Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Rinosinusitis cukup sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik
dokter umum maupun dokter spesialis THT. Sinusitis adalah keradangan pada
satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala berupa buntu hidung,
pilek kental purulen serta dapat disertai dengan nyeri wajah dan gangguan
penghidu. Secara teoritik penyakit ini dapat ditemukan pada bayi (infant),
karena sinus maksila dan etmoid sudah terbentuk sejak lahir. Penderita sinusitis
biasanya datang berobat ke dokter umum atau Spesialis THT. Penyakit ini
cukup sering diketemukan yaitu sekitar 20 % dari penderita yang datang di
praktek dokter. Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology -
Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis
dengan rinosinusitis. Rinosinusitis akut merupakan penyakit multifaktorial.
Faktor etiologi yang paling berperan yaitu infeksi virus yang terkait dengan
infeksi saluran pernafasan atas (Aring, 2016).
Rinosinusitis akut terdiri dari acute viral rhinosinusitis (AVRS)
(common cold), post viral dan acute bacterial rhinosinusitis (ABRS). ABRS
biasanya didahului AVRS dan post viral. Infeksi virus pada hidung dan sinus
paranasal menginduksi berbagai macam perubahan termasuk post viral, yang
meningkatkan resiko superinfeksi bakteri. Perubahan ini termasuk kerusakan
epitel dan sistem pertahanan mekanik, humoral dan seluler (Fokkens, et al 2012
; Shi, et al 2015). Inflamasi yang berlebihan pada hidung dan sinus paranasal
akan memicu aktivitas Nuclear factor kappa Beta (NF-kB), pada gilirannya NF-
kB akan menginduksi terbentuknya matrix metalloproteinases (MMPs),
terbentuknya MMP juga dipengaruhi oleh kadar TGF-β. TGF-β adalah factor
pertumbuhan yang memegang peranan utama dalam penyakit inflamasi pada
saluran napas.

1
High-mobility group box 1 (HMGB 1), translokasi HMGB1 dari
nucleus ke sitoplasma terjadi jika jaringan rusak dalam lingkungan hipoksia
maka HMGB1 dilepaskan ke dalam ekstraseluler. HMGB 1 dapat dipakai
sebagai penanda molekuler apabila terjadi kerusakan jaringan organ dalam
lingkungan hipoksia. Kelainan patologis pada rongga hidung berhubungan juga
dengan hipoksia jaringan. Karakteristik rinosinusitis akut adalah sumbatan dari
osteum sinus paranasal dengan infeksi berulang. Hipoksia menyebabkan
penurunan transport mukosiliar yang pada akhirnya merusak mekanisme
pertahanan epitel rongga hidung (Hyun , et al, 2015; Hyung dan Chang, 2018).
Rinosinusitis akut merupakan problem yang signifikan bagi kesehatan
karena menurunkan produktivitas kerja yang dapat menyebabkan beban
keuangan yang besar bagi masyarakat yang pada akhirnya menurunkan kualitas
hidup (Carl, et al, 2018). Studi yang dirancang untuk mengetahui epidemiologi
rinosinusitis akut memainkan peran penting dalam menilai distribusi,
menganalisa faktor risiko, dan mempromosikan kebijakan kesehatan
masyarakat. Data epidemiologis pada rinosinusitis akut langka, dan metode
studi dan tingkat respons sangat bervariasi. Prevalensi rinosinusitis akut
bervariasi antara 6-15% dari populasi keseluruhan, dengan estimasi
rinosinusitis akut rekuren 0,035%. Penyebab primer dari rinosisnusitis akut
adalah virus dengan 0,5-2% berkembang menjadi ABRS ( Fokkens, et al
2012).Di Amerika Serikat, rinosinusitis akut dan kronik dialami oleh 14%
populasi, dengan pengeluaran biaya kesehatan tahunan sebesar $3,5 milyar. Di
Eropa, satu episode rinosinusitis akut terjadi pada 8,4% populasi. Suatu analisis
berdasarkan beban biaya yang dikeluarkan, rinosinusitis menempati urutan ke-
9 dari 10 penyakit termahal (Ryan, 2008).
Sekitar 90% pasien dengan rinitis viral (common cold), sinus paranasal-
nya juga ikut terpengaruh dan dapat dibuktikan melalui CT scan. Beberapa
penelitian menunjukkan kultur bakteri yang positif pada sekitar 0,5% sampai
2% dari kasus rinitis viral (Ryan, 2008)
Diperkiran orang dewasa menderita dua sampai 5 episode
rinosinusitisakut per tahun sekitar 0,5-2% terjadi komplikasi karena infeksi

2
bakteri. (Fokken et al, 2012). Ujien et al, 2011 melaporkan rata-rata insidensi
rinosinusitis akut selama tahun 2002-2008 adalah 18 kasus per 1000 anak usia
12-17 tahun. Orskarson, 2011 juga melaporkan insidensi rinosinusitis akut
adalah 3,4 dari 100 kasus per tahun atau 1 dari 29 pasien mengunjungi dokter
umum karena rinosinusitis akut. Menurut Bhattacharyya, 2011 prevalensi
rinosinusitis akut rekuren pada tahun 2003-2008 adalah 0,035%. Guidelines di
Amerika Serikat infeksi saluran nafas atas adalah 3 alasan paling umum
seseorang pasien ke dokter umum salah satu diantaranya karena rinosinusitis
akut. Di Amerika dilaporkan 1 dari 7 orang dewasa terkena rinosinusitis akut
(Meltzer et al, 2011).
Propolis adalah bahan resin yang diperoleh dari berbagai jenis tanaman
yang dikumpulkan oleh lebah madu. Efek propolis antara lain sebagai anti-
inflamasi maupun antioksidan. Aktivitas antioksidan propolis terutama
kandungan flavonoidnya (caffeic acid phenethyl ester/CAPE) (Aygün et al.,
2012). Hasil identifikasi kandungan zat aktif biologik utama dalam ekstrak
etanol isolat propolis gunung Lawu didapatkan CAPE 30,24 ± 3,53 x 10-6 gram
dan kuersetin 4,42 ± 0,50 x 10-6 gram sebagai dasar dalam penentuan dosis
(Sarsono dkk., 2012). Sebagai antiinflamasi menunjukkan ekstrak etanol isolat
propolis gunung Lawu menurunkan High-Mobility Group Box 1 (HMGB-1)
mencit model infertilitas jantan (Indrayanto dkk.,2013), sedangkan sebagai
antioksidan isolat propolis gunung Lawu didapatkan hasil dosis
200mg/kgBB/hari selama 30 hari, menurunkan kadar Malondialdehid (MDA),
meningkatkan kadarsoluble Receptor for Advanced Glycation End Producs
(sRAGE), dan memperbaiki luka pada mencit Balb/C model kaki diabetik yang
diinduksi streptozotocin (STZ) (Diding dkk., 2013). Dengan demikian
diharapkan propolis dapat memberikan efek penghambatan progresifitas
kerusakan pada penyakit rinosinusitis akut baik tingkat seluler maupun
molekuler. Rinosinusitis akut merupakan salah satu penyakit yang sering
ditemui klinisi dan prevalensinya sangat tinggi. Sehingga pemahaman yang
lebih mendalam tentang patofisiologi rinosinusitis akut dibutuhkan untuk
meningkatkan tatalaksana pengobatan. Model bintang telah menambah

3
pengetahuan kita mengenai penyakit pada manusia dan juga memberikan
manfaat dalam pengujian obat obat baru. Saat ini penelitian menggunakan
model binatang untuk rinosinusitis masih terbatas. Tehnik inokulasi dan atau
memasukkan benda asing ke model tikus merupakan tehnik untuk uji coba
rinosinusitis akut (Jin, et al 2011).

1.2. Rumusan masalah


Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh ekstrak
propolis terhadap protein caspase-1, IL-8, E-selektin, melanoldialdehid dan
gambarang nekrosis sinus paranasal pada tikus model penyakit rinosinusitis
akut di tingkat seluler dan molekuler.
1.2.1 Bagaimana pengaruh ekstrak etanol isolat propolis terhadap kadar MDA
di serum dalam mengurangi reaksi oksidatif dan inflamasi yang
bermanfaat pada penghambatan progresifitas penyakit rinosinusitis
akut?
1.2.2 Bagaimana pengaruh ekstrak etanol isolat propolis terhadap ekspresi
Caspase-1sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas
penyakit rinosinusitis akut?
1.2.3 Bagaimana pengaruh ekstrak etanol isolat propolis terhadap ekspresi IL
8 sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut?
1.2.4 Bagaimana pengaruh ekstrak etanol isolat propolis terhadap ekspresi E-
selektin1sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas
penyakit rinosinusitis akut?
1.2.5 Bagaimana pengaruh ekstrak propolis terhadap gambaran histopatologi
jaringan nekrotis hidung penyakit rinosinusitis akut.

4
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum penelitian:
Menjelaskan pengaruh ekstrak propolis terhadap protein caspase-1, IL-
8, E-selektin, melanoldialdehid dan gambarang nekrosis sinus paranasal pada
tikus model penyakit rinosinusitis akut di tingkat seluler dan molekuler.
1.3.2. Tujuan khusus penelitian:
1. Membuktikan dan menganalisa establishment mencit pada model
rinosinusitis akut.
2. Membuktikan dan menganalisa peran ekstrak propolis terhadap kadar
MDA sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut.
3. Membuktikan dan menganalisa peran ekstrak propolis terhadap ekspresi IL
8 sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut.
4. Membuktikan dan menganalisa peran ekstrak etanol isolat propolis
terhadap ekspresi Caspase-1 sehingga bermanfaat pada penghambatan
progresifitas penyakit rinosinusitis akut.
5. Membuktikan dan menganalisa peran ekstrak propolis terhadap ekspresi E-
selektin sehingga bermanfaat pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut.
6. Membuktikan dan menganalisa peran ekstrak propolis terhadap gambaran
histopatologi jaringan nekrosis hidung penyakit rinosinusitis akut?

