ALDI EL GUSTIAN
Aldi El Gustian
NIM I14080088
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK
ALDI EL GUSTIAN. Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi
Pangan yang Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.
ABSTRACT
Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi prevalensinya
saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber vitamin dan mineral
dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang mampu menjamin
pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan khususnya untuk
daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman
makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat (Soekirman 2008).
Diversifikasi pangan merupakan solusi jangka panjang untuk menanggulangi
masalah kurang zat gizi mikro. Dalam jangka pendek dan menengah para
ilmuwan di bidang gizi dan teknologi pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil
melakukan terobosan untuk membantu mereka yang menderita kurang gizi mikro
melalui terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata,
diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan yaitu fortifikasi pangan.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari perkembangan
program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi jenis-
jenis pangan yang telah difortifikasi sampai akhir tahun 2012. Tujuan khusus
penelitian adalah 1) mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan
termasuk biofortifikasi global dan di Indonesia, 2) melakukan inventarisasi
produk-produk pangan yang difortifikasi di Indonesia sampai kondisi akhir tahun
2012.
Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah
kajian pustaka dan survei lapang. Kajian pustaka dilakukan dengan mencari
informasi dari berbagai referensi antara lain sejarah perkembangan fortifikasi
pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan peraturan atau kebijakan yang
terkait dengan fortifikasi mandatory atau voluntary. Survei lapang dilakukan
secara langsung melalui pengamatan pada produk pangan fortifikasi di pasaran
dan pengamatan pada label produk pangan yang dibagi kedalam dua belas jenis
kategori pangan mengikuti pembagian kelompok pangan Badan Pengelolaan Obat
dan Makanan (BPOM). Kategori pangan yang dilakukan inventarisasi adalah
produk-produk susu, minyak goreng, margarin, kembang gula/permen dan coklat,
tepung terigu, mi instan, biskuit, garam, makanan pendamping air susu ibu (MP
ASI), minuman, makanan ringan siap santap serta produk yang tidak termasuk
dalam 11 kategori pangan. Lokasi yang digunakan adalah Kota Bogor dan
sekitarnya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September-Desember 2012.
Fortifikasi telah diperkenalkan di Swiss pada tahun 1920 untuk
mengendalikan kekurangan zat gizi mikro iodium dengan menambahkan iodium
pada garam. Pada tahun 1940 fortifikasi menjadi ketentuan umum industri pangan
dengan penambahan thiamin, riboflavin, dan niasin pada produk sereal yang
bertujuan meningkatkan status gizi penduduk. Peraturan fortifikasi pertama kali
diterbitkan oleh Food And Drug Administration United States of America (FDA
USA) pada tahun 1960. Pada tahun 1992 diadakan konferensi International
Conference on Nurtrition (ICN) di Roma untuk menentukan kebijakan fortifikasi
dalam menyikapi permasalahan zat gizi mikro. Berdasarkan konferensi tersebut
maka fortifikasi menjadi suatu ketentuan di seluruh negara dan tahun 2006
ditetapkan standar penentuan zat gizi mikro yang dapat difortifikasikan.
Fortifikasi di Indonesia sudah dimulai pada jaman pemerintah Belanda pada
tahun 1927 dengan menambahkan iodium pada garam untuk menanggulangi
gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Pada tahun 1970-an diwacanakan
untuk memberlakukan fortifikasi pada garam dan tepung terigu. Pada 1994
pemerintah memberlakukan fortifikasi pada garam dengan difortifikan iodium
berdasarkan Surat Keputusan Bersaman (SKB) empat Menteri. Pada tahun 1994
Presiden menerbitkan Keputusan Presiden no 69 tahun 1994 tentang wajib
iodisasi garam dan pada tahun 2001 tepung terigu juga diwajibkan untuk
difortifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
153 tahun 2001.
Dalam hal kebijakan fortifikasi, pemerintah Indonesia telah menerbitkan 26
peraturan yang bersifat umum dan khusus serta dasar pemberlakuannya untuk
fortifikasi wajib. Peraturan untuk fortifikasi sukarela diatur dalam PP no 69 tahun
1999 tentang iklan dan label pangan yang merupakan awal dikembangkannya
peraturan fortifikasi sukarela di Indonesia. Peraturan tersebut diperkuat dengan
PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan
BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09605 tahun 2011 tentang Pedoman
Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan dan Nomor
HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan
Iklan Pangan Olahan.
Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah gizi
dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral) produk
pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies tanaman secara
konvensional maupun inkonvensional. Tanaman biofortifikasi fokus pada
penambahan vitamin A, seng (Zn) dan besi (Fe). Program biofortifikasi global
dilakukan oleh HarvestPlus dan telah berhasil melepas tanaman biofortifikasi
seperti kacang, singkong, jagung, jewawut, beras, ubi jalar dan gandum di negara
Asia dan Afrika. Saat ini program biofortifikasi di Indonesia baru pada tahap
penelitian pada beras dengan penambahan besi namun belum dilakukan secara
massal.
