang telah Metoclopramid 2x1
Anda konsumsi?
6. Apa saja -
pemeriksaan
penunjang yang
telah diberikan
kepada Anda?
4. Responden 4
Nama : Ny. N
Umur/Jenis Kelamin : 47 tahun / Perempuan
Alamat : Mariana
No Pertanyaan Jawaban
58
Gejala aura :
1. Gangguan visual
: Gejala visual
positif berupa
pola terang atau
kompleks,
seperti skotoma
zigzag yang
gemilang, atau
berupa bintik-
bintik dan
seperti cahaya
senter. Gejala
visual negatif
berupa gangguan
lapang pandang,
skotoma kosong,
atau kabur.
2. Gangguan
sensorik : terasa
kesemutan,
hipersensitivitas,
parestesia
3. Gangguan
motorik : lemah
tangan dan kaki
Lamanya gejala aura (5-
60 menit)
Mual dan muntah
59
(tidak
muntah)
Phonophobia (sensasi
tak nyaman karena
ragsang suara)
Photophobia (sensasi
tidak nyaman di mata
saat terpapar cahaya)
60
4. Apa saja Berobat ke dokter
pengobatan yang
sudah dilakukan?
6. Apa saja -
pemeriksaan
penunjang yang
telah diberikan
kepada Anda?
61
4.2 Pembahasan
Berdasarkan pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi pada masyarakat di
Palembang, kami mendapatkan 4 responden. 2 responden menderita nyeri
kepala tegang (Tension-type headache) dan 2 responden menderita migrain.
Kami menanyakan riwayat masing-masing responden untuk mengetahui
gejala, faktor risiko, riwayat keluarga, penatalaksanaan dan pemeriksaan
penunjang yang pernah dialami oleh masing-masing responden.
Pada responden pertama yaitu Nn. SI, perempuan berusia 19 tahun sudah
didiagnosis menderita nyeri kepala tegang (Tension-type Headache) sejak
menduduki bangku kelas 2 SMA yaitu sejak umur 17 tahun. Gejala yang
dirasakan berupa nyeri di kedua sisi kepala yang menetap seperti menekan,
mengikat, dan tidak berdenyut. Nyeri yang dirasakan sampai ke leher namun
leher tidak terasa kaku, adanya rasa menekan pada leher, pelipis dan dahi,
kepala terasa kencang. Hal ini sesuai dengan teori menurut Ravirshankar K,
dkk (2011) dimana manifestasi klinisnya TTH dirasakan di kedua sisi kepala
sebagai nyeri tumpul yang menetap atau konstan, dengan intensitas bervariasi,
juga melibatkan nyeri leher. Nyeri kepala ini terkadang dideskripsikan sebagai
ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri kepala dengan intensitas ringan–sedang
(nonprohibitive) dan kepala terasa kencang. Kualitas nyerinya khas, yaitu :
menekan (pressing), mengikat (tightening), tidak berdenyut (nonpulsating).
Rasa menekan, tidak enak, atau berat dirasakan di kedua sisi kepala (bilateral),
juga di leher, pelipis, dahi. Leher dapat terasa kaku, tetapi pada responden Nn.
SI tidak didapatkan leher terasa kaku.
62
anorexia, tanpa mual dan muntah. Dapat disertai photophobia (sensasi
nyeri/tidak nyaman di mata saat terpapar cahaya) atau phonophobia (sensasi
tak nyaman karena rangsang suara). Tetapi pada responden Nn. SI tidak
ditemukan adanya anorexia.
63
nyeri di kedua sisi kepala yang menetap seperti menekan, mengikat dan tidak
berdenyut. Nyeri yang dirasakan sampai ke leher, kepala terasa kencang, leher
terasa kaku, dan adanya rasa menekan pada leher, pelipis, dan dahi. Hal ini
sesuai dengan teori menurut Ravirshankar K, dkk (2011) dimana manifestasi
klinis TTH dirasakan di kedua sisi kepala sebagai nyeri tumpul yang menetap
atau konstan, dengan intensitas bervariasi, juga melibatkan nyeri leher. Nyeri
kepala ini terkadang dideskripsikan sebagai ikatan kuat di sekitar kepala. Nyeri
kepala dengan intensitas ringan–sedang (nonprohibitive) dan kepala terasa
kencang. Kualitas nyerinya khas, yaitu : menekan (pressing), mengikat
(tightening), tidak berdenyut (nonpulsating). Rasa menekan, tidak enak, atau
berat dirasakan di kedua sisi kepala (bilateral), juga di leher, pelipis, dahi.
