Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik dokter
umum maupun dokter spesialis THT. Rinosinusitis adalah peradangan pada satu
atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri
wajah dan dapat disertai keluar lendir kental atau gangguan penghidu. Secara
teoritik penyakit ini dapat ditemukan pada bayi, karena sinus maksila dan sinus
ethmoid sudah terbentuk sejak lahir. Penderita rinosinusitis biasanya datang berobat
ke dokter umum atau Spesialis THT. Penyakit ini cukup sering ditemukan yaitu
sekitar 20 % dari penderita yang datang ke praktek dokter. Pada tahun 1996,
American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery mengusulkan
untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis. The American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Sugery (AAOHNS) membagi beberapa tipe
rinosinusitis berdasarkan gejala, akut bila onset terjadi dalam 4 minggu, sub akut
onset terjadi antara 4 minggu dan tidak lebih dari 12 minggu, rekuren akut onset
terjadinya 4 atau lebih episode pertahun dengan pengobatan komplit antara episode
dalam waktu tidak lebih 7 hari dan kronik bila onset terjadi 12 minggu atau lebih.
(Aring and Chan, 2011)
Rinosinusitis akut merupakan problem yang signifikan bagi kesehatan
karena menurunkan produktivitas kerja yang dapat menyebabkan beban keuangan
yang besar bagi masyarakat yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup. (Carl,
et al, 2018) Prevalensi rinosinusitis akut bervariasi antara 6-15% dari populasi
keseluruhan, dengan estimasi rinosinusitis akut rekuren 0,035%. Penyebab primer
dari rinosisnusitis akut adalah virus dengan 0,5-2% berkembang menjadi ABRS.
(Fokkens et al, 2012) Di Amerika Serikat, rinosinusitis akut dan kronik dialami
oleh 14% populasi, dengan pengeluaran biaya kesehatan tahunan sebesar $3,5
milyar. Di Eropa, satu episode rinosinusitis akut terjadi pada 8,4% populasi. Suatu
analisis berdasarkan beban biaya yang dikeluarkan, rinosinusitis menempati urutan
ke-9 dari 10 penyakit termahal. (Ryan, 2008) Diperkiran orang dewasa menderita

1
2 sampai 5 episode rinosinusitis akut per tahun sekitar 0,5-2% terjadi komplikasi
karena infeksi bakteri. (Fokken et al, 2012) Ujien et al (2011) melaporkan rata-rata
insidensi rinosinusitis akut selama tahun 2002-2008 adalah 18 kasus per 1000 anak
usia 12-17 tahun. Orskarson (2010) juga melaporkan insidensi rinosinusitis akut
adalah 3,4 dari 100 kasus per tahun atau 1 dari 29 pasien mengunjungi dokter umum
karena rinosinusitis akut. Menurut Bhattacharyya (2011) prevalensi rinosinusitis
akut rekuren pada tahun 2003-2008 adalah 0,035%. Guidelines di Amerika Serikat
infeksi saluran nafas atas adalah 3 alasan paling umum seseorang pasien ke dokter
umum salah satu diantaranya karena rinosinusitis akut. Di Amerika dilaporkan 1
dari 7 orang dewasa terkena rinosinusitis akut (Meltzer dan Hamilos, 2011). Di
Indonesia, angka kejadian rinosinusitis akut masih belum pasti. Data yang terdapat
di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, menyebutkan bahwa pada
tahun 2009 penyakit infeksi saluran nafas atas menduduki peringkat pertama dalam
10 besar data penyakit pada pasien rawat jalan. (Rosita dan Soepardi, 2010) Data
di subbagian Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin
pada tahun 2010 angka kejadian rinosinusitis sebesar 44% dan pada tahun 2012
didapatkan angka kunjungan pasien dengan rinosinusitis akut sebesar 17,89%.
(Burhanuddin, 2011)
Rinosinusitis akut merupakan penyakit multifaktorial. Faktor etiologi yang
paling berperan yaitu infeksi virus yang terkait dengan infeksi saluran pernafasan
atas. Rinosinusitis akut terdiri dari acute viral rhinosinusitis (AVRS), post viral dan
acute bacterial rhinosinusitis (ABRS). ABRS biasanya didahului AVRS dan post
viral. Infeksi virus pada hidung dan sinus paranasal menginduksi berbagai macam
perubahan termasuk post viral, yang meningkatkan resiko superinfeksi bakteri.
Perubahan ini termasuk kerusakan epitel dan sistem pertahanan mekanik, humoral
dan seluler (Fokkens et al, 2012; Shi et al, 2015). Inflamasi yang berlebihan pada
hidung dan sinus paranasal akan memicu aktivitas Nuclear factor kappa Beta (NF-
kB). Overproduksi sitokin dan mediator inflamasi dapat menginduksi apoptosis dan
nekrosis jaringan. (Hyun et al, 2015; Hyung and Chang, 2018)
Penelitian ini mengukur kadar MDA (Malondialdehid) pada tikus putih
dimana sebelumnya telah dilakukan induksi dengan inokuasi bakteri gram (-)
berupa Escherichia Coli intranasal sehingga terjadi proses inflamasi model

2
rinosinusitis akut. E. coli merupakan bakteri berbentuk batang pendek bersifat
motil, uniform, tidak tahan asam, tidak membentuk spora dan mempunyai flagella.
E. coli merupakan flora normal yang ditemukan dalam usus besar manusia. Bakteri
ini bersifat patogen apabila berada diluar usus. E. coli memiliki sistem membran
ganda di mana membran plasmanya diselimuti oleh membran luar permeabel. Sifat
patogen dari E. coli berkaitan dengan komponen pada dinding sel, terutama lapisan
lipopolisakarida (dikenal juga dengan LPS atau endotoksin). Lipopolisakarida
adalah kompleks lipid dan polisakarida yang merupakan komponen mayor dinding
sel bakteri gram negatif. LPS merupakan endotoksin dan antigen grup spesifik yang
penting. Respons terhadap paparan LPS menyebabkan meningkatnya produksi
mediator proinflamasi seperti TNF-α, NF-кB, IL-6, IL-8 sebagai media pertahanan
tubuh terhadap benda asing yang memiliki dampak positif dan negatif. (Shuibin et
al, 2017; Oberholzer A et al, 2001)
Malondelhyde (MDA) merupakan produk akhir peroksidasi lipid dan sebagai
biomarker peroksidasi lipid untuk menilai stress oksidatif. MDA dapat digunakan
sebagai indeks pengukuran aktivitas radikal bebas pada tubuh. Tingginya kadar
MDA pada tubuh disebabkan oleh meningkatnya aktivitas radikal bebas dalam
tubuh. Radikal bebas memiliki waktu paruh yang pendek sehingga sulit diukur.
Kerusakan jaringan lipid akibat ROS dapat diukur dengan MDA. Produksi ROS
dapat dinilai dengan berbagai cara salah satunya adanya Tes thiobarbituric acid-
reaktive substancei (TBARS). (Pham-huy et al, 2008) Reactive oxygen Species
(ROS) adalah bagian dari radikal bebas yang dapat merupakan produk metabolisme
normal ataupun dari proses inflamasi, yang bersifat sangat reaktif atau tidak stabil.
ROS dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh
karena berbagai rangsangan misalnya radiasi, infeksi, tekanan parsial oksigen
(pO2) tinggi, serta paparan zat-zat kimia tertentu. Salah satu reaksi pada radikal
bebas yaitu terjadinya proses peroksidasi lipid membran sel dimana akan
menghasilkan senyawa MDA (Yustika et al, 2013; Wijayanti et al, 2014).
Sehingga dengan adanya proses inflamasi dapat mempengaruhi peningkatan
kadar MDA. Memprediksi waktu optimal peningkatan kadar MDA pasca terjadi
inflamasi perlu dilakukan. Penelitian mengenai perbedaan kadar MDA terhadap
lama induksi dengan E. coli terhadap tikus putih model rhinosinusitis akut sulit

3
dijumpai. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin meneliti perbedaan kadar
MDA terhadap lama induksi pada tikus putih model rhinosinusitis akut.

B. Rumusan masalah
Permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kadar
malondialdehid pasca induksi Escherichia coli pada tikus putih model
rhinosinusitis akut.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum penelitian
Mengetahui lama induksi E. coli terhadap peningkatan kadar MDA
2. Tujuan khusus penelitian
Mengetahui waktu optimal terhadap kadar MDA pada tikus putih setelah
dilakukan induksi.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis.
Memberikan bukti ilmiah waktu optimal yang diperlukan untuk meningkatnya
kadar MDA pada tikus putih setelah diinduksi dengan E. coli
2. Manfaat Terapan
2.1 Mengetahui waktu optimal pasca induksi E. coli dengan peningkatan kadar
MDA
2.2 Sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.

