Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

SDH (SUBDURAL HEMATOMA)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi

Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak,
yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi
dalam 2 minggu atau beberapa bulan (Abdul Hafid 1989).
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara
duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena- vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara,
namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan
subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah
temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat.(Heller, J. L.,
dkk, 2012)

2. Anatomi Fisiologi

Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7
hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga
dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3
fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7
hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma. (Price,
Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006).

3. Etiologi
Penyebab subdural hematoma antara lain :
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan.
Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak,
misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
3. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural
4. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

4. Manifestasi Klinis
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI
bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis
biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah:
 Sakit kepala yang menetap
 Rasa mengantuk yang hilang-timbul
 Linglung
 Perubahan ingatan
 Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

5. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan
sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada
trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus
duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai
hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair
dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor
serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena
jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga
walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang
besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma
subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini
memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat
dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari
bentuk otak.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik (Harsono, 2003).
6. Fathways
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut :
(Meagher, R. 2011).
1. CT Scan
CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. MRI (Magnetic resonance imaging)
Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi
perdarahan ekstraserebral.
3. Angiografi Serebral
Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematom adalah
sebagai berikut :
1. Tindakan Tanpa Pembedahan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan
konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang
rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
2. Tindakan Pembedahan
Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejala-gejala yang berat
dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien dengan hematoma subdural dengan
ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift> 5 mm maka harus dievakuasi dengan
pembedahan,tanpa memperhatikan GCS pasien. Semua pasien dengan hematoma subdural
akut dengan koma maka Tekanan intrakranialnya harus diawasi. Pasien dengan status koma
dengan ketebalan lesi hematom subdural < 10 mm dan midline shift< 5 mm harus dievakuasi
dengan pembedahan jika GCS menurun diantara waktu trauma dan masuk di rumah sakit
dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan asimetris dan atau pupil dilatasi
dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm Hg.
3. Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan
dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
4. Follow – Up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
5. Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang
intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason,
Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATA N
1. Biodata :
Identitas klien ; usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal MRS.

2. Riwayat Penyakit :
a. Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran dan
mengalami kejang serta muntah.
b. Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, penurunan
penglihatan, kelemahan ekstermitas, peninggian tekanan intrakranial serta gejala
neurologik fokal .
c. Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis
media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema)
jantung ( endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.
d. Riwayat penyakit keluarga : apakah dalam keluarga ada atau tidak yang
mempunyai penyakit infeksi paru – paru, jantung, AIDS

3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum pasien : apakah ada penurunan tingkat kesadaran secara drastis,
TTV; TD, N, RR, S. (Suhu badan mengalami peningkatan 38-41C)
b. Kepala : bentuk kepala simetis/tidak, ada ketombe/tidak, pertumbuhan rambut,
ada lesi/tidak, ada nyeri tekan/tidak. Apakah pernah mengalami cidera kepala
c. Kulit : Warna kulit, turgor kulit cepat kembali/tidak, tanda peradangan ada/tidak,
adanya lesi/tidak, oedema/tidak.
d. Penglihatan : Bola mata simetris/tidak, gerakan bola mata, reflek pupil thd
cahaya ada/tidak, kornea benik/tidak, konjungtiva anemis/tidak, sclera ada
ikterik/tidak, ketajaman penglihatan normal/tidak, (pupil terlihat unisokor tanda
adanya peningkatan TIK, oedema pupil, terdapat fotophobia)
e. Penciuman : Bentuk simetris/tidak, fungsi penciuman baik/tidak, peradangan
ada/tidak, ada polip/tidak, pemeriksaan sinus maxilaris kemungkinan ada
peradangan.
f. Pendengaran : Bentuk daun telinga (simetris/tidak), letaknya(simetris/tidak),
peradangan (ada/tidak), fungsi pendengaran (baik/tidak), ada serumen/tidak, ada
cairan purulent /tidak.
g. Mulut : Bibir (warnanya pucat/cyanosis/merah), kering/tidak, pecah/tidak, Gigi
(bersih/tidak), gusi (ada berdarah/peradangan/tidak), tonsil (radang/tidak), lidah
(tremor/tidak,kotor/tidak), fungsi pengecapan (baik/tidak), mucosa mulut
(warnanya), ada stomatitis/tidak.
h. Leher : Benjolan/massa (ada/tidak), ada kekakuan/tidak, ada nyeri tekan/tidak,
pergerakan leher (ROM): bisa bergerak fleksi/ tidak,rotasi/tidak,lateral
fleksi/tidak, hiperekstension/tidak, tenggorokan: ovula (simetris/tidak),
kedudukan trachea (normal/tidak), gangguan bicara (ada/tidak).
i. Dada : Bentuk (simetris/tidak), bentuk dan pergerakan dinding dada
(simetris/tidak), ada bunyi/irama pernapasan seperti: teratur/tidak, ada cheynes
stokes/tidak, ada irama kussmaul/tidak, stridor/tidak, wheezing ada/tidak,
ronchi/tidak, pleural friction-Rub/tidak, ada nyeri tekan pada daerah dada/tidak,
ada/tidak bunyi jantung
j. Abdomen : Bentuk (simetris/tidak), datar/tidak, ada nyeri tekan pada
epigastrik/tidak, ada peningkatan peristaltic usus/tidak, ada nyeri tekan pada
daerah suprapubik/tidak, ada oedem/tidak
k. Genetalia : Ada radang pada genitalia eksterna/tidak, ada lesi/tidak, siklus
menstruasi teratur/tidak ada pengeluaran cairan/tidak.
l. Ekstremitas atas/bawah : Ada pembatasan gerak/tidak, ada odem/tidak,varises
ada/tidak, tromboplebitis ada/tidak,nyeri/kemerahan (ada/tidak), tanda-tanda
infeksi (ada/tidak), ada kelemahan tungkai/tidak. (Terdapat penurunan dalam
gerakan motoric, kekuatan otot menurun tidak ada koordinasi dengan otak,
gangguan keseimbangan otot)

