PENDAHULUAN
1
2 sampai 5 episode rinosinusitis akut per tahun sekitar 0,5-2% terjadi komplikasi
karena infeksi bakteri. (Fokken et al, 2012) Ujien et al (2011) melaporkan rata-rata
insidensi rinosinusitis akut selama tahun 2002-2008 adalah 18 kasus per 1000 anak
usia 12-17 tahun. Orskarson (2010) juga melaporkan insidensi rinosinusitis akut
adalah 3,4 dari 100 kasus per tahun atau 1 dari 29 pasien mengunjungi dokter umum
karena rinosinusitis akut. Menurut Bhattacharyya (2011) prevalensi rinosinusitis
akut rekuren pada tahun 2003-2008 adalah 0,035%. Guidelines di Amerika Serikat
infeksi saluran nafas atas adalah 3 alasan paling umum seseorang pasien ke dokter
umum salah satu diantaranya karena rinosinusitis akut. Di Amerika dilaporkan 1
dari 7 orang dewasa terkena rinosinusitis akut (Meltzer dan Hamilos, 2011). Di
Indonesia, angka kejadian rinosinusitis akut masih belum pasti. Data yang terdapat
di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, menyebutkan bahwa pada
tahun 2009 penyakit infeksi saluran nafas atas menduduki peringkat pertama dalam
10 besar data penyakit pada pasien rawat jalan. (Rosita dan Soepardi, 2010) Data
di subbagian Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin
pada tahun 2010 angka kejadian rinosinusitis sebesar 44% dan pada tahun 2012
didapatkan angka kunjungan pasien dengan rinosinusitis akut sebesar 17,89%.
(Burhanuddin, 2011)
Rinosinusitis akut merupakan penyakit multifaktorial. Faktor etiologi yang
paling berperan yaitu infeksi virus yang terkait dengan infeksi saluran pernafasan
atas. Rinosinusitis akut terdiri dari acute viral rhinosinusitis (AVRS), post viral dan
acute bacterial rhinosinusitis (ABRS). ABRS biasanya didahului AVRS dan post
viral. Infeksi virus pada hidung dan sinus paranasal menginduksi berbagai macam
perubahan termasuk post viral, yang meningkatkan resiko superinfeksi bakteri.
Perubahan ini termasuk kerusakan epitel dan sistem pertahanan mekanik, humoral
dan seluler (Fokkens et al, 2012; Shi et al, 2015). Inflamasi yang berlebihan pada
hidung dan sinus paranasal akan memicu aktivitas Nuclear factor kappa Beta (NF-
kB). Overproduksi sitokin dan mediator inflamasi dapat menginduksi apoptosis dan
nekrosis jaringan. (Hyun et al, 2015; Hyung and Chang, 2018)
Penelitian ini mengukur kadar MDA (Malondialdehid) pada tikus putih
dimana sebelumnya telah dilakukan induksi dengan inokuasi bakteri gram (-)
berupa Escherichia Coli intranasal sehingga terjadi proses inflamasi model
2
rinosinusitis akut. E. coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek bersifat
motil, uniform, tidak tahan asam, tidak membentuk spora dan mempunyai flagella.
E. coli merupakan flora normal yang ditemukan dalam usus besar manusia. Bakteri
ini bersifat patogen apabila berada diluar usus. E. coli memiliki sistem membran
ganda di mana membran plasmanya diselimuti oleh membran luar permeabel. Sifat
patogen dari E. coli berkaitan dengan komponen pada dinding sel, terutama lapisan
lipopolisakarida (dikenal juga dengan LPS atau endotoksin). Lipopolisakarida
adalah kompleks lipid dan polisakarida yang merupakan komponen mayor dinding
sel bakteri gram negatif. LPS merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang
penting. Respons terhadap paparan LPS menyebabkan meningkatnya produksi
mediator proinflamasi seperti TNF-α, NF-кB, IL-6, IL-8 sebagai media pertahanan
tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan negatif. (Shuibin et
al, 2017; Oberholzer A et al, 2001)
Malondelhyde (MDA) merupakan produk akhir peroksidasi lipid dan sebagai
biomarker peroksidasi lipid untuk menilai stress oksidatif. MDA dapat digunakan
sebagai indeks pengukuran aktivitas radikal bebas pada tubuh. Tingginya kadar
MDA pada tubuh disebabkan oleh meningkatnya aktivitas radikal bebas dalam
tubuh. Radikal bebas memiliki waktu paruh yang pendek sehingga sulit diukur.
