Penyusun :
Noviara Ghita Thiananda
030.14.145
Pembimbing :
dr. H. Didi Sukandi, Sp.A
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T yang
telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “ Tatalaksana Terkini Dermatitis Seboroik ”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian refarat ini,
terutama kepada dr. H. Didi Sukandi, Sp.A selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga refarat ini dapat di selesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa refarat ini tidak luput dari banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis minta maaf bila
ada kesalahan dalam penulisan referat ini. Kritik dan saran yang membangun
penulis harapkan demi penyempurnaan referat. Demikian yang penulis dapat
sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang kedokteran,
khususnya ilmu anak.
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PERSETUJUAN
REFERAT
Judul :
TATALAKSANA TERKINI DERMATITIS SEBOROIK
Pembimbing,
iii
DAFTAR ISI
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Epidermis
Stratum basal, terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang
tersusun berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di
bawahnya. Sel-selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding
ukuran selnya, dan sitoplasmanya basofilik.
Stratum spinosum, terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar
berbentuk poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan.
Stratum granulosum, terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung
banyak granula basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan
mikroskop elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran
tetapi dikelilingi ribosom. Mikrofilamen melekat pada permukaan granula.
Stratum lusidum, dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus
cahaya, dan agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organel pada sel-sel
lapisan ini.
Stratum korneum, terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak
berinti serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel permukaan
merupakan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas.
3
basal dan spinosum. Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel
rambut dan sedikit dalam dermis.
Sel Langerhans, merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler,
ditemukan terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak
berwarna baik dengan HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit,
merupakan sel pembawa-antigen yang merangsang reaksi hipersensitivitas
tipe lambat pada kulit.
Sel Merkel, jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis
dan ditemukan pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran
mukosa mulut. Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek.
Serat saraf tak bermielin menembus membran basal, melebar seperti
cakram dan berakhir pada bagian bawah sel Merkel.
4
Dermis
a.) Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua
lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin.
Stratum papilaris, lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya
papila dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya
terbanyak dan lebih dalam pada daerah di mana tekanan paling besar,
seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papila mengandung pembuluh-
pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papila
lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan Meissner.
Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat.
Stratum retikularis, lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas
kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang
padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-
rongga di antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea,
serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan pada tempat-tempat
tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting payudara.
Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada
dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular
menyatu dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan
ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak.
Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel
jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast.
5
serat-serat yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar
digerakkan. Sel-sel lemak lebih banyak dari pada dalam dermis.
Warna kulit, ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pigmen melanin berwarna
coklat dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan
pembuluh darah dalam dermis yang memberi warna merah serta pigmen
empedu dan karoten dalam lemak subkutan yang memberi warna
kekuningan. Perbedaan warna kulit tidak berhubungan dengan jumlah
melanosit tetapi disebabkan oleh jumlah granul-granul melanin yang
ditemukan dalam keratinosit.
2.2 Definisi
Dermatitis seboroik (DS) merupakan dermatosis papuloskuamosa kronik
dengan gambaran khas berupa patch dan plak eritem berbatas tegas dan skuama.