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat Teoritis.
Memberikan bukti ilmiah pengaruh pemberian ekstrak propolis
terhadap MDA, Caspase-1, IL 8, E-Selektin kerusakan jaringan sinus
paranasal serta nekrosis pada tikus putih jantan model penyakit rinosinusitis
akut.

5
1.4.1. Manfaat Terapan
Memiliki manfaat praktis yang bisa digunakan sebagai dasar
pengembangan dan pemanfaatan ekstrak etanol isolat propolis sebagai terapi
adjuvan dalam penatalaksanaan penyakit rinosinusitis akut.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinosinusitis akut


2.1.1. Definisi Rinosinusitis akut
Rinosinusitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi pada mukosa
hidung dan sinus paranasal dimana sitokin berperan penting dalam
patofisiologinya (Kathrin dan Martin , 2016). Secara embriologis mukosa
sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Berdasarkan Task force yang
dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan
American Rhinologic Society (ARS). Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2
atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor gejala mayor
diantaranya adalah hidung tersumbat, sekret pada hidung / sekret belakang
hidung / Post Nasal Drip, sakit kepala, nyeri / rasa tekan pada wajah, kelainan
penciuman (hiposmia / anosmia). Sedangkan gejala minor diantaranya adalah
demam, halitosis, pada anak biasanya batuk, iritabilitas , sakit gigi, sakit
telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga (Bruce et al , 2013).
Kriteria terbaru dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan
EPOS2012, Rinosinusitis adalah proses inflamasi mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satu yang
seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat / pembengkakan / keluarnya
cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui anterior
maupun posterior) dimana kadang-kadang disertai rasa sakit pada wajah / rasa
tertekan pada wajah dan berkurang / hilangnya penciuman. Jika gejala dan
tanda lebih dari 12 minggu tanpa resolusi lengkap maka rinosinusitis menjadi
kronik. Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti bersin, ingus
yang cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda
alergi tersebut maka dilakukan tes alergi (Fokkens, et al 2012; Kathrin dan
Martin, 2016; Robert, 2016).

7
2.1.2. Patogenesis Rinosinusitis Akut
Meskipun rinosinusitis dipercaya merupakan penyakit dengan
penyebab multifaktorial, namun patogenesis penyakit ini belum diketahui
dengan baik. Patofisiologi dan sub pengelompokan dalam rinosinusitis akut
relatif mudah dibandingkan dengan rinosinusitis kronik. Etiologinya dapat
berupa virus (sebagian besar rinovirus atau coronavirus) atau bakteri
(kebanyakan Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Moraxella
catarrhalis, Staphylococcus aureus). Rinosinusitis akut sering didahului oleh
rinosinusitis virus. Untuk sistem kekebalan, baik sistem kekebalan bawaan
dan adaptif diaktifkan dengan cara yang bergantung pada stimulusnya.
Sistem imun bawaan diaktifkan oleh patogen-related molecularpatterns
(PAMPs), kemudian diekspresikan oleh patogen spesifik yang dapat
mengaktifkan reseptor PAMP pada sel-sel sistem kekebalan tubuh dan jenis
sel lainnya. Salah satu jenis reseptor PAMP adalah reseptor pengenal pola
(PRR) yang disebut toll-like receptor (TLR). Sebagai respons terhadap
infeksi virus atau bakteri, TLR tertentu ditangani. Sepuluh TLR yang
berbeda telah diidentifikasi pada manusia, masing-masing dapat mengikat
ligan tertentu. Binding memulai kaskade sinyal intraseluler dengan berbagai
efek pada proses seperti hemostasis, peradangan, apoptosis, dan juga aktivasi
sistem imun adaptif. Aktivasi sistem imun adaptif diinduksi karena regulasi
sitokin, kemokin, dan mediator co-stimulator lainnya. Tergantung pada pola
jenis sel T CD4-positif yang diaktifkan dan mediator yang diregulasi. Di sini,
secara klasik adalah Th1- dan Th2. Selanjutnya, selama tahun-tahun terakhir,
fenotip sel T17-, Th21-, dan Treg dan respons imun yang sesuai telah
ditentukan (Gbr.1).

8
Gambar 2.1 diferensiasi fenotip sel T yang relevan dalam CRS dan endotipe yang
berbeda (Kathrin dan Martin, 2016).

Dibandingkan dengan rinosinusitis kronik, peran sitokin dalam


rinosinusitis akut tidak dieksplorasi secara rinci, investigasi terkait sitokin pada
pasien dengan rinosinusitis akut jarang dilakukan oleh karena itu peran sistem
kekebalan yang baru-baru ini dideklarasikan dan sitokin sebagian besar masih
belum jelas. Infeksi virus akut pada saluran pernafasan bagian atas
merangsang berbagai sitokin proinflamasi seperti IFN-α, IFN-γ, IL-1β, IL-6,
IL-8, IL-10, dan TNF-α. Klemenset al. mendeteksi IL-1β, IL-6, IL-7, IL-17,
IFN-,, TNF-α, IL-8, G-CSF, GM-CSF, dan elastase yang terkandung dalam
sekresi hidung pasien dengan rinitis virus. Sitokin dalam penelitian ini meliputi
proinflamasi (misalnya, IL1β, IL-6, IL-8), antiinflamasi (misalnya, IL-10), dan
faktor kemo-atraktan (misalnya, IL-6) milik Th1 (TNF-α , IFN-γ), Th2-like
(IL-10), Th17-like (IL-17), dan Treg (IL-10) (Kathrin dan Martin , 2016).
Motif CpG yang tidak termetilasi bakteri membangkitkan respon imun
Th1 setelah berikatan dengan reseptor TLR-9. Pemberian CpG ke dalam
hidung manusia menyebabkan akumulasi sitokin yang berhubungan dengan
Th1 IL-1β, IL-6, dan IL-8. Kehadiran mRNA dalam epitel hidung
didokumentasikan untuk TLR-1 sampai TLR-10. PAMP bakteri Gram-negatif
lain atau S. pneumonia, mikroba, yang sering dideteksi dalam ARS, diketahui
menginduksi sistem kekebalan terkait TLR-2 atau TLR-4. For-mer umumnya

9
memulai respons imun Th1, dan orang mungkin berasumsi bahwa mekanisme
ini juga hadir dalam ARS. Namun demikian, van Rossum tidak dapat
menunjukkan IL-12 yang diregulasi (tipikal untuk respons Th1) atau IL-4 yang
diregulasi lebih tinggi. (khas untuk respons Th2) dalam model murine pada
kolonisasi S. pneumoniae nasofaring. Berbeda dengan, Riechelmann et al.
mendeteksi peningkatan nilai untuk IL-2, IL-4, IL-10, IL-12, IL-13, TNF-α,
dan IFN dalam cairan hidung dari pasien rinosinusitis akut dibandingkan
dengan pasien rinosinusitis kronik yang menggunakan uji sitokin multipleks (
Riechelmann et al, 2005). Sebuah penelitian yang lain menunjukkan
peningkatan IL-8 dan IL-3 dalam spesimen mukosa pasien rinosinusitis akut
menggunakan ELISA. Hasil ini menunjukkan tanggapan kekebalan Th1-dan
Th2 campuran dalam rinosinusitis akut tetapi juga menunjukkan bahwa
tergantung pada bahan dan metode yang dipakai, hasil dan interpretasi mereka
mungkin berbeda. Sebuah studi baru-baru ini dalam kelompok besar pasien
dengan komunitas sama yang mengalami infeksi pernapasan akut
menunjukkan korelasi yang erat antara IL-8 (dan neutrofil) dalam sekresi
hidung dan tingkat keparahan gejala hidung. Ini menggarisbawahi relevansi
inflammasi neutrofilik pada rinosinusitis akut dan relevansi IL-8 untuk
rekrutmen neutrofil ke dalam jaringan hidung. Dalam model tikus infeksi
rhinovirus, pentingnya CCL7 (identik dengan protein chemotactic-3
monocyte) dan faktor regulasi 7 IFN (IRF-7) , untuk menginduksi dan
mengatur respon inflamasi dan antivirus ditunjukkan dengan antibodi anti-
CCL7 dan IRF -7 serta menargetkan RNA kecil yang mengganggu in vivo
(Kathrin dan Martin , 2016)

2.1.3. Nuclear Factor-Kappa Beta


Pertama kali Nuclear Factor-Kappa Beta (NF-kB) dideskripsikan
suatu faktor transkripsi di sel B yang berikatan dengan ekspresi imunoglobulin
light chain. Sejak penemuan NF-kB pada tahun 1986, NF-kB berperan dalam
respon inflamasi, reaksi imun dan tumorigenesis (Marianne , 2015; Ting ,
2017).

10
Pada sel mamalia, NF-kB/ famili Rel berisi 5 member: Rel A (P 65), c-
RelB, NF-kB1 ( P50; P105), dan NF-kB2 (P52 ; P100). Struktur keluarga NF-
kB mempunyai Rel-homology domain (RHD) yang berisi domain nuclear (N),
motif dimerisasi, DNA-binding domain. Rel A, c-Rel, dan Rel B juga
mempunyai non-homologous transactivation domain (TD). Rel B juga berisi
leucine-zipper motif (LZ). Keluarga IkB termasuk P105 dan P100 mengandung
ankyrin repeats. Glycine-rich region (GPR) diperlukan untuk pengolahan dari
P105 dan P100 (Ting et al, 2017).
Nuclear Factor-Kappa Beta (NF-kB) mempunyai 300 asam amino
yang disebut REL-region. Tiga keluarga NF-kB yaitu RelA, c-Rel dan RelB
mempunyai domain yang transaktivasi disebut C-terminus. Prekusor protein
NF-kB1/ P105dan NF-kB/ P100 tidak aktif seperti protein P50 dan P52, protein
yang tidak aktif ini ditempatkan di sitoplasma. Pada proses proteolitik domain
inhibitor C-terminal harus dihilangkan sehingga memungkinkan protein akan
masuk kedalam nukleus (Ting L, 2017)).