Kerusakan jaringan lipid akibat ROS dapat diukur dengan MDA. Produksi ROS
dapat dinilai dengan berbagai cara salah satunya adanya Tes thiobarbituric acid-
reaktive substancei (TBARS).
Sehingga dengan adanya proses inflamasi dapat mempengaruhi peningkatan
kadar MDA. Memprediksi waktu optimal peningkatan kadar MDA pasca terjadi
inflamasi perlu dilakukan. Penelitian mengenai perbedaan kadar MDA terhadap
lama induksi dengan E. coli terhadap tikus putih model rhinosinusitis akut sulit
dijumpai. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin meneliti perbedaan kadar
MDA terhadap lama induksi pada tikus putih model rhinosinusitis akut.
B. Rumusan masalah
Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kadar
malondialdehid pasca induksi Escherichia coli pada tikus putih model
rhinosinusitis akut.
3
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum penelitian
Mengetahui lama induksi E. coli terhadap peningkatan kadar MDA
2. Tujuan khusus penelitian
Mengetahui waktu optimal terhadap kadar MDA pada tikus putih setelah
dilakukan induksi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis.
Memberikan bukti ilmiah waktu optimal yang diperlukan untuk meningkatnya
kadar MDA pada tikus putih setelah diinduksi dengan E. coli
2. Manfaat Terapan
2.1 Mengetahui waktu optimal pasca induksi E. coli dengan peningkatan kadar
MDA
2.2 Sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mencari waktu yang terbaik meningkatnya
kadar MDA pada tikus putih yang telah diinduksi dengan E. Coli model
rhinosinusitis akut, dimana belum pernah dilakukan dibagian Telinga Hidung
dan Tenggorok Kepala Leher Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelusuran dengan menggunakan kata kunci Escherichia Coli -
Malondelhyde, belum dapat ditemukan. Penelitian lain yang terkait dengan
penelitian ini adalah:
Tabel 1. Penelitian lain yang terkait dengan judul penelitian ini adalah :
4
pada Serum diperoleh dari meningkatkan derajat
Tikus Model inokuasi intra inflamasi secara
Sepsis peritoneum dengan bermakna (p=0,001).
menggunakan LPS Pemberian propolis
dari Eschericia coli. dosis 200
Variabel yang diukur mg/kgBB/hari
yaitu derajad menurunkan derajat
inflamasi dan kadar inflamasi secara
MDA serum. bermakna (p=0,002).
Penurunan derajat
inflamasi intestinal
ternyata tidak berbeda
bermakna (p=0,238)
antara pemberian
propolis bila
dibandingkan dengan
pemberian antibiotik
(cefepime dosis 80
mg/kgBB/hari).
Pemberian antibiotik
yang dikombinasikan
dengan propolis
menurunkan derajat
inflamasi secara
bermakna (p=0,024)
dibandingkan dengan
antibiotik saja. Induksi
cecal inoculum dapat
meningkatkan
kadar MDA serum
secara bermakna
(p=0,010), propolis
dosis 200
mg/kgBB/hari
menurunkan kadar
MDA serum secara
bermakna.
5
An Experimental 3x/mggu selama 3 P<0.01 pada
Study bln. kelompok 10 µg dan
P<0.05 pada
kelompok 5 µg
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rinosinusitis akut
1. Definisi Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung
dan sinus paranasal yang terjadi dengan onset tiba-tiba, ditandai dengan adanya dua
gejala atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior/ posterior) disertai nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
dan atau penurunan/ hilangnya penghidu, yang berlangsung selama kurang dari dua
belas minggu. (Fokkens et al, 2012)
Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck
Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis.
