Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

STROKE HEMORAGIK

DISUSUN OLEH :

M. Reza Restu Fauzi 140100002


Reina Romauli Tarihoran 140100015
Luhurul Amri 140100037

Pembimbing :
dr. Muhammad Arshad, M.Ked (An), Sp. An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Stroke
Hemoragik”.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara di Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik Medan. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun
penulisannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempuraan
laporan kasus ini.
Terimakasih kami ucapkan dr. Muhammad Arshad, M.Ked (An), Sp.An, yang
telah meluangkan waktu dan sebagai dokter pembimbing dalam proses penulisan
laporan kasus ini.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Semoga laporan kasus
ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................ i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Pneumonia ................................................................................ 3
2.1.1 Definisi ............................................................................ 3
2.1.2 Epidemiologi ................................................................... 3
2.1.3 Etiologi ............................................................................ 4
2.1.4 Patogenesis ...................................................................... 4
2.1.5 Diagnosis ......................................................................... 7
2.1.6 Klasifikasi ........................................................................ 8
2.1.7 Diagnosa Banding ........................................................... 9
2.1.8 Tatalaksana ...................................................................... 9
2.1.9 Pencegahan ...................................................................... 13
2.1.10 Komplikasi dan Prognosis ............................................. 14
2.2 Sepsis ........................................................................................... 14
2.2.1 Definisi ............................................................................ 15
2.2.2 Kriteria ............................................................................. 15
2.2.3 Tatalaksana ...................................................................... 15
BAB III. STATUS ORANG SAKIT .......................................................... 18
BAB IV. FOLLOW UP ............................................................................... 24
BAB V. DISKUSI KASUS .......................................................................... 30
BAB VI. KESIMPULAN ............................................................................ 33

ii
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit serebrovaskuler/cerebrovascular disease (CVD) merupakan penyakit
sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Stroke merupakan bagian dari CVD.
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat atau tiba-
tiba, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan tidak
tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Berdasarkan American Heart
Association (AHA) stroke ditandai sebagai defisit neurologi yang dikaitkan dengan
cedera fokal akut dari sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh pembuluh
darah, termasuk infark serebral, pendarahan intraserebral (ICH) dan pendarahan
1
subaraknoid (SAH).
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran darah
atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu iskemik stroke dan
hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran daah sedangkan
stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak disebut stroke
hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat dengan cepat
menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf di dalam
tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke iskemik akan
tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian.
Penyakit stroke merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di hampir
seluruh RS di Indonesia, sekitar 10,9%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Kemenkes RI tahun 2018 menunjukkan telah terjadi peningkatan prevalensi stroke
di Indonesia dari 7 per mil (tahun 2013) menjadi 10,9 per mil (tahun 2018).
Prevalensi penyakit Stroke tertinggi di Kalimantan Timur (14,7per mil), Yogyakarta
(14,7 per mil), dan Sulawesi Utara (14,0 per mil).2

1
Kasus stroke termasuk dalam Standar Kompetensi Dokter dengan grade 3B, yang
berarti dokter umum harus mampu mendiagnosa klinik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan sederhana. Dokter umum harus mampu
memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang
relevan (kasus gawat darurat). Diharapkan laporan kasus ini dapat menambah
informasi dan wawasan mengenai stroke, sehingga kompetensi yang diharapkan
dapat tercapai.

1.2 TUJUAN
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
Khususnya Stroke Hemoragik
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Senior
Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan ini adalah meningkatkan
pemahaman terhadap kasus stroke hemoragik serta penanganan kegawatdaruratan
kompetensi pada tingkat pelayanan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Defenisi
Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena
gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik atau
menit) dapat menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang mengalami kerusakan.4,5 Menurut WHO, stroke didefinisikan sebagai
manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh),
yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan
kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.4,5
Pada umumnya gangguan fungsional otak fokal dapat berupa hemiparesis
yang disertai dengan defisit sensorik, parese nervus kraniales dan gangguan fungsi
luhur. Manifestasi klinis yang muncul sangat bergantung kepada area otak yang
diperdarahi oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi ataupun ruptur. 5,6

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Otak


Anatomi

Otak merupakan organ yang palik aktif secara metabolik. Otak hanya
memiliki sekitar 2% massa tubuh akan tetapi otak membutuhkan 15-20% kardiak
output untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosanya. Secara anatomis,
pembuluh darah serebral terdiri dari dua sistem yaitu sistem karotis dan sistem
vertebrobasiler. Jatah darah ke otak 1/3 disalurkan melalui lintasan vaskuler
vertebrobasiler dan 2/3 melalui arteri karotis interna.

3
Tabel 1.Pembagian daerah otak yang diperdarahi pembuluh darah serebral

Sirkulasi Anterior (Sistem Karotis)

Anterior Koroid Hippokampus, globus pallidus, kapsula interna bawah

Anterior Serebri Korteks serebri frontomedial dan parietal serta substansia alba di
sekitarnya dan korpus kalosum anterior

Serebri Media Korteks serebri frontolateral, parietal, oksipital, dan temporal


serta substantia alba di sekitarnya

Cabang Nukleus kaudatus, putamen, dan kapsula interna atas


Lentikulostriata

Sirkulasi Posterior (Sistem Vertebrobasiler)

Arteri serebelar Medulla dan serebelum inferior


basiler posterior
inferior

Arteri serebelar Pons inferior dan media serta serebelum media


anterior inferior

Arteri serebelar Pons superior, otak tengah inferior, dan serebelum superior

Superior

Arteri serebelar Korteks oksipital dan temporal media serta substansia alba
posterior disekitarnya. Korpus kalosum posterior dan otak tengah superior

Cabang Thalamus
thalamoperforata

Anterior circulation (sistem karotis)

Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini


memberikan tanda dan gejala disfungsi hemisfer serebri seperti afasia, apraxia, atau

4
agnosia. Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan
gangguan lapang pandang.

Posterior circulation (sistem vertebrobasiler)

Stroke yang disebabkan karena gangguan pada sistem sirkulasi ini


memberikan tanda dan gejala disfungsi batang otak termasuk koma, drop attacks
(jatuh tiba-tiba tanpa penurunan kesadaran), vertigo, mual dan muntah, gangguan
saraf otak, ataxia, defisit sistem sensorimotorik kontralateral (hemiparese alternans).
Selain itu dapat juga timbul hemiparese, gangguan hemisensoris, dan gangguan
lapang pandang tetapi tidak spesifik untuk stroke yang disebabkan sistem
vertebrobasiler.