Gambar 2.2. Famili NF-kB dan IkB mamalia (Momoko, 2005).

Protein 50 dan P52 biasanya bersifat homodimers dan heterodimers


yang salah satu dari tiga protein mempunyai domain yang teraktivasi. RelA
dan P50 terdapat di berbagai tipe sel, sedangkan ekspresi c-Rel ekspresinya
hanya terbatas pada sel hematopoitic dan limfosit. Ekspresi dari RelB
terbatas pada tempat tempat spesifik seperti timus, limponodi dan Peyer’s
pathces. Meskipun afinitas DNA-binding setiap dimer-NF-kB berbeda

11
tetapi untukNF- κB mempunyai konsensus urutannya GGGRNNYYCC ( R:
purine, Y: pyrimidine, N: setiap basis) yang mempunyai fungsi salip
tumpang tindih (Robert , 2016; Ting , 2017).
Ekspresi NF-kB di dalam sitoplasma, dimana aktivitasnya dikontrol
oleh protein regulator dari NF-kB (IκB). IκBα, IκBβ, IκBc dan Bcl-3 adalah
golongan dari keluarga IκB (Gambar 1), umumnya mempunyai 6 sampai 7
ankyrin repeats dimana 33 asam amino akan memediasi ikatan dengan
dimer NF-kB . Protein IκB awalnya untuk mempertahankan dimer NF-kB
di sitoplasma melalui nuclear localization sequences (NLSs) (Robert PS,
2016).
Aktivasi NF-kB diatur oleh sinyal yang diturunkan IκB. Sinyal NF-kB
jalur klasik, protein IκB akan mengalami fosforilasi dengan mengaktifkan
IκB kinase (IKK) pada tempat yang spesifik setara dengan Ser 32 dan Ser
36 dari IκBα. Fosforilisasi ini akan memicu polybiquitination pada tempat
yang setara dengan Lys 21 dan Lys 22 dari IκBα dan degradasinya oleh
proteasome 26S, sehingga dimer NF-kB akan terlepas. Komposisi IKK
terdiri dari subunit katalitik IKKα dan IKKβ serta subunit regulasi IKKγ,
dikenal dengan NF-kB essential modulators (NEMO). Meskipun IKKα dan
IKKβ bekerja sama dalam fosforilisasi IκB, tetapi sinyal proteinnya
berbeda. IKKβ ini merupakan komponen yang penting pada jalur klasik
(Ting L, 2017). Aktivitas sinyal NF-kB jalur alternatif, NF-kB inducing
kinase (NIK) merangsang aktivasi IKKα, baik IKKβ dan IKKγ berperan
dalam jalur ini. Melalui homodimer IKKα jalur alternative NF-kB2/ P100
tempat fosforilisasinya di dua C-terminal. C-terminal yang terhambat oleh
karena degradasi proteosomal menyebabkan produksi P52 (Robert , 2016;
Ting , 2017) (Gambar 2).
Meskipun kedua jalur diaktifkan secara bersamaan tetapi kedua jalur
ini mempunyai fungsi yang berbeda. Tipikal dari jalur klasik tigernya dipicu
oleh Tumor Necrosis Factor type ½ receptors (TNFR1/2), T-cell receptors
(TCR), B-cell receptors (BCR) atau Toll-like receptor (TLR), Interleukin 1
receptor (IL-1R). Tujuan jalur adalah meningkatkan target gene kemokin,

12
sitokin dan molekul adesi, respon inflamasi dan mempromosikan
kelangsungan hidup sel. Berbeda dangan klasik jalur alternatif aktivasinya
dipicu oleh aktivasi dari TNF reseptor termasuk Lymphotoxin β receptor
(LTβR), B-cellactivating factor balonging to the TNF receptor (BAFF-R),
CD40 dan CD30. Aktivasi untuk jalur ini meregulasi perkembangan organ
limfoid dan sistem imun didapat (Richard AW, 2014; Ting L, 2017).

Gambar 2.3. Jalur klasik dan alternatif pada aktivasi NF-kB (Momoko N,2005).

Pada jalur klasik aktivasi NF-kB dipicu oleh TNFR, IL-1R dan TLR.
Signal akan dimediasi oleh MAP/ERK kinase 3 (MEKK3) dan IKKβ
akhirnya menyebabkan degradasi dari IκBα dan translokasi dari homodimer
RelA/ P50 di nukleus. Pada jalur alternative signal N-kB dipicu oleh CD40,
LTβR atau BAFF-R yang dimediasi NIK dan IKKα yang akan
mengeluarkan P100 dan translokasi dari dimer P50 ke dalam nukleus
(Richard, 2014).

2.1.4. Peran CASPASE-1 pada Rinosinusitis Akut


Caspase-1 merupakan enzim yang terlibat dalam pembelahan protein
prekursor dari sitokin inflamasi IL-1β dan IL-18, menjadi peptida dewasa

13
aktif dan berperan sebagai mediator inflamasi utama yang mendorong
respon host terhadap infeksi, cedera, dan penyakit (Denes et al., 2012).
Caspase-1 diproduksi sebagai zymogen (pro-enzim), merupakan protein
heterodimer sebagai subunit enzim aktif yang terdiri dari protein 20 kDa
(P20) dan 10 kDa (p10). Caspase-1 akan berinteraksi dengan protein lain
yang mengandung domain CARD sebagai PYCARD (atau ASC) dan
terlibat dalam pembentukan inflamasom serta aktivasi proses inflamasi
(Denes , et al, 2012; Doitsh, et al 2014; Monroe, et al 2014).
Ekspresi sitokin dan infiltrasi sel imun yang menyebabkan inflamasi
sinusparanasal. Inflamasi sinusparanasal selalu melibatkan sistem imunitas
bawaan, sedangkan imunitas adaptif bisa terlibat atau tidak dilibatkan.
Sistem imunitas bawaan melibatkan beberapa keluarga dari reseptor baik
terlarut dan seluler yang mengaktifkan jalur sinyal proinflamasi.
Inflamasom berperan dalam pengaturan molekuler komplek intraseluler.
Mereka mengaktifkan caspase-1 yang mengaktivasi sitokin proinflammasi
IL-1β dan IL-18 dari pembelahan proteolitik pendahulunya ( proIL-1β dan
pro IL-18). Inflamasom seperti IL-1β dan IL-18 terlibat dalam model hewan
atau manusia dengan penyakit rinosinusitis. Inflamasome adalah Pattern-
recognition receptors (PRP) tidak hanya mengenal komponen bakteri tetapi
jugakerusakan endogen. Dalam model tikus rinosinusitis akut yang
diinduksi dengan S. Aureus peningkatan jumlah peradangan setelah induksi
dapat dikorelasikan dengan peningkatan ekspresi protein Nod-like receptor
3 (NLRP 3) dan peningkatan kadar IL-1β. Pada manusia, IL-18 dan caspase-
1 diekspresikan dalam epitel sinusparanasal (Hans-Joachim dan Muruve,
2011; Yan, et al 2014; Kathrin dan Martin, 2016).

2.1.5 Peran IL-8 pada Rinosinusitis Akut.


Interleukin 8 diidentifikasi sebagai jenis sitokin yang mengaktifkan
neutrofil. Saat ini kita mengetahui urutan dan struktur, sifat mengikat
reseptor tersebut, dan juga profil aktivitas biologis. IL-8 dan sitokin terkait
dilepaskan oleh fagosit dan berbagai macam sel jaringan yang terkena

14
paparan terhadap rangsangan inflamasi. Struktur IL-8 dibentuk dari 99 asam
amino dan disekresi sesudah adanya sinyal sekuens dari 20 residu. Berat
molekulnya 8.383D, mengandung empat sistein yang dibentuk dari 2
jembatan sulfida. IL-8 tahan terhadap peptida plasma, panas, pH yang
ekstrim dan terapi denaturasi lain, namun cepat diinaktivasi saat ikatan
disulfidanya berkurang. Strukturnya merupakan suatu dimer, yang dilihat
dari spektroskopi magnetik resonansi nuklir dan rontgen kristalografi.
Monormernya pendek, mengandung domain N-terminal yang disangga dua
jembatan disulfide dihubungkan dengan tiga ikatan antiparalel β yang
diikuti α helix terminal (Li, et al.,2013).
Interleukin 8 merupakan kemotaktik regulator penting pada fungsi
neutrofil. IL-8 diproduksi oleh sel monosit, tipe sel leukosit lain (prekursor
mieloid, Natural Killer (NK) sel, neutrofil, eosinofil,sel mast, berbagai
jaringan (fibroblast, sel endotelial, sel epitelial), termasuk sel tumor (Li et
al., 2013).

Gambar 2.4 Interleukin 8 pada epitel saluran napas(McChuaig dan Martin, 2013).