Sinus paranasal terdiri dari sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, dan
sinus sphenoidalis. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis
merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. (Kathrin
and Martin, 2016) The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Sugery (AAOHNS) membagi beberapa tipe rinosinusitis berdasarkan gejala, akut
bila onset terjadi dalam 4 minggu, sub akut onset terjadi antara 4 minggu dan tidak
lebih dari 12 minggu, rekuren akut onset terjadinya 4 atau lebih episode pertahun
dengan pengobatan komplit antara episode dalam waktu tidak lebih 7 hari dan
kronik bila onset terjadi 12 minggu atau lebih. (Aring and Chan, 2016)
Bentuk paling sering rinosinusitis akut adalah rinosinusitis viral akut atau
acute viral rhinosinusitis (AVRS) sekitar 20-30% kasus. Gejala-gejalanya dapat
sembuh sempurna dengan terapi medis pada hampir 90% kasus. Rhinosinusitis viral
akut atau Common cold yaitu jika lamanya gejala kurang dari 10 hari, sedangkan
rinosinusitis post-viral akut yaitu jika terjadi perburukan gejala setelah 5 hari atau
gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit kurang dari 12 minggu. (Fokkens
et al, 2012) Rinosinusitis bakterial akut dapat didefinisikan sebagai rinosinusitis
akut yang disebabkan atau diduga disebabkan oleh infeksi bakteri. Rhinosinusitis
7
bakterial akut yaitu bila terdapat minimal 3 gejala diantaranya perubahan warna
discharge atau sekresi purulen pada kavum nasi, nyeri lokal yang berat (terutama
unilateral), demam lebih dari 38oC, double sickening yaitu terjadi perburukan dari
fase awal penyakit yang lebih ringan. (Fokkens et al, 2012)
2. Anatomi
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu
pangkal hidung (bridge/radix nasi), batang hidung (dorsum nasi), dan berakhir
sebagai ujung yanng disebut puncak hidung (tip/apex nasi). Di bagian depan
terdapat lubang hidung (nares anterior) yang sebelah medialnya dibatasi oleh sekat
(collumela) dan sebelah lateralnya dibatasi oleh ala nasi.12Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang terdiri dari os nasal, os frontal, os
maxilla, sepasang cartilago nasi lateralis, sepasang cartilago alaris major, sepasang
cartilago alares minores, dan cartilago septi nasi . Hidung dalam terdiri dari cavum
nasi dextra dan sinistra yang dipisahkan oleh septum nasi. (Hwang and Getz, 2014)
Pendarahan pada hidung berasal dari cabang-cabang arteri karotis interna
dan arteri karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung.
Persarafan hidung, bagian antero-superior rongga hidung dan septum nasi
mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior cabang nervus
nasociliaris dari nervus opthalmicus sedangkan bagian postero-superior rongga
hidung dan septum nasi oleh nervus etmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris
dari nervus opthalmicus. Nervus sfenopalatina mempersarafi septum nasi bagian
tulang. Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. (Hwang and Getz, 2014)
8
resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus
untuk membersihkan rongga hidung. (Bansal, 2013)
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai
muara (ostium) di dalam rongga hidung. Secara klinis terdapat empat sinus
paranasal udara dalam empat tulang tengkorak pada tiap sisinya: frontal, rahang,
ethmoid, dan sphenoid. Mereka dibagi menjadi dua kelompok: (Bansal, 2013)
1. Anterior
Sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di meatus tengah,
membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari sinus maksila,
frontal dan anterior sinus ethmoid.
2. Posterior
Sinus yang terbuka ke arah posterior dan superior pada basal lamella dari konka
media. Terdiri dari sinus ethmoid dan sinus sphenoid. Posterior sinus
etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid terbuka reses
sphenoethmoidal.
Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal terbesar, berbentuk pyramid. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. (Bansal, 2013)
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : lateral rongga hidung,
Dinding superior : dasar orbita
Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum. Dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1
dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar (M3), bahkan akar-
9
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas dan menyebabkan infeksi. (Bansal, 2013)
Sinus Frontalis
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal 2 x 2,4 x 2,8 cm
besekat-sekat dan tepi sinus berkelok-kelok. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri. Sinus frontal berdrainase melalui
ostium yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum.