Leher dapat terasa kaku.
64
telah dilakukan responden SA, saat nyeri kepala ringan dengan VAS 2 (nyeri
kepala masih bisa ditahan) Nn. SA mengonsumsi bodrex atau paramex dan
langsung beristirahat atau tidur. Komposisi bodrex adalah paracetamol 600 mg
dan caffeine 50 mg. Paracetamol yang dikenal juga dengan nama
acetaminophen adalah obat yang digunakan sebagai analgetic (pereda nyeri)
dan antipiretik (penurun demam) yang bisa diperoleh tanpa resep dokter.
Meskipun paracetamol memiliki efek anti inflamasi, obat ini tidak dimasukkan
sebagai obat NSAID, karena efek anti inflamasinya dianggap tidak signifikan.
Cara kerja paracetamol yang diketahui sekarang adalah dengan cara
menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX). Enzim ini berperan pada
pembentukan prostaglandin yaitu senyawa penyebab nyeri. Dengan
dihambatnya kerja enzim COX, maka jumlah prostaglandin pada sistem saraf
pusat menjadi berkurang sehingga respon tubuh terhadap nyeri berkurang.
Paracetamol menurunkan suhu tubuh dengan cara menurunkan hipotalamus
set-point di pusat pengendali suhu tubuh di otak (Wilmana, P. Freddy dan
Sulistia Gan, 2016). Caffeine adalah obat stimulan sistem saraf pusat kelas
methylxanthine. Caffeine berguna untuk mencegah rasa kantuk dengan cara
menghambat aksi adenosine secara reversible (Weinberg, B.A dan Bealer, B.K,
2001). Komposisi paramex adalah Paracetamol 250 mg, Propyphenazone 150
mg, Caffeine 50 mg, dan Dexchlorpheniramine Maleate 1 mg. Cara kerja
paracetamol yang diketahui sekarang adalah dengan cara menghambat kerja
enzim cyclooxygenase (COX). Enzim ini berperan pada pembentukan
prostaglandin yaitu senyawa penyebab nyeri. Dengan dihambatnya kerja enzim
COX, maka jumlah prostaglandin pada sistem saraf pusat menjadi berkurang
sehingga respon tubuh terhadap nyeri berkurang. Paracetamol menurunkan
suhu tubuh dengan cara menurunkan hipotalamus set-point di pusat pengendali
suhu tubuh di otak (Wilmana, P. Freddy dan Sulistia Gan, 2016).
Propyphenazone adalah obat dari golongan analgesic non-opoid yang bekerja
mirip dengan paracetamol yaitu sebagai analgesic (anti nyeri) dan anti piretik.
Caffeine adalah obat stimulan sistem saraf pusat kelas methylxanthine. Caffeine
berguna untuk mencegah rasa kantuk dengan cara menghambat aksi adenosine
65
secara reversible (Weinberg, B.A dan Bealer, B.K, 2001).
Dexchlorpheniramine Maleate adalah senyawa anti histamin yang mampu
berkompetisi dengan histamin alami tubuh sehingga reaksi alergi dapat ditekan
(Fajar, Kena, 2002).
66
transmisi nyeri menyebar ke sentral menuju otak (medulla otak) menyebabkan
mual dan muntah (A, Sylvia, 2015).
Hal yang responden rasakan setelah serangan nyeri kepala migrain ini
adalah mudah marah dan terjadinya perubahaan mood. Hal ini sesuai dengan
teori menurut Aminoff MJ, et al (2015) yaitu pasien mungkin merasa lelah,
irritable, konsentrasi menurun, dan terjadi perubahan mood. Untuk riwayat
keluarga, ibu responden RA juga mengalami nyeri kepala yang sama yaitu
migrain.