Produksi IL-8 diinduksi oleh berbagai stimulus, seperti sitokin (IL-1


dan TNF α), produk bakteri, virus, jamur, dan keadaan iskemia, trauma,
gangguan homeostasis jaringan, dan sel neoplasma. Perbedaan kadar IL-8
pada berbagai infeksi bakteri terkait Pathogen Asosiated Molecular Pattern

15
(PAMP), yang merupakan molekul spesifik yang berhubungan dengan
kelompok patogen, dan merupakan bagian sistem kekebalan tubuh bawaan,
akan terikat dengan Toll like receptor (TLR) dan reseptor pengenal mikroba
lainnya. Contoh PAMPadalah lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin
membran sel bakteri terutama gram negatif. LPS secara khusus terikat
TLR4, sementara PAMP lain seperti flagellin akan terikat TLR5,
peptidoglikan dan asam lipoteikoat bakteri gram positif, dan double-
stranded RNA (dsRNA) virus, terikat oleh TLR2 dan TLR3, dan CpG
unmethylated, diikat oleh TLR9. Perbedaan tersebut akan mengakibatkan
reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh bakteri gram positif, gram negatif,
virus, dan jamur akan berbeda-beda, termasuk produksi IL-8 (Min dan
Dhong, 2013).

Gambar 2.5 Jalur Toll like receptor (Yang dan Seki, 2012).

TLR1, TLR2, TLR4, TLR5, dan TLR6 diekspresikan pada sel


membran.TLR3, TLR7, TLR 8, dan TLR9 diekspresikan dalam endosome.
Semua TLR kecuali TLR3, dapat mengaktifkan jalur MyD88-dependent
untuk menginduksi NFκB dan aktivasi p38/JNK (Yang dan Seki, 2012).

16
Produksi IL-8 diatur pada tingkat gen transkripsi dan mRNA. Dalam
kebanyakan kasus, IL-8 transkripsi gen terjadi melalui kerjasama aktivasi
dua jenis faktor transkripsi, NFκB dan AP-1. NF-κB memainkan peran di
Th1 tergantung respon tipe delayed hipersensitivitas. Aktivasi NF-κB
meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi E-selectin, VCAM-1, dan
ICAM-1, sedangkan penghambatan NFκB mengurangi adhesi dan
transmigrasi leukosit. Aktivasi NFκB terlibat juga dalam apoptosis
Misalnya, aktivasi NFκB dapat menyebabkan induksi apoptosis dalam
beberapa jenis sel. NFκB jelas salah satu regulator yang paling penting
ekspresi gen pro inflamasi. Sintesis sitokin seperti TNF-a, IL-1b, IL-6, dan
IL-8, ekspresi siklooksigenase 2 (Cox-2 )dimediasi oleh NFκB (Li et al,
2013; Mc Chaig dan Martin , 2013).

2.1.6. Peran E-Selectinpada Rinosinusitis Akut


Pada rinosinusitis akut selain terjadi kenaikan regulasi sitokin dan
kemokin juga terjadi kenaikan regulasi molekul adesi seperti ICAM 1 dan E
Selectin yang dapat memfasilitasi infiltrasi sel sel inflamasi ke jaringan
seperti neutrofil dan limfosit. Karena infiltrasi neutrofil sendiri sumber dari
sitokin proinflamasi dapat meningkatkan ICAM 1dan E Selectin yang dapat
lebih memperkuat infiltrasi selular dan respon inflamasi (Michael , 2014).
E-selektin, juga dikenal sebagai CD62E, endothelial-leukocyte
adhesion molecule 1 (ELAM-1), atau leukocyte-endothelial cell adhesion
molecule 2 (LECAM2) merupakan molekul adhesi sel yang diekspresikan
hanya pada sel endotel yang diaktifkan oleh sitokin. Seperti selektin lainnya,
E-selektin berperan penting dalam inflamasi. Pada manusia E-selektin
dikodekan oleh gen SELE. Struktur E-selektin terdiri dari ujung terminal N,
domain lectin tipe-C, EGF (epidermal-growth-factor)-like domain,
6 Complement control protein domain(SCR repeat) units, transmembrane
domain (TM) dan ujung sitoplasmik intraseluler (cyto). Polimorfonuklear
(PMN) akan bergulir perlahan di E-selektin pada mikrovaskuler yang
mengalami inflamasi. Hal ini penting untuk fungsi imunitas tubuh yang

17
optimal pada penangkapan sel dan migrasi ke lokasi cedera. Molekul adhesi
sel, seperti sICAM-1, sVCAM-1, dan sE-selektin akan memicu homing
leukosit, adhesi, dan migrasi ke dalam ruang subendotel, sebagai proses
mendasar untuk pembentukan lesi aterosklerosis. Peningkatan kadar sICAM-
1, sVCAM-1 dan sE-selectin ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain menunjukkan kadar serum
sVCAM-1 dan sE-selektin meningkat secara bermakna pada pasien penyakit
ginjal kronik (Marianne , 2015; Masato et al, 2016 ; Robert , 2016).

2.1.7. Peran Stres Oksidatif Pada Rinosinusitis Akut


Stres oksidatif mencerminkan ketidakseimbangan antara manifestasi
sistemik ROS dan kemampuan sistem biologi untuk detoksifikasi zat reaktif
atau untuk memperbaiki kerusakan. Gangguan pada keadaan redoks sel
normal dapat menyebabkan efek toksik melalui produksi peroksida dan
radikal bebas yang menyebabkan kerusakan komponen sel, termasuk protein,
lipid, dan DNA. Stres oksidatif dari metabolisme oksidatif menyebabkan
kerusakan dasar rantai DNA. Kerusakan sebagian besar tidak langsung dan
disebabkan oleh ROS yang dihasilkan, misalnya O2 (superoksida radikal),
OH (hidroksil radikal) dan H2O2 (hidrogen peroksida)(Chandra et al,
2015).ROS dihasilkan oleh aktivitas metabolik seluler danfaktor lingkungan
seperti polusi udara atau rokok. ROS adalah molekul yang sangat reaktif
karena strukturelektronnya tidak berpasangan dan bereaksi dengan
beberapamakromolekul biologis dalam sel, seperti karbohidrat,asam nukleat,
lipid, dan protein, yang mengakibatkan perubahan fungsi. ROS yang
meningkat menyebabkan kematian sel, mempercepat penuaan dan penyakit
yang berhubungan dengan usia (T Rahman et al ., 2012)
Pada signal transduksi, ROS dapat menginduksi ekspresi beberapa gen.
Rasio yang tinggi dari oxidized gluthathione ( GSSG ) dan gluthathione (
GSH ) penting proteksi sel dari kerusakan oksidatif. Gangguan rasio ini
menyebabkan aktivasi faktor transkripsi lebih sensitif seperti NF-kB, AP-1,
sel Nuklear faktor dari aktivasi T sel dan hipoksia-inducible faktor 1 yang

18
semuanya terlibat dalam proses inflamasi.Dalam keadaan stress oksidasi
residu sistein DNA mengikat c-June, beberapa sub unit AP-1 dan
menghambat Ik-B kinase. NF-kB dapat diaktifkan karena respon terhadap
kondisis stress oksidasi, seperti ROS, radikal bebas dan UV – Irradiasi.
Fosforilasi I-KB membebaskan NF-kB dan memungkinkan NF-kB masuk ke
dalam inti untuk mengaktifkan gen transkripsi. Sejumlah kinase telah
dilaporkan memfosforilasi I-kB di residu resin. Kinase ini adalah terget dari
signal oksidasi untuk mengaktifkan NF-kB, Reduktor meningkatkan NF-kB
mengikat DNA sedangkan oksidator menghambat NF-kB mengikat DNA.
Thierodoxins dapat mengarahkan 2 tindakan yang berlawanan dalam
regulasi Nf-KB. Aktivasi nukleus dari Nf-KB melalui oksidasi berhubungan
dengan degradasi I-kB untuk menghasilkan beberapa gen antioksidan yang
berhubungan dengan pertahanan. NF-kB mengatur ekspresidari beberapa
gen yang berpartisipasi dalam respon imun, sepertiIL-1b, IL-6, tumor
necrosis factor-a, IL-8, dan beberapa adhesi. Molecules. NF-kB juga
mengatur angiogenesis danproliferasi dan diferensiasi sel.Molecules. NF-kB
juga mengatur angiogenesis danproliferasi serta diferensiasi sel(Michael et
al, 2016 )
Superoxida anion, hidroxyl radikal dan hidrogen peroxida bertanggung
jawab terhadap kerusakan protein, lemak dan DNA di epitel saluran
pernafasan. ROS endogen adalah produk dari sel normal dandiperkirakan
respirasi mitokondria saja memproduksi 109 ROS setiap sel setiap hari
(Lauren et al, 2015; Michael et al, 2016). Sel-sel inflamasi pada saluran
pernafasan mampu memproduksi ROS, dan ROS sendiri berperan pada
kerusakan sel, kerusakan oksidatif dan inflamasi kronik seperti penyakit
rinosinusitis kronik. Mengingat paparan yang luas serta tingginya oksigen
dan suplai darah pada saluran pernafasan maka saluran pernafasan sangat
rentan terhadap kerusakan ini. Contohnya eosinofil di Th2 pada rinosinusitis
kronik dengan Polip nasi kadar eosinofil peroksidase meningkat sehingg
menambah kapasita sel untuk menghasilkan superoksida dan hidrogen
peroksidase . Jika kerusakan oksidatif menguas; ai pertahanan antioksidan