Pelaksanaan fortifikasi pangan telah menghasilkan berbagai jenis produk
sehingga perlu informasi secara luas tentang jenis produk yang difortifikasi dan
memenuhi standar peraturan yang berlaku. Hasil inventarisasi menunjukkan
bahwa saat ini terdapat 227 jenis produk yang telah difortifikasi dengan zat gizi
mikro baik vitamin maupun mineral. Hasil dari inventarisasi produk yang
difortifikasikan dibandingkan dengan jumlah produk pada setiap jenis kategori
pangan menunjukkan bahwa produk-produk susu telah difortifikasi sebanyak
28.6% dengan rincian produk susu ibu hamil dan menyusui sebanyak 13 merek,
susu bayi dan balita 37 merek, susu pertumbuhan 9 merek dan produk susu
lainnya 42 merek, minyak goreng 60%, margarin 100%, kembang gula/permen
dan coklat 2.4%, tepung terigu 100%, mi instan 23.1%, biskuit 10.8%, garam
100%, MP ASI 22.8%, minuman 26.6%, makanan ringan siap santap 0.9% serta
produk makanan jadi lainnya sebanyak 17 produk.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Dilarang menguntip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
ALDI EL GUSTIAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto selaku
pembimbing, serta Bapak Dr Rimbawan yang telah banyak memberi saran.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI)
yang telah mendukung pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih bagi Devi, Euis, Andra,
Rayhanah, Siti, Riza, teman-teman BEM KM, ISPC, SABIL, AQSHO dan kepada
semua pihak membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Aldi El Gustian
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Tujuan Umum 2
Tujuan Khusus 2
Kegunaan Penelitian 3
Kelemahan Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
Fortifikasi Pangan 3
Biofortifikasi 5
Makanan yang dapat Difortifikasi 5
KERANGKA PEMIKIRAN 7
METODE PENELITIAN 9
Desain, Tempat, dan Waktu 9
Jenis dan Cara Pengambilan Data 9
Definisi Operasional 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia 13
Perkembangan Program Fortifikasi Di Indonesia 20
Perkembangan Program Biofortifikasi 30
Inventarisasi Produk yang Difortifikasi 33
Produk-Produk Susu 34
Minyak Goreng 34
Kembang Gula/Permen dan Coklat 35
Tepung Terigu 35
Mi instan 35
Biskuit 36
Garam 36
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) 36
Minuman 36
Makanan Ringan siap santap 37
Produk makanan jadi lainnya 37
SIMPULAN DAN SARAN 37
Simpulan 37
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
untuk proses penambahan vitamin, mineral dan asam-asam amino pada produk
pangan. Sekarang banyak sekali “senyawa” selain vitamin, mineral dan asam-
asam amino yang “ditambahkan” (difortifikasikan) pada produk pangan, dan tidak
terbatas pada zat-zat gizi, tetapi juga senyawa-senyawa non gizi seperti
antosianin, polifenol, antioksidan dan lain-lain.
Fortifikasi terbagi menjadi dua, yakni fortifikasi sukarela dan fortifikasi
wajib. Fortifikasi sukarela (voluntary) merupakan program fortifikasi yang
dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan oleh
undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan untuk memperbaiki
gizi masyarakat. Fortifikasi wajib (mandatory) adalah fortifikasi yang diatur oleh
undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama mengatasi
masalah KGM (kekurangan zat gizi mikro). Sasaran utama program ini adalah
masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini merupakan
tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri pangan yang
terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi.
Ada beberapa produk pangan fortifikasi yang dilakukan hanya untuk alasan
komersil. Dengan adanya fortifikasi diharapkan, harga jual produk pangan
tersebut harus tetap terjangkau oleh masyarakat dan tidak menambah biaya
produksi secara signifikan. Hal ini penting karena sasaran utama fortifikasi adalah
masyarakat miskin. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai produk apa
saja yang sudah difortifikasi secara voluntary. Oleh karena itu pada penelitian ini
akan dilakukan identifikasi perkembangan program fortifikasi secara global
umumnya dan Indonesia khususnya baik secara wajib (mandatory) maupun
seacara sukarela (voluntary). Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu
sumber informasi jenis pangan apa saja yang difortifikasi dan manfaat ketika
dikonsumsi.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Kegunaan Penelitian
Kelemahan Penelitian
Kelemahan dari penelitian ini yaitu kajian pustaka terbatas dalam referensi
yang digunakan karena begitu luasnya cakupan program fortifikasi global dan di
Indonesia, dan hanya dilakukan inventarisasi di Kota Bogor dan sekitarnya serta
tidak dilakukan inventarisasi pada produk pangan impor. Pada saat melakukan
penelitian terbatas pada tanggal 17 dan 23 Desember 2012 dalam melakukan
inventarisasi, memungkinkan produk pangan fortifikasi tidak terdata disebakan
tidak tersedia dalam rak display produk. Selain itu terdapat kategori pangan
lainnya yang tidak ditemukan dalam inventarisasi di Kota Bogor seperti pasta,
mayonaise, saus dan kecap menurut literatur difortifikasi dan memungkinkan
tersedia di wilayah lain. Berikutnya terdapat beberapa produk yang tidak
memenuhi kriteria pencantuman label pangan seperti tidak terteranya informasi
nilai gizi pada kemasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Fortifikasi Pangan
perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin, antara lain sebagai berikut:
1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3) harga; dan 4) toksisitas.
Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas
fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi,
sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum
pengemasan untuk memaksimalkan retensinya.
Cara penanganan bahan pangan sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi
kandungan zat gizi mikro yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam
bahan pangan. Bahkan dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk
menjamin stabilitas zat gizi mikro dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zat-
zat gizi tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan
penyimpanan. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian khusus
untukmengidentifikasi teknologi fortifikasi terbaik sebanding dengan overage
yang bersesuaian (OMNI 2005). Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan
yang ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan
yang terjadi, yang akan memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi
tersebut memiliki level gizi sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan
tersebut dikonsumsi (OMNI 2005).
Biofortifikasi
diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah
diawasi proses fortifikasinya. Ketiga, tersedianya teknologi fortifikasi untuk
makanan yang dipilih. Keempat, makanan tidak berubah rasa, warna dan
konsistensi setelah difortifikasi. Kelima, tetap aman dalam arti tidak
membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program fortifikasi harus diatur oleh
undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi
secara teratur dan terus menerus. Dan keenam, harga makanan setelah difortifikasi
tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran (Soekirman 2008).
Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi
(wajib) terbatas pada jenis makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan
penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedele, kecap
ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan
kedalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah
kekurangan gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam
sistem pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap
rasa, penampilan, dan keamanan makanan, dan harga (Soekirman 2008). Setiap
negara menentukan jenis makanan yang akan difortifikasi, yang selanjutnya
disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai dengan pola makan
setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan jenis dan dosis
fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa, peraturan
pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah
kekurangan gizi setempat (Soekirman 2008).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kebijakan Pangan
Program
Sukarela Wajib
Keterangan:
= =Variabel yang tidak diteliti
9
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah
kajian pustaka dan survei lapang. Penelitian dilakukan dengan pengamatan
langsung di beberapa pasar dan minimarket dan hypermart dan mencari informasi
dari Badan Pengolahan Obat dan Makanan (BPOM). Pengumpulan data di lapang
dilakukan pada bulan September-Oktober 2012.
Data yang akan dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder.
Data primer dilakukan dengan melakukan survei produk pangan fortifikasi di
pasaran dan melakukan pengamatan pada label produk. Menurut Abdullah (2003)
terdapat 4 skala bisnis eceran yang menjual produk industri pangan diantaranya
kecil/minimarket, sedang/supermarket, besar/hypermarket dan pasar. Dari empat
skala bisnis eceran tersebut maka Kota Bogor dijadikan lokasi penelitian yang
terdiri dari; a) kecil/minimarket (Indomaret, Alfamart, Al-amin, Alfamidi), b)
besar/hypermarket (Giant), c) pasar (pasar merdeka). Skala bisnis
sedang/supermarket tidak dijadikan lokasi penelitian karena tidak terdapat di Kota
Bogor. Pemilihan ketiga skala bisnis eceran tersebut sudah mewakili produk
pangan industri yang dijual dan pasti akan sama di seluruh Indonesia. Data
sekunder merupakan kajian pustaka dari berbagai referensi antara lain sejarah
perkembangan fortifikasi pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan
peraturan atau kebijakan yang terkait fortifikasi wajib (mandatory) atau sukarela
(voluntary).
Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai data kajian pustaka yang
dilakukan dalam penelitian:
- Searching: mencari informasi dengan memasukan kata kunci pada mesin
pencari (google) dan membaca referensi ilmiah yang tersedia
diperpustakaan tentang fortifikasi.
- Screening: membaca/mempelajari, menandai kata-kata kunci dan gagasan
yang ada dari informasi dan referensi tentang fortifikasi.
- Removing: memilah-memilah hasil screening menjadi satuan informasi
dan referensi yang dapat dikelola.
- Sintesis: berpikir, dengan jalan membuat agar informasi dan referensi
mempunyai makna dan memiliki hubungan-hubungan tehadap apa yang
diteliti.
- Evaluating: melakukan pengecekan ulang terhadap hasil sintesis agar
sesuai dengan tujuan penelitian.
10
Searching
- Perpustakaan
- Informasi mesin pencari (google)
Screening
- Mempelajari informasi
- Menandai kata-kata kunci dan gagasan
Removing
- Memilah memilah informasi hasil
screening
Sintesis
- Membuat informasi dan referensi
mempunyai makna
Evaluating
- Melakukan pengecekan ulang hasil
sintesis
Definisi Operasional
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia.
Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke
dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan
pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi
di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu.
Biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan
elemen essensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui
teknik pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern.
Label Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian
kemasan pangan.
Efektivitas adalah dampak intervensi yang dibandingkan dengan uji khasiat.
Efektivitas dari program fortifikasi dibatasi oleh faktor konsumsi makanan
yang difortifikasi.