4
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mencari waktu yang terbaik meningkatnya
kadar MDA pada tikus putih yang telah diinduksi dengan E. Coli model
rhinosinusitis akut, dimana belum pernah dilakukan dibagian Telinga Hidung
dan Tenggorok Kepala Leher Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelusuran dengan menggunakan kata kunci Escherichia Coli -
Malondelhyde, belum dapat ditemukan. Penelitian lain yang terkait dengan
penelitian ini adalah:

Tabel 1. Penelitian lain yang terkait dengan judul penelitian ini adalah :

No Peneliti Judul Metode Hasil


1. Diding Ekstrak Etanol Penelitian ini Hasil penelitian ini
dkk, 2013 Propolis Isolat merupakan memperlihatkan
Menurunkan penelitian preparat intestinal
Derajat Inflamasi eksperimental pengecatan HE
dan Kadar laboratoris.Dimana dengan pemberian
Malondialdehid rangsangan sepsis cecal inoculum
pada Serum diperoleh dari meningkatkan derajat
Tikus Model inokuasi intra inflamasi secara
Sepsis peritoneum dengan bermakna (p=0,001).
menggunakan LPS Pemberian propolis
dari Eschericia coli. dosis 200
Variabel yang diukur mg/kgBB/hari
yaitu derajad menurunkan derajat
inflamasi dan kadar inflamasi secara
MDA serum. bermakna (p=0,002).
Penurunan derajat
inflamasi intestinal
ternyata tidak berbeda
bermakna (p=0,238)
antara pemberian
propolis bila
dibandingkan dengan
pemberian antibiotik
(cefepime dosis 80
mg/kgBB/hari).
Pemberian antibiotik
yang dikombinasikan
dengan propolis
menurunkan derajat
inflamasi secara
bermakna (p=0,024)

5
dibandingkan dengan
antibiotik saja. Induksi
cecal inoculum dapat
meningkatkan
kadar MDA serum
secara bermakna
(p=0,010), propolis
dosis 200
mg/kgBB/hari
menurunkan kadar
MDA serum secara
bermakna.

2. Wang et Establishment of Merupakan LPS menginduksi


al, 2017 a mouse model of penelitian pembentukan polip
lipopolysaccharid eksperimental, hidung pada model
e‑induced dimana sampel tikus. Dibandingkan
neutrophilic nasal berupa 30 tikus kelompok kontrol,
polyps dibagi dalam 3 grub. kelompok perlakuan
The Effect of Kontrol dan mengalami inflamasi
Propolis in perlakuan berupa pada epitel
Healing Injured drop LPS dari E.coli, sinus.Perbedaan
Nasal Mucosa: 3x/mggu selama 3 kelompok ini adalah
An Experimental bln. P<0.01 pada
Study kelompok 10 µg dan
P<0.05 pada
kelompok 5 µg

3. Guven et Experimentally Induksi sinusitis Semua sinus yang


al, 2007 induced acute akut dilakukan terinfeksi
sinusitis and pada kelompok menunjukkan tanda-
efficacy of kelinci. Dengan tanda peradangan.
vitamin A menyuntikkan Aktifitas MDA dan
streptokokus NO mengalami
pneumonia pada peningkatan. Pada
sinus maksilaris kelompok pemberian
kanan, dan sinus antibiotik dan vit A
maksilaris kiri tingkat MDA dan NO
digunakan sebagai lebih baik
kontrol.Kelompok dibandingkan
pertama perlakuan kelompok pertama.
diberikan
Antibiotik dan
kelompok kedua
diberi antibiotik
ditambah vit.A.
Semua hewan
dikorbankan pada

6
hari ke-10
kemudian mukosa
sinus diambil
untuk pemeriksaan
inflamasi dan
aktifitas
MDA,SOD dan
Nitric Oxide

4. Tasdemir Evaluation of the Penelitian ini Kadar MDA, MPO


et al, effects of ozone ditujukan untuk dan NO meningkat
2013 therapy on menyelidiki dan menurunkan
Escherichia coli- pengaruh ozon kadar SOD secara
induced cytitis in pada stres signifikan dibanding
rat oksidatif yang kelompok kontrol.
disebabkan Tikus putih dengan
inokulasi E.coli perlakuan EC + ozone
dengan dosis 0,5 didapatkan penurunan
ml solution kadar MDA, MPO
(konsentrasi dan NO serta
2 x 108) pada tikus peningkatan kadar
putih dengan SOD secara signifikan
menganalisa (P<0.05)
MDA, MPO, NO
dan SOD

5. Gupta et Intrarenal Dilakukan injeksi Pada gambaran MRI


al, 2017 Injection of inokulasi bakteri ginjal tikus pada hari
Escherichia coli E.Coli ke-1 dan 4 didapatkan
in a Rat Model of intrapelvis ginjal daerah infeksi ginjal
Pyelonephritis tikus induksi yang semakin
pielonefritis akut meningkat.
dengan dosis 0.1
ml solution
(konsentrasi antara
1x108 – 1x109).

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rinosinusitis akut
1. Definisi Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps (EPOS) tahun 2012 merupakan suatu inflamasi pada mukosa hidung
dan sinus paranasal yang terjadi dengan onset tiba-tiba, ditandai dengan adanya dua
gejala atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior/ posterior) disertai nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
dan atau penurunan/ hilangnya penghidu, yang berlangsung selama kurang dari dua
belas minggu. (Fokkens et al, 2012)
Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck
Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis.
Sinus paranasal terdiri dari sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis, dan
sinus sphenoidalis. Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis. Rinosinusitis
merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal. (Kathrin
and Martin, 2016) The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Sugery (AAOHNS) membagi beberapa tipe rinosinusitis berdasarkan gejala, akut
bila onset terjadi dalam 4 minggu, sub akut onset terjadi antara 4 minggu dan tidak
lebih dari 12 minggu, rekuren akut onset terjadinya 4 atau lebih episode pertahun
dengan pengobatan komplit antara episode dalam waktu tidak lebih 7 hari dan
kronik bila onset terjadi 12 minggu atau lebih. (Aring and Chan, 2016)
Bentuk paling sering rinosinusitis akut adalah rinosinusitis viral akut atau
acute viral rhinosinusitis (AVRS) sekitar 20-30% kasus. Gejala-gejalanya dapat
sembuh sempurna dengan terapi medis pada hampir 90% kasus. Rhinosinusitis viral
akut atau Common cold yaitu jika lamanya gejala kurang dari 10 hari, sedangkan
rinosinusitis post-viral akut yaitu jika terjadi perburukan gejala setelah 5 hari atau
gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit kurang dari 12 minggu. (Fokkens
et al, 2012) Rinosinusitis bakterial akut dapat didefinisikan sebagai rinosinusitis
akut yang disebabkan atau diduga disebabkan oleh infeksi bakteri. Rhinosinusitis

8
bakterial akut yaitu bila terdapat minimal 3 gejala diantaranya perubahan warna
discharge atau sekresi purulen pada kavum nasi, nyeri lokal yang berat (terutama
unilateral), demam lebih dari 38oC, double sickening yaitu terjadi perburukan dari
fase awal penyakit yang lebih ringan. (Fokkens et al, 2012)

2. Anatomi
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu
pangkal hidung (bridge/radix nasi), batang hidung (dorsum nasi), dan berakhir
sebagai ujung yanng disebut puncak hidung (tip/apex nasi). Di bagian depan
terdapat lubang hidung (nares anterior) yang sebelah medialnya dibatasi oleh sekat
(collumela) dan sebelah lateralnya dibatasi oleh ala nasi.12Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang terdiri dari os nasal, os frontal, os
maxilla, sepasang cartilago nasi lateralis, sepasang cartilago alaris major, sepasang
cartilago alares minores, dan cartilago septi nasi . Hidung dalam terdiri dari cavum
nasi dextra dan sinistra yang dipisahkan oleh septum nasi. (Hwang and Getz, 2014)
Pendarahan pada hidung berasal dari cabang-cabang arteri karotis interna
dan arteri karotis eksterna yang mendarahi septum dan dinding lateral hidung.
Persarafan hidung, bagian antero-superior rongga hidung dan septum nasi
mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior cabang nervus
nasociliaris dari nervus opthalmicus sedangkan bagian postero-superior rongga
hidung dan septum nasi oleh nervus etmoidalis posterior cabang nervus nasociliaris
dari nervus opthalmicus. Nervus sfenopalatina mempersarafi septum nasi bagian
tulang. Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian menyebar di mukosa yang melapisi bagian atas konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. (Hwang and Getz, 2014)

Anatomi sinus paranasal


Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam
tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus
paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai
pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu

9
resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus
untuk membersihkan rongga hidung. (Bansal, 2013)
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai
muara (ostium) di dalam rongga hidung. Secara klinis terdapat empat sinus
paranasal udara dalam empat tulang tengkorak pada tiap sisinya: frontal, rahang,
ethmoid, dan sphenoid. Mereka dibagi menjadi dua kelompok: (Bansal, 2013)
1. Anterior
Sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di meatus tengah,
membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari sinus maksila,
frontal dan anterior sinus ethmoid.
2. Posterior
Sinus yang terbuka ke arah posterior dan superior pada basal lamella dari konka
media. Terdiri dari sinus ethmoid dan sinus sphenoid. Posterior sinus
etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid terbuka reses
sphenoethmoidal.

Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris adalah sinus paranasal terbesar, berbentuk pyramid. Saat
lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. (Bansal, 2013)
Dinding anterior : permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina
Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial : lateral rongga hidung,
Dinding superior : dasar orbita
Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum. Dasar sinus maksila sangat
berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1
dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar (M3), bahkan akar-

10
akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas dan menyebabkan infeksi. (Bansal, 2013)

Sinus Frontalis
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal 2 x 2,4 x 2,8 cm
besekat-sekat dan tepi sinus berkelok-kelok. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri. Sinus frontal berdrainase melalui
ostium yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum.
(Bansal, 2013)

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah
2,3 x 1,7 x 2 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkemabang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid. Batas-batasnya yaitu:
Superior : fossa serebri media dan kelenjar hipofisis
Inferior : atap nasofaring
Lateral : sinus kavernosa dan arteri karotis interna
Posterior : fosa serebri posterior daerah pons.

Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid merupakan sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
yang lain. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya
di posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. (Bansal, 2013)
Sinus etmoid berongga-rongga seperti sel sarang tawon, yang terdapat di
dalam bagian os lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letak dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang

11
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal yang berhugungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara sinus
maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid. (Bansal, 2013)

Kompleks Osteo Meatal


Komplek osteo meatal (KOM) merupakan ruang 3-dimensi yang berbatasan
dengan papyracea lamina lateral, konka medial, reses frontal superior, dan sinus
maksilaris ostium inferior. Ruang ini meliputi infundibulum ethmoid yang terdapat
di belakang prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan dan ostium sinus
maksila. Peradangan kronis dan edema dari KOM menyebabkan obstruksi anatomis
dan fungsional, yang menyebabkan peradangan kronis dari sinus mengalir ke
daerah tersebut. (Bansal, 2013; Putz and Pabst, 2006)

Gambar 1. Anatomi Sinus Paranasal. (Putz and Pabst, 2006)

Histologi sinus paranasal

Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total volumenya
sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara histologis,
mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis

12
semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan
subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda. Epitel mukosa hidung
terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada vestibulum, epitel
transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu
bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energi
utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar
uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif
yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus
merupakan sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3
μm. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan
satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia
tertanam pada badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Membrana
basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan
rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril
retikulin. Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan
ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan
kelenjar superfisial, lapisan media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan
kelenjar profundus. Lamina propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan
ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. (Hwang and Getz, 2014;
Bansal, 2013)

13
Gambar 2. Histologi sinus paranasal. (Putz dan Pabst, 2006)

3. Epidemiologi
Prevalensi rinosinusitis akut bervariasi antara 6-15% dari populasi
keseluruhan, dengan estimasi rinosinusitis akut rekuren 0,035%. Penyebab primer
dari rinosisnusitis akut adalah virus dengan 0,5-2% berkembang menjadi ABRS.
(Fokkens et al, 2012) Di Amerika Serikat, rinosinusitis akut dan kronik dialami
oleh 14% populasi, dengan pengeluaran biaya kesehatan tahunan sebesar $3,5
milyar. Di Eropa, satu episode rinosinusitis akut terjadi pada 8,4% populasi. Suatu
analisis berdasarkan beban biaya yang dikeluarkan, rinosinusitis menempati urutan
ke-9 dari 10 penyakit termahal. (Ryan, 2008) Diperkiran orang dewasa menderita
2 sampai 5 episode rinosinusitis akut per tahun sekitar 0,5-2% terjadi komplikasi
karena infeksi bakteri. (Fokken et al, 2012) Ujien et al (2011) melaporkan rata-rata
insidensi rinosinusitis akut selama tahun 2002-2008 adalah 18 kasus per 1000 anak
usia 12-17 tahun. Orskarson (2010) juga melaporkan insidensi rinosinusitis akut
adalah 3,4 dari 100 kasus per tahun atau 1 dari 29 pasien mengunjungi dokter umum
karena rinosinusitis akut. Menurut Bhattacharyya (2011) prevalensi rinosinusitis
akut rekuren pada tahun 2003-2008 adalah 0,035%. Guidelines di Amerika Serikat
infeksi saluran nafas atas adalah 3 alasan paling umum seseorang pasien ke dokter
umum salah satu diantaranya karena rinosinusitis akut. Di Amerika dilaporkan 1
dari 7 orang dewasa terkena rinosinusitis akut (Meltzer dan Hamilos, 2011). Di
Indonesia, angka kejadian rinosinusitis akut masih belum pasti. Data yang terdapat
di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010, menyebutkan bahwa pada
tahun 2009 penyakit infeksi saluran nafas atas menduduki peringkat pertama dalam
10 besar data penyakit pada pasien rawat jalan. (Rosita dan Soepardi, 2010) Data
di subbagian Rinologi-Alergi Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Hasan Sadikin

14
pada tahun 2010 angka kejadian rinosinusitis sebesar 44% dan pada tahun 2012
didapatkan angka kunjungan pasien dengan rinosinusitis akut sebesar 17,89%.
(Burhanuddin, 2011)

4. Etiologi
Rhinosinusitis akut biasanya dicetuskan oleh infeksi saluran napas yang
pada umumnya diakibatkan oleh virus, sebagian besar disebabkan rhinovirus,
coronavirus, dan virus influenza, yang lain disebabkan oleh adenovirus, human
parainfluenza virus, human respiratory syncytial virus, enterovirus dan
metapneumovirus. Jika penyebabnya adalah bakteri, tiga agen penyebab yang
paling umum yaitu Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan
Moraxellacatarrhalis. Bakteri lain yang dapat menyebabkan rhinosinusitis yaitu
Staphylococcus aureus, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif. (Mustafa et al,
2015)
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum, atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osteomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia pada sindrom Kartagener. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan
faktor penting penyebab sinusitis, sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu lingkungan
berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini akan
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia. (Aring and Chan, 2011)
Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti bersin, ingus yang cair,
hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut
maka dilakukan tes alergi (Fokkens et al 2012; Kathrin and Martin, 2016; Robert,
2016).

5. Patogenesis
Patogenesis penyakit ini belum diketahui dengan baik, diduga penyebabnya
multifaktorial. Patofisiologi dan sub pengelompokan dalam rinosinusitis akut relatif
mudah dibandingkan dengan rinosinusitis kronik. Etiologinya dapat berupa virus
(sebagian besar rinovirus atau coronavirus) atau bakteri (kebanyakan Streptococcus

15
pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus
aureus). Rinosinusitis akut sering didahului oleh infeksi virus. Untuk sistem
kekebalan, baik sistem kekebalan bawaan dan adaptif diaktifkan dengan cara yang
bergantung pada stimulusnya. Sistem imun bawaan diaktifkan oleh patogen-related
molecularpatterns (PAMPs), kemudian diekspresikan oleh patogen spesifik yang
dapat mengaktifkan reseptor PAMP pada sel-sel sistem kekebalan tubuh dan jenis
sel lainnya. Salah satu jenis reseptor PAMP adalah reseptor pengenal pola (PRR)
yang disebut toll-like receptor (TLR). Sebagai respons terhadap infeksi virus atau
bakteri, TLR tertentu ditangani. Sepuluh TLR yang berbeda telah diidentifikasi
pada manusia, masing-masing dapat mengikat ligan tertentu. Binding memulai
kaskade sinyal intraseluler dengan berbagai efek pada proses seperti hemostasis,
peradangan, apoptosis, dan juga aktivasi sistem imun adaptif. Aktivasi sistem imun
adaptif diinduksi karena regulasi sitokin, kemokin, dan mediator co-stimulator
lainnya. Tergantung pada pola jenis sel T CD4-positif yang diaktifkan dan mediator
yang diregulasi. Di sini, secara klasik adalah Th1- dan Th2. Selanjutnya, selama
tahun-tahun terakhir, fenotip sel T17-, Th21-, dan Treg dan respons imun yang
sesuai telah ditentukan.

Gambar 3. Diferensiasi fenotip sel T yang relevan dalam CRS dan endotipe yang
berbeda (Kathrin and Martin, 2016).

16
Peran sitokin dalam rinosinusitis akut tidak dieksplorasi secara rinci,
investigasi terkait sitokin pada pasien dengan rinosinusitis akut jarang dilakukan
oleh karena itu peran sistem kekebalan yang baru-baru ini dideklarasikan dan
sitokin sebagian besar masih belum jelas. Infeksi virus akut pada saluran pernafasan
bagian atas merangsang berbagai sitokin proinflamasi seperti IFN-α, IFN-γ, IL-1β,
IL-6, IL-8, IL-10, dan TNF-α. Sitokin dalam penelitian ini meliputi proinflamasi
seperti IL1β, IL-6, IL-8), antiinflamasi misalnya IL-10 dan faktor kemo-atraktan
misalnya IL-6 milik Th1 (TNF-α , IFN-γ), Th2-like (IL-10), Th17-like (IL-17), dan
Treg (IL-10). (Kathrin and Martin, 2016) Adanya mRNA dalam epitel hidung
didokumentasikan terdapat pada TLR-1 sampai TLR-10. PAMP bakteri Gram-
negatif lain atau S. pneumonia, mikroba, yang sering dideteksi da’lam rhinosinusitis
akut, diketahui menginduksi sistem kekebalan terkait TLR-2 atau TLR-4.
Riechelmann et al (2005) mendeteksi peningkatan nilai untuk IL-2, IL-4, IL-10, IL-
12, IL-13, TNF-α, dan IFN dalam cairan hidung dari pasien rinosinusitis akut
dibandingkan dengan pasien rinosinusitis kronik yang menggunakan uji sitokin
multipleks. Sebuah penelitian yang lain menunjukkan peningkatan IL-8 dan IL-3
dalam spesimen mukosa pasien rinosinusitis akut menggunakan ELISA. Hasil ini
menunjukkan keterlibatan sistem kekebalan dari Th1-dan Th2 dalam rinosinusitis
akut tetapi juga menunjukkan bahwa tergantung pada bahan dan metode yang
dipakai, hasil dan interpretasi mereka mungkin berbeda. Sebuah studi baru-baru ini
dalam kelompok besar pasien dengan komunitas sama yang mengalami infeksi
pernapasan akut menunjukkan korelasi yang erat antara IL-8 dan neutrofil dalam
sekresi hidung dan tingkat keparahan gejala hidung. Ini menggarisbawahi relevansi
inflamasi neutrofilik pada rinosinusitis akut dan relevansi IL-8 untuk rekrutmen
neutrofil ke dalam jaringan hidung. (Kathrin and Martin , 2016)

6. Gejala Klinis
Gejala rinosinusitis akut adalah sumbatan/obstruksi/kongesti nasal,
pengeluaran sekret dari hidung (anterior/posterior), dan penurunan fungsi
penciuman. Gejala-gejala ini terjadi selama < 12 minggu. (Lund VJ et al, 2012)
Gejala tambahan dapat berupa mengantuk, malaise, demam, halitosis, sakit gigi,
faringitis, dan telinga terasa penuh. (Ryan D, 2008)