19
alamiah maka inflamasi kronik akan timbul (Do-Yeon et al, 2013; Ozgul et
al, 2014). Sel-sel yang rusak (debris) akan mengaktifkan makrofag, lewat
Toll-Like Reseptor4 (TLR4). Makrofag yang teraktivasi akan
mengekspresikan sitokin-sitokin, antara lain TGF-β1, TNF-α1, IL-1β, IL-6,
IL-8. Ditemukannya mediator proinflamasi yang dominan pada rinosinusitis
kronik pada penelitian menunjukkan bahwa inflamasi kronik persisten
merupakan faktor utama dalam patogenesis rinosinusitis kronik (Atsushi,
2015). Menurut Hamilos, tipe inflamasi yang berperan pada patogenesis
rinosinusitis kronik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tipe inflamasi alergi
dan tipe inflamasi nonalergi. Pada penderita rinosinusitis yang disertai alergi
didapatkan peningkatan kadar interleukin 8 (IL-8) dan neutrofil dalam
jumlah sedang dan pada inflamasi nonalergi sel-sel inflamasi yang dominan
adalah neutrofil, serta profil sitokin inflamasi diantaranya IL-8, IL-1β, IL-6,
TNF-α, GM-CSF, dan IFN-γ (Atsushi , 2015).
Penanda biologis yang menunjukkan stres oksidatif yang berhubungan
dengan peroksidasi lipid dalam cairan tubuh atau sel adalah malondialdehid
(MDA), karena MDA plasma merupakan produk peroksidasi lipid stabil
(Najafi et al, 2012).
Malondialdehid yang dihasilkan in vivo melalui peroksidasi dari asam
lemak tak jenuh ganda, akan berinteraksi dengan protein dan berpotensi
aterogenik. MDA biasanya diukur dari sampel plasma dengan metode yang
paling populer dengan alat tes kolorimetri berdasarkan reaksi antara MDA
dan thiobarbituric acid (TBA). Namun, meskipun sensitivitasnya tinggi, uji
TBA reacting substances (TBARS) tidak memiliki spesifisitas untuk MDA,
karena aldehida selain MDA dapat bereaksi dengan TBA untuk
menghasilkan senyawa yang menyerap dalam kisaran sama dengan MDA
(Prashant, 2015). MDA mempunyai 3 karbon dialdehida dengan gugus
karbonil pada posisi C1 dan C3 dan mempunyai rumus C3H4O2 denganberat
molekul 72. MDA ini ikut dalam sirkulasi darah dan memempunyai dua
ikatan rangkap seperti asam linoleate, asam arakhidonat dan asam
dokoksaheksanoit (Ayala et al, 2014). Metode penilaian ekspresi MDA di

20
jaringan dengan imunohistokimia dengan mengambil bahan dari plasma,
urin, sperma dan supernatant tubuh lainnya dengan menggunakan metode
kalorimetrik, ELISA. ELISA untuk mendeteksi MDA juga tersedia secara
komersial. Pengujian berbasis antibodi ini biasanya divalidasi terhadap
pengukuran MDA dengan high-performance liquid chromatography
(HPLC) dan menunjukkan kinerja yang baik dengan peningkatan spesifisitas
(Kandar & Stramova, 2015)

2.2. PROPOLIS LEBAH


Propolis adalah nama generik dari campuran zat resin yang dikumpulkan
dari tanaman oleh lebah, digunakan untuk melapisi bagian dinding sarang lebah,
melindungi pintu masuk terhadap penyusup, menghambat pertumbuhan jamur dan
bakteri. Untuk produksi propolis, lebah menambahkan enzim saliva ke resin
tanaman dan bahan ini kemudian sebagian dicerna, selain itu ada penambahan lilin
yang juga diproduksi oleh lebah. Campuran resin, air liur dan lilin dengan tanah
akan membentuk geopropolis ( Vijay, 2013 ; Jose , 2016 ; Marcelo et al, 2017)
Komposisi kimia propolis sangat dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang
dikunjungi lebah dan musim. Propolis umumnya terdiri 50-60% resin dan balsam,
30-40% lilin, 5-10%minyak esensial dan aromatik, 5% serbuk sari, dan 5%
senyawa lain (Jose MS, 2016).

Gambar 2.6. komposisi propolis ( Farooqui dan Farooqui., 2012 )

21
Propolis telah digunakan sejak dahulu kala antara lain untuk pengobatan,
produk makanan dan kosmetik. Faktanya, berbagai sifat biologis propolis telah
dibuktikan sebagai antibakteri, antijamur, antiprotozoa, antioksidan, antitumor,
anti-inflamasi, anestesi, penyembuhan luka, imunomodulator, antiproliferatif dan
antikariogenik ( Toreti et al, 2013 ; Vijay , 2013 ; Mohamad et al, 2015 ; Jose MS,
2016).

Anti-Inflamatory Anti-oxidant
Benefit Properties of Propolis

Immunomodulatori Hepatoprotective

Cardioprotective
Anti-ulcer

Antitumor
Anticancer

Antimicrobial

Gambar 2.7. Manfaat propolis ( Farooqui T dan Farooqui AA., 2012 )

Proses inflamasi adalah suatu proses yang disebabkan pelepasan mediator


kimia dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator mediator yang
diidentifikasi dalam proses inflamasi antara lain amina vasoaktif (histamin dan
serotonin), eikosanoid (metabolit asam arakidonat, prostaglandin dan leukotrien),
faktor agregasi platelet, sitokin (interleukin dan tumoral necrosis factor - TNF),
kinin (bradikinin), dan oksigen bebas radikal, antara lain. Zat ini diproduksi oleh
sel-sel inflamasi seperti leukosit polimorfonuklear (neutrofil, eosinofil, basofil), sel
endotel, sel mast, makrofag, monosit, dan limfosit (Wang et al, 2013 ; Washio et
al, 2015). Studi menunjukkan bahwa propolis berfungsi sebagai anti-inflamasi yang
ampuh untuk peradangan akut dan kronis (Vincenzo et al, 2017). Beberapa zat
terkandung dalam propolis yang dapat menghambat siklooksigenase dan sintesis

22
akibat prostaglandin (Vijay , 2013 ; Washio et al, 2015). Beberapa efek khusus dari
ekstrak propolis telah dibuktikan, seperti penghambatan agregasi platelet,
penghambatan biosintesis prostaglandin, pencegahan formaldehida akibat oedem
kaki dan arthritis serta penghambatan aktivitas 5-lipoxygenase (5-LOX). Selain itu,
secara in vitro propolis mempunyai fungsi mengaktivasi radikal bebas dan efek
hepatoprotektif pada kematian sel akibat induksi TNF-α (Neiva et al, 2014 ; Bufalo
et al, 2014). Penelitian secara in vivo, tikus sebelum terjadi aktivasi makrofag diberi
ekstrak propolis hijau akan menunjukkan peningkatan produksi nitrit oksida
setelah aktivasi interferon gamma (INF-γ) akibatnya proliferasi limfosit akan
berkurang. Efek penghambatan propolis pada limphoproliferasi mungkin terkait
dengan produksi sitokin seperti IL-10 dan TGF-β, efek anti-inflamasi / anti-
angiogenik dari propolis dapat juga dikaitkan dengan modulasi sitokin TGF-β1 
Vijay , 2013 ; Neiva et al, 2014 ; Bufalo et al, 2014 ; Jose MS, 2016).
Komponen dari propolis sebagai terapi telah dipelajari. Flavonoid, asam
fenolik seperti asam caffeic phenethyl ester (CAPE), dan ester merupakan senyawa
yang paling aktif secara biologi. Senyawa ini mempunyai efek pada bakteri, jamur
dan virus dan juga sebagai anti-inflamasi, antioksidan, imunomodulator,
penyembuhan luka, antiproliferatif dan kegiatan antitumor. Aktivitas anti-inflamasi
dari propolis tampaknya dikaitkan dengan kehadiran flavonoid, terutama galangin
dan quercetin. flavonoid ini telah terbukti menghambat aktivitas siklooksigenase
dan lipoksigenase dan mengurangi tingkat PGE2 serta pelepasan ekspresi induksi
isoform siklooksigenase-2 (COX-2). Penelitian memakai model hewan peradangan
akut dan kronis menunjukkan bahwa asam caffeic sangat penting untuk aktivitas
anti-inflamasi dari propolis karena menghambat sintesis asam arakidonat dan
menekan aktivitas enzim COX-1 dan COX-2. Selain itu, asam caffeic menghambat
ekspresi gen COX-2 dan aktivitas enzimatik myeloperoxidase, ornithine
dekarboksilase, lipoxygenase, dan tirosin kinas. Asam caffeic juga menyebabkan
aktivasi imunosupresif, menghambat peristiwa awal dan akhir dari aktivasi sel T
dan pelepasan sitokin seperti IL-2 dengan cara tidak spesifik penghambatan saluran
ion. Chrysin, terisolasi flavonoid dari propolis, tampaknya juga menekan ekspresi

23
COX-2 dengan menghambat faktor nuklir untuk IL-6 ( Vijay, 2013 ; Joanna et al
2018).
Asam caffeic phenethyl ester (CAPE), komponen aktif yang terdapat dalam
propolis, berfungsi menghambat sitokin dan produksi kemokin, proliferasi sel T dan
produksi limfokin yang menyebabkan penurunan proses inflamasi. Mekanisme ini
melalui jalur sinyal NF-kB . CAPE adalah inhibitor poten aktivasi faktor nuklir -
κB (NFkB) () dan penghambatan NF-kB mengakibatkan ekspresi dari COX-2
berkurang () dan menghambat NO dengan cara menghalangi aktivasi INOS.
Aktivitas antioksidan propolis terutama kandungan flavonoid (caffeic acid
phenethyl ester/CAPE) (Joanna et al, 2018), flavonoid mempunyai kemampuan
mengurangi pembentukan radikal bebas dan peroksidasi lipid. CAPE sepenuhnya
menghalangi produksi ROS pada neutrofil manusia dan dalam sistem xanthine /
xanthine oxidase pada konsentrasi 10mol/L. Bagaimanapun, CAPE menginduksi
efek modulasi stres oksidatif dan sistem redoks antioksidan. Efek menguntungkan
dari CAPE pada sistem antioksidan adalah mengatur peroksidasi lipid, NO, CAT,
GSH-Px, dan SOD (Mai et al, 2014). Zat aktif utama lainnya dari propolis adalah
kuersetin. Kuersetin dapat mengurangi produksi nitric oxide (NO) yang di induksi
lipopolisakarida, ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan pelepasan
TNF-α serta IL-6. Kuersetin sangat mengurangi aktivasi mitogen-activated protein
kinases (MAPK) dan NF-κB, suatu kompleks faktor transkripsi yang sangat
berperan dalam ekspresi gen-gen pro-inflamasi (Vijay, 2013 ; Mei et al, 2019 ;
Joanna et al, 2018).