Dermatitis seboroik mengenai area yang banyak mengandung kelenjar sebasea.(1)
Dermatitis Seboroik (DS) adalah penyakit kulit dengan keradangan superfisial
kronis yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai
tempat predileksi.(3) Kelainan yang terjadi pada dermatitis seboroik, ditandai kulit
yang kemerahan dan bersisik, mengenai wajah, telinga, leher, dapat meluas ke
dada dan daerah popok.(2)
6
2.3 Prevalensi
Insiden dermatitis seboroik umumnya terjadi pada segala usia, namun sering
pada 3 bulan pertama kehidupan mencapai 70%, dan dekade keempat hingga
ketujuh kehidupan, sedangkan insidensi pada bayi dikaitkan dengan ukuran dan
aktivitas kelenjar sebasea pada usianya.(2) Prevalensi dermatitis seboroik pada
populasi umum sebesar 1% - 3% dan 34% - 83% pada orang dengan defisiensi
imun. Penelitian di Amerika menunjukkan 3% - 5% dermatitis seboroik terjadi
pada dewasa. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan pada semua kelompok umur.(3) Menurut survei yang dilakukan oleh
Foley dan kawan-kawan terhadap 1.116 anak di Australia, didapatkan prevalensi
DS pada anak laki-laki sebesar 10% dan 9,5% pada anak perempuan.(5) Data di
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2000-
2002 tercatat insidensi dermatitis seboroik sebesar 8,3% dari total kunjungan
pasien.(3) Di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr M Djamil Padang dilaporkan
sebanyak 73 kunjungan pasien dengan dermatitis soboroik pada tahun 2016,
dimana insiden dermatitis seboroik ini mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya.(3)
2.4 Etiologi
Etiologi dan patogenesis masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa
faktor diduga menjadi penyebab, antara lain:
1. Seborrhea
Dermatitis Seboroik mempunyai korelasi yang kuat antara aktivitas glandula
sebasea dan umur penderita. Penyakit ini sering dihubungkan dengan kulit yang
tampak berminyak ( seborrhea oleosa), namun peningkatan produksi sebum tidak
selalu didapatkan pada penderita DS.(3,6)
7
2. Efek mikrobial
Jamur Malassezia (yang sebelumnya dikenal sebagai jamur Pityrosporum)
sebagai mikroorganisme yang berperan dalam patogenesis DS.(6) Malassezia spp.
adalah jamur lipofilik yang merupakan komponen flora normal kulit orang
dewasa. Gueho dan kawan-kawan memperkenalkan genus Malassezia dan
menggunakan morfologi, ultrastruktur, fisiologi, dan biologi molekuler untuk
mengklasifikasikannya menjadi 10 spesies, yaitu Malassezia globosa, Malassezia
restricta, Malassezia obtusa, Malassezia slooffiae, Malassezia sympodialis,
Malassezia furfur, Malassezia nana, Malassezia dermatis, Malassezia japonica
dan jamur non-lipid dependent, Malassezia pachydermatis.(6) Malassezia spp
membutuhkan sumber lipid eksogen untuk tumbuh pada media kultur dan
cenderung muncul di kulit di sekitar usia pubertas, dimana terdapat peningkatan
hormon androgen yang menyebabkan peningkatan produksi sebum. Jamur ini
membutuhkan lipid untuk memproduksi lipase. Lipase terlibat dalam pelepasan
asam arakidonat, yang terlibat dalam proses keradangan kulit.(6) Malassezia spp.
membutuhkan lipid untuk hidup, sehingga jamur ini paling sering ditemukan di
bagian tubuh yang kulitnya kaya akan lipid, seperti dada, punggung, wajah, dan
kulit kepala. Lokasi ini adalah tempat predileksi untuk manifestasi klinis DS.(6)
3. Status imun
Status imunitas rendah baik disebabkan oleh pengobatan atau penyakit seperti
HIV dan keganasan dapat memicu DS. Manifestasi DS pada penderita HIV
berbeda dalam beberapa hal dari bentuk klasiknya.(3,6) Defisiensi imun memegang
peranan pada penyakit ini, di mana angka kejadiannya sebesar 15% pada
penderita dengan kadar CD4+ lebih dari 200 sel/ml dan mengalami peningkatan
menjadi 58% pada penderita dengan kadar CD4+ kurang dari 200 sel/ml.(6)
8
2.5 Patogenesi
Patogenesis DS didasari pada beberapa hal yaitu:
9