17
7. Diagnosis
Untuk mendiagnosis rinosinusitis akut, informasi didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis, didapatkan
gejala-gejala seperti sumbatan/obstruksi/kongesti nasal, nyeri wajah, pengeluaran
sekret dari hidung (anterior/posterior), dan penurunan fungsi penciuman. Gejala-
gejala ini terjadi selama < 12 minggu. (Lund VJ et al, 2012) Gejala tambahan dapat
berupa mengantuk, malaise, demam, halitosis, sakit gigi, faringitis, dan telinga
terasa penuh. Dapat ditanyakan juga mengenai gejala-gejala alergi, seperti bersin-
bersin, hidung meler, gatal pada hidung, dan gatal pada mata. (Ryan D, 2008)
Dalam pemeriksaan fisik, akan ada nyeri tekan pada wajah saat dipalpasi.
Pada rinoskopi anterior, tampak mukosa konka nasi yang polipoid, aliran sekret
mukopurulent di meatus media, dan edema mukosa pada meatus media.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah transiluminasi, pemeriksaan
foto rontgen sinus paranasal, CT-scan, dan juga kultur kuman.6 Tetapi pemeriksaan
foto rontgen sinus paranasal atau CT-scan tidak direkomendasikan untuk
rinosinusitis akut, kecuali untuk penyakit yang parah, pasien-pasien
immunocompromised, dan ada tanda-tanda komplikasi. (Lund VJ et al, 2012)

8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinosinusitis akut antara lain : (Rusmono N. 2003)
1. Rinitis alergi
Adalah penyakit/kelainan yang merupakan manifestasi klinis kerusakan
jaringan tipe I (Gell & Coombs) dengan mukosa hidung sebagai organ
sasaran. Alergen penyebab adalah alergen inhalan dan alergen ingestan.
Gejala utama adalah hidung tersumbat, rinore, gatal hidung disertai bersin.
Kadang-kadang disertai gatal pada mata dan tenggorok.
2. Rinitis TB
Adalah kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Pada pemeriksaan
ditemukan adanya sekret mukopurulen, krusta dan keluhan hidung tersumbat.

18
9. Penatalaksanaan
Antibiotik tidak harus diberikan secara rutin. Antibiotik diberikan untuk
pasien-pasien dengan gejala yang memberat secara sistemik (demam > 37°C atau
nyeri pada wajah yang bertambah parah) selama 5-7 hari. Pemberian antibiotik
dimulai dari lini pertama, jika sudah terdapat resistensi maka dapat diberikan
ntibiotik lini kedua. Indikasi diberikan lini kedua jika semua obat pada lini pertama
sudah resisten, riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan yang lalu, gagal berespon
pada obat lini pertama setelah 72-96 jam, pasien-pasien immunosuppressed, dan
sinusitis frontalis atau sfenoid. Tatalaksana tambahan dapat berupa dekongestan
sistemik atau dekongestan nasal topikal atau obat semprot hidung. Penggunaan
jangka pendek kortikosteroid intranasal diyakini efektif untuk penyakit sedang dan
kombinasi dengan antibiotik untuk penyakit berat. Dekongestan hidung tidak boleh
digunakan lebih dari 10 hari karena dapat memicu terjadinya rinitis medikamentosa.
(Bird J et al. 2013)

10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah : (Ryan D, 2008)
1. Komplikasi orbita
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita
akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya.
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik
dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot
ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan
tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

19
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di
mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul
dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering
disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
3. Komplikasi intrakranial
a. Meningitis akut
Di samping trombosis sinus kavernosus, salah satu komplikasi sinusitis
yang terberat adalah meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis
dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus fromtalis atau melalui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis.
b. Abses dura
Adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium;
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat
sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum
pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang
memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain.
c. Abses otak
Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara
langsung.

B. Escherichia coli
Bakteri E. coli merupakan spesies dengan habitat alami dalam saluran
pencernaan manusia maupun hewan. E. coli pertama kali diisolasi oleh Theodor
Escherich dari tinja seorang anak kecil pada tahun 1885. Bakteri ini berbentuk
batang, berukuran 0,4-0,7 x 1,0-3,0 μm, termasuk gram negatif, dapat hidup soliter
maupun berkelompok, umumnya motil, tidak membentuk spora, serta fakultatif
anaerob. (Carter & Wise, 2004)

20
Gambar 4. Morfologi E. Coli. (Carter & Wise, 2004)

Struktur sel E. coli dikelilingi oleh membran sel, terdiri dari sitoplasma
yang mengandung nukleoprotein. Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel
berlapis kapsul. Flagela dan pili E. coli menjulur dari permukaan sel. Tiga struktur
antigen utama permukaan yang digunakan untuk membedakan serotipe golongan
E. coli adalah dinding sel, kapsul dan flagela.

Gambar 5. E. coli dengan pili dan flagella. (Quinn et al. 2002)

Penelitian ini melakukan induksi rinosinusitis akut menggunakan bakteri


gram (-) E. Coli intranasal pada tikus putih. E. coli memiliki sistem membran ganda
di mana membran plasmanya diselimuti oleh membran luar permeabel. Sifat
patogen dari E. coli berkaitan dengan komponen endotoksin. Endotoksin adalah
bagian dari dinding sel luar bakteri Gram negatif karena membentuk komponen
membran luar dari dinding sel bakteri tersebut. Aktivitas biologi endotoksin

21
dikaitkan dengan lipopolisakarida (LPS). Toksisitas LPS tergantung pada
komponen lipid A dan imunogenitasnya bergantung pada komponen polisakarida.
LPS sering terlibat dalam proses patologi bakteri Gram negatif. Terdapat tiga jenis
antigen utama pada Escherichia coli yaitu somatik (antigen O), kapsul (antigen K),
dan flagela (antigen H). Dilaporkan terdapat lebih dari 200 jenis antigen O, 80
antigen K dan lebih dari 50 antigen jenis H. Gabungan dari antigen-antigen ini
menghasilkan berbagai jenis serotipe Escherichia coli. Respons terhadap paparan
LPS menyebabkan meningkatnya produksi mediator proinflamasi. Endotoksin
bakteri gram negatif mengikat larutan LPS-binding protein atau membran luar sel
mononukleus. LPS secara khusus terikat atau menginduksi ekspresi protein TLR4
dan mengaktifkan jalur sinyal MAPK. Pengaruh interaksi antara monosit, makrofag
dan netrofil melepas mediator inflamasi berupa interleukin (IL), interferron (IF),
platelet activating factor (PAF) , dan tumor necrosis factor seperti TNF-α, NF-кB,
IL-6, IL-8 sebagai media pertahanan tubuh terhadap benda asing yang memiliki
dampak positif dan negatif. (Shuibin et al, 2017; Oberholzer A et al, 2001; Abbas,
2011)
Eschericia coli sangat sering menggunakan mitogen sel B (aktivator
poliklonal) dalam laboratorium imunologi. Pada penelitian ini induksi
rhinosinusitis akut menggunakan metode inokulasi. Inokulasi memasukkan
mikroorganisme, bahan infektif, serum atau substansi lain ke dalam jaringan
organisme hidup atau media biakan. Inokulasi inokulum LPS E.coli pada sinus
maksila tikus putih (Rattus Norvegicus). Tasdemir et al (2013) melakukan
penelitian untuk menyelidiki pengaruh ozon pada stres oksidatif yang disebabkan
inokulasi E.coli dengan dosis 0,5 ml solution dengan konsentrasi 2 x 108 pada tikus
putih dengan menganalisa MDA, MPO, NO dan SOD. Induksi E.coli menyebabkan
peningkatan kadar MDA, MPO dan NO sedangkan kadar SOD mengalami
pnurunan dibanding kontrol. Pada penelitian lain, Gupta et al (2017) melakukan
injeksi inokulasi bakteri E.Coli intrapelvis ginjal tikus induksi pielonefritis akut
dengan dosis 0.1 ml solution (konsentrasi antara 1x108 – 1x109), pada gambaran
MRI ginjal tikus pada hari ke-1 dan 4 didapatkan daerah infeksi ginjal yang semakin
meningkat.