24
BAB 3

KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori Penelitian

MyD88

Ekstrak Etanol Isolat P38-ERK


IKK
Propolis MAPK
Gunung Lawu

IKB NFκB AP1

Komplek Inflamasom NLRP3 TNFα  IL 8  IL6

edotel HEPATOSIT

 Caspase-1   E-selectin  CRP

PMN Disfungsi endotel

Lisozim ROS NADPH


AT 1
Pro IL1β  (MDA)  oksida
IL1β
Pro IL 18 IL 18

25
Apoptosis

 Nekrosis  Sinus paranasal

Gambar 3.1 Kerangka teori

Keterangan :

: mengaktivasi  : Meningkatan : Variabel yang diteliti

: menghambat : Menurunkan

Keterangan bagan kerangka teori :

Proses inflamasi pada sinusparanasal yang dilepas oleh bakteri (LPS) akan
menyebabkan obstruksis osteum sinus, obtruksi osteum sinus akan mengakibatkan
aerasi dan draenasi terganggu yang pada akhirnya terjadi hipoksia. Hipoksia dan
inflamasi yang berlebihan memicu aktivitas NF-κB/MAPK. NF-κB /MAPK yang
meningkat akan mengakibatkan stress oksidatif dan memproduksi sitokin
proinflamasi antara lain TNF α, IL-6, IL-8.
TNF-α akan merangsang endotel sehingga endotel akan mengekspresikan
E-selektin, dimana E-selektin akan mengikat PMN . E-selektin yang mengikat
PMN juga mengakbatkan aktivasi caspase-1 sehingga terjadi apoptosis sel di
sinusparanasal yang akhirnya terjadi kerusakan mukosa sinusparanasal. IL-6 akan
terikat dengan reseptornya yang ada dihepatosit menyebabkan aktivitas CRP, CRP
akan meningkatkan ROS yang akhirnya terjadi apoptosis yang mengakibatkan
kerusakan epitel sinus paranasal
Dengan demikian dengan menghambat aktivitas NFB maka proses
inflamasi di sinus mukosa akan terhambat.Propolis terutama kandungan
flavonoidnya yaitu CAFE dan kuersetin, memiliki aktivitas anti inflamasi dan anti
oksidan sehingga mampu melindungi proses oksidasi dan inflamasi yang
berlebihan. Aktivitas anti inflamasi disebabkan propolis mengandung CAFE yang
mampu menghambat aktivasi NFκB, dan kuersetin yang terkandung dalam propolis

26
juga akan mengurangi aktivasi MAPK dan NFκB, suatu kompleks faktor transkripsi
yang sangat berperan dalam ekspresi gen-gen pro-inflamasi.

3.2 Hipotesis
Hipotesis Teori
1.2.1 Ekstrak etanolisolat propolis menurunkan kadar MDA di serum, sehingga
mengurangi reaksi oksidatif dan inflamasi yang berdampak pada
penghambatan progresifitas penyakit rinosinusitis akut.
1.2.2 Ekstrak etanolisolat propolis menurunkan ekspresi IL-8 pada sinus paranasal,
sehingga berdampak pada penghambatan progresifitas penyakit rinosinusitis
akut.
1.2.3 Ekstrak etanolisolat propolis menurunkan ekspresi E- Selektin pada sinus
paranasal, sehingga berdampak pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut.
1.2.4 Ekstrak etanolisolat propolis menurunkan ekspresi Caspase-1 pada sinus
paranasal, sehingga berdampak pada penghambatan progresifitas penyakit
rinosinusitis akut.
1.2.5 Ekstrak etanol isolate propolis menurunkan nekrosis sehingga berdampak
pada penghambatan progresifitas penyakit rinosinusitis akut

Hipotesis Statistik
H0 : Isolat propolis dapat menurunkan kadar MDA, E-selektin,ekspresi IL-8,
ekspresi Caspase-1 serta menurunkan nekrosis pada rinosinusitis akut

H1 : Isolat propolis tidak berpengaruh terhadap kadar MDA, E-Selektin, IL-8,


danekspresi Caspase-1 serta tidak berpengaruh terhadap nekrosis pada
rinosinusitis akut

27
28
BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu penelitian


Perlakuan pada penelitian ini dengan tikus putih jantan (Rattus Norwegians)
BALB/C dilaksanakan di Pemeliharaan Hewan coba PAU UGM Yogyakarta,
sedangkan pengamatan imunohistokimia dan ELISA dilakukan di Laboratorium
Biomedik dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

4.2 Jenis Penelitian


Penelitian ini memakai rancangan eksperimental post-test only control group
design dengan tikus putih jantan (Rattus Norwegians) sebagai hewan coba karena
pengukuran pada hewan uji dilakukan pada waktu tertentu setelah pemberian
perlakuan. Rancangan ini dengan melakukan kajian pemberian propolis terhadap
sistem imun kemudian dianalisa.

4.3 Subyek penelitian dan sampel


4.3.1 Subyek penelitian
Subjek penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norwegians) BALB/C
umur 8 – 12 minggu, berat badan 200 – 300 gram, diperoleh dari Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada.

4.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah tikus putih jantan (Rattus Norwegians)BALB/C
umur 8 – 12 minggu, berat badan 200 – 300 gram yang memenuhi kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi.

29
Kriteria inklusi :
1. Tikus putih jantan(Rattus Norwegians) BALB/C sehat yaitu tikus putih
jantan dengan kondisi mata bersinar, bulu tidak kusam, aktif dan nafsu
makan baik (Kusumawati, 2004).
2. Umur 3 – 4 bulan.
3. Berat badan 200 – 300 gram.
Kriteria eksklusi :
1. Tikus putih jantan(Rattus Norwegians) BALB/C mati saat penelitian.
Hewan coba model penyakit rinosinusitis akut mendapatkan injeksi
intraperitonial dan intranasal campuran filtrat kultur dan ekstrak micelial dari
Lipopolisakarida.

4.3.3 Besar sampel


Penelitian eksperimental ini dilakukan pada populasi (N) tidak diketahui.
Rumus yang dipakai untuk menentukan besar sampel (n) adalah:
(𝑍½𝛼+𝑍𝛽)  2
n=[ 
]

Karena 2 sulit ditaksir dari literatur, studi yang sama sebelumnya atau studi
pendahuluan oleh peneliti, maka diasumsikan 2 2, sehingga hasilnya n=(Z½ +
Z)2
n = (1,645 + 0,842)2 = 6,185 dibulatkan menjadi 7
Keterangan:
n = besar sampel masing-masing kelompok
Z½ = nilai standar normal, yang besarnya tergantung 
Bila  = 0,05  Z½ = 1,645
Z = nilainya tergantung  yang ditentukan (berdasarkan tabel)
 = error untuk menerima H0, bila H0 salah
Bila  = 0,08  Z = 0,842
 = selisih antara rerata variabel terapi dan kontrol yang diharapkanoleh
peneliti
 = standar deviasi

30
Berdasar rumus tersebut didapatkan jumlah sampel minimal adalah tujuh di
tambah 10% sebagai cadangan. Dalam penelitian ini digunakan delapan ekor
tikus putih jantan (Rattus Norwegians) untuk setiap kelompok observasinya,
sehingga telah memenuhi batas minimal sampel.

4.4 Variabel penelitian


4.4.1 Variabel penelitian :
a. Variabel bebas : Propolis
b. Variabel tergantung : Sistem imun yang terjadi pada tikus putih jantan
(Rattus Norwegians) yang dirangsang dengan injeksi intraperitonial dan
intranasal campuran filtrat kultur dan ekstrak micelial dari Aspergilus
Femigatus. Variabel tersebut meliputi:
1. IL-8
2.E-selektin
3. Caspase-1
4. MDA
5.Nekrosis

4.4.2 Definisi Operasional


1. Propolis
Propolis adalah senyawa yang mengandung resin yang diproduksi oleh
lebah,berfungsi sebagai antiinflamasi, antioksidan, antimikrobial, antiulcer.
Propolis pada penelitian ini didapat dari peternak lebah di daerah Kerjo
Karanganyar. Propolis yang kering dibersihkan kemudian diblander selanjutnya
ditimbang kira kira 500 gram, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beaker.
Proses maserasi dengan menambahkan 3,75 liter etanol 95% . Dosis propolis
yang dipakai sebanyak 50 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB diberikan peroral setiap
hari.
2. IL-8
IL-8 adalah Interleukin 8 merupakan kemotaktik regulator penting pada
fungsi neutrofil. IL-8 diproduksi oleh sel monosit, tipe sel leukosit lain

31
(prekursor mieloid, Natural Killer (NK) sel, neutrofil, eosinofil,sel mast,
berbagai jaringan (fibroblast, sel endotelial, sel epitelial), termasuk sel
tumor.Kadar IL-8 diperiksa dengan tehnik Imunohistokimia dengan rentang
nilai 7,8 pg/ml-500 pg/ml. Skala ukur berupa numerik.
3. E-selektin
E-selektin adalah molekul adhesi sel yang diekspresikan hanya pada sel
endotel yang diaktifkan oleh sitokin dan berperan penting dalam inflamasi.
Penilaian positifitas ekspresi E-selektin menggunakan pemeriksaan
imunohistokimia dengan antibodi monoklonal terhadap E-selektin. Cara ukur
dinilai secara kuantitatif, visual dengan mikroskop cahaya pembesaran 400x
terhadap 100 sel makrofag sebagai sel yang mengekspresikan E-selektin.
Kemudian dihitung jumlah sel-sel tersebut yang imunoreaktif tercat coklat
perak, pada membran sel. Jumlah semua sel imunoreaktif yang ditemukan
kemudian dijumlahkan dan selanjutnya dimasukkan sebagai data. Skala data
berupa numerik.
4. Caspase-1