Efikasi atau uji khasiat adalah kapasitas intervensi seperti fortifikasi untuk
mencapai dampak yang diinginkan dibawah kondisi ideal. Hal ini biasanya
dilakukan dengan metode eksperimen.
13
hingga delapan kelas dan menentukan gizi yang dapat digunakan pada masing
masing kelas. Regulasi yang diusulkan dalam standar di antaranya: vitamin dan
mineral untuk suplemen diet dan jumlah produk makanan yang difortifikasi.
Peraturan yang diusulkan dan selanjutnya ditetapkan pada tahun 1974 oleh FDA
mengenai peraturan gizi untuk makanan dan ketentuannya (FNB 2004).
Selama tahun 1970-an fortifikasi gula dengan vitamin A pertama kali
diimplementasikan di Guatemala, diikuti oleh negara Amerika Tengah termasuk
Kosta Rika, Honduras dan El Salvador. Rumah tangga yang mengkonsumsi gula
yang difortifikasi dengan vitamin A di El Salvador dan Guatemala sekitar 95%
dan lebih dari 80% di Honduras. Keberhasilan program fortifikasi gula
memberikan dorongan untuk negara lain memberlakukan intervensi yang sama.
Pada tahun 1998 di Zambia memberlakukan fortifikasi gula dengan vitamin A
(Mora et al. 2000)
Pada tahun 1980 FDA menetapkan kebijakan 21 C.F.R.104.20 tentang
pedoman penambahan gizi untuk makanan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan
produk pangan yang difortifkasi harus menyertakan label gizi pada kemasan. Pada
tahun 1982 tinjauan dari U.S. Departement of Agriculture’s Food Safety and
Inspection Service (FSIS) menyimpulkan kebijakan penambahan gizi makanan
akan terus mengikuti pedoman kebijakan FDA (Quick dan Murphy 1982).
Beragamnya produk fortifikasi pangan yang berada di pasaran, FSIS menemukan
produk tersebut tidak terdapat dalam pedoman 21 C.F.R.104.20. FSIS akhirnya
membuat beberapa peraturan untuk produk-produk pangan tersebut dengan
menyertakan label gizi yang difortifikasikan (FNB 2004). Fortifikasi pangan terus
menjadi mekanisme yang banyak digunakan di negara maju. Dalam konteks ini,
terjadi perubahan yang begitu cepat terutama dalam hal gaya hidup dan kebutuhan
diet.
Pada tahun 1990-an, UK Medical Research Council melaporkan bahwa
konsumsi asam folat ketika ibu hamil dapat mencegah neural tube defects (NTD-
cacat bawaan pada syaraf tulang belakang). Pemberian suplemen asam folat pada
ibu hamil mampu menurunkan sepertiga populasi berisiko NTD. Akibatnya FDA
mewajibkan fortifikasi asam folat dan banyak negara lain yang mengikuti, hal ini
sudah dilakukan oleh Negara Kanada sejak tahun 1979 (MRC 1991).
Pada tahun 1992 diadakan konferensi International Conference on
Nurtrition (ICN) di Roma, menekankan pentingnya kegiatan berbasis pangan
dalam rangka untuk penanganan masalah gizi buruk terutama zat gizi mikro
(FAO/WHO 1992). Pembahasan dalam konferensi tersebut lebih menekan
pemberian solusi berupa fortifikasi pangan karena dianggap paling relevan. Hal
ini dilandasi oleh beberapa penelitian bahwa fortifikasi merupakan program yang
dapat mengatasi kekurangan zat gizi mikro terutama vitamin A, iodium dan zat
besi dalam waktu singkat dan dapat diimplementasikan. (Austin et al. 1981;
Arroyave 1987; INACG 1990).
Pada tahun 1994 UNICEF dan WHO merekomendasikan fortifikasi garam
dengan iodium secara universal sebagai pendekatan utama dalam mengoreksi
masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada tahun 1992 diadakan 7th
World Salt Symposium di Kyoto (Jepang), tujuan dari simposium ini adalah
pengendalian gangguan akibat kekurangan iodium. Akhirnya, pada 8th Session of
the World Salt Symposium di Den Haag pada tahun 2000, industri garam memiliki
peran khusus dan bertanggung jawab dalam fortifikasi garam dengan iodium.
15
Fortifikan Asumsi
Iodium Fortifikasi garam mampu
menghilangkan gondok
Besar biaya sekitar $ 0.10 orang/tahun
Besi Fortifikasi tepung terigu mampu
mengurangi prevalensi anemia 9% pada
wanita pekerja
Besar biaya sekitar $ 0.12 orang/tahun
Vitamin A Fortifikasi pangan yang dikonsumsi
oleh bayi dan anak-anak usia 6-24
bulan dapat menghilangkan subklinis
kekurangan vitamin A
Sumber: Horton S (2006)
garam yang dikenal sebagai iodisasi garam. Koordinasi antara Bappenas dan
Departemen Kesehatan menghasilkan gagasan untuk iodisasi garam secara
nasional. Gagasan ini dibicarakan oleh Departemen Perindustrian, Departemen
Perdagangan serta Departemen Dalam Negeri (Soekirman 2008).