(Bansal, 2013)
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
2,3 x 1,7 x 2 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkemabang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid. Batas-batasnya yaitu:
Superior : fossa serebri media dan kelenjar hipofisis
Inferior : atap nasofaring
Lateral : sinus kavernosa dan arteri karotis interna
Posterior : fosa serebri posterior daerah pons.
Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid merupakan sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
yang lain. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya
di posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. (Bansal, 2013)
Sinus etmoid berongga-rongga seperti sel sarang tawon, yang terdapat di
dalam bagian os lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letak dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
10
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal yang berhugungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara sinus
maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid. (Bansal, 2013)
Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya
sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis,
mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis
11
semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan
subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda. Epitel mukosa hidung
terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel
transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu
bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi
utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar
uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif
yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus
merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3
μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan
satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Membrana
basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan
rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril
retikulin. Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan
ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. (Hwang and Getz, 2014;
Bansal, 2013)
12
Gambar 2. Histologi sinus paranasal. (Putz dan Pabst, 2006)
3. Epidemiologi
Prevalensi rinosinusitis akut bervariasi antara 6-15% dari populasi
keseluruhan, dengan estimasi rinosinusitis akut rekuren 0,035%. Penyebab primer
dari rinosisnusitis akut adalah virus dengan 0,5-2% berkembang menjadi ABRS.
(Fokkens et al, 2012) Di Amerika Serikat, rinosinusitis akut dan kronik dialami
oleh 14% populasi, dengan pengeluaran biaya kesehatan tahunan sebesar $3,5
milyar. Di Eropa, satu episode rinosinusitis akut terjadi pada 8,4% populasi. Suatu
analisis berdasarkan beban biaya yang dikeluarkan, rinosinusitis menempati urutan
ke-9 dari 10 penyakit termahal. (Ryan, 2008) Diperkiran orang dewasa menderita
2 sampai 5 episode rinosinusitis akut per tahun sekitar 0,5-2% terjadi komplikasi
karena infeksi bakteri. (Fokken et al, 2012) Ujien et al (2011) melaporkan rata-rata
insidensi rinosinusitis akut selama tahun 2002-2008 adalah 18 kasus per 1000 anak
usia 12-17 tahun. Orskarson (2010) juga melaporkan insidensi rinosinusitis akut
adalah 3,4 dari 100 kasus per tahun atau 1 dari 29 pasien mengunjungi dokter umum
karena rinosinusitis akut. Menurut Bhattacharyya (2011) prevalensi rinosinusitis
akut rekuren pada tahun 2003-2008 adalah 0,035%. Guidelines di Amerika Serikat
infeksi saluran nafas atas adalah 3 alasan paling umum seseorang pasien ke dokter
umum salah satu diantaranya karena rinosinusitis akut. Di Amerika dilaporkan 1
dari 7 orang dewasa terkena rinosinusitis akut (Meltzer dan Hamilos, 2011). Di
Indonesia, angka kejadian rinosinusitis akut masih belum pasti. Data yang terdapat
di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, menyebutkan bahwa pada
tahun 2009 penyakit infeksi saluran nafas atas menduduki peringkat pertama dalam
10 besar data penyakit pada pasien rawat jalan. (Rosita dan Soepardi, 2010) Data
di subbagian Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin
13
pada tahun 2010 angka kejadian rinosinusitis sebesar 44% dan pada tahun 2012
didapatkan angka kunjungan pasien dengan rinosinusitis akut sebesar 17,89%.