22
Gambar 6. Komponen membran luar bakteri gram negatif
(Dikutip dari http: //textbookofbacteriology.net/structure.html)

C. MDA (Malondialdehyde)
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus
CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih rum it daripada struktur kimia yang
tertulis. MDA merupakan senyawa reaktif yang terbentuk secara alami dan
merupakan penanda stres oksidatif. Malondialdehid adalah senyawa yang sangat
reaktif yang tidak biasa diamati dalam bentuk murni. Kerusakan oksidatif pada
senyawa lipid terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa
polyunsaturated fatty acid (PUFA). Lipid membran bilayer diketahui merupakan
campuran fosfolipid dan glikolipid yang berikatan dengan asam lemak pada C1 dan
C2 rantai gliserol. Tingkat maupun jenis reaksi oksidasi pada berbagai asam lemak
akan berlainan. Perbedaan ini sangat bergantung pada jumlah dan posisi ikatan
rangkap pada rantai asam lemaknya (Muchtadi, 2013).
Peroksidasi lipid pada membran dapat mendegradasi asam lemak tak jenuh
secara selektif kemudian mengakumulasikannya menjadi aldehid, hidrokarbon dan
produk-produk cross linking. Peroksidase lipid merupakan inisiasi reaksi berantai
oleh radikal hidrogen atau oksigen yang menyebabkan teroksidasinya PUFA.
PUFA lebih rentan terhadap reaksi radikal bebas dibandingkan asam lemak jenuh.
Jembatan metilen yang dimiliki PUFA merupakan sasaran utama radikal bebas
yang akan membentuk radikal alkil, peroksil, dan alkoksil. Bentuk produk oksidasi
lipid yang banyak ditemukan dalam cairan biologis antara lain diena terkonjugasi

23
dalam plasma, hidroperoksida dalam plasma, LDL teroksidasi dalam plasma,
aldehid dalam plasma seperti TBARs, MDA dan 4-hidroksinoneal. (Powers and
Jackson 2008)
MDA terbentuk dari peroksidasi lipid pada membran sel yang merupakan
reaksi radikal bebas. Apabila aktivitas radikal bebas melebihi mekanisme
pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai gangguan metabolis dan seluler.
Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran sel tersebut.
Kerusakan pada membran sel dapat terjadi dengan cara:
a. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang
berada di membran sel sehingga mengubah aktivitas komponen-komponen yang
terdapat pada membran sel tersebut
b. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran sel sehingga
mengubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan fungsi membran
dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti antigen
c. Radikal bebas mengganggu sistem transpor membran sel melalui ikatan kovalen,
mengoksidasi kelompok thiol atau dengan mengubah PUFA
d. Radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap PUFA
dinding sel
Radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel.
Peroksida-peroksida lipid akan terbentuk dalam rantai yang makin panjang dan
dapat merusak organisasi membran sel. Peroksidasi lipid akan mempengaruhi
fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran
(Powers and Jackson 2008).
Mekanisme kerusakan sel akibat serangan radikal bebas yang paling awal
diketahui dan terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid paling
banyak terjadi di membran sel, terutama asam lemak tidak jenuh yang merupakan
komponen penting penyusun membran sel. Pengukuran tingkat peroksidasi lipid
diukur dengan mengukur produk akhirnya, yaitu malondialdehida. MDA
merupakan produk peroksidasi lipid yang relatif konstan terhadap proporsi
peroksidasi lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui
kecepatan (rate) proses peroksidasi lipid in vivo. Malondialdehida memiliki tiga
rantai karbon dengan rumus molekul C3H4O2. (Lima et al. 2004)

24
MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik.
Aktivitas non spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis
seperti protein, asam nukleat dan aminofosfolipid secara kovalen. Efek negatif
senyawa radikal maupun metabolit elektrofilik dapat diredam oleh antioksidan,
baik antioksidan zat gizi maupun antioksidan non gizi. Oleh karena itu, tinggi
rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh
seseorang. (Muchtadi 2013)

Gambar 7. Struktur kimia MDA (Current Protocols, 2010)

MDA biasanya diukur dari sampel plasma dengan metode yang paling
populer dengan alat tes kolorimetri berdasarkan reaksi antara MDA dan
thiobarbituric acid (TBA). Namun, meskipun sensitivitasnya tinggi, uji TBA
reacting substances (TBARS) tidak memiliki spesifisitas untuk MDA, karena
aldehida selain MDA dapat bereaksi dengan TBA untuk menghasilkan senyawa
yang menyerap dalam kisaran sama dengan MDA (Prashant, 2015). MDA
mempunyai 3 karbon dialdehida dengan gugus karbonil pada posisi C1 dan C3 dan
mempunyai rumus C3H4O2 denganberat molekul 72. MDA ini ikut dalam sirkulasi
darah dan memempunyai dua ikatan rangkap seperti asam linoleate, asam
arakhidonat dan asam dokoksaheksanoit (Ayala et al, 2014). Metode penilaian
ekspresi MDA di jaringan dengan imunohistokimia dengan mengambil bahan dari
plasma, urin, sperma dan supernatant tubuh lainnya dengan menggunakan metode
kalorimetrik, ELISA. Pengujian berbasis antibodi ini biasanya divalidasi terhadap
pengukuran MDA dengan high-performance liquid chromatography (HPLC) dan
menunjukkan kinerja yang baik dengan peningkatan spesifisitas (Kandar and
Stramova, 2015)

25
D. Stres Oksidatif Pada Rinosinusitis Akut
Stres oksidatif mencerminkan ketidakseimbangan antara manifestasi sistemik
ROS dan kemampuan sistem biologi untuk detoksifikasi zat reaktif atau untuk
memperbaiki kerusakan. Gangguan pada keadaan redoks sel normal dapat
menyebabkan efek toksik melalui produksi peroksida dan radikal bebas yang
menyebabkan kerusakan komponen sel, termasuk protein, lipid, dan DNA. Stres
oksidatif dari metabolisme oksidatif menyebabkan kerusakan dasar rantai DNA.
Kerusakan sebagian besar tidak langsung dan disebabkan oleh ROS yang
dihasilkan, misalnya O2 (superoksida radikal), OH (hidroksil radikal) dan H2O2
(hidrogen peroksida). ROS dihasilkan oleh aktivitas metabolik seluler dan faktor
lingkungan seperti polusi udara atau rokok. ROS adalah molekul yang sangat
reaktif karena struktur elektronnya tidak berpasangan dan bereaksi dengan beberapa
makromolekul biologis dalam sel, seperti karbohidrat,asam nukleat, lipid, dan
protein, yang mengakibatkan perubahan fungsi. ROS yang meningkat
menyebabkan kematian sel, mempercepat penuaan dan penyakit yang berhubungan
dengan usia. (Chandra et al, 2015)
Pada signal transduksi, ROS dapat menginduksi ekspresi beberapa gen. Rasio
yang tinggi dari oxidized gluthathione ( GSSG ) dan gluthathione ( GSH ) penting
proteksi sel dari kerusakan oksidatif. Gangguan rasio ini menyebabkan aktivasi
faktor transkripsi lebih sensitif seperti NF-kB, AP-1, sel Nuklear faktor dari aktivasi
T sel dan hipoksia-inducible faktor 1 yang semuanya terlibat dalam proses
inflamasi. Dalam keadaan stress oksidasi residu sistein DNA mengikat c-June,
beberapa sub unit AP-1 dan menghambat Ik-B kinase. NF-kB dapat diaktifkan
karena respon terhadap kondisis stress oksidasi, seperti ROS, radikal bebas dan UV
– Irradiasi. Fosforilasi I-KB membebaskan NF-kB dan memungkinkan NF-kB
masuk ke dalam inti untuk mengaktifkan gen transkripsi. Sejumlah kinase telah
dilaporkan memfosforilasi I-kB di residu resin. Kinase ini adalah terget dari signal
oksidasi untuk mengaktifkan NF-kB, Reduktor meningkatkan NF-kB mengikat
DNA sedangkan oksidator menghambat NF-kB mengikat DNA. Thierodoxins
dapat mengarahkan 2 tindakan yang berlawanan dalam regulasi Nf-KB. Aktivasi
nukleus dari Nf-KB melalui oksidasi berhubungan dengan degradasi I-kB untuk
menghasilkan beberapa gen antioksidan yang berhubungan dengan pertahanan. NF-

26
kB mengatur ekspresidari beberapa gen yang berpartisipasi dalam respon imun,
seperti IL-1b, IL-6, tumor necrosis factor-a, IL-8, dan beberapa molekul adhesi.
NF-kB juga mengatur angiogenesis dan proliferasi dan diferensiasi sel. Michael et
al, 2016 )
Superoxida anion, hidroxyl radikal dan hidrogen peroxida bertanggung jawab
terhadap kerusakan protein, lemak dan DNA di epitel saluran pernafasan. ROS
endogen adalah produk dari sel normal dan diperkirakan respirasi mitokondria saja
memproduksi 109 ROS setiap sel setiap hari (Lauren et al, 2015; Michael et al,
2016). Sel-sel inflamasi pada saluran pernafasan mampu memproduksi ROS, dan
ROS sendiri berperan pada kerusakan sel, kerusakan oksidatif dan inflamasi kronik
seperti penyakit rinosinusitis kronik. Mengingat paparan yang luas serta tingginya
oksigen dan suplai darah pada saluran pernafasan maka saluran pernafasan sangat
rentan terhadap kerusakan ini. Contohnya eosinofil di Th2 pada rinosinusitis kronik
dengan Polip nasi kadar eosinofil peroksidase meningkat sehingga menambah
kapasitas sel untuk menghasilkan superoksida dan hidrogen peroksidase. Jika
kerusakan oksidatif melebihi pertahanan antioksidan alamiah maka inflamasi
kronik akan timbul (Do-Yeon et al, 2013; Ozgul et al, 2014). Sel-sel yang rusak
(debris) akan mengaktifkan makrofag, lewat Toll-Like Reseptor4 (TLR4).
Makrofag yang teraktivasi akan mengekspresikan sitokin-sitokin, antara lain TGF-
β1, TNF-α1, IL-1β, IL-6, IL-8. Ditemukannya mediator proinflamasi yang dominan
pada rinosinusitis kronik pada penelitian menunjukkan bahwa inflamasi kronik
persisten merupakan faktor utama dalam patogenesis rinosinusitis kronik (Atsushi,
2015).