4. Pola
a. Aktivitas/istirahat :
Tanda ;ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
b. Personal Higiene
Tanda ; ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada periode
akut)
c. Nutrisi
Gejala; kehilangan nafsu makan ,disfagia (pada periode akut)
Tanda ; anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering.
d. Eliminasi
Tanda; adanya inkontensia dan/atau retensi
e. Seksualitas
Tanda : terdapat gangguan pemenuhan kebutuhan seksual, penurunan tingkat
kesadaran.
f. Psikososial
Observasi terhadap perilaku dan penampilan diri pasien, pantau setiap aktivitas
motorik, hubungan dengan keluarga mengalami penurunan juga hubungan
dengan masyarakat.
g. Spiritual : Melaksanakan kegiatan keagamaan secara rutin dan taat.

5. GCS
 Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) :dengan rangsang nyeri
(1) : tidak ada respon

 Verbal (respon verbal) :


(5): orientasi baik
(4): bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang)
disorientasi tempat dan waktu.
(3): kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun
tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

 Motor (respon motorik) :


(6): mengikuti perintah
(5): melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4): withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan
jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol


E…V…M… Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi
adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Jika
dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :
GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)
GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)
GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

6. Pemeriksaan 12 Nervus
1. Nervus Olfaktori (N. I):
Fungsi: saraf sensorik, untuk penciuman
2. Nervus Optikus (N. II)
Fungsi: saraf sensorik, untuk penglihatan
3. Nervus Okulomotoris (N. III)
Fungsi: saraf motorik, untuk mengangkat kelopak mata keatas, kontriksi pupil,
dan sebagian gerakan ekstraokuler
4. Nervus Trochlearis (N. IV)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mata kebawah dan kedalam
5. Nervus Trigeminus (N. V)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mengunya, sensai wajah, lidah dan gigi, refleks
korenea dan refleks kedip
6. Nervus Abdusen (N. VI)
Fungsi: saraf motorik, deviasi mata ke lateral
7. Nervus Fasialis (N. VII)
Fungsi: saraf motorik, untuk ekspresi wajah
8. Nervus Verstibulocochlearis (N. VIII)
Fungsi: saraf sensorik, untuk pendengran dan keseimbangan
9. Nervus Glosofaringeus (N. IX)
Fungsi: saraf sensorik dan motorik, untuk sensasi rasa
10. Nervus Vagus (N. X)
Fungsi: saraf sensorik dan motorik, refleks muntah dan menelan
11. Nervus Asesoris (N. XI)
Fungsi: saraf motorik, untuk menggerakan bahu
12. Nervus Hipoglosus
Fungsi: saraf motorik, untuk gerakan lidah

7. Kriteria penilaian kekuatan otot

Nilai 0: Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi visual (tidak ada
kontraksi)

Nilai 1: Otot ada kontraksi , baik dilihhat secara visual atau dengan palpasi , ada
kontraksi satu atau lebih dari satu otot

Nilai 2: Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya gravitasi. Posisi ini sering
digambarkan sebagai bidang horizontal gerak tidak Full ROM

Nilai 3: Gerakan melawan grafitasi dan full ROM

Nilai 4: Resistance minimal (tahanan minimal)

Nilai 5: Resistance Maksimal (tahanan Maksismal)

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang bisa muncul adalah:
A. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak;
B. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum;
C. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak;
D. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (sporos-
coma);
E. Potensial gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer;
F. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.

D. Implementasi
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilaksanakan

E. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat cerita hasil keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara
proses dengan pedoman / rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat
dilihat dengan antara tingkat kemandirian klien dalam kehidupan sehari – hari dan tingkat
kemajuan kesehatan klien dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasinya
menurut Nursalam (2008) sebagai berikut
a. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala nyeri
b. Mengidentifikasi, mengugkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontrol
cemas
c. Vital sign dalam batas normal
Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
d. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
e. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
f. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI –
Traumatologi , Surabaya.
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma, MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.
Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses
Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC
Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011

Anda mungkin juga menyukai