(Burhanuddin, 2011)
4. Etiologi
Rhinosinusitis akut biasanya dicetuskan oleh infeksi saluran napas yang
pada umumnya diakibatkan oleh virus, sebagian besar disebabkan rhinovirus,
coronavirus, dan virus influenza, yang lain disebabkan oleh adenovirus, human
parainfluenza virus, human respiratory syncytial virus, enterovirus dan
metapneumovirus. Jika penyebabnya adalah bakteri, tiga agen penyebab yang
paling umum yaitu Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan
Moraxellacatarrhalis. Bakteri lain yang dapat menyebabkan rhinosinusitis yaitu
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif. (Mustafa et al,
2015)
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum, atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia pada sindrom Kartagener. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan
faktor penting penyebab sinusitis, sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu lingkungan
berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini akan
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. (Aring and Chan, 2011)
Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti bersin, ingus yang cair,
hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut
maka dilakukan tes alergi (Fokkens et al 2012; Kathrin and Martin, 2016; Robert,
2016).
5. Patogenesis
Patogenesis penyakit ini belum diketahui dengan baik, diduga penyebabnya
multifaktorial. Patofisiologi dan sub pengelompokan dalam rinosinusitis akut relatif
mudah dibandingkan dengan rinosinusitis kronik. Etiologinya dapat berupa virus
(sebagian besar rinovirus atau coronavirus) atau bakteri (kebanyakan Streptococcus
14
pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus
aureus). Rinosinusitis akut sering didahului oleh infeksi virus. Untuk sistem
kekebalan, baik sistem kekebalan bawaan dan adaptif diaktifkan dengan cara yang
bergantung pada stimulusnya. Sistem imun bawaan diaktifkan oleh patogen-related
molecularpatterns (PAMPs), kemudian diekspresikan oleh patogen spesifik yang
dapat mengaktifkan reseptor PAMP pada sel-sel sistem kekebalan tubuh dan jenis
sel lainnya. Salah satu jenis reseptor PAMP adalah reseptor pengenal pola (PRR)
yang disebut toll-like receptor (TLR). Sebagai respons terhadap infeksi virus atau
bakteri, TLR tertentu ditangani. Sepuluh TLR yang berbeda telah diidentifikasi
pada manusia, masing-masing dapat mengikat ligan tertentu. Binding memulai
kaskade sinyal intraseluler dengan berbagai efek pada proses seperti hemostasis,
peradangan, apoptosis, dan juga aktivasi sistem imun adaptif. Aktivasi sistem imun
adaptif diinduksi karena regulasi sitokin, kemokin, dan mediator co-stimulator
lainnya. Tergantung pada pola jenis sel T CD4-positif yang diaktifkan dan mediator
yang diregulasi. Di sini, secara klasik adalah Th1- dan Th2. Selanjutnya, selama
tahun-tahun terakhir, fenotip sel T17-, Th21-, dan Treg dan respons imun yang
sesuai telah ditentukan. Sebuah studi baru-baru ini dalam kelompok besar pasien
dengan komunitas sama yang mengalami infeksi pernapasan akut menunjukkan
korelasi yang erat antara IL-8 dan neutrofil dalam sekresi hidung dan tingkat
keparahan gejala hidung. Ini menggarisbawahi relevansi inflamasi neutrofilik pada
rinosinusitis akut dan relevansi IL-8 untuk rekrutmen neutrofil ke dalam jaringan
hidung. (Kathrin and Martin , 2016)
6. Gejala Klinis
Gejala rinosinusitis akut adalah sumbatan/obstruksi/kongesti nasal,
pengeluaran sekret dari hidung (anterior/posterior), dan penurunan fungsi
penciuman. Gejala-gejala ini terjadi selama < 12 minggu. (Lund VJ et al, 2012)
Gejala tambahan dapat berupa mengantuk, malaise, demam, halitosis, sakit gigi,
faringitis, dan telinga terasa penuh. (Ryan D, 2008)
15
7. Diagnosis
Untuk mendiagnosis rinosinusitis akut, informasi didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, didapatkan
gejala-gejala seperti sumbatan/obstruksi/kongesti nasal, nyeri wajah, pengeluaran
sekret dari hidung (anterior/posterior), dan penurunan fungsi penciuman. Gejala-
gejala ini terjadi selama < 12 minggu. (Lund VJ et al, 2012) Gejala tambahan dapat
berupa mengantuk, malaise, demam, halitosis, sakit gigi, faringitis, dan telinga
terasa penuh. Dapat ditanyakan juga mengenai gejala-gejala alergi, seperti bersin-
bersin, hidung meler, gatal pada hidung, dan gatal pada mata. (Ryan D, 2008)
8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinosinusitis akut antara lain : (Rusmono N. 2003)
1. Rinitis alergi
Adalah penyakit/kelainan yang merupakan manifestasi klinis kerusakan
jaringan tipe I (Gell & Coombs) dengan mukosa hidung sebagai organ
sasaran. Alergen penyebab adalah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Gejala utama adalah hidung tersumbat, rinore, gatal hidung disertai bersin.