2.1.3 Epidemiologi Stroke


Stroke merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan tertinggi di dunia,
serta merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di
Amerika setiap tahunnya adalah 50-100 dari 100.000 orang penderita (Ahmad dan
Amir, 2003). Stroke diklasifikasikan menjadi stroke non hemoragik dan stroke
hemoragik. Stroke non hemoragik memiliki angka kejadian 85% dari seluruh stroke
yang terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli.16
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), stroke merupakan penyebab
kematian dan kecacatan utama hampir di seluruh RS di Indonesia. Angka kejadian
stroke meningkat dari tahun ke tahun. Setiap tujuh orang yang meninggal di
Indonesia, satu diantaranya disebabkan stroke. 4

2.1.4 Klasifikasi Stroke


Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah banyak
dikemukakan oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data Bank,

5
World Health Organization (WHO,1989) dan National Institute of Neurological
Disease and Stroke (NINDS,1990). Pada dasarnya klasifikasi tersebut dikelompokan
atas dasar manifestasi klinik, proses patologi yang terjadi di otak dan area lesinya.
Hal ini berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk menetapkan
diagnosis klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi.4,5 Lebih jauh, stroke dapat
diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi, sistem darah dan
stadiumnya. Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi landasan untuk
menentukan terapi dan usaha pencegahan stroke.5,6,7
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Trombosis serebri
iii. Embolia serebri
b. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
a. TIA
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler

Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak
yang mengalami inskemik atau infark. Walaupun telah terdapat pngelompokkan
stroke berdasarkan patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik,
namun penegakkan klinis stroke (hemoragik maupun non-hemoragik) tidak dapat

6
semata-mata ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja, karena semua gejala
pada kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk itu diperlukan pemeriksaan
tambahan yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis stroke, seperti CT-
scan.8

2.1.5 Faktor Risiko

2.1.6 Diagnosis Stroke


Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik
mendadak yang beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik,
gangguan fungsi luhur hingga gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai
nyeri kepala, mual muntah, kejang, kaku kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis stroke
seperti juga diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit Saraf mencakup diagnosis klinis,
topis dan etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi otak dan bangunan
intrakranial di sekitarnya, sistem perdarahan otak serta fisiologi dan metabolisme otak
diperlukan dalam menentukan diagnosis stroke. Selain itu, anamnesis, pemeriksaan
fisik neurologis, dan pemeriksaan psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan
dalam sindrom-sindroma klinik yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam
pengelolaan pasien. Diagnosis etiologis menempati tempat utama yang harus segera
disimpulkan untuk dapat memberikan terapi yang cepat dan tepat.

7
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis stroke ditetapkan dari pemeriksaan fisik neurologis dimana
didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala
serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pemnbuluh darah otak
tertentu.4,10,11
Gangguan pada sistem karotis menyebabkan: gangguan penglihatan,
gangguan bicara, disafasia atau afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan,
gangguan motorik, hemiplegi/ hemiparesis kontra lateral, dan gangguan sensorik.
Gangguan pada sistim vertebrobasilar menyebabkan: gangguan penglihatan,
pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital, gangguan nervi
kranalis bila mengenai batang otak, gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop
attack, gangguan sensorik, gangguan kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa
keadaan didapat gangguan neurobehaviour, hemineglect, afasia, aleksia, anomia
maupun amnesia. 1,2

2. Diagnosis Topik
Menurut klasifikasi Bamford, diagnosis topik stroke dapat dibagi menjadi :3,4
a. Total Anterior Circulation Infarct (TACI) bila memenuhi 3 gejala di bawah:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia,
apraksia
b. Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) bila memenuhi 2 gejala di bawah
ini atau cukup 1 saja tetapi harus merupakan gangguan fungsi luhur:
- Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kontralateral sisi lesi)
- Hemianopia kontralateral
- Gangguan fungsi luhur: disfasia, visuospasial, hemineglect, agnosia,
apraksia
c. Lacunar Circulation Infarct (LACI) bila:

8
- Gangguan motorik murni
- Gangguan sensorik murni
- Hemiparesis dengan ataksia
d. Posterior Circulation Infarct (POCI) bila memberikan gejala:
- Diplopia
- Disfagia
- Vertigo
- Disartria
- Hemiparesis alternans
- Gangguan motorik/sensorik bilateral
- Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract sign

3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Baku emas yang digunakan untuk menentukan etiologi adalah CT-
scan kepala. 1,2
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah dan urin),
elektrokardiogram, ekhokardiogram, foto toraks, pungsi lumbal, elektroensefalogram,
arteriografi, doppler sonography diperlukan untuk membantu diagnosis etiologis
stroke hemoragik (intraserebral, subaraknoid) atau iskemik (emboli, trombosis) serta
mencari faktor risiko.3,4

9
2.1.7 Stroke Hemoragik
2.1.7.1 Klasifikasi Stroke Hemoragik
Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab
perdarahannya1,2, yaitu:
1. Perdarahan Intraserberal
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan
perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh
hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya
pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya
anomaly vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat
obat-obat antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab perdarahan
intraserebral adalah hipertensi kronik. 4
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga
menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan
penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya
aneurisma sakuler.