27
E. Kerangka Teori

E.coli

MyD88

IKK

IkB NF-kB

TNFα,IL8,IL6

PMN

NADPH
Oksidase

ROS

MDA

: Mengaktivasi

: Variabel yang diteliti

Keterangan bagan kerangka teori :

Escherichia coli akan diikat oleh reseptor APC spesifik berupa TLR4
melalui jalur MyD88 klasik yang memicu aktivasi NF-Kb. Aktivitas NF-Kb di
sitoplasma dikontrol oleh protein regulator yaitu IkB. Terjadinya fosforilasi pada
IkB mengaktifkan IKK (IkB Kinase) sehingga terlepasnya dimer NF-Kb pada

28
sitoplasma. Nf-Kb yang aktif terlepas menuju nukleus dan mengirimkan sinyal
dimana merangsang ekspresi gen proinflamasi memproduksi sitokin proinflamasi
antara lain TNF α, IL-6, IL-8. Sitokin-sitokin proinflamasi meningkatkan produksi
neutrofil polimorfonuklear leukosit (PMN). Leukosit adalah sel pertama yang akan
melawan bakteri patogen yang menyerang jaringan sinus. Pada tahap awal
terjadinya infeksi, terjadi peningkatan sel polimorfonuklear yang sekaligus akan
meningkatkan pengeluaran radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas atau reactive
oxygen spesies (ROS) tersebut terjadi melalui reaksi enzimatik yang melibatkan
rantai respiratori dalam proses fagositosis dimana radikal anion superokside
dibentuk oleh NADPH oxidase. Pada awalnya, PMN yang diproduksi memiliki
peran protektif terhadap jaringan sinus namun kadar PMN yang tinggi dan ROS
yang berlebihan dapat menyebabkan destruksi epitel sinus paranasal. Aktivitas
radikal bebas yang melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi
berbagai gangguan metabolis dan seluler. Salah satunya dapat diketahui dari adanya
Malondialdehid (MDA). MDA merupakan senyawa reaktif yang terbentuk secara
alami dan merupakan penanda stres oksidatif dimana terbentuk dari proses
peroksidasi lipid pada membran sel yang merupakan reaksi radikal bebas.

F. Kerangka Konsep

Variabel Bebas
Variabel Terikat
Waktu pasca induksi
Kadar
bakteri E.coli. Malondialdehid
(Hari ke 7,14,21,28) (MDA)

G. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan kadar Malondialdehid
(MDA) pada tikus putih pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 pasca induksi dengan
Escherichia coli.

29
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Antar Universitas (PAU) Universitas
Gajah Mada Yogyakarta. Jangka waktu penelitian diperkirakan sekitar 4 bulan
meliputi : tahap persiapan alat dan bahan (2 bulan), perlakuan pada hewan coba dan
pengukuran hasil di laboratorium ( 2 bulan).

B. Desain Penelitian
Penelitian ini memakai rancangan eksperimental post-test only control group
design dengan tikus putih jantan (Rattus Norvegiccus) sebagai hewan coba karena
pengukuran MDA pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian
perlakuan kemudian dianalisa.

C. Subyek Penelitian dan sampel


1. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) BALB/C
umur 8 – 12 minggu, berat badan 200 – 300 gram, diperoleh dari Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada.
Rattus norvegicus umumnya digunakan sebagai hewan uji dalam penelitian
karena memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan manusia, yakni
termasuk ke dalam kelas mamalia dan memiliki persamaan fisiologis. Selain itu,
sifat-sifat Rattus norvegicus telah diketahui dengan jelas, antara lain mudah
dipelihara dalam jumlah besar, cepat berkembang biak, serta cukup agresif.
(Permana, 2010)

2. Sampel
Sampel penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) BALB/C
umur 8 – 12 minggu, berat badan 200 – 300 gram yang memenuhi kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi.

30
Kriteria inklusi :
1. Tikus putih jantan (Rattus Norvegiccus) BALB/C sehat yaitu tikus putih
jantan dengan kondisi mata bersinar, bulu tidak kusam, aktif dan nafsu
makan baik.
2. 8 – 12 minggu
3. Berat badan 200 – 300 gram.

Kriteria eksklusi yaitu tikus putih jantan (Rattus Novegiccus) BALB/C mati saat
penelitian.

3. Besar sampel
Banyaknya jumlah sampel dalam penelitian ini akan menggunakan rumus
Federer untuk uji eksperimental, yaitu:
(k-1) (n-1) > 15

Keterangan :
k = jumlah kelompok
n = jumlah sampel dalam tiap kelompok

Besar sampel yang diperlukan dihitung dengan rumus:


(k-1) (n-1) > 15 ; k = 5
(5-1) (n-1) > 15
4n-4 > 15
4n > 19
n > 4,75 ; dibulatkan menjadi > 5

Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel minimal yang diperlukan


adalah 6 ekor tikus putih jantan (Rattus norvegicus). Tetapi dalam percobaan ini
menggunakan 8 ekor tikus untuk tiap kelompok untuk mengantisipasi tingginya
angka drop out. Jadi sampel total adalah 40 ekor

31
D. Variabel penelitian
1. Variabel bebas :
Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah waktu pasca
induksi bakteri E.coli.
2. Variabel tergantung :
Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah kadar
malondialdehid (MDA) serum tikus putih jantan (Rattus Norvegicus).

E. Definisi Operasional
1. Waktu pasca induksi bakteri Gram (-) E.coli
Merupakan waktu yang diperlukan untuk mengetahui kadar optimal MDA
setelah dilakukan induksi E.coli dengan dosis 0.1 ml pada konsentrasi E.coli 1.5
x 109. Dimana terbagi atas 4 waktu pengukuran yaitu hari ke-7, 14, 21 dan 28
pasca induksi sesuai jumlah kelompok perlakuan. Jenis data numerik
2. Malondialdehid (MDA)
Malondialdehid (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal
bebas, MDA adalah senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas
didalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stress
oksidatif. Pada penelitian ini kadar MDA diukur pada masing-masing 5
kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok induksi/perlakuan. waktu
pengukuran yaitu hari ke-7, 14, 21 dan 28 pasca induksi. Pemeriksaan kadar
MDA serum dilakukan di PAU Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan cara mengambil darah tikus putih
melalui vena plexus orbitalis dengan menggunakan tabung mikro kapiler
sebanyak 2 ml tiap ekor lalu dimasukkan ke dalam tabung, disentrifugasi pada
3000 rpm selama 20 menit dengan suhu 4°C. Serum yang terpisah dari sel darah
merah selanjutnya digunakan untuk pemeriksaan kadar MDA. Pemeriksaan
dilakukan pada hari yang sama dengan pengambilan sampel darah. MDA
diperiksa dengan pemeriksaan spektrofotometri panjang gelombang 532 nm
dengan mengukur kadar Thio Barbituric Acid Reactive Substance (TBARS)
berdasarkan perubahan warna merah akibat reaksi pembentukan kompleks asam

32
thiobarbiturat-MDA. Kadar MDA darah dinyatakan dalam satuan nMol/mL.
Jenis data numerik.

F. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan
a. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan.
b. Menghubungi bagian yang terkait dan berdiskusi dengan pembimbing.
c. Menyusun status penelitian dan usulan penelitian.
2. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) kandang
tikus; 2) pakan tikus; 3) bakteri E.coli FNCC 0091; 4) tabung inokulum; 5)
Spuit inokulasi 1 cc ujung tumpul; 6) bahan untuk pemeriksaan MDA darah;
7) tabung reaksi; 8) spektrofotometer

G. Cara Kerja
1. Membuat inokulum (E.coli)
Inokulum pada percobaan ini dibuat di PAU UGM, Yogyakarta. E.coli dari
cultur stock diempatkan pada media tumbuh cair (nutrien broth) 10 ml,
kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37⁰ C. Dilakukan penghitungan
jumlah sel (E.coli ~ 2-5 x 109). Kemudian dilakukan sentrifuge dengan kecepatan
3500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang lalu pellet yang tersisa
ditambahkan NaCl 0.85% (steril) 10 ml sehingga terdapat 3x109 colony forming
units (CFU)/ml.
2. Langkah penelitian
a. Langkah I: Penentuan besar sampel dan adaptasi Sebanyak 40 ekor tikus putih
jantan dibagi menjadi lima kelompok dan diadaptasikan selama 7 hari
di laboratorium dan diberi pakan standar.
b. Langkah II: Induksi E.coli intranasal kanan dan kiri masing-masing 0.1 ml
dengan dosis 3x109 colony forming units (CFU)/ml.
c. Langkah III: Pengukuran kadar MDA darah setelah inokulasi, darah diambil
dari vena retroorbital menggunakan pipa mikrokapiler kemudian ditampung
dalam tabung reaksi, dan selanjutnya diproses untuk mendapatkan serum

33
darah. Pengukuran kadar MDA darah dilakukan setelah perlakuan pada hari
ke-7, 14, 21, 28.
e. Langkah IV: Perhitungan data Semua kadar MDA darah tikus yang didapatkan
setelah perlakuan ditabulasi, dibuat rata-rata kemudian dianalisis

34
H. Alur Penelitian

Tikus Putih
(Rattus norvegicus)

Aklimatisasi

32 ekor tikus terinfeksi


Umur 3-4 bulan
Berat badan ± 200-300 gr

P1 P2 P3 P4 P5
8 ekor 8 ekor 8 ekor 8 ekor 8 ekor
(Kontrol) (H+7) (H+14) (H+21) (H+28)

MDA

Analisa Data

35
I. Analisa Data

Teknik analisis data yang digunakan tergantung pada hasil distribusi data
dan skala pengukuran termasuk skala dengan variabel numerik. Uji normalitas data
dinilai dengan uji Saphiro-Wilk yang memiliki nilai signifikan apabila p >0,05,
(sampel < 50). Jika distribusi data yang didapatkan normal, maka teknik analisis
data yang digunakan adalah analisis data parametrik berupa uji one way ANOVA,
di mana jika hasil uji ANOVA signifikan (p<0.05) maka dilanjutkan dengan post
hoc LSD test. Uji one way ANOVA adalah uji untuk membandingkan perbedaan
mean pada kelima kelompok sekaligus sehingga dapat diketahui apakah kelima
kelompok memiliki mean selisih kadar MDA darah yang berbeda secara signifikan
atau tidak. Uji Post Hoc LSD adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean
antar kelompok perlakuan. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis
menggunakan SPSS for windows release 22.