Kadang-kadang disertai gatal pada mata dan tenggorok.
2. Rinitis TB
Adalah kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Pada pemeriksaan
ditemukan adanya sekret mukopurulen, krusta dan keluhan hidung tersumbat.
9. Penatalaksanaan
Antibiotik tidak harus diberikan secara rutin. Antibiotik diberikan untuk
pasien-pasien dengan gejala yang memberat secara sistemik (demam > 37°C atau
nyeri pada wajah yang bertambah parah) selama 5-7 hari. Pemberian antibiotik
dimulai dari lini pertama, jika sudah terdapat resistensi maka dapat diberikan
ntibiotik lini kedua. Indikasi diberikan lini kedua jika semua obat pada lini pertama
sudah resisten, riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan yang lalu, gagal berespon
pada obat lini pertama setelah 72-96 jam, pasien-pasien immunosuppressed, dan
sinusitis frontalis atau sfenoid.
16
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah : (Ryan D, 2008)
1. Komplikasi orbita
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik
dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di
mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering
disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
3. Komplikasi intrakranial
a. Meningitis akut
Di samping trombosis sinus kavernosus, salah satu komplikasi sinusitis
yang terberat adalah meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis
dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus fromtalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.
b. Abses dura
Adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat
17
sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum
pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang
memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain.
c. Abses otak
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung.
B. Escherichia coli
Struktur sel E. coli dikelilingi oleh membran sel, terdiri dari sitoplasma
yang mengandung nukleoprotein. Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel
berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur dari permukaan sel. Tiga struktur
antigen utama permukaan yang digunakan untuk membedakan serotipe golongan
E. coli adalah dinding sel, kapsul dan flagela.
18
Gambar 5. E. coli dengan pili dan flagella. (Quinn et al. 2002)
19
dampak positif dan negatif. (Shuibin et al, 2017; Oberholzer A et al, 2001; Abbas,
2011)
Eschericia coli sangat sering menggunakan mitogen sel B (aktivator
poliklonal) dalam laboratorium imunologi. Pada penelitian ini induksi
rhinosinusitis akut menggunakan metode inokulasi. Inokulasi memasukkan
mikroorganisme, bahan infektif, serum atau substansi lain ke dalam jaringan
organisme hidup atau media biakan. Inokulasi inokulum LPS E.coli pada sinus
maksila tikus putih (Rattus Norvegicus).
C. MDA (Malondialdehyde)
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus
CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih rumit daripada struktur kimia yang tertulis.
MDA merupakan senyawa reaktif yang terbentuk secara alami dan merupakan
penanda stres oksidatif. Malondialdehid adalah senyawa yang sangat reaktif yang
tidak biasa diamati dalam bentuk murni. Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid
terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa polyunsaturated
fatty acid (PUFA). Lipid membran bilayer diketahui merupakan campuran
fosfolipid dan glikolipid yang berikatan dengan asam lemak pada C1 dan C2 rantai
gliserol. Tingkat maupun jenis reaksi oksidasi pada berbagai asam lemak akan
berlainan. Perbedaan ini sangat bergantung pada jumlah dan posisi ikatan rangkap
pada rantai asam lemaknya (Muchtadi, 2013).
20
Peroksidasi lipid pada membran dapat mendegradasi asam lemak tak jenuh
secara selektif kemudian mengakumulasikannya menjadi aldehid, hidrokarbon dan
produk-produk cross linking. Peroksidase lipid merupakan inisiasi reaksi berantai
oleh radikal hidrogen atau oksigen yang menyebabkan teroksidasinya PUFA.
PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas dibandingkan asam lemak jenuh.
Jembatan metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama radikal bebas
yang akan membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Bentuk produk oksidasi
lipid yang banyak ditemukan dalam cairan biologis antara lain diena terkonjugasi
dalam plasma, hidroperoksida dalam plasma, LDL teroksidasi dalam plasma,
aldehid dalam plasma seperti TBARs, MDA dan 4-hidroksinoneal. (Powers and
Jackson 2008)
Mekanisme kerusakan sel akibat serangan radikal bebas yang paling awal
diketahui dan terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid paling
banyak terjadi di membran sel, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan
komponen penting penyusun membran sel. Pengukuran tingkat peroksidasi lipid
diukur dengan mengukur produk akhirnya, yaitu malondialdehida. MDA
merupakan produk peroksidasi lipid yang relatif konstan terhadap proporsi
peroksidasi lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui
kecepatan (rate) proses peroksidasi lipid in vivo. Malondialdehida memiliki tiga
rantai karbon dengan rumus molekul C3H4O2. (Lima et al. 2004)
MDA biasanya diukur dari sampel plasma dengan metode yang paling
populer dengan alat tes kolorimetri berdasarkan reaksi antara MDA dan
thiobarbituric acid (TBA). Namun, meskipun sensitivitasnya tinggi, uji TBA
reacting substances (TBARS) tidak memiliki spesifisitas untuk MDA, karena
aldehida selain MDA dapat bereaksi dengan TBA untuk menghasilkan senyawa
21
yang menyerap dalam kisaran sama dengan MDA (Prashant, 2015). MDA
mempunyai 3 karbon dialdehida dengan gugus karbonil pada posisi C1 dan C3 dan
mempunyai rumus C3H4O2 denganberat molekul 72. MDA ini ikut dalam sirkulasi
darah dan memempunyai dua ikatan rangkap seperti asam linoleate, asam
arakhidonat dan asam dokoksaheksanoit (Ayala et al, 2014).
22
E. Kerangka Teori
E.coli
MyD88
IKK
IkB NF-kB
TNFα,IL8,IL6
PMN
NADPH
Oksidase
ROS
↓MDA↑
: Mengaktivasi
23
sehingga terlepasnya dimer NF-Kb pada sitoplasma. Nf-Kb yang aktif terlepas
menuju nukleus dan mengirimkan sinyal dimana merangsang ekspresi gen
proinflamasi memproduksi sitokin proinflamasi antara lain TNF α, IL-6, IL-8.
Sitokin-sitokin proinflamasi meningkatkan produksi neutrofil polimorfonuklear
leukosit (PMN). Leukosit adalah sel pertama yang akan melawan bakteri patogen
yang menyerang jaringan sinus. Pada tahap awal terjadinya infeksi, terjadi
peningkatan sel polimorfonuklear yang sekaligus akan meningkatkan pengeluaran
radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas atau reactive oxygen spesies (ROS)
tersebut terjadi melalui reaksi enzimatik yang melibatkan rantai respiratori dalam
proses fagositosis dimana radikal anion superokside dibentuk oleh NADPH
oxidase. Aktivitas radikal bebas yang melebihi mekanisme pertahanan normal,
maka akan terjadi berbagai gangguan metabolis dan seluler. Salah satunya dapat
diketahui dari adanya Malondialdehid (MDA).
F. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Waktu pasca induksi
Kadar
bakteri E.coli. Malondialdehid
(Hari ke 7,14,21,28) (MDA)
G. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan kadar Malondialdehid
(MDA) pada tikus putih pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 pasca induksi dengan
Escherichia coli.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Desain Penelitian
Penelitian ini memakai rancangan eksperimental post-test only control group
design dengan tikus putih jantan (Rattus Norvegiccus) sebagai hewan coba karena
pengukuran MDA pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian
perlakuan kemudian dianalisa.