2.1.7.2 Patogenesis Stoke Hemoragik


Perdarahan intraserebral terjadi dalam 3 fase, yaitu fase initial hemorrhage,
hematoma expansion dan peri-hematoma edema. Fase initial hemmorhage terjadi
akibat rupturnya arteri serebral. hipertensi kronis, akan menyebabkan perubahan
patologi dari dinding pembuluh darah. Perubahan patologis dari dinding pembuluh
darah tersebut dapat berupa hipohialinosis, nekrosis fibrin serta timbulnya aneurisma
tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah dalam jumlah yang mencolok dan
meningkatnya denyut jantung, dapat menginduksi pecahnya aneurisma, sehingga
dapat terjadi perdarahan. Perdarahan ini akan menjadi awal dari timbulnya gejala-
gejala klinis (fase hematoma expansion). 1,2,12 Pada fase hematoma expansion, gejala-
gejala klinis mulai timbul seperti peningkatan tekanan intracranial. Meningkatnya

10
tekanan intracranial akan mengganggu integritas jaringan-jaringan otak dan blood
brain-barrier. Perdarahan intraserebral lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya
inflamasi sekunder dan terbentuknya edema serebri (fase peri-hematoma edema).
Pada fase ini defisit neurologis, yang mulai tampak pada fase hematoma expansion,
akan terus berkembang. Kerusakan pada parenkim otak, akibat volume perdarahan
yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intracranial dan
menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena
darah dan sekitarnya menjadi lebih tertekan dan defisit neurologis pun akan semakin
berkembang.
Ukuran perdarahan akan berperan penting dalam menentukan prognosis.
Perdarahan yang kecil ukurannya akan menyebabkan massa darah menerobos atau
menyela di antara selaput akson massa putih “dissecan splitting” tanpa merusaknya.
Dalam keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi.
Sedangkan bila perdarahan yang terjadi dalam jumlah besar, maka akan merusak
struktur anatomi dari otak, peningkatan tekanan intracranial dan bahkan dapat
menyebabkan herniasi otak pada falx serebri atau lewat foramen magnum.
Perdarahan intraserebral yang yang tidak diatasi dengan baik akan menyebar hingga
ke ventrikel otak sehingga menyebabkan perdarahan intraventrikel. Perdarahan
intraventrikel ini diikuti oleh hidrosefalus obstruktif dan akan memperburuk
prognosis. Jumlah perdarahan yang lebih dari 60 ml akan meningkatkan resiko
kematian hingga 93%. 1,2,14

2.1.7.3 Stroke Non Hemoragik1,2,9


Infark serebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow
(CBF) yang menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi
penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang
terjadi. Jika suplai darah ke otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di

11
otak akan berubah. Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5
menit terganggu dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat
diperbaiki dengan cepat, kerusakan kemungkinan bersifat reversibel.
Nilai kritis Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 23 ml/100 gram per menit
(normal 55 ml). Penurunan CBF di bawah 10-12 ml/100 gram per menit dapat
menyebabkan infark. Nilai kritis CBF yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan
adalah diantara 12 sampai 23 ml/100 gram per menit. Pada nilai tersebut terjadi
keadaan isoelektrik. Dalam keadaan perfusi yang marginal (ischemic penumbra),
kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP dan kreatin fosfat. Akan tetapi,
perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi dapat kembali normal.
Iskemia akan menyebabkan gangguan hemostasis ion, terutama ion kalium
dan kalsium. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan menyebabkan
pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan bahan
makanan ke otak.
Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan neurotransmitter glutamat dan
aspartat yang akan menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel. Keadaan
inilah yang mendorong jejas sel menjadi irreversibel.
Nilai CBF 6 sampai 8 ml/100 gram per menit (infark) ditandai dengan
penurunan ATP, peningkatan kalium ekstraseluler, peningkatan kalsium intraseluler,
dan asidosis seluler. Kalsium yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan
membran fosfolipid sehingga terjadi asam lemak bebas, antara lain asam arakhidonat.
Asam arakhidonat merupakan prekursor dari prostasiklin dan tromboksan A2.
Prostasiklin merupakan vasodilator yang kuat dan mencegah agregasi trombosit,
sedangkan tromboksan A2 merangsang terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan
normal, prostasiklin dan tromboksan A2 berada dalam keseimbangan sehingga
agregasi trombosit tidak terjadi. Bila keseimbangan ini terganggu, akan terjadi
agregasi trombosit. Prostaglandin, leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi. Protein
dan enzim intraseluler terdenaturasi, setelah itu sel membengkak (edema seluler).

12
Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan
kerusakan sel. Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi
apabila kadar glukosa darah otak tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis
dalam keadaan iskemia.

Stroke Infark Arterotrombotik

 Patogenesis pada pasien hipertensi : pembuluh darah pasien hipertensi mudah


mengalami perlukaan. Pada lokasi perlukaan tersebut mudah membentuk
trombus yang dapat berasal dari deposit lemak, sel-sel darah, dan komponen
darah lainnya. Suatu saat akibat aliran darah yang kencang, trombus tersebut
dapat terlepas mengikuti aliran darah dan akan menyumbat lumen pembuluh
darah yang sesuai dengan besarnya trombus.

 Patogenesis pada pasien Diabetes Melitus : Pembuluh darah pasien DM dapat


mengalami “arterosklerotik” sehingga mengganggu fungsi autoregulasi
vaskular (kemampuan berdilatasi dan berkonstriksi secara simultan).
Autoregulasi pada orang normal bernilai 53 cc/100g/menit. Pada pasien DM
autoregulasi tersebut dapat menurun. Penurunan autoregulasi sampai sekitar
10-15 cc/100g/menit menyebabkan terbentuknya “Penumbra” dalam waktu 3-
6 jam, yaitu jaringan neuron yang tidak berfungsi lagi. Maka waktu 3-6 jam
tersebut menjadi “Therapeutic Window” karena jika terapi dilakukan dalam
jam ini dapat memberikan prognosis yang baik. Apabila penurunan
autoregulasi mencapai < 10 cc/100g/menit maka dapat terjadi peningkatan
drastis kadar Ca ekstrasel dan K intrasel. Sehingga dapat merusak Retikulum
Endoplasmik yang mengakibatkan gangguan mitokondria sehingga
menyebabkan asidosis dan kematian sel.