36
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK. 2011. Cellular and Molecular Immunology. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders Companies. p175-85.

Adam SD, et al. 2016. Prevalence of Polyp Reccurence After Endoscopic Sinus
Surgery for Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyposis. The
Laryngoscope, 127 (3) : 550 – 555

Asano T, et al. 2017. Serum Periostin as a biomarker for comorbid chronic


rhinosinusitis in patients with asthma. Ann Am Thorac Soc

Atsushi K. 2015. Immunopathology of chronic rhinosinusitis. Allergol Int.April ;


64(2): 121–130.

Ayala, Mario, Sandro. 2014. Lipid Peroxidation: Production, Metabolism and


Signaling Mechanism of Melandialdehyde and 4- Hydroxy-2 Nonenal

Bachert et al. 2014. ICON : Chronic Rhinosinusitis. World Allergy Organization


Journal. 7 : 25

Bansal M. 2013. Diseases of Ear, Nose, and Throat: Head and Neck Surgery. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.

Bassiouni A, Wormald PJ. 2013. Role of Frontal Sinus Surgery in Nasal Polyp
Recurrence. Laryngoscope, 123(1): 36 – 41

Bird J et al. 2013. Adult acute rhinosinusitis. BMJ;346:f2687

Bo Wei, et al. 2018. Multivariate analysis of inflammatory endotypes in recurrent


nasal polyposis in a Chinese population. Rhinology. 56: 3, 216-226

Bruce KT, Robert CK, Robert PS, Brian SS, 2013.Chronic Rhinosinusitis: The
Unrecognized Epidemic. Am J Respir Crit Care Med; 188 (11): 1257 –
1277

Búfalo CM, Ana Paula BG, Bruno JC, Marjorie de AG, José MS. 2014. The
immunomodulatory effect of propolis on receptorsexpression, cytokine
production and fungicidal activity ofhuman monocytes. Journal of
Pharmacy and Pharmacology. 66 : 1497 – 1504
Candra EW, Sumarman I, Ratunanda SS, Madiadipoera T. 2013. Penurunan kadar
IL-8 sekret mukosa hidung pada rinosinusitis tanpa polip non alergi oleh
antibiotic mikrolide meningkatkan fungsi penghidu. FK Universitas
Pedjajaran-RSHS Bandung.

37
Chandra K, Syed SA, Abid M, Sweety R, Najam AK. 2015. "Protection Against
FCA Induced Oxidative Stress Induced DNA Damage as a Model of
Arthritis and In vitro Anti-arthritic Potential of Costus speciosus Rhizome
Extract". International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical
Research. 7 (2): 383–389

Carl MP et al, 2018. Prevalence of asthma, aspirin sensitivity and allergy in chronic
rhinosinusitis: data from the UK National Chronic Rhinosinusitis
Epidemiology Study. Respiratory Research; 19 : 129

Carter GR, Wise DJ. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology and Mycology. 6th
Ed. Iowa: Blackwell Publishing.

Chen YT, Chien CY, Tai SY, Huang CM, Lee CT. 2016. Asthma associated with
chronic rhinosinusitis: a population-based study. Int Forum Allergy
Rhinol;6:1284–1293.

Claus B et al, 2014. ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ Journal; 7:
25

C. Tasdemir. S. Tasdemir. A. Yucel. E. Aglamis,Y. Yakupogullari. N. Vardi. B.


Ates. Y. Onal, S. Erdogan, R. Altıntas, A. Karaman. 2013. Evaluation of
the effects of ozone therapy on Escherichia coli-induced cytitis in rat.
Department of Urology, School of Medicine, Inonu University, Malatya,
Turkey. Ir J Med Sci DOI 10.1007/s11845-013-0926-x

A. Karaman. 2013. Evaluation of the effects of ozone therapy on Escherichia coli-


induced cytitis in rat. Department of Urology, School of Medicine, Inonu
University, Malatya, Turkey. Ir J Med Sci DOI 10.1007/s11845-013-
0926-x

Denes A, Lopez-Castejon G, Brough D. 2012.Caspase-1: is IL-1 just the tip of


the ICEberg? Cell Death Dis. Jul 5;3:e338.

Doitsh G, Galloway NL, Geng X, Yang Z, Monroe KM, Zepeda O, et al. 2014. Cell
death by pyroptosis drives CD4 T-cell depletion in HIV-1
infection. Nature 505 (7484): 509–14.

Do-Yeon C et al. 2013. Expression of Dual Oxidase and Secreted Cytokines in


Chronic Rhinosinusitis. Int Forum Allergy Rhinol; 3(5): 376 - 383

Diding HP,Endang Listyaningsih S, A Guntur H. Ekstrak Etanol Propolis Isolat


Gunung Lawu Menurunkan Derajat Inflamasi dan Kadar Malondialdehide
pada Tikus Model Sepsis. Majalah Kedokteran Bandung.
2013a;45(2):161-166.

38
Diding HP,Ida Nurwati, Sri Hartati Hadinoto, Martini. Ekstrak Etanol Propolis
Meningkatkan Kadar sRAGE Serum Mencit Model Kaki Diabetik. Jurnal
Bahan Alam Indonesia, 2013b; 8(6):389-94).

Esra Bisben et al. 2012. Oxidative Stress and Antioxidant Defense. World Allergy
Organization Journal ;5(1) : 9 – 19

Farooqui T dan Farooqui AA. 2012. Beneficial effects of propolis on human health
and neurological diseases. Front Biosci ( Elite ED ). 4 : 773 - 93

Fokkens WJ et al, 2012. European pasition paper on rhinosinusitis and nasal polyps
2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology; 50 (1): 1 – 12
Gupta, K., Donnola, S.B., Sadeghi, Z., Lu, L., Erokwu, B.O., Kavran, M., Hijaz,
A., Flask, C.A 2017. Intrarenal Injection of Escherichia coli in a Rat
Model of Pyelonephritis. J. Vis. Exp. (125), e54649

Guven M, Aladag I, Eyibilen A, Filiz NO, Ozyurt H, Yelken K. 2007. Experimentally


induced acute sinusitis and efficacy of vitamin A. Department of ORL,
Faculty of Medicine, Gaziosmanpasa University, Tokat, Turkey. Acta
Otolaryngol. 2007 Aug;127(8):855-60

Hopkins C, Andrews P, Holy CE. 2015. Does time to endoscopic sinus surgery
impact outcomes in chronic rhinosinusitis? Retrospective analysis using
the UK clinical practice research data. Rhinology;53:18–24.
Hulse EW et al. 2015. Pathogenesis of nasal polyposis. Journal of the British
Sociaty for Allergy and Clinical Immunology; 45 (2): 328-346
Hwang PH, Getz A. 2014. Acute Sinusitis and Rhinosinusitis in Adults : Treatment.
UpToDate Wolters Kluwer Health.
Hyun JM et al, 2014. Level of Secreted HMGB 1 Correlates With Severity of
Inflammation in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope; 125: E 225 - 230
Hyung-JC, Chang HK. 2018. Oxygen matters: hypoxia as a pathogenic mechanism
in rhinosinusitis. BMB Rep; 51(2): 59-64

Indrayanto I, Diding HP, Sarsono.2013. Ekstrak Etanol Propolis Menurunkan


High-Mobility Group Box 1 Mencit Model Infertilitas Jantan. Jurnal
Bahan Alam Indonesia, 2013; 8(6):395-98.

Jawetz E, Melnick J, Adelberg EA. Mikrobiologi kedokteran, (terjemahan). Edisi


ke-25. Jakarta: EGC; 2005

Jin M et al, 2011. Developing a mouse model of acute bacterial rhinosinusitis. Eur
Arch Otorhinolaryngol. Jun; 268(6): 857-61

39
Joanna K, Malgorzata K, Dorota LK, Jacek K, Irena M. 2018. Antioxidant Potential
of Propolis, Bee Pollen, and Royal Jelly: Possible Medical Application.
Oxidative Medicine and Cellular Longevity . Volume 2018. Article ID
7074209

Jose MS. 2016. Biological Properties and Therapeutic Application of Propolis.