Hasil survei awal tahun 1980-an menemukan 5 makanan yang berpotensi
menjadi pembawa fortifikasi, yaitu : garam, bumbu penyedap MSG, minyak
goreng, gula, dan tepung terigu. Beras tidak termasuk karena ada beberapa aspek
yang tidak memenuhi kriteria fortifikasi wajib, yang akan diuraikan kemudian.
Dari ke-5 komoditi pangan tersebut yang paling memenuhi syarat untuk dicoba
difortifikasi pada awal tahun 1980an adalah garam, MSG, dan terigu. Karena itu
program fortifikasi di Indonesia dimulai dengan 3 komoditi tersebut. Sebenarnya
garam kurang memenuhi syarat untuk difortifikasi wajib karena produsen garam,
petani garam dan pengusaha garam rakyat (besar dan kecil) jumlahnya sangat
besar (puluhan ribu) dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun
demikian karena luas dan gawatnya masalah gangguan kesehatan karena kurang
iodium (GAKI) di masyarakat, upaya pencegahan dan penanggulangannya harus
segera dilaksanakan, sehingga tidak banyak pilihan kecuali melaksakanan iodisasi
garam secara nasional (Soekirman 2008).
Bumbu penyedap MSG yang pada tahun 1980-an hanya diproduksi oleh 2
pabrik, sangat memenuhi persyaratan fortifikasi. Seperti halnya dengan garam,
MSG dijumpai dihampir setiap rumah tangga, baik kaya maupun miskin. MSG
memenuhi syarat untuk fortifikasi vitamin A yang juga merupakan salah satu
masalah kekurangan gizi penting di Indonesia sampai sekarang. Pada tahun 1980-
an dilakukan percobaan fortifikasi vitamin A pada bumbu penyedap MSG. Hal
serupa pernah dilakukan juga di Philipina. Hasil percobaan dari kedua negara
tersebut positif. Fortifikasi MSG dengan vitamin A menurunkan prevalensi
kurang vitamin A pada balita keluarga miskin. Meskipun demikian percobaan ini
tidak berlanjut menjadi program, oleh karena masalah teknologi (terjadi
perubahan warna MSG) dan adanya kelompok masyarakat yang menentang
pemakaian MSG secara luas (Soekirman 2008).
Pada 1982 diadakan pertemuan antara Menteri Kesehatan, Perindustrian dan
Perdagangan serta Dalam Negeri. Dalam pertemuan tersebut akhirnya terbit Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang dimulainya upaya iodisasi garam
rakyat. Tiga tahun berjalan SKB tersebut ditingkatkan menjadi SKB 4-Menteri
dengan ditambah Menteri Pertanian. Menurut hukum di Indonesia pada tahun
1994 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden No 69 tahun 1994 tentang
mewajibkan Iodisasi Garam yang merupakan penerapan fortifikasi wajib di
Indonesia. Dikeluarkannya SKB antar menteri tentang iodisasi garam, dan lobi-
lobi para pakar gizi dan UNICEF tentang pentingnya fortifikasi telah mendapat
perhatian para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan di Bappenas.
Pada tahun 1998 kebijakan perlunya program fortifikasi dicantumkan dalam
rencana pembangunan lima tahun (REPELITA) III dan seterusnya. Program
iodisasi garam merupakan program fortifikasi nasional yang pertama dalam
Repelita (Soekirman 2008).
Pada tahun 1993 Pemerintah Orde Baru membentuk Kementerian Negara
Urusan Pangan dan memperkasai kebijakan fortifikasi pangan dan diperkuat
dalam rencana REPELITA III pada salah satu bab dari pasal 27 Undang-Undang
Pangan tahun 1996. Bab III tentang Mutu dan Gizi Pangan, Pasal 27 (3) UU
22
tersebut berbunyi : “Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status
gizi masyarakat, pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau
pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan“. Kata pengayaan gizi yang
dimaksud dalam UU Pangan ini adalah fortifikasi. Terjadi perubahan peraturan
pangan menjadi UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan fortifikasi pada
UU No 18 tahun 2012 diatur bagian ketiga perbaikan gizi pasal 63 ayat 1 dan ayat
2(a) tersebut berbunyi:
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang Gizi untuk perbaikan status Gizi
masyarakat.
(2) Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui:
a. penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan tertentu yang
diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status Gizi masyarakat.
Menyikapi berlakunya UU Pangan tersebut Kementerian Kesehatan
mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri tanggal 16 Juni 1996 tentang
Fortifikasi Tepung Terigu. Undang-undang Pangan menyebabkan Kementerian
Urusan Pangan membentuk Komisi Fortifikasi yang bersifat lintas sektor
Kementerian. Diskusi teknis pelaksanaan fortifikasi tepung terigu dimulai di
komisi ini dengan dukungan aktif UNICEF. Pembahasan secara nasional
diadakan tahun 1998 di forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke VI
(Soekirman 2008).