13
 Manifestasi Klinis
 Bila sumbatan terjadi pada a. carotis dan a. cerebri media, gejala yang
mungkin timbul pada serangan awal adalah kebutaan sebelah mata,
hemiplegia, hemianesthesia, gangguan bicara dan bahasa, bingung
dan lain-lain.
 Bila sumbatan terjadi pada sistem vertebrobasiler, terjadi episode
pusing, diplopia, kebas, hendaya penglihatan pada kedua lapang
pandang dan dysarthria.
 Serangan awal tersebut dapat terjadi dalam rentang waktu beberapa
menit hingga beberapa jam, umumnya tidak lebih dari 10 menit.
 Trombosis arterial basanya tidak disertai nyeri kepala. Bila ada, lokasi
nyeri berhubungan dengan lokasi sumbatan arteri. Intensitas nyeri
tidak parah.
 Hipertensi, diabetes, kebiasaan merokok dan hiperlipidemia umum
ditemukan pada pasien dengan stroke infark atherotrombotik.
Stroke Infark Cardioemboli

 Terjadi pada pasien dengan Tensi normal atau Hipertensi ringan. Umumnya
pada pasien dengan gangguan irama jantung karena gangguan katup, banyak
pada pasien mitral stenosis (MS) dan mitral insufisiensi (MI).
 Patogenesis :Pada pasien dengan gangguan katup jantung terjadi benturan /
“injury” antara sel darah yang masuk ke ventrikel kiri dan sel darah yang tidak
seluruhnya dipompa jantung. Akibatnya terbentuk trombus di sekitar katup,
ruang dan dinding jantung. Kemudian karena tekanan pompa jantung yang
tinggi, trombus tersebut keluar dengan tekanan yang tinggi sebelum akhirnya
menyumbat lumen pembuluh darah
 Manifestasi Klinis :
 Nyeri kepala ringan
 Terjadi pada saat aktivitas ringan-sedang

14
 Tidak memiliki riwayat hipertensi
 Memiliki riwayat sakit jantung
Tanda Klinis Cardioemboli : ditemukan ‘Pulsus Defisit’, yaitu perbedaan
antara Heart Rate dengan denyut nadi mencapai > 10.

2.1.8 Gejala Stroke Hemoragik


Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak. 6
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala , yang diikuti dengan muntah dan penurunan kesadaran
c. Adanya riwayat hipertensi kronis
d. Nyeri telinga homolaterlal (lesi pada bagian temporal), afasia (lesi
pada thalamus)
e. Hemiparese kontralateral
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala klinis
berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

15
2.1.9 Diagnosis Stroke Hemoragik4,5

1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot atau
bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain itu, pada
anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti diabetes mellitus
atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat penyakit dalam
keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat
kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks patologis dan
fungsi saraf kranial.

Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu sebagai
berikut :
Tabel 3. Glasgow Coma Scale(GCS)
Respon Skor
a. Membuka mata
1) Membuka spontan 4
2) Membuka dengan perintah 3
3) Membuka mata karena rangsang nyeri 2
4) Tidak mampu membuka mata 1
b.Kemampuan bicara
1) Orientasi dan pengertian baik 5
2) Pembicaraan yang kacau 4
3) Pembicaraan tidak pantas dan kasar 3
4) Dapat bersuara, merintih 2

16
5) Tidak ada suara 1
c.Tanggapan motorik
1) Menanggapi perintah 6
2) Reaksi gerakan lokal terhadap rangsang 5
3) Reaksi menghindar terhadap rangsang nyeri 4
4) Tanggapan fleksi abnormal 3
5) Tanggapan ekstensi abnormal 2
6) Tidak ada gerakan 1

Derajat kesadaran :
Kompos mentis = GCS 15-14
Somnolen = GCS 13-8
Sopor = GCS 7-4
Koma = GCS 3
Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari tangan dan kaki dapat dinilai
melalui tes yang dilakukan dengan cara menyuruh penderita membuka dan menutup
kancing bajunya. Kemudian melepas dan memakai sandalnya.
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit
dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata
menentukan suatu kelumpuhan.
Pemeriksaan kekuatan otot adalah sebagai berikut :
0 : Tidak ada kontraksi otot
1 : Terjadi kontraksi otot tanpa gerakan nyata
2 : Pasien hanya mampu menggeserkan tangan atau kaki
3 : Mampu mengangkat tangan, tetapi tidak mampu menahan gravitasi
4 : Tidak mampu menahan tangan pemeriksa
5 : Kekuatan penuh

17
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks
patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks Babinsky,
Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.4
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang keluar melalui otak,
berbeda dari saraf spinal yang keluar melalui sumsum tulang belakang. Saraf kranial
merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf, 3 pasang memiliki
jenis sensori (saraf I, II, VIII), 5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII) dan
4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).

Tabel 4. Gangguan nervus kranialis17

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan


lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi pupil, Diplopia (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis; midriasis;
hilangnya akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit ”mati rasa” pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak kelemahan otot rahang
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum Hilangnya kemampuan
pada platum dan telinga mengecap pada duapertiga
luar; sekresi kelenjar anterior lidah; mulut

18
lakrimalis, submandibula kering; hilangnya
dan sublingual; ekspresi lakrimasi; paralisis otot
wajah wajah

VIII: Vestibulokoklearis Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging


keseimbangan terus menerus);
vertigo;nistagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum Hilangnya daya
pada faring dan telinga; pengecapan pada sepertiga
mengangkat palatum; posterior lidah; anestesi
sekresi kelenjar parotis pada faring; mulut kering
sebagian
X: Vagus Pengecapan; sensasi umum Disfagia (gangguan
pada faring, laring dan menelan) suara parau;
telinga; menelan; fonasi; paralisis palatum
parasimpatis untuk jantung
dan visera abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan
leher dan bahu otot kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah

3. Pemeriksaan Penunjang

CT scan

 Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan


stroke infark dengan stroke perdarahan.

19
 Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan menunjukkan
gambaran hiperdens.

Intracranial Hemorrhage

Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi
akan terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat
isodense, sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan terlihat gambaran hypodense.
Perdarahan terjadi di intracerebral sehingga gambaran CSF akan terlihat jernih.

20
Subarachnoid Hemorrhage

Pada subarachonid hemorrhage, gambaran radiologi akan memperlihatkan


ruangan yang diisi dengan CSF menjadi isodens.

Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). Secara umum juga lebih sensitif dibandingkan CT scan, terutama
untuk mendeteksi pendarahan posterior.

Pemeriksaan Angiografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem


karotis atau vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau
aneurisma pada pembuluh darah.

Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.

21
Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke
perdarahan intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau
berwarna kekuningan. Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross
hemorragik. Pada stroke infark tidak didapatkan perdarahan (jernih).

Pemeriksaan Penunjang Lain.

Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen


kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, foto toraks, EKG, echocardiografi.