67
ini merupakan jenis obat yang diperoleh harus dengan resep dokter. Obat jenis
ini tidak dapat dikonsumsi sembarangan karena bisa berbahaya, memperparah
penyakit, meracuni tubuh, atau bahkan menyebabkan kematian. Mekanisme
kerja metoklopramid pada saluran cerna bagian atas mirip dengan obat
kolinergik, tetapi metoklopramid tidak dapat menstimulasi sekresi dari
lambung, empedu, atau pankreas dan tidak dapat mempengaruhi konsentrasi
gastrin serum. Efek dari metoklopramid pada motilitas usus tidak tergantung
pada persyarafan nervus vagus. Tetapi dihambat oleh obat-obat kolinergik.
Metoklopramid mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone medulla yaitu
dengan menghambat reseptor dopamin padat CTZ. Mekanisme kerja dengan
cara meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas saraf
visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal ke pusat
muntah pada formatio reticularis lateralis (Tjay, T.H., Rahardja K, 2009).
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh responden RA, hanya
dilakukan anamnesis saja.
68
Faktor risikonya adalah ketika responden N sedang merasa stress, dan juga
ketika melakukan aktivitas berlebih. Hal ini sesuai dengan teori menurut
Dewanto (2009) tentang faktor pencetus migrain yaitu stress berkontribusi
sebanyak 79,7 % sebagai pencetus migrain. Terlalu letih, sibuk, kurang tidur,
emosi berlebih, atau ketegangan dapat memicu kelenjar adrenal untuk
melepaskan hormon noradrenalin, dan juga pemicu migrain yang berkaitan
dengan aktivitas fisik diantaranya aktivitas fisik yang berlebih.
69
yang diperoleh harus dengan resep dokter. Obat jenis ini tidak dapat
dikonsumsi sembarangan karena bisa berbahaya, memperparah penyakit,
meracuni tubuh, atau bahkan menyebabkan kematian. Mekanisme kerja
metoklopramid pada saluran cerna bagian atas mirip dengan obat kolinergik,
tetapi metoklopramid tidak dapat menstimulasi sekresi dari lambung, empedu,
atau pankreas dan tidak dapat mempengaruhi konsentrasi gastrin serum. Efek
dari metoklopramid pada motilitas usus tidak tergantung pada persyarafan
nervus vagus. Tetapi dihambat oleh obat-obat kolinergik. Metoklopramid
mempengaruhi Chemoreceptor Trigger Zone medulla yaitu dengan
menghambat reseptor dopamin padat CTZ. Mekanisme kerja dengan cara
meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas saraf
visceral yang membawa impuls saraf aferen dari gastrointestinal ke pusat
muntah pada formatio reticularis lateralis (Tjay, T.H., Rahardja K, 2009).
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan responden N, hanya
dilakukan anamnesis saja.
70
BAB V
5.1 Kesimpulan
Kasus nyeri kepala primer yang banyak terjadi di masyarakat adalah migrain
dan tension type-headache.
Tension type headache dari kedua responden kami banyak dipicu oleh faktor
risiko berupa stress dan kelelahan. Gejalanya berupa nyeri di kedua sisi kepala
yang menetap seperti menekan, mengikat, tidak berdenyut, nyeri sampai ke
leher, leher terasa kaku, adanya rasa menekan pada leher, pelipis dan dahi. Dari
kedua responden kami semuanya mengalami TTH episodic dimana pada Nn.
SI nyeri kepala dirasakan sekitar 30 menit dan pada Nn. SA nyeri kepala
dirasakan sekitar 1 jam. Kedua responden mengalami fonofobia dan fotofobia.
Nn. SI tidak mengalami anorexia sedangkan Nn. SA mengalami anorexia.
Tidak ada yang mengalami mual dan muntah, perut kembung, berdebar-debar.
Namun, Nn. SA mengalami sulit berkonsentrasi sedangkan Nn. SI tidak. Dari
kedua responden kami tidak ada didalam keluarganya yang mengalami keluhan
yang sama. Kedua responden telah berobat ke dokter dan diberikan obat berupa
diclofenac yang dikonsumsi 3x sehari. Kedua responden tidak ada yang
menjalani pemeriksaan penunjang, hanya anamnesis saja.