Sejak itu berbagai percobaan fortikasi tepung terigu dimulai dan
pengoperasian fortifikasi tepung terigu dimulai tahun 1998 di salah satu pabrik
tepung terigu di Jakarta. Akhirnya pada tanggal 14 Januari 1999, program
fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dicanangkan secara resmi oleh
pemerintah yang diwakili oleh Menteri Negara Urusan Pangan dan disaksikan
oleh kepala perwakilan UNICEF di Indonesia. Dua tahun kemudian fortifikasi ini
menjadi wajib setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung
Terigu. Standar Nasional Indonesia (SNI) ini mewajibkan fortifikasi tepung
terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 (Soekirman 2008).
Pada tahun 2003 diadakan evaluasi pelaksanaan wajib iodisasi garam.
Hasilnya menunjukkan kemajuan yang nyata. Apabila di tahun 1980-an hanya
30% rumah tangga menggunakan garam beriodium, pada tahun 2003 meningkat
menjadi 64%. Data terakhir tahun 2006 menjadi 78% dengan catatan masih ada
30% kabupaten dengan konsumsi garam beriodium dibawah 50%. Salah satu
masalah yang masih dihadapi program iodisasi garam adalah masih banyak
beredarnya garam dengan label beriodium, tetapi tanpa iodium alias palsu
(Soekirman 2008).
Salah satu masalah pada tahun-tahun pertama pelaksanaan fortifikasi wajib
tepung terigu adalah beredarnya tepung terigu impor tanpa fortifikasi. Masalah
lainnya, kurang dipahami arti dan maksud fortifikasi oleh masyarakat termaksud
pejabat negara. Kecurigaan yang bersumber dari ketidaktahuan tentang apa itu
fortifikasi, mencapai klimaksnya pada Februari 2008, SNI wajib fortifikasi tepung
terigu dicabut oleh pemerintah. Pencabutan ini tentu saja mendapat tantangan
keras dari pers dan para pakar gizi dan kesehatan, termasuk UNICEF. Pada tahun
2008/2009 harga bahan makanan pokok termasuk terigu meningkat tajam.
Fortifikasi tepung terigu dituduh sebagai salah satu sebab nya. Kesalahan persepsi
23
dalam pelabelan dan iklan. Akhirnya, setiap perubahan dari undang-undang yang
mengharuskan industri pangan untuk mengubah praktek produksi dan atau label
produk harus memasukkan masa transisi. Hal ini pasti membutuhkan beberapa
waktu sebelum semua produsen dalam negeri dan importir menjadi sadar
persyaratan peraturan baru dan dapat memodifikasi produksi dan/atau operasi
pelabelan yang sesuai.
Fortifikasi pangan sangat tergantung dengan kemitraan yang kuat antara
sektor pemerintah, swasta dan sipil. Pemerintah memiliki peran dengan
memberlakukan dan menegakkan undang-undang dan mengatur tarif bea impor
pangan yang masuk ke Indonesia. Para ahli dan peneliti melakukan terobosan
terbaik untuk menciptakan makanan yang bermanfaat dalam mengurangi
defisiensi zat gizi mikro dan menguntungkan bagi pemerintah dan industri jika
diproduksi secara massal. Industri berkontribusi dalam pemasaran bisnis dan
teknis keahlian untuk mempromosikan makanan yang diperkaya kepada
konsumen. Konsumen dan media menginfomasikan penyebaran berita dan
membantu menstimulasi permintaan berkelanjutan untuk makanan yang
difortifikasi.
Pemerintah memiliki peran penting untuk membuat peraturan dan
memastikan bahwa fortifikasi pangan efektif untuk kelompok populasi paling
berisiko dari malgizi zat gizi mikro, tetapi aman untuk populasi secara
keseluruhan. Peraturan pangan dan langkah-langkah teknis pemberlakuan sistem
pangan yang lebih luas merupakan alat utama yang dimiliki pemerintah untuk
membangun dan mengontrol praktek fortifikasi agar tepat guna.
Pemerintah dan peneliti memiliki peran sentral dalam menafsirkan bukti
pangan yang difortifikasi menguntungkan dan kemudian memberlakukan
peraturan untuk mempromosikan fortifikasi pangan agar bisa diproduksi secara
skala industri. Sektor swasta dalam hal ini produsen memainkan peran yang
sangat penting untuk menindaklanjuti respon permintaan terhadap produk yang
telah difortifikasi dan tetap dalam pengawasan. Pelaksanaan fortifikasi pangan
merupakan kolaborasi keilmuan dari ahli gizi, kesehatan, asosiasi medis untuk
membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat fortifikasi. Para
donatur dalam dan luar negeri dan mitra pembangunan pemerintah lainnya dapat
menyumbangkan keahlian teknis dan dukungan lainnya untuk membantu
memperluas program fortifikasi dengan cara menekan biaya.