2.1.10 Tatalaksana Stroke Hemoragik


1. Stadium Hiperakut4,26
Stroke merupakan kondisi akut dan serius. Waktu emas (golden period) hanya
tiga jam. Oleh karena itu, orang yang menunjukkan gejala stroke harus segera dibawa
ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat. Jika dalam kurun waktu itu penderita
mendapat pemeriksaan dan penanganan yang tepat, maka ia akan terhindar dari
kematian, komplikasi, atau kecacatan.
Penatalaksanaan stroke di unit gawat darurat meliputi:
1. Evaluasi cepat dan diagnosis
Oleh karena jendela terapi stroke akut sangat pendek, evaluasi dan diagnosis klinik
harus cepat. Evaluasi gejala dan tanda klinik meliputi:
1. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita
saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,
kejang, gangguan visual, penuruanan kesadaran, serta factor resiko stroke.
2. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh.
Pemeriksaan kepala dan leher, misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung

22
kongestif. Pemeriksaan thorax (jantung dan paru), abdomen, kulit, dan
ekstremitas.
3. Pemeriksaan neurologik dan skala stroke. Pemeriksaan neurologic terutama
pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningen, system motorik, sikap dan
cara jalan, reflex, koordinasi, sensorik, dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat in adalah NIHSS (National Institute of Health Stroke Scale)
4. Studi diagnostik stroke akut meliputi CT scan tanpa kontras, KGD, elektrolit
darah, tes fungsi ginjal, EKG, penanda iskemik jantung, darah rutin, PT/INR,
aPTT, dan saturasi oksigen.

2. Terapi Umum
a. Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan
 Perbaikan jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring.
 Pada pasien hipoksia diberi suplai oksigen
b. Stabilisasi hemodinamik
 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari cairan hipotonik)
 Optimalisasi tekanan darah
 Bila tekanan darah sistolik < 120mmHg dan cairan sudah mencukupi, dapat
diberikan obat-obat vasopressor.
 Pemantauan jantung harus dilakukan selama 24 jam pertama.
 Bila terdapat CHF, konsul ke kardiologi.
c. Pemeriksaan awal fisik umum
 Tekanan darah
 Pemeriksaan jantung
 Pemeriksaan neurologi umum awal
o Derajat kesadaran
o Pemeriksaaan pupil dan okulomotor
o Keparahan hemiparesis

23
d. Pengendalian peninggian TIK
 Pemantauan ketat terhadap risiko edema serebri harus dilakukan dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik pada hari pertama
stroke
 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS < 9 dan pasien yang
mengalami penurunan kesadaran
 Sasaran terapi TIK < 20 mmHg
 Elevasi kepala 20-30º.
 Hindari penekanan vena jugulare
 Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
 Hindari hipertermia
 Jaga normovolemia
 Osmoterapi atas indikasi: manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4-6 jam, kalau perlu diberikan furosemide dengan dosis inisial
1 mg/kgBB IV.
 Intubasi untuk menjaga normoventilasi.
 Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar
e. Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan diikuti phenitoin
loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
 Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi
profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila
kejang tidak ada.
f. Pengendalian suhu tubuh
 Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika
dan diatasi penyebabnya.
 Beri asetaminophen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5ºC

24
g. Pemeriksaan penunjang
 EKG
 Laboratorium: kimia darah, fungsi ginjal, hematologi dan faal hemostasis,
KGD, analisa urin, AGDA dan elektrolit.
 Bila curiga PSA lakukan punksi lumbal
 Pemeriksaan radiologi seperti CT scan dan rontgen dada

2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau
15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg,
dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus
segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20
mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6
jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intracranial
meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-
35 mmHg). 4,5

Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen
1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu,
dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik,
kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).

25
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000
mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya
baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun,
dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila
tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif
serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat
yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan
sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL
selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam
atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus
intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena

26
rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30
menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan
osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan
hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut
akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife)
jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM). 1,2,

3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara,
dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang
panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit
dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program
preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning

27
2.1.11 Prognosis4,5
1. Perdarahan Intraserebral
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS)
adalah volume PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow Coma
Scale (GCS), dan adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat
digunakan untuk memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas
sebesar 96% dan spesifitas 98%. Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan
volume perdarahan (>30mL), lokasi perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan
MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4 saat serangan juga bisa memberi
prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat
mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19% pada
PIS dengan volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel
meningkatkan mortalitas secara umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa
memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat
gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat
dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan dalam efek
massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan pergeseran otak
intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang tinggi berhubungan dengan
outcome fungsional yang lebih baik, yang menimbulkan suatu kerancuan apakah
edema harus dijadikan target terapi atau hanya merupakan variabel prognostik.

2. Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik
perdarahan subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita perdarahan
subarachnoid meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat
membaik sejak awitan. Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi. Rata-rata
waktu antara perdarahan pertama dan perdarahan ulang adalah sekitar 5 tahun.

28
2.2 Gagal Ginjal Kronik
2.2.1 Defenisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal
kronis (GGK) didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan
fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana
kemampuan tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi uremia atau azotemia.18

2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus
Kockroft – Gault sebagai berikut :
Tabel 5. Laju Filtrasi Glomerulus19

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

29
2.2.3 Etiologi
Penyebab gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia
menunjukkan glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi
dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan
infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan
13,65%.19

2.2.4 Manifestasi Klinis


Setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan
gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia pasien dan
kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis adalah
sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema
periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai,
panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal

30
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler

2.2.5 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

Pasien dengan gagal ginjal sering mengalami gejala klinis yang berkaitan dengan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi, dan gangguan
gastrointestinal.20 Salah satu dari komplikasi gagal ginjal tersebut adalah Uremic
Encephalopathy (UE). Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai
kadar creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt.21-22

31
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada semua organ
akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa pembuangan metabolisme
protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum diatas 50 mg/dl.1-2 Uremia
lebih sering terjadi pada Gagal Ginjal Kronis (GGK), tetapi dapat juga terjadi pada
Gagal Ginjal Akut (GGA) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat. Hingga
sekarang belum ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab
segala manifestasi klinik pada uremia.23-25 Angka kejadian UE di dunia tidak
diketahui. UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan End-Stage Renal Disease
(ESRD), dan angka kejadian UE secara langsung tergantung pada jumlah pasien
tersebut. Peningkatan kasus ESRD seiiring dengan peningkatan kasus UE.22

32
BAB III

STATUS ORANG SAKIT

3.1 Identitas Pasien


Nama : LS
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Huta Gonting Pusuk II Simaninggir Kec. Parlilitan,
Kab. Humbang Hasundutan
Tanggal Masuk : 07 April 2019
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 150 cm

3.2 Alloanamnesis
KU : Penurunan Kesadaran
Telaah : Hal ini dialami pasien secara tiba-tiba sejak 2 jam SMRS. Riwayat trauma
tidak dijumpai, riwayat lemah di ekstremitas tidak dijumpai, riwayat nyeri kepala
dijumpai, riwayat muntah menyembur tidak dijumpai. Riwayat demam dan sesak
napas tidak dijumpai. Mual dan muntah tidak dijumpai. Riwayat penyakit DM,
Hiperkolestrolnemia, Jantung, dan Stroke tidak dijumpai. Pasien merupakan pasien
CKD st. V dengan HD reguler di RSUP. H. Adam Malik.
RPT : Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, CKD st. V
RPO : Tidak jelas.