25
Kriteria inklusi :
1. Tikus putih jantan (Rattus Norvegiccus) BALB/C sehat yaitu tikus putih
jantan dengan kondisi mata bersinar, bulu tidak kusam, aktif dan nafsu
makan baik.
2. 8 – 12 minggu
3. Berat badan 200 – 300 gram.
Kriteria eksklusi yaitu tikus putih jantan (Rattus Novegiccus) BALB/C mati saat
penelitian.
3. Besar sampel
Banyaknya jumlah sampel dalam penelitian ini akan menggunakan rumus
Federer untuk uji eksperimental, yaitu:
(k-1) (n-1) > 15
Keterangan :
k = jumlah kelompok
n = jumlah sampel dalam tiap kelompok
26
D. Variabel penelitian
1. Variabel bebas :
Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah waktu pasca
induksi bakteri E.coli.
2. Variabel tergantung :
Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah kadar
malondialdehid (MDA) serum tikus putih jantan (Rattus Norvegicus).
E. Definisi Operasional
1. Waktu pasca induksi bakteri Gram (-) E.coli
Merupakan waktu yang diperlukan untuk mengetahui kadar optimal MDA
setelah dilakukan induksi E.coli dengan dosis 0.1 ml pada konsentrasi E.coli 1.5
x 109. Dimana terbagi atas 4 waktu pengukuran yaitu hari ke-7, 14, 21 dan 28
pasca induksi sesuai jumlah kelompok perlakuan. Jenis data numerik dengan
skala interval
2. Malondialdehid (MDA)
Malondialdehid (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal
bebas, MDA adalah senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas
didalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stress
oksidatif. Pada penelitian ini kadar MDA diukur pada masing-masing 5
kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok induksi/perlakuan. waktu
pengukuran yaitu hari ke-7, 14, 21 dan 28 pasca induksi. Jenis data numerik.
F. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan
a. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan.
b. Menghubungi bagian yang terkait dan berdiskusi dengan pembimbing.
c. Menyusun status penelitian dan usulan penelitian.
2. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) kandang
tikus; 2) pakan tikus; 3) bakteri E.coli FNCC 0091; 4) tabung inokulum; 5)
27
Spuit inokulasi 1 cc ujung tumpul; 6) bahan untuk pemeriksaan MDA darah;
7) tabung reaksi; 8) spektrofotometer
G. Cara Kerja
1. Membuat inokulum (E.coli)
Inokulum pada percobaan ini dibuat di PAU UGM, Yogyakarta. E.coli dari
cultur stock diempatkan pada media tumbuh cair (nutrien broth) 10 ml,
kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37⁰ C. Dilakukan penghitungan
jumlah sel (E.coli ~ 2-5 x 109). Kemudian dilakukan sentrifuge dengan kecepatan
3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang lalu pellet yang tersisa
ditambahkan NaCl 0.85% (steril) 10 ml sehingga terdapat 3x109 colony forming
units (CFU)/ml.
2. Langkah penelitian
a. Langkah I: Penentuan besar sampel dan adaptasi Sebanyak 40 ekor tikus putih
jantan dibagi menjadi lima kelompok dan diadaptasikan selama 7 hari
di laboratorium dan diberi pakan standar.
b. Langkah II: Induksi E.coli intranasal kanan dan kiri masing-masing 0.1 ml
dengan dosis 3x109 colony forming units (CFU)/ml.
c. Langkah III: Pengukuran kadar MDA darah setelah inokulasi, darah diambil
dari vena retroorbital menggunakan pipa mikrokapiler kemudian ditampung
dalam tabung reaksi, dan selanjutnya diproses untuk mendapatkan serum
darah. Pengukuran kadar MDA darah dilakukan setelah perlakuan pada hari
ke-7, 14, 21, 28
28
H. Alur Penelitian
Tikus Putih
(Rattus norvegicus)
Aklimatisasi
P1 P2 P3 P4 P5
8 ekor 8 ekor 8 ekor 8 ekor 8 ekor
(Kontrol) (H-7) (H-14) (H-21) (H-28)
MDA
Analisa Data
29
I. Analisa Data
30