Dalam hal peraturan Pemerintah Indonesia telah memberlakukan beberapa
peraturan terkait fortifikasi pangan. Berikut tabel peraturan pangan fortifikasi
yang berlaku di Indonesia:
25
Dalam hal kebijakan pangan yang lebih teknis untuk menetapkan produk
pangan berfortifikasi maka BPOM menetapkan peraturan Nomor
HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pengolahan Pangan dan
Peraturan Nomor HK.03.1.5.12.11.09956 Tahun 2011 Tentang Tata Laksana
Pendaftaran Pangan Olahan. Kedua peraturan ini menjadi dasar semua produsen
pangan untuk mendaftarkan produk yang beredar dikonsumen.
Lebih spesifik BPOM menetapkan Nomor HK.03.1.23.11.11.09605 Tahun
2011 Tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi dan Label Pangan.
Dalam peraturan BPOM ini dijelaskan mengenai fortifikasi wajib pada Bab
11.3.1a “Hasil analisis zat gizi untuk pangan olahan wajib fortifikasi, pangan
yang mencantumkan klaim dan pangan olahan tertentu sekurang-kurangnya sama
dengan nilai yang tercantum dalam informasi nilai gizi (≥ 100%). Kecuali diatur
dalam Peraturan lain”
Pada peraturan nomor HK. 03.1.23.11.11.09605 tahun 2011 diatur mengenai batas
toleransi. Setiap pangan olahan harus memenuhi batas toleransi hasil analisa gizi
yaitu nilai kisaran yang dapat diterima dari hasil analisis zat gizi
dibandingkan dengan nilai yang dicantumkan pada informasi nilai
gizi. Persyaratan pangan fortifikasi wajib persyaratan batas toleransi
hasil analisis zat giti yaitu:
a. Hasil analisis zat gizi untuk pangan olahan wajib fortifikasi, pangan yang
mencantumkan klaim dan pangan olahan tertentu sekurang-kurangnya sama
dengan nilai yang tercantum dalam informasi nilai gizi (≥ 100%). Kecuali
diatur dalam Peraturan lain.
b. Pangan olahan wajib fortifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a
merupakan program nasional dalam rangka pencegahan timbulnya
gangguan gizi, pemeliharaan dan perbaikan status gizi masyarakat.
c. Hasil analisis zat gizi tertentu yaitu energi, lemak, lemak jenuh, kolesterol,
asam lemak trans, gula dan natrium, tidak boleh lebih dari 120% dari nilai
yang tercantum pada informasi nilai gizi.
Peraturan terperinci dalam menetapkan sesuatu produk dinyatakan sebagai
produk fortifikasi diatur dalam peraturan BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09909
Tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan.
Berikut syarat tabel klaim produk pangan fortifikasi yang diatur pada peraturan
BPOM HK. 03.1.23.11.11.09909.
28
taburia sebagai terobosan teknologi gizi mencegah dan mengatasi masalah gizi
kurang (termasuk kurang zat gizi mikro) pada balita dari keluarga miskin. Sedang
keberhasilan fortifikasi minyak dengan vitamin A, akan menentukan perlu
tidaknya program suplementasi kapsul vitamin A untuk balita dan ibu nifas di
hentikan dikemudian hari. Penggantian suplementasi dengan fortifikasi berarti
penghematan anggaran belanja negara karena biaya program fortifikasi relatif jauh
lebih murah dan lebih efektif daripada suplementasi.
Pangan merupakan sumber utama gizi yang diperlukan untuk hidup sehat,
tetapi kebijakan pertanian dan teknologi telah difokuskan pada peningkatan
profitabilitas di tingkat pertanian dan agroindustri, bukan pada peningkatan gizi
(Bouis dan Welch 2010). Meningkatnya prevalensi hidden hunger (kelaparan
tidak kentara) mengharuskan pertanian harus berperan dalam meningkatkan
kandungan gizi, khususnya dengan lebih memperhatikan kualitas gizi makanan
yang sering dikonsumsi.
Program fortifikasi pangan mengutamakan penambahan vitamin dan
mineral pada saat produksi maupun pasca produksi dan sangat berbeda dengan
program biofortifikasi. Hal yang menjadi dasar perbedaan dengan program
biofortifikasi adalah penambahan vitamin dan mineral dilakukan pada saat
penanaman varietas makanan pokok yang sering dikonsumsi. Hal ini menjadikan
program biofortifikasi diutamakan pada wilayah miskin dalam mengatasi masalah
defisiensi zat gizi mikro.
Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah gizi
dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral) produk
pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies tanaman secara
konvensional maupun inkonvensional. Biofortifikasi adalah metode ilmiah untuk
meningkatkan nilai gizi dari makanan yang dikonsumsi untuk mengatasi
kelaparan tidak kentara (Bouis et al. 2011). Metode utama biofortifikasi meliputi:
meningkatkan kandungan vitamin dan mineral pada tanaman pangan melalui
teknik pemuliaan konvensional selektif, mengurangi tingkat zat anti gizi dalam
makanan pokok yang menghambat penyerapan vitamin dan mineral.