33
1.3 Time Sequences

07 April 2019 07 April 2019 07 April 2019

Pukul 20.45 WIB


Pukul 12.55 WIB Pukul 20.00 WIB
Acc untuk
Pasien perawatan ICU.
Pasien tiba di IGD
RSUP Haji Adam dikonsulkan ke
Malik Anestesi untuk
perawatan
HCU/ICU

3.4 Primary Survey


A (Airway)
– Airway clear
– Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-)
B (Breathing)
– RR: 18 kali per menit, SaO2: 98%.
C (Circulation)
- Tekanan darah: 250/100 mmHg
- Frekuensi Nadi: 102 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup
- Akral hangat, merah, kering
- CRT <2 detik
- Terpasang IV Line di tangan kanan
D (Disability)
- Kesadaran/AVPU: Sopor
- Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+
E (Exposure)

34
- Suhu aksila: 36,8ºC

3.5 SECONDARY SURVEY


B1 (Breath) : Airway clear ; RR: 20 x/menit;
SP: vesikuler ka=ki; ST: (-/-)
S/G/C: -/-/-
B2 (Blood) : Akral: hangat/merah/kering; TD: 165/100 mmHg;
HR: 98 x/menit, reguler, t/v: kuat/cukup; CRT < 2 detik;
Temperatur: 37,2°C, sianosis (-).
B3 (Brain) : Sensorium: sopor
pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+
B4 (Bladder) : UOP (+)
Warna: kuning pekat, terpasang kateter urin.
B5 (Bowel) : Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
B6 (Bone) : Fraktur (-); edema (-/-)

3.6. DIAGNOSA
Penurunan kesadaran ec. Stroke Hemoragik + CKD st. V on HD

3.7 TATALAKSANA IGD


 Bed rest + head up 30o
 Oksigen 8-10 lpm via non rebreathing mask
 Memasang NGT no 18
 Memasang Kateter no 18
 IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i

35
 Drips Perdipin 1 amp dalam 50cc NaCl 0,9% >> dosis 2 mcg/KgBB/
menit (BB: 50 kg) >> 1,3 cc/ jam target TD turun 20-25% MAP (180/100
mmHg)
 Inj. Furosemide 20 mg
 HD seusai jadwal

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


3.7.1 Laboratorium
Lab
Hasil Rujukan
(07/04/2019)
HEMATOLOGI
13 – 18
Hemoglobin
8,5 g/dL g/dL
(HGB)
3,03 jt/µL 4.10-5.10
Eritrosit
jt/µL
Leukosit 4,000-
20.720/µL
(WBC) 11,000/µL
Hematokrit 25% 36 – 47 %
Trombosit 150,000-
151.000/µL
(PLT) 450,000/µL
ELEKTROLIT
135 – 155
Natrium (Na) 131 mEq/L
mEq/L
3.6 – 5.5
Kalium (K) 4,3 mEq/L
mEq/L
96 – 106
Klorida (Cl) 93 mEq/L mEq/L

36
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarah
179 mg/dL <200mg/dl
(Sewaktu)
GINJAL
10-20
BUN 109 mg/dL
mg/dL
21-43
Ureum 233 mg/dL
mg/dL
10,14 0.6-1.1
Kreatinin
mg/dL mg/dL
ANALISA GAS DARAH
pH 7,430 7.35 – 7.45
38 - 42
pCO2 24 mmHg
mmHg
197 85 - 100
pO2
mmol/L mmol/L
HCO3 15,9 U/L 22 - 26 U/L
19 – 25
Total CO2 16,6 U/L
U/L
(-2) - (+2)
BE -6,7 U/L
U/L
SaO2 100 % 95-100%
FAAL HEMOSTASIS

37
3.7.2 Foto Thorax (01/03/2019)

Hasil :
 CTR <50%, jantung tidak membesar.
 Segmen aorta dilatasi, segmen pulmonal normal.
 Kongesti tidak ditemukan.

38
 Trakea ditengah. Hilus tidak menebal.
 Sinus kostofrenikus dan diafragma baik.
 Infiltrat di kedua lapangan paru.
 Tulang-tulang dada baik
Kesimpulan : Kesan Pneumonia + Aorta Dilatasi
BAB IV
FOLLOW UP

2 Maret 2019
S Sesak nafas
O - Airway : clear, intubasi (+) sp = vesikuler S/G/C = -/-/-, SpO2
= 96%, RR = 26x/menit.
- TD = 138/89, HR = 111x/menit, regular
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 38,5O C
- Sensorium = apatis, dalam pengaruh obat, RC = +/+ pupil
isokor
- UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) menurun
- Oedem (-), fraktur (-).
A Penurunan kesadaran + Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi Berat +
Sepsis ec Pneumonia + HHD
P  IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
 Inj. Morphine 10mg + Midazolam Inj -> 3cc/jam
 Inj. Fartison 100 g / 24 jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam

39
R Konsul Kardiologi

3 Maret 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway : clear, intubasi (+) dengan modus SIMV 14, FiO2
50% PEEP:6 sp = vesikuler S/G/C = -/-/-, SpO2 = 97%,
RR = 15x/menit.
- TD = 102/55, HR = 177x/menit, irregular
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 38O C
- Sensorium = apatis, RC = +/+, Pupil isokor
- UOP (+), warna kuning jernih, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+)
- Oedem (-), fraktur (-).
A Penurunan kesadaran + Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi
Berat CHF Fc. III ec CAD + AF + Sepsis ec Pneumonia
P  IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Lansoprazole 30 mg/24 jam
 Inj. Morphine 10mg + Midazolam inj -> 3cc/jam
 Inj. Furosemide 1mg/jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam
 Inj. Heparin 0,8 cc/SC
 Inj. Fargoxin 0,25mg sprn
Lab Hb/Ht/Erit/Leu/Trombo : 16,0/53/5,05/7580/106.000