insidensi penyakit ini pada penderita imunokompromais. Belum diketahui dengan
jelas mengapa faktor imun dapat berpengaruh. Parry dan Sharpe menemukan
bahwa DS disebabkan oleh respon inflamasi terhadap toksin atau mediator yang
dihasilkan oleh jamur Malassezia. Mereka menyimpulkan bahwa DS merupakan
suatu respon iritasi terhadap jamur Malassezia.(6) Dengan adanya muatan jamur
yang tidak jauh berbeda antara individu normal dengan penderita DS, maka
diduga penderita DS mungkin mempunyai predisposisi imunologis untuk
terjadinya DS, dan penderita imunokompromais menunjukkan respon keradangan
yang berlebihan terhadap jamur tersebut.(6)
4) Mekanisme imunologis
Pertumbuhan Malassezia furfur yang berlebihan akan menimbulkan
peradangan, tidak hanya disebabkan oleh produk metabolit jamur tersebut pada
epidermis atau adanya sel-sel jamur pada permukaan kulit. Tetapi mekanisme
timbulnya peradangan adalah melalui sel Langerhans dan aktivasi limfosit T oleh
Malassezia atau produknya. Saat Malassezia furfur berikatan dengan serum, maka
ikatan tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui direct and alternative
pathway.(6)
1. Pityriasis sicca
Tipe lesi dermatitis seboroika yang kering, biasanya berawal dari bercak yang
kecil yang kemudian meluas ke seluruh kulit kepala berupa deskuamasi kering,
sering disertai rasa gatal, dan kadang-kadang disertai inflamasi ringan dengan
membentuk skuama halus (ketombe/Dandruff ). White Dudruff yang asimptomatis
pada kulit kepala disebut dengan Pityriasis sicca.(2)
10
2. Piytiriasis steatoides
Tipe lesi dermatitis seboroika yang basah, ditandai oleh skuama yang
berminyak berwarna kuning disertai eritema ringan sampai berat dan akumulasi
krusta yang tebal. Pada tipe yang berat dapat disertai dengan erupsi
psoriasiformis, eksudat, krusta yang kotor serta bau yang busuk, dengan rasa gatal
pada kulit kepala dan lubang telinga. Keadaan ini dikenal sebagai lesi rekuren
kronis, dan disebut juga sebagai dermatitis seboroik klasik pachy dermatitis
seborrheic.(2)
Kelainan kulit biasanya dimulai pada usia sekitar minggu ke-2 kelahiran dan
menetap selama beberapa minggu sampai beberapa bulan dengan puncaknya pada
usia 3 bulan, serta menghilang pada usia 8-12 bulan.(2) Lesi kulit pada fase awal
akan berupa plak eritema berbatas tegas, disertai skuama berminyak sehingga
memberikan gambaran ”oily looking skin” , kadang disertai krusta pada puncak
kepala. Kelainan ini berupa krusta meliputi seluruh kulit kepala, menebal, basah
dan melekat disebut ”cradle cup”, “crusta luteal” atau “milk crust”.(2)
Lesi yang meluas ke wajah, retroauricular, lipatan nasolabial, leher, tubuh, dan
ekstremitas proksimal biasanya lebih kecil, lonjong atau bundar dengan skuama
lebih putih/ kering. Kelainam kulit pada lipatan leher, umbilikus, aksila, dan
popok berupa eritema berbatas tegas ditutupi skuama kuning berminyak. Bila
terjadi infeksi oportunistik olah candida, lesi ini menjadi maserasi, dikelilingi lesi
satelit, terdapat rasa gatal ringan, tidak terdapat gangguan tidur ataupun
menyusu.(1,2)
Dermatitis seboroik infantil dapat meluas menjadi generalisata, namun
keadaan umum tetap baik dan perkembangan bayi tetap normal. Bila eritema dan
11
skuama bertambah parah, generalisata disertai pengelupasan kulit, perlu
dipertimbangkan suatu penyakit leiner. Penyakit leiner atau erythroderma
desquamatikcum, adalah penyakit akut jarang dijumpai, diduga sebagai defisiensi
imun berkaitan dengan penyakit disfungsi komplemen C5, terjadi gangguan
fungsi opsonisasineutrofil terhadap sel ragi. Penderita tampak sakit berat, ditandai
dengan dermatitis seboroik infantil generalisata, anemia, diare hebat, dan
muntah.(2)
12
2.7 Penegakan Diagnosis
Dalam mendiagnosis dermatitis seboroik, perlu dipertimbangkan beberapa hal,
yaitu :(2)
Manifestasi klinis pada bayi dan anak yang tidak banyak berbeda dengan
orang dewasa.