Adalah suatu protease sistein yang mempunyai peran penting pada


apoptosis, pembelahan protein target menuju kematian sel. Merupakan caspase
inflamasi sebagai protease kunci yang terlibat dalam penghancuran sel selama
apoptosis (Boland dkk., 2013). Pengukuran dengan menggunakan metode
imunohistokimia dengan satuan pengukuran jumlah sel reaktif/100 sel
makrofag. Skala data berupa numerik.
5. Melanodialdehid (MDA)
Melanodialdehid (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid
oleh radikal bebas, MDA adalah senyawa yang dapat menggambarkab aktivitas
radikal bebas didalam sel sehingga dijadikan sebagai salahsatu petunjuk
terjadinya stress oksidatif akibat radikal bebas. Metode pengukuran kadar MDA
dilakukan dengan menggunakan modifikasi uji asam tiobutirat secara
spektrofotometri. Sebanyak 400µl sampel direaksikan dengan 200µl asam
trichloroasetik 20% untuk diproteinasi. Kemudian divorteks dan disentrifus
dengan kecepatan 5000rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk

32
diambil dan ditambahkan 400µl asam tiobarbiturat 0,67%. Selanjutnya sampel
divorteks dan diinkubasi dalam pemanas air pada suhu 960c selama 10 menit
kemudian angkat dan dinginkan pada suhu ruang. Kemudian baca serapan pada
panjang gelombang 530nm”.Skala data berupa numerik
6. Nekrosis mukosa sinus paranasal
Nekronis merupakan bentuk cedera sel yang mengakibatkan kematian
prematur sel-sel pada jaringan hidup dengan autolysis.Perubahan nucleus dan
karakteristik perubahan ini ditentukan dengan cara dimana DNA-nya rusak :
 Kariolisis : Kromatin inti menghilang karena kerusakan DNA oleh
degradasi.
 Piknosis : nucleus menyusut dan kromatin mengalami kondensasi.
 Karioreksis : nucleus yang menyusut menjadi fragmen untuk
menyelesaikan perubahan
Perubahan plasma juga terlihat pada nekrosis. Membran plasma
muncul terputus putus ini disebabkan oleh blebbing sel dan
hilangnya mikrovili.

4.5 Analisa Data


Data yang diperoleh setelah memenuhi kriteria akan diuji dengan
menggunakan uji F Anova, dengan menggunakan SPSS for windows release 22.
Hasil pengujian dianggap bermakna bila harga p <0,05. Dengan rencangan analisis
statistik yaitu:
a. Uji Shapiro wilk untuk menguji normalitas distribusi data.
b. Uji homogenitas menggunakan levene’s test untuk menguji homogenitas
varian.
c. Uji F Anova untuk uji beda respons imun akibat UUO dibandingkan dengan
UUO yang dikombinasikan dengan EEP baik dosis I dan dosis II.
d. Uji post-hoc LSD untuk mengetahui perbedaan mean antar kelompok

33
4.6. Alur Penelitian
1.
Tikus

Aspergilus Fumigatus LPS

Rinosinusitis Akut

2. TIKUS

Aklimatisasi
Rinosinusitis Kronik
24 ekor tikus terinfeksi
Umur 3-4 bulan
Berat badan ± 200-300 gr

P2 P3 P4
P1 8 ekor 8 ekor 8ekor
8 ekor Jaringan sinus Jaringan sinus Jaringan
paranasal paranasal sinusparanasal

21 hari 21 hari 21 hari


21 hari

Sonde Aquabidest Infeksi Sonde EEP 50 mg.kgBB-1 Sonde EEP 100 mg.kgBB-1
0,2 cc perhari perhari perhari
20 hari 20 hari 20 hari
20 hari

Serum (Imunohistokimia ) Jaringan PA (Imunohistopatologi)


MDA, IL-8, Caspase-1, E selektin

Analiasa Data

34
DAFTAR PUSTAKA

Adam SD, et al. 2016. Prevalence of Polyp Reccurence After Endoscopic Sinus
Surgery for Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyposis. The
Laryngoscope, 127 (3) : 550 – 555

Asano T, et al. 2017. Serum Periostin as a biomarker for comorbid chronic


rhinosinusitis in patients with asthma. Ann Am Thorac Soc

Atsushi K. 2015. Immunopathology of chronic rhinosinusitis. Allergol Int.April ;


64(2): 121–130.

Aygün FO, Akçam FZ, Kaya O, Ceyhan BM, Sütçü R, 2012. Caffeic acid phenethyl
ester modulates gentamicin-induced oxidative nephrotoxicity in kidney of
rats.Biol Trace Elem Res 145(2):211–6.

Ayala, Mario, Sandro. 2014. Lipid Peroxidation: Production, Metabolism and


Signaling Mechanism of Melandialdehyde and 4- Hydroxy-2 Nonenal

Bachert et al. 2014. ICON : Chronic Rhinosinusitis. World Allergy Organization


Journal. 7 : 25

Bassiouni A, Wormald PJ. 2013. Role of Frontal Sinus Surgery in Nasal Polyp
Recurrence. Laryngoscope, 123(1): 36 - 41

Bo Wei, et al. 2018. Multivariate analysis of inflammatory endotypes in recurrent


nasal polyposis in a Chinese population. Rhinology. 56: 3, 216-226

Bruce KT, Robert CK, Robert PS, Brian SS, 2013.Chronic Rhinosinusitis: The
Unrecognized Epidemic. Am J Respir Crit Care Med; 188 (11): 1257 –
1277

Búfalo CM, Ana Paula BG, Bruno JC, Marjorie de AG, José MS. 2014. The
immunomodulatory effect of propolis on receptorsexpression, cytokine
production and fungicidal activity ofhuman monocytes. Journal of
Pharmacy and Pharmacology. 66 : 1497 – 1504
Candra EW, Sumarman I, Ratunanda SS, Madiadipoera T. 2013. Penurunan kadar
IL-8 sekret mukosa hidung pada rinosinusitis tanpa polip non alergi oleh
antibiotic mikrolide meningkatkan fungsi penghidu. FK Universitas
Pedjajaran-RSHS Bandung.
Chandra K, Syed SA, Abid M, Sweety R, Najam AK. 2015. "Protection Against
FCA Induced Oxidative Stress Induced DNA Damage as a Model of
Arthritis and In vitro Anti-arthritic Potential of Costus speciosus Rhizome

35
Extract". International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical
Research. 7 (2): 383–389.:

Carl MP et al, 2018. Prevalence of asthma, aspirin sensitivity and allergy in chronic
rhinosinusitis: data from the UK National Chronic Rhinosinusitis
Epidemiology Study. Respiratory Research; 19 : 129

Chen YT, Chien CY, Tai SY, Huang CM, Lee CT. 2016. Asthma associated with
chronic rhinosinusitis: a population-based study. Int Forum Allergy
Rhinol;6:1284–1293.

Claus B et al, 2014. ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ Journal; 7:
25

Denes A, Lopez-Castejon G, Brough D. 2012.Caspase-1: is IL-1 just the tip of


the ICEberg? Cell Death Dis. Jul 5;3:e338.

Doitsh G, Galloway NL, Geng X, Yang Z, Monroe KM, Zepeda O, et al. 2014. Cell
death by pyroptosis drives CD4 T-cell depletion in HIV-1
infection. Nature 505 (7484): 509–14.

Do-Yeon C et al. 2013. Expression of Dual Oxidase and Secreted Cytokines in


Chronic Rhinosinusitis. Int Forum Allergy Rhinol; 3(5): 376 - 383

Diding HP,Endang Listyaningsih S, A Guntur H. Ekstrak Etanol Propolis Isolat


Gunung Lawu Menurunkan Derajat Inflamasi dan Kadar Malondialdehide
pada Tikus Model Sepsis. Majalah Kedokteran Bandung.
2013a;45(2):161-166.

Diding HP,Ida Nurwati, Sri Hartati Hadinoto, Martini. Ekstrak Etanol Propolis
Meningkatkan Kadar sRAGE Serum Mencit Model Kaki Diabetik. Jurnal
Bahan Alam Indonesia, 2013b; 8(6):389-94).

Esra Bisben et al. 2012. Oxidative Stress and Antioxidant Defense. World Allergy
Organization Journal ;5(1) : 9 – 19

Farooqui T dan Farooqui AA. 2012. Beneficial effects of propolis on human health
and neurological diseases. Front Biosci ( Elite ED ). 4 : 773 - 93

Fokkens WJ et al, 2012. European pasition paper on rhinosinusitis and nasal polyps
2012. A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology; 50 (1): 1 – 12

36
Hopkins C, Andrews P, Holy CE. 2015. Does time to endoscopic sinus surgery
impact outcomes in chronic rhinosinusitis? Retrospective analysis using
the UK clinical practice research data. Rhinology;53:18–24.
Hulse EW et al. 2015. Pathogenesis of nasal polyposis. Journal of the British
Sociaty for Allergy and Clinical Immunology; 45 (2): 328-346
Hyun JM et al, 2014. Level of Secreted HMGB 1 Correlates With Severity of
Inflammation in Chronic Rhinosinusitis. Laryngoscope; 125: E 225 - 230
Hyung-JC, Chang HK. 2018. Oxygen matters: hypoxia as a pathogenic mechanism
in rhinosinusitis. BMB Rep; 51(2): 59-64

Indrayanto I, Diding HP, Sarsono.2013. Ekstrak Etanol Propolis Menurunkan


High-Mobility Group Box 1 Mencit Model Infertilitas Jantan. Jurnal
Bahan Alam Indonesia, 2013; 8(6):395-98.