40
(03/03/19) PT/APTT/TT/INR : 17,8/24,5/15,1/1,26
pH/pCO2/pO2/HCO3/CO2/BE : 7,48/62/203/46,2/48,1/19,4
Albumin : 3,7 g/dl
KGDs : 145 mg/dl
BUN/Cr/Ur : 38/81/1,13
Na/K/Cl : 149/4,0/97

4 Maret 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway : clear, terintubasi (+) ETT no.7,5 cuff(+) dengan
modus SIMV 14, FiO2 50% PEEP : 6, S/G/C = -/-/-, RR =
16x/menit, SpO2 = 96%
- TD = 136/80, HR = 94x/menit, irregular
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,5O C
- Sensorium = apatis, dalam pengaruh obat, RC = +/+,
pupil isokor
- UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).
A Penurunan kesadaran + Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi
Berat CHF Fc. III ec CAD + AF + Sepsis ec Pneumonia
P  IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Lansoprazole 30 mg/24 jam
 Inj. Morphine 10mg + Midazolam inj -> 3cc/jam
 Inj. Furosemide 1mg/jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam

41
 Inj. Heparin 0,8 cc/SC
 Inj. Fargoxin 0,25mg sprn
Lab pH/pCO2/pO2/HCO3/CO2/BE : 7,52/48/209/39,2/40,7/14,4
(04/03/19) KGDs : 189 mg/dl

5 Maret 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway : clear, terintubasi dengan modus SIMV 14, FiO2
40% PEEP : 6, S/G/C = -/-/-, RR = 14x/menit, SpO2 =
99%
- TD = 113/75, HR = 79x/menit, irregular
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37O C
- Sensorium = apatis, dalam pengaruh obat, RC = +/+,
pupil isokor
- UOP (+), warna kuning jernih, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).
A Penurunan kesadaran + Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi
Berat CHF Fc. III ec CAD + AF + Sepsis ec Pneumonia
P  IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Lansoprazole 30 mg/24 jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam
 Inj. Heparin 0,8 cc/SC
 Inj. Fargoxin 0,25mg sprn

42
Lab pH/pCO2/pO2/HCO3/CO2/BE : 7,47/46/203/33,5/34,9/8,7
(05/03/19)

6 Maret 2019
S Penurunan kesadaran
O - Airway : clear, terintubasi dengan modus SIMV 14, FiO2
40% PEEP : 6, S/G/C = -/-/-,SP : bronkovesikuler Rh +/+
RR = 22x/menit, SpO2 = 99%
- TD = 138/67, HR = 79x/menit, irregular
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,8O C
- Sensorium = apatis, dalam pengaruh obat, RC = +/+,
pupil isokor
- UOP (+), warna kuning jernih, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).
A Penurunan kesadaran + Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi
Berat CHF Fc. III ec CAD + AF + Sepsis ec Pneumonia
P  IVFD Nacl 0,9% 15 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Lansoprazole 30 mg/24 jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam
 Inj. Heparin 0,8 cc/SC

43
 Inj. Fargoxin 0,25mg sprn
Lab Hb/Ht/Erit/Leu/Trombo : 17,4/55/5,54/13.500/129.000
(06/03/19) Na/K/Cl : 147/3,3/96

44
BAB V

DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
Pneumonia adalah peradangan yang Tn. JS, seorang laki-laki usia 73 tahun
mengenai parenkim paru, distal dari dengan diagnosa Penurunan kesadaran +
bronkiolus terminalis yang mencakup Gagal nafas tipe II ec PPOK Eksasebasi
bronkiolus respiratorius, dan alveoli, Berat CHF Fc. III ec CAD + AF + Sepsis
serta menimbulkan konsolidasi jaringan ec Pneumonia
paru dan gangguan pertukaran gas
setempat
Diagnosis pneumonia nosokomial Anamnesis : Pasien datang dengan keluhan
ditegakkan atas dasar : penurunan kesadaran, dialami sejak 2 hari
 Foto toraks : Terdapat ini yang diawali dengan sesak nafas yang
infiltrate baru atau progresif sudah dialami selama 4 tahun dan
 Ditambah 2 diantara criteria memberat dalam 1 minggu ini. Sesak nafas
berikut : berhubungan dengan aktivitas dan cuaca
- Suhu tubuh > 38 C dingin Batuk dijumpai 4 tahun ini, dengan
- Secret purulen dahak berwarna putih.Riwayat demam
- Leukositosis sejak 3 hari yang lalu dengan suhu tertinggi
o
Kriteria pneumonia nosokomial berat 39 C
menurut American Thoracic Society7 :
1. Dirawat di ruang rawat intensif Suhu tubuh : 37,2oC
2. Gagal napas yang memerlukan Leukosit : 11.880
alat bantu napas atau
membutuhkan O2 > 35% untuk Hasil radiologis : infiltrat pada kedua
mempertahankan saturasi O2 > lapangan paru

45
90% Kesan : pneumonia
3. Perubahan radiologic secara
progresif berupa pneumonia
multilobar atau kaviti dan Pasien sebelumnya dirawat di ICU RS
infiltrate paru Samosir selama 2 hari.
4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis Pasien dirawat di ruang intensif RSHAM
berat yang ditandai dengan pada tanggal 2 Maret 2019 dengan
hipotensi dan atau disfungsi diagnosa penurunan kesadaran + gagal
organ yaitu : nafas tipe 2 ec PPOK eksaserbasi berat +
- Syok (tekanan sistolik < Sepsis ec pneumonia
90 mmHg atau diastolic < 60
mmHg) Pasien menggunakan alat bantu napas
- Memerlukan vasopresor > (ventilator) dengan Fi FiO2 40% PEEP : 6
4 jam
- Jumlah urin < 20 ml/jam
atau total jumlah urin 80 ml/4
jam
- Gagal ginjal
- Akut yang membutuhkan
dialysis