Masalah sosial yang ditimbulkan, dapat berdampak juga pada
orangtuanya.
Rasa gatal yang timbul dapat dikatakan minimal, namun manifestasi pada
kulit yang kering, merah, bersisik dan berlansung lama dapat mengganggu
kwalitas hidup, estetika dan emosi.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada lokasi kulit yang terkena serta
sifat skuama, seperti skuama kering atau berminyak, halus atau kasar, selapis atau
berlapis, serta warnanya dan pada kasus yang sulit di diangnosis atau sulit
dibedakan satu dengan yang lain, perlu pemeriksaan histopatologis.
Sebagai klinisi, diperlukan pendekatan klinis dengan melakukan ananesis
secara seksama dan lengkap yang mencakup : (2,6)
Keluhan utama (kwantitas dan kwalitas)
Awitan sakit dan perjalanan penyakit
Faktor eksogen yang mempengaruhi penyakit (perubahan suhu dan iklim)
Faktor pemacu/pencetus (misalnya infeksi stafilococcus)
Faktor predisposisi penyakit (genetik, penyakit sistemik yang mendasari,
imunitas tubuh)
Riwayat penyakit dan perkembangan terapi
13
2.8 Diagnosis Banding(7)
14
2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan DS secara umum ditujukan untuk menghilangkan skuama dan
krusta, menghambat kolonisasi jamur, mengendalikan infeksi sekunder, serta
mengurangi eritema dan rasa gatal.
Penatalaksanaan DS pada bayi, untuk area kepala, menghilangkan krusta
dengan asam salisilat 3% dalam olive oil atau dalam sediaan yang larut air,
kompres dengan olive oil hangat, penggunaan glukokortikoid potensi rendah
(misalnya hidrokortison 1%) dalam bentuk krem atau losio selama beberapa hari,
penggunaan topikal anti jamur seperti imidazol (dalam bentuk shampoo), dan
memberi perlindungan kulit dengan emolien dalam bentuk krem atau pasta.(2,3)
Penatalaksanaan pada lipatan, dengan losio pengering seperti clioquinol 0.2-0.5%
dalam lotion zinc atau zinc oil. Pada kasus kandidiasis, lotion nystatin atau
amphotericin B bisa digunakan dengan diikuti pemberian pasta yang lembut.(3)
Pemberian ketoconazole 1% dengan krim 2% efektif dan aman digunakan dua
kali sehari atau dua kali seminggu.(8)
Untuk skalp, skuama yang luas disertai inflamasi dapat diterapi dengan
melembabkan seluruh bagian kulit kepala menggunakan fluocinolone acetonide
0.01% dalam minyak, ditutup dengan penutup kepala plastik semalaman, lalu
dicuci keesokan harinya. Pengobatan ini dilakukan setiap malam sampai inflamasi
membaik, lalu pemakaiannya dijarangkan sampai satu atau tiga kali seminggu.(6)
Daerah lesi pada wajah diterapi dengan krim hidrokortison 1% satu sampai dua
kali sehari sehingga eritema pada kulit dan rasa gatal berkurang.(6) Seborrhea pada
badan dapat diterapi dengan mandi menggunakan shampo atau sabun yang
mengandung zinc atau coal tar. Sebagai tambahan dengan ketokonazole topikal
2% atau kortikosteroid topikal baik dalam bentuk krim, lotion, atau solution yang
dipakai satu sampai dua kali per hari. Walaupun ada pendapat yang tidak
menyetujui pemberian antijamur sistemik, perlu dipikirkan indikasinya untuk
kasus DS yang sangat berat atau luas seperti pada penderita HIV/AIDS. Pada