Migrain dari kedua responden kami banyak dipicu oleh faktor risiko berupa
stress dan aktivitas fisik berlebih. Gejalanya berupa nyeri kepala unilateral,
berdenyut. Kedua responden merasakan nyeri kepala sekitar 24 jam. Nn. RA
mengalami mual dan muntah, sedangkan Ny. N mengalami mual saja. Kedua
responden tidak ada yang mengalami fonofobia atau fotofobia. Setelah
serangan nyeri kepala migrain baik Nn. RA maupun Ny. N merasakan lelah,
mudah marah, dan terjadi perubahan mood. Ny. N dan Nn. RA merupakan ibu-
anak yang sama-sama menderita migrain. Kedua responden telah berobat ke
dokter dan diberikan obat berupa, pada Nn. RA diclofenac yang dikonsumsi 3x
sehari, untuk mual dan muntah diberikan obat metoclopramide 2x sehari.
71
Sedangkan Ny. N diberikan obat asam mefenamat yang dikonsumsi 3x sehari.
Untuk mual diberikan obat metoclopramid. Keduanya tidak menjalani
pemeriksaan penunjang, hanya anamnesis saja.
5.2 Saran
Diharapkan dalam pelaksanaan Tugas Pengenalan Profesi berikutnya,
sebelum melakukan observasi mahasiswa terlebih dahulu mencari responden,
memeriksa lokasi, menetapkan tanggal dan waktu yang tepat sehingga tidak
terjadi kendala saat melakukan observasi.
72
DAFTAR PUSTAKA
Ashina S, Bendtsen L, Lynberg AC, Lipton RRB, Hajiyeva N, Jensen RH. 2013.
Association of lower level of leissure-related physical activity with primary
headaches. The journal of headache and pain. Diakses dari
http://europepmc.org/articles/pmc3444224 pada Oktober 2019.
A, Sylvia., M, Lorraine. 2015. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2 Konsep Klinik Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Aulina, S. 2016. Nyeri Kepala. Makassar : Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Baehr, M., Frotscher, M., 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi 4. Jakarta: EGC.
73
Brainstem. 2005. Topical Diagnosis in Neurology 4th Edition. In: Baehr M,
Frotscher M, editors. Stutgard : Thieme.
Gorelick, PB., Testai FD, Hankey GJ, Wardlaw JM. 2014. Hankey’s Clinical
Neurology 2nd Edition. Florida: CRC Press.
Hartwig, M., Wilson. 2015. Nyeri. Dalam : Patofisioligi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
74
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26324056 pada Oktober
2019.
Kelley NE, Tepper DE. 2012. Rescue Therapy for Acute Migraine. Headache.
52(1): 114-128. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22211870
pada Oktober 2019.
Lipton, Richard B. and Bigal, Marcelo E. 2006. Migraine and Other Headache
Disorders. London: Taylor & Francis Group.
MacGregor E. A., Jason D. R., Tobias Kurth. 2011. Sex-Related Differences in
Epidemiological and Clinic-Based Headache Studies. Am Head Soc, 51:843-
859. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21631472 pada
Oktober 2019.
Martelletti, P., Steiner TJ., Bertolote JM, Dua T, Saraceno B. 2007. The definitive
position of headache among the major public health challenges. An end to the
slippery slope of disregard. J Headache Pain. 8(3):149–151. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780664/ pada Oktober
2019.
75
Matharu M. 2009. Cluster Headache. BMJ Clin Evid 2009:1212. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907610/ pada Oktober
2019.
Misbasch, Jusuf. 2006. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi : Nyeri Kepala Klaster. Jakarta : Perdossi.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2013. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
Ravishankar, K., dkk. 2011. Guidelines on the diagnosis and the current
management of headache and related disorders. Ann Indian Acad Neurol.
Ropper, A.H., Adam R.D., Victor M. 2005. Principles of Neurology 8th Edition.
New York : McGraw Hill.
Sjahrir, Hasan. 2004. Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala. Medan : USU
Press.
Tjay, T. H., Rahardja K. 2009. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Sampingnya Edisi 6. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
76
dari file:///C:/Users/USER/Downloads/Documents/tensiontype-headache-a-
lifecourse-review.pdf pada Oktober 2019.
Wilmana, P Freddy., Sulistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta
: FK UI.
77
LAMPIRAN
78
79