Ruang rawat intensif : Pada pasien ini diberikan golongan


- Tidak ada faktor risiko infeksi fluorokuinolon yaitu inj. Levofloxacin 750
pseudomonas : Sefalosporin G3 iv mg / 24 jam
non pseudomonas + makrolid baru
atau fluorokuinolon respirasi iv.
- Ada faktor risiko infeksi
pseudomonas : Sefalosporin anti

46
pseudomonas iv atau karbapenem iv
+ fluorokuinolon anti pseudomonas
(ciprofloxacin) iv atau
aminoglikoksida iv
- Bila curiga disertai infeksi bakteri
atipikal : Sefalosporin anti
pseudomonas iv atau carbapenem iv
+ aminoglikoksida iv + makrolid
baru atau fluorokuinolon respirasi iv
Pada pasien ini dijumpai suhu tubuh
Kriteria untuk SIRS yaitu Sepsis, Sepsis
38,5oC dan laju nadi 111 x/menit.
Berat, Syok septik berdasarkan
Hasil lab pada tgl 6 Maret didapatkan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM
leukositosis yaitu 13.500 sel/uL
1991.5 Istilah Kriteria 2 dari 4 kriteria
SIRS
 Temperatur > 38oC atau < 360C
 Laju Nadi > 90x/ menit
 Hiperventilasi dengan laju nafas
> 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
 Sel darah putih > 12.000 sel/uL
atau < 4000 sel/ uL
 Sepsis SIRS dengan adanya
infeksi (diduga atau sudah
terbukti) Sepsis Berat Sepsis
dengan disfungsi organ Syok
septik Sepsis dengan hipotensi
walaupun sudah diberikan

47
resusitasi yang adekuat.

BAB VI

48
KESIMPULAN

Tn. JS, 73 tahun datang ke RSHUP H. Adam Malik dengan keluhan


penurunan kesadaran, hal ini dialami pasien sejak 2 hari ini yang diawali dengan
sesak nafas yang sudah dialami selama 4 tahun dan memberat dalam 1 minggu ini.
Sesak nafas berhubungan dengan aktivitas dan cuaca dingin Batuk dijumpai 4 tahun
ini, dengan dahak berwarna putih.Riwayat demam sejak 3 hari yang lalu dengan suhu
tertinggi 39oC. Riwayat merokok dijumpai sejak SMP dengan frekuensi 3 bungkus
per hari dengan jenis rokok filter. Riwayat terpapar dengan kapur selama 30 tahun
dijumpai.Sebelumnya, pasien merupakan rawatan di RS Samosir di ICU selama 2
hari dan dirujuk ke RSUPHAM untuk penatalaksanaan selanjutnya.
Pasien didiagnosa dengan penurunan kesadaran, Gagal nafas tipe II ec PPOK
Eksasebasi Berat + Sepsis ec Pneumonia + HHD dan dirawat inap di ICU Paviliun
ditatalaksana dengan :
 IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
 Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam/IV
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
 Inj. Morphine 10mg + Midazolam Inj -> 3cc/jam
 Inj. Fartison 100 g / 24 jam
 Ventolin nebule /6jam
 Fluxotide nebule/12jam

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T.


Cerebrovascular disease in the community: results of a WHO collaborative study.
Bull World Health Organ. 1980; 58:113–30.
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2018. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
3. Misbach J, Jannis J, Soertidewi L. 2011. Epidemiologi Stroke, dan Anatomi
Pembuluh Darah Otak dan Patofisiologi Stroke dalam Stroke Aspek Diagnostik,
Patofisiologi, Manajemen. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia.
4. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Guideline
Stroke 2011. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta,
2011.
5. Morgenstern, Lewis B., Hemphill J.C., et al. 2010.Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals
From the American Heart Association / American Stroke Association. Journal of the
American Heart Association. (http://stroke.ahajournals.org/content/41/9/2108.
Diakses Maret 18, 2017).
6. Misbach, dr.H. Jusuf. 1999. Stroke: Aspek Diagnotik, Patofisiologi, Manajemen.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Indonesia.
7. Mardjono, Prof. dr. Mahar. Prof. dr. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar
cetakan ke-13. Dian Rakyat, Jakarta, Indonesia.
8. Magistris, Fabio. Stephanie Bazak, Jason Martin. 2013. Intracerebral Hemmorhage:
Pathophysiology, Diagnosis and Management (Clinical Review). MUMJ. Vol 10
No.1 halaman 15-22.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2017. Buku Ajar Neurologi Klinis
cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.

50
10. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology.Edisi 8. BAB
4. Major Categories of Neurological Disease:Cerebrovascular Disease. McGraw Hill:
New York, 2005.
11. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape.
12. Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, E/6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
13. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed. 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
14. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB
4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill:
New York.2005.
15. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan perdarahan
intraserebral supratentorial dari infark.
(Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/. Diakses April 9, 2019).
16. Basuki, Andi dan Dian Sofiati (ed.). Neurology in Daily Practice. 2010. Bandung:
Bagian Ilmu Pena Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD

17. Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta :EGC

18. Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Volume
2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001

19. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006

20. Palmer SC, Ruospo M, Campbell KL, Larsen VC, Saglumbene V, Natale P, et al.
Nutrition and dietary intake and their association with mortality and hospitalisation in
adults with chronic kidney disease treated with haemodialysis: protocol for DIET-
HD, a prospective multinational cohort study. BMJ Open. 2015; 5(1):1-7

21. Lohr JW. Uremic enchepalopathy [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal
27 Agustus 2016]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/239191-
overview.

51
22. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. North Chicago: Springer; 2009.

23. Alper AB. Uremia [internet]. USA: Medscape; 2016 [diakses tanggal 27 Agustus
2016]. Tersedia dari http://emedicine.medscape.com/article/245296-overview.

24. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke k, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of organic


anion transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-brain barrier. J
Neuro-Chem. 2006; 96:1051-9.

25. Deyn PP, D’hooge R, Bogaert PP, Marescau B. Endogenous guanidino compounds as
uremic neurotoxins. Kidney Int J. 2010; 59:77-83.

26. Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Stroke Facts and Statistics. :
Division for Heart Disease and Stroke Prevention. Available from:
http://www.cdc.gov/stroke/statistical_reports.htm [accessed 4Juni 2010].

52

Anda mungkin juga menyukai