penderita HIV/AIDS, di mana lesi DS sangat luas maka dapat diberi terapi
ketokonazole oral, 200–400 mg sehari selama 2 minggu atau itrakonazole 200 mg
perhari selama 7 hari atau terbinafin 250 mg/hari.(6)
15
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Langtry dan kawan-kawan (1997),
terbukti bahwa sediaan lithium succinate dalam bentuk ointment (600 mmol/l)
efektif terhadap DS. Cara kerjanya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas,
namun dipercaya memiliki efek menghambat pertumbuhan Pityrosporum dengan
menghambat pelepasan asam lemak bebas dari fosfolipid, sehingga substrat
makanan bagi Pityrosporum tidak tersedia. Lithium succinate juga dapat
mengatasi jamur dengan efeknya sebagai "booster" bagi respon imun lokal
terhadap infeksi. Pemakaian preparat ini dua kali sehari tampaknya memberi efek
yang lebih panjang setelah terapi dihentikan, sehingga gejala klinis DS tidak
muncul setelah terapi dihentikan.(6)
Itrakonazole mempunyai afinitas tinggi pada jaringan keratin, seperti kulit,
rambut dan kuku, bisa menetap selama 2–4 minggu dan menimbulkan efek
therapeutic reservoir. Terbinafin termasuk dalam golongan allylamine yang
bersifat spektrum luas terhadap dermatofit, molds, jamur dimorphic, dan yeast.
Bentuk sediaan topikal terbinafin mempunyai efek anti-inflamasi, sedangkan
bentuk oral tidak. Obat antijamur memiliki spektrum efek terapi yang luas,
termasuk antiinflamasi dan hambatan terhadap sintesis ergosterol sebagai
komponen dinding sel jamur yang penting, akibatnya sel jamur akan mati.
Isotretinoin bisa diberikan dalam dosis rendah 0,05-0,10 mg/kgBB setiap hari
selama beberapa bulan, khususnya untuk kasus DS yang sukar sembuh.
Penggunaan terapi narrow-band ultraviolet B merupakan pengobatan yang efektif
dan aman untuk kasus DS yang berat, karena narrow-band UVB akan diserap oleh
Malassezia furfur yang bersifat kromofor.(3) Ultraviolet B fototerapi kadang-
kadang dianggap sebagai pilihan untuk dermatitis seboroik luas atau yang sulit di
terapi, tetapi masih belum diteliti. Pada terapi Ultraviolet B fototerapi terjadi
pembakaran dan dapat timbul efek gatal-gatal serta pada pengobatan jangka
panjang dapat timbul efek karsinogenik pada kulit.(9)
16
Tatalaksana Dermatitis Seboroik dan Ketombe.(7)
a.) Topikal
17
b.) Sistemik
Prognosis dermatitis seboroik infantil sangat bagus karena kelainan ini bisa
sembuh sendiri.(3) Prognosis pada umumnya baik karena dapat sembuh tanpa
komplikasi.(10) Pasien dengan dermatitis seboroik memiliki prognosis yang baik,
terutama dermatitis seboroik infantil, yang biasanya sembuh dalam beberapa
minggu atau bulan dan tidak kambuh.(11) Dermatitis seboroik mungkin
memerlukan perawatan selama beberapa tahun tetapi prognosis jangka
panjangnya tetap baik.(11)
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
10. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Edisi revisi Tahun 2014.
11. Ooi ET, Tidman MJ. Improving the management of seborrhoeic dermatitis.
Department of Dermatology, Royal Infirmary of Edinburgh, Edinburgh, UK.
Special Report. 2014;258(1768):23-6.
21