Phytotherapy Research. 30: 894 – 905

Juang M et al, 2013.The Development of Nasal Polyp Disease Involves Early Nasal
Mucosal Inflammation and Remo. delling. PloS One; 8 (12): e 82373

Kandar & Stramova. 2015. Determination of Seminal Plasma Malondialdehyde by


High Performance Liquid Chromatography in Smokers and Non Smoker.
Journal of Bratislava Medical; Vol.116: 20 – 24

Kathrin S, Martin W. 2016. Cytokine Patterns and Endotypes in Acute and Chronic
Rhinosinusitis. Curr Allergy Asthma Rep : 16 - 23

Kim SW et al. 2013. Resveratrol prevents development of eosinophilic


rhinosinusitis with nasal polyps in a mouse model. Europian journal of
allergy and clinical immunology; 68: 862-869

Lauren et al. 2015. Superoxide Dismutase Redice the inflammatory response to


Aspergillus and Alternaria in Human Sinonasal Epithelial Cells Derived
from Patients with Chronic Rhinosinusitis. American Journal of
Rhinology

Li Huying, Cai Yen, Xie Ping, Li Guangyu, Hao Le, Xiong Qian, 2013.
Identification and Expression Profiles of IL-8 in Bighead Carp
(Aristitichthys nobbilis) in Response to Microcystin-LR. Arch Environ
Contam Toxicol. 65: 537-545

Lima VR, Morfim MP, Teixeria A, Crecszynski TB. 2004. Relationship between
the action of reactive oxygen and nitrogen species on bilayer membranes
and antioxidants. Chemistry and physics of lipids 132: 197208

Lund VJ et al. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps, 2012

Mai FT.2014. Caffeic acid phenethyl ester : A review of its antioxidant activity,
protective effects against ischemia-repurfusion injury and drug adverse
reaction. Critical Reviews on Food Science and Nutrition. Doi:
10.1080/10408398. 2013. 821967

Marcelo F. 2017. The use of Brazilian propolis for discovery and development of
novel anti-inflammatory drugs. European Journal of Medicinal Chemistry.
06.050
Marianne F, Krisna K, Anthony B, 2015. Review: Immunilogy of Sinusitis,
Trauma, Asthma and Sepsis. Allergy Rhinol (Providence). 6(3):205-14

40
Masato M, Rick D, Kohei M. 2016.TGF-band the TGF-b Family: Context-
DependentRoles in Cell and Tissue Physiology. Cold Spring Harb
Perspect Biol;8:a021873

Mc Chuaig S, Martin J. 2013. How the airway smooth muscle in cystic fibrosis
reacts in proinflammatory conditions: implications for airway
hyperresponsive and asthma in cystic fibrosis. The Lancet Respiratory
Medicine Volume 1, Issue 2: 137 - 147

Meng XM, Tang PM, Li J, Lan HY, 2015. TGF-β/Smad signaling in renal
fibrosis.Front Physiol. Mar 19;6:82.

Michael K et al. 2014. Immune Imbalance in Nasal Polyps of Caucasian Chronic


Rhinosinusitis Patients Is Assiciated with e Downregulation of E-Selectin.
Journal of Immunology Research. Vol 2014. Article ID 959854

Michael KH et al. 2016. Bactericidal Antibiotics Promote Reactive Oxygen Species


Formation and Inflammation in Human Sinonasal Epithelial Cells. Int
Forum Laeergy Rhinol; 6(2): 191 -200

Min JY, Dhong HJ, 2013. The Role of Epithelium in the Pathophysiology of
Chronic Rhinosinusitis: An Update. J Rhinol 20 (1)

Mingjie W et al. 2015. Differing roles for TGF- β_/Smad signaling in osteitis in
chronic rhinosinusitis with and without nasal polyps. American Journal of
Rhinology & Allergy ; 29: e 152-159

Mi Ju Son et al. 2018.Safety and efficacy of Galgeun-tang-ga-cheongung-sinyi, a


herbal formula. for the treatment of chronic rhinosinusitis: A study
protocol for a randomized controlled trial. Medicine (Baltimore) ; 97(25):
e11196.

Momoko N. 2005. Classical and Alternative NF-κB Activation Pathways and Their
Roles in Lymphoid Malignancies. Journal of Clinical and Experimental
Hematopathology; 1: 15-24

Monroe KM et al. 2014. IFI16 DNA sensor is required for death of lymphoid CD4 T
cells abo rtively infected with HIV. Science 343 (6169): 428–32.

Muchtadi D. 2013. Antioksidan dan Kiat Sehat di Usia Produktif. Bandung:


Penerbit Alfabeta

Mustafa, M., Patawari, P., HM, I., Shimmi, S. C., Hussain, S. S., & Sien, M. M.
2015. Acute and Chronic Rhinosinusitis, Pathophysiology and Treatment.
International Journal of Pharmaceutical Science Invention; p.30-36.

41
Neiva KG, Catalfamo DL, Holliday S, Wallet SM, Pileggi R. 2014. Propolis
Decreases Lipopolysaccharide-induced inflammatory madiators in pulp
cells and osteoclast. Dent Tarumatol. 30: 362-367

Ozgul T, Sevsen K, Selim SE. 2014. Oxidative Stress and Nasal Polyposis; Does it
affect the severity of the disease ?. American Journal of Rhinology &
allergy; 28: e1 – e4

Permana, 2010. Konsumsi, Kecernaan dan Performa Tikus Putih (Rattus


norvegicus) yang Disuplementasi Biomineral Cairan Rumen dalam
Ransum. (Skripsi). Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pham-huy L.A, et al.,2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Heal th.
International Journal of Biomedical Sience. Vol 4 No.2

Phan NT et al. 2015. Cellular and molecular mechanisms of chronic rhinosinusitis


and potential therapeutic strategies : review on cytokines, nuclear factor
kappa B and transforming growth factor beta. The Journal of Laryngology
& Otology. Vol 129, Issue 23: pp S2-S7

Powers SK & Jackson. 2008. Exercise induced oxidative stress: cellular mechanism
and impact on muscle force production. Physiol Rev 88(4): 1243-76

Prashant. 2015. Streptococcus pnrumoniae Induced Host Responses and Disease.


Thesis of Microbiology. National Uneversity of Singapore; P: 20 – 34

Putz R, Pabst R. 2006. Atlas Anatomi Manusia. Sobotta Edisi 21 Jilid 1. Jakarta:
EGC.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. London (GB): Blackwell Science.

Riechelmemann H et al. 2005. Nasal biomarker profiles in acute and chronic


rhinosinusitis. Clinn Exp Allergy; 35 : 1186 – 1191

Richard AW, Jon T, Eva EQ. 2014. Computational Models of the NF-_B Signalling
Pathway. Computation; 2 :131-158

Robert PS. 2016. Immunopathogenesis of Chronic Rhinosinusitis and Nasal Polyps.


The Annual Review of Pathology; 12: 13.1-13.27

Rusmono N. 2003. Rinitis alergi. Dalam: Penatalaksanaan penyakit dan kelainan


telinga, hidung, tenggorok. Soepardi EA dkk, editors. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI

42
Ryan D, 2008. Management of acute rhinosinusitis in primary care: changing
paradigms and the emerging role of intranasal corticosteroid. Primary Care
Respiratory Journal ; 17(3)

Said AS, Hajime A, Kazuhiko T. 2015. Pathogenesis of eosinophilic Chronic


Rhinosinusitis. Journal of Inflammation; 13 : 11

Sarsono, Syarifah I, Martini, Diding HP.2012. Identifikasi caffeic acid phenethyl


ester dalamekstrak etanol propolis isolat gunung lawu.Jurnal Bahan Alam
Indonesia, 2012, 8(2):132-6.

Segura M, Vadeboncoeur N, Gottschalk M (2002) CD14-dependent and


independent cytokine and chemokine production by human THP-1
monocytes stimulated by Streptococcus suis capsular type 2. Clin Exp
Immunol 127: 243– 254

Shi JB et al, 2015. Epidemiology of chronic rhinosinusitis: results form a cress-


sectional survey in seven Chinese cities. Allergy; 70(5): 533-9
Shuibin wang, Hanwu zangi, Zulian, Jingjing huangi, Jun nie, Bin z, 2017.
Establishment of a mouse model of lipopolysaccharide‑induced
neutrophilic nasal polyps. Department of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, Yichang Yiling Hospital, Yichang, Hubei. 14: 5275-5282
Smith KA, Orlandi RR, Rudmik L. 2015.Cost of adult chronic rhinosinusitis: a
systematic review. Laryngoscope;125:1547–56.
Sumit B, Leslie C, Grammer MD, Anju T, Peters MD. 2016. Infectious Chronic
Rhinosinusitis. Journal Allergy Clin Immunol Pract; 4: 584 – 9

Ting L, Lingyun Z, Donghyun J, Shao Cong, 2017.NF-κB signaling in


inflammation. Signal Transduction and Targeted Therapy, vol 2 . Article
number: 17023

T. Rahman et al. 2012. Oxidative stress and human health. Advances in Bioscience
and Biotechno;ogy,3. 997-1019

Toreti VC, Sato HH, Pastore GM, Park YK. 2013. Recent Progress of Propolis for
its Biological and Chemical Compositions and its Botanical Origin. Evid
Based Complement Alternat Med : 1 – 13

Vijay DW. 2013. Propolis: A Wonder Bees Product and Its Pharmacological
Potentials. Advances in Pharmacological Science. Vol 2013. Article ID
308249

Vincenzo Z et al. 2017. Effect of Green and Brown Propolis Extracts on the
Expression Levels of microRNAs and Proteins, Related to Oxidative
Stress. Journal Nutriens. 9, 1090

43
Wang K et al. 2013. Molecular Mechanism Underlying the in vitro anti-
inflammatory effect of a flavonoid-rich ethanol extract from Chinese
Propolis (Poplar type).Evid Based Complement Alternat Med : 1 - 11

Wang X et al, 2016. Diversity of TH cytokine profiles in patient with


chronicrhinosinusitis: a multicenter study in Europe, Asia, and Oceania. J
Allergy Clin Immunol; 138 (5): 1344-1353

Washio K, Kobayashi M, Saito N, Amagasa M, Kitamura H. 2015. Propolis Ethanol


Extract Stimulates Cytokines and Chemokines Production through NF-kB
Activation in C2C12 Myoblasts. Evid Based Complement Alternat Med :
1-7

Whitney et al, 2015, Chronic Rhinosinusitis Pahogenes. Journal Allergy Immunol;


136(6): 1442-1453
Whitney WS, Robert PS, Robert CK. 2016. Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Polyps. Journal Allergy Clin Immunology Pract
Yang L, Seki E, 2012. Toll like receptors in liver fibrosis: cellular crosstalk and
mechanism. Front Physol; 3: 138
Yan JW et al. 2014. NLRP3 Inflammasome Sequential Changes in Staphylococcus
aureus-Induced Mouses Model of Acute Rhinosinusitis. Int. J.Mol. Sci, 15:
15806-15820

44

Anda mungkin juga menyukai