Jin M et al, 2011. Developing a mouse model of acute bacterial rhinosinusitis. Eur
Arch Otorhinolaryngol. Jun; 268(6): 857-61

Joanna K, Malgorzata K, Dorota LK, Jacek K, Irena M. 2018. Antioxidant Potential


of Propolis, Bee Pollen, and Royal Jelly: Possible Medical Application.
Oxidative Medicine and Cellular Longevity . Volume 2018. Article ID
7074209

Jose MS. 2016. Biological Properties and Therapeutic Application of Propolis.


Phytotherapy Research. 30: 894 – 905

Juang M et al, 2013.The Development of Nasal Polyp Disease Involves Early Nasal
Mucosal Inflammation and Remo. delling. PloS One; 8 (12): e 82373

Kandar & Stramova. 2015. Determination of Seminal Plasma Malondialdehyde by


High Performance Liquid Chromatography in Smokers and Non Smoker.
Journal of Bratislava Medical; Vol.116: 20 – 24

Kathrin S , Martin W. 2016. Cytokine Patterns and Endotypes in Acute and Chronic
Rhinosinusitis. Curr Allergy Asthma Rep : 16 - 23

Kim SW et al. 2013. Resveratrol prevents development of eosinophilic


rhinosinusitis with nasal polyps in a mouse model. Europian journal of
allergy and clinical immunology; 68: 862-869

Lauren et al. 2015. Superoxide Dismutase Redice the inflammatory response to


Aspergillus and Alternaria in Human Sinonasal Epithelial Cells Derived
from Patients with Chronic Rhinosinusitis. American Journal of
Rhinology

37
Li Huying, Cai Yen, Xie Ping, Li Guangyu, Hao Le, Xiong Qian, 2013.
Identification and Expression Profiles of IL-8 in Bighead Carp
(Aristitichthys nobbilis) in Response to Microcystin-LR. Arch Environ
Contam Toxicol. 65: 537-545

Mai FT.2014. Caffeic acid phenethyl ester : A review of its antioxidant activity,
protective effects against ischemia-repurfusion injury and drug adverse
reaction. Critical Reviews on Food Science and Nutrition. Doi:
10.1080/10408398. 2013. 821967

Marcelo F. 2017. The use of Brazilian propolis for discovery and development of
novel anti-inflammatory drugs. European Journal of Medicinal Chemistry.
06.050

Marianne F, Krisna K, Anthony B, 2015. Review: Immunilogy of Sinusitis,


Trauma, Asthma and Sepsis. Allergy Rhinol (Providence). 6(3):205-14

Masato M, Rick D, Kohei M. 2016.TGF-band the TGF-b Family: Context-


DependentRoles in Cell and Tissue Physiology. Cold Spring Harb
Perspect Biol;8:a021873

Mc Chuaig S, Martin J. 2013. How the airway smooth muscle in cystic fibrosis
reacts in proinflammatory conditions: implications for airway
hyperresponsive and asthma in cystic fibrosis. The Lancet Respiratory
Medicine Volume 1, Issue 2: 137 - 147

Meng XM, Tang PM, Li J, Lan HY, 2015. TGF-β/Smad signaling in renal
fibrosis.Front Physiol. Mar 19;6:82.

Michael K et al. 2014. Immune Imbalance in Nasal Polyps of Caucasian Chronic


Rhinosinusitis Patients Is Assiciated with e Downregulation of E-Selectin.
Journal of Immunology Research. Vol 2014. Article ID 959854

Michael KH et al. 2016. Bactericidal Antibiotics Promote Reactive Oxygen Species


Formation and Inflammation in Human Sinonasal Epithelial Cells. Int
Forum Laeergy Rhinol; 6(2): 191 -200

Min JY, Dhong HJ, 2013. The Role of Epithelium in the Pathophysiology of
Chronic Rhinosinusitis: An Update. J Rhinol 20 (1)

Mingjie W et al. 2015. Differing roles for TGF- β_/Smad signaling in osteitis in
chronic rhinosinusitis with and without nasal polyps. American Journal of
Rhinology & Allergy ; 29: e 152-159

Mi Ju Son et al. 2018.Safety and efficacy of Galgeun-tang-ga-cheongung-sinyi, a


herbal formula. for the treatment of chronic rhinosinusitis: A study

38
protocol for a randomized controlled trial. Medicine (Baltimore) ; 97(25):
e11196.

Momoko N. 2005. Classical and Alternative NF-κB Activation Pathways and Their
Roles in Lymphoid Malignancies. Journal of Clinical and Experimental
Hematopathology; 1: 15-24

Monroe KM et al. 2014. IFI16 DNA sensor is required for death of lymphoid CD4
T cells abortively infected with HIV. Science 343 (6169): 428–32.

Neiva KG, Catalfamo DL, Holliday S, Wallet SM, Pileggi R. 2014. Propolis
Decreases Lipopolysaccharide-induced inflammatory madiators in pulp
cells and osteoclast. Dent Tarumatol. 30: 362-367

Ozgul T, Sevsen K, Selim SE. 2014. Oxidative Stress and Nasal Polyposis; Does it
affect the severity of the disease ?. American Journal of Rhinology &
allergy; 28: e1 – e4

Phan NT et al. 2015. Cellular and molecular mechanisms of chronic rhinosinusitis


and potential therapeutic strategies : review on cytokines, nuclear factor
kappa B and transforming growth factor beta. The Journal of Laryngology
& Otology. Vol 129, Issue 23: pp S2-S7

Prashant. 2015. Streptococcus pnrumoniae Induced Host Responses and Disease.


Thesis of Microbiology. National Uneversity of Singapore; P: 20 – 34

Riechelmemann H et al. 2005. Nasal biomarker profiles in acute and chronic


rhinosinusitis. Clinn Exp Allergy; 35 : 1186 – 1191

Richard AW, Jon T, Eva EQ. 2014. Computational Models of the NF-_B Signalling
Pathway. Computation; 2 :131-158

Robert PS. 2016. Immunopathogenesis of Chronic Rhinosinusitis and Nasal Polyps.


The Annual Review of Pathology; 12: 13.1-13.27

Said AS, Hajime A, Kazuhiko T. 2015. Pathogenesis of eosinophilic Chronic


Rhinosinusitis. Journal of Inflammation; 13 : 11

Sarsono, Syarifah I, Martini, Diding HP.2012. Identifikasi caffeic acid phenethyl


ester dalamekstrak etanol propolis isolat gunung lawu.Jurnal Bahan Alam
Indonesia, 2012, 8(2):132-6.

39
Shi JB et al, 2015. Epidemiology of chronic rhinosinusitis: results form a cress-
sectional survey in seven Chinese cities. Allergy; 70(5): 533-9
Smith KA, Orlandi RR, Rudmik L. 2015.Cost of adult chronic rhinosinusitis: a
systematic review. Laryngoscope;125:1547–56.
Sumit B, Leslie C, Grammer MD, Anju T, Peters MD. 2016. Infectious Chronic
Rhinosinusitis. Journal Allergy Clin Immunol Pract; 4: 584 – 9

Ting L, Lingyun Z, Donghyun J, Shao Cong, 2017.NF-κB signaling in


inflammation. Signal Transduction and Targeted Therapy, vol 2 . Article
number: 17023

T. Rahman et al. 2012. Oxidative stress and human health. Advances in Bioscience
and Biotechno;ogy,3. 997-1019

Toreti VC, Sato HH, Pastore GM, Park YK. 2013. Recent Progress of Propolis for
its Biological and Chemical Compositions and its Botanical Origin. Evid
Based Complement Alternat Med : 1 – 13

Vijay DW. 2013. Propolis: A Wonder Bees Product and Its Pharmacological
Potentials. Advances in Pharmacological Science. Vol 2013. Article ID
308249

Vincenzo Z et al. 2017. Effect of Green and Brown Propolis Extracts on the
Expression Levels of microRNAs and Proteins, Related to Oxidative
Stress. Journal Nutriens. 9, 1090

Wang K et al. 2013. Molecular Mechanism Underlying the in vitro anti-


inflammatory effect of a flavonoid-rich ethanol extract from Chinese
Propolis (Poplar type).Evid Based Complement Alternat Med : 1 - 11

Wang X et al, 2016. Diversity of TH cytokine profiles in patient with


chronicrhinosinusitis: a multicenter study in Europe, Asia, and Oceania. J
Allergy Clin Immunol; 138 (5): 1344-1353

Washio K, Kobayashi M, Saito N, Amagasa M, Kitamura H. 2015. Propolis Ethanol


Extract Stimulates Cytokines and Chemokines Production through NF-kB
Activation in C2C12 Myoblasts. Evid Based Complement Alternat Med :
1-7

Whitney et al, 2015, Chronic Rhinosinusitis Pahogenes. Journal Allergy Immunol;


136(6): 1442-1453
Whitney WS, Robert PS, Robert CK. 2016. Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Polyps. Journal Allergy Clin Immunology Pract

40
Yang L, Seki E, 2012. Toll like receptors in liver fibrosis: cellular crosstalk and
mechanism. Front Physol; 3: 138
Yan JW et al. 2014. NLRP3 Inflammasome Sequential Changes in Staphylococcus
aureus-Induced Mouses Model of Acute Rhinosinusitis. Int. J.Mol. Sci, 15:
15806-15820

41

Anda mungkin juga menyukai