HarvestPlus adalah sebuah program penelitian dibawah lembaga Centers of
the Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR),
memimpin upaya global untuk mengembangkan tanaman biofortifikasi sebagai
makanan pokok dengan penambahan vitamin A, seng dan besi yang merupakan
defisiensi zat gizi mikro yang paling sering terjadi pada golongan masyarakat
miskin (Brown 1991). HarvestPlus merupakan program interdisipliner yang
bekerja dengan para ahli di lebih dari 40 negara. Setelah melakukan berbagai
percobaan hingga akhirnya menerbitkan jadwal melepas tanaman biofortifikasi
yang dikembangkan pada negara tertentu yang ditunjukkan pada tabel dibawah
ini.
31
Hasil inventarisasi menunjukkan bahwa saat ini terdapat 227 jenis produk
yang telah difortifikasi dengan zat gizi mikro baik vitamin maupun mineral. Hasil
dari inventarisasi produk yang difortifikasikan dibandingkan dengan jumlah
produk pada setiap jenis kategori pangan menunjukkan bahwa produk-produk
susu telah difortifikasi sebanyak 28.6% dengan rincian produk susu ibu hamil dan
34
menyusui sebanyak 13 merek, susu bayi dan balita 37 merek, susu pertumbuhan 9
merek dan produk susu lainnya 42 merek, minyak goreng 60%, margarin 100%,
kembang gula/permen dan coklat 2.4%, tepung terigu 100%, mi instan 23.1%,
biskuit 10.8%, garam 100%, MP ASI 22.8%, minuman 26.6%, makanan ringan
siap santap 0.9% serta produk makanan jadi lainnya sebanyak 17 produk.
Produk-Produk Susu
Minyak Goreng
Margarin
Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa terdapat lima merek produk
margarin yang difortifikasi diantaranya Blue Band, ForVITA, Simas Palmia,
Sovia dan Filma. Keempat produk tersebut memfortifikasi margarin dengan
vitamin A sedangkan Filma dengan vitamin E. Blue Band dan Simas PALMIA
35
juga memfortifikan vitamin B1, vitamin B2, vitamin D, vitamin E dan niasin.
Pilihan vitamin yang dapat difortifikasi pada margarin diantarnya β-Carotene,
vitamin A, vitamin D dan vitamin E (MI 1996). Allen et al. (2006) menyatakan
margarin dapat difortifikasi dengan vitamin A, vitamin D, vitamin B2, vitamin
B3, vitamin B6 dan vitamin B9.
Tepung Terigu
Mi instan
difortifikasi dengan vitamin A, vitamin D, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3,
vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, besi (Fe), seng (Zn) dan Kalsium (Ca).
Biskuit
Garam
Berdasarkan hasil survey, diketahui terdapat lima merek produk garam yang
difortifikasi dengan iodium diantaranya Refina, Garam Bata dan Meja Cap
Flipper, Garam Gurih dan Dolphin Garam. Dari kelima produk tersebut hanya
Refina yang mencantumkan kandungan AKG iodium min 30 mg/kg, besi <
5mg/kg dan kalsium <0,10% sedangkan produk lainnya hanya mencantukan
iodium pada kemasan. Berdasarkan SNI 01-3556:2000 tentang garam konsumsi
beriodium, mutu garam iodium min 30 mg/kg dengan fortifikan kalium iodat
(KIO3). Pilihan mineral yang bisa difortifikasi pada garam adalah besi (Fe) dan
kalsium (Ca) dan Iodium (I) (Micronutrient Initiative 1996). Allen et al. (2006)
menyatakan pilihan mineral yang difortifikasi pada garam adalah besi (Fe) dan
iodium (I).
Minuman
Malee, Happy Day dan Old Orchand. Vitamin dn mineral yang dapat difortifikasi
pada minuman adalah β-Carotene, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin B1,
vitamin B2, vitamin B6, vitamin B9, vitamin B12, vitamin C, besi (Fe) dan
kalsium (Ca) (MI 1996).
Produk lainnya merupakan produk yang tidak tercantum dalam jenis pangan
sebelumnya dan ditemukan dalam inventarisasi difortifikasi dengan vitamin dan
mineral. Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa terdapat 17 produk yang
difortifikasi diantaranya sarapan cereal, jelly, gula dan madu. Vitamin dan mineral
yang difortifikasikan pada masing-masing produk sangat beragam. Vitamin dan
mineral dapat difortifikasikan semuanya pada sarapan sereal, sedangkan pada gula
hanya β-Carotene, vitamin A dan besi (Fe).
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
4 Cakra Kembar Indofood Vitamin B1 75% AKG 0,75 mg Min 2.5 mg/kg
Vitamin B2 35% AKG 0,35 mg Min 4 mg/kg
Asam Folat 55% AKG 220 mg Min 2 mg/kg
Besi 20% AKG 3 mg Min 50 mg/kg
Zinc 30% AKG 4,5 mg Min 30 mg/kg
PT Pundi 3,75 mg Min 50 mg/kg
Mila Zat Besi 25% AKG
5 Kencana
Seng 45% AKG 6,75 mg Min 30 mg/kg
Vitamin B1 10% AKG 0,1 mg Min 2.5 mg/kg
Vitamin B2 50% AKG 0,5 mg Min 4 mg/kg
Asam Folat 130% AKG 520 mg Min 2 mg/kg