Anda di halaman 1dari 14

Stres Kerja dan Gejala Depresi Nelayan Perokok: Peran Mediator Ketergantungan Nikotin dan

Kemungkinan Peran Penekanan Expresi dan Perubahan Kognitif


Hongjuan Jiang’, Sailan Li dan Juan Yang
Departemen Psikologi, Universitas Medik Hainan, Haikou China, Rumah Sakit Hainan Anning, China
Penelitian ini mempelajari jalur pengaruh antara stres kerja, gejala depresi, ketergantungan nikotin,
penekanan ekspresif, dan perubahan kognitif nelayan perokok di Qionghai, Provinsi Hainan, China
(N=1068). Responden tersebut merespon penilaian yang berbeda seminggu sebelum pergi berlayar untuk
menangkap ikan, termasuk Questionnaire Investigasi Stress Mental (MSIQ), Pusat Studi Skala
Epidemiologikal Depresi (CES-D), Kuesioner Alasan Russel Merokok (RRSQ), Kuesioner Aturan
Merokok (ERQ). Analisis model persamaan strukturan (SEM) terhadap data yang terkumpul dalam
Mplus 7 yang menunjukkan bahwa stress kerja dan ketergantungan nikotin merupakan predictor
independen dari gejala depresi. Hubungan antara stress kerja dan gejala depresi di temukan bahwa
ditemukan di mediasi/dihubungkan sebagian oleh ketergantungan terhadap nikotin dan juga di mediasi
oleh perubahan kognitif. Buktinya menunjukan bahwa hal tersebut menguntungkan untuk menganalisa
kebutuhan stress kerja, ketergantungan nikotin dan perubahan kognitif ketika ingin memahami gejala
depresi yang di alami nelayan perokok. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
ketergantungan nikotin melalui penanganan stress kerja dan pelatihan penilaian kognitig bisa di gunakan
untuk meningkatkan gejala depresi.
Kata kunci: stress kerja, gejala depresi, ketergantungan niktorin, penakakan ekspresif, perubahan
kognitif, nelayan, perokok
OPEN AKSES
Diedit oleh: Elena Libin, Peneliti Independen, Chevy Chase, MD, Amerika Serikat
Direview oleh: Xiao Zhou, Zheijiang University, China. Marlene Sophie Penz, Technische Universitat
Dresden, Germany.
Koresponden: Juan Yang, kaka_yj@sohu.com
PENDAHULUAN
Nelayan merupakan pekerjaan tradisional utama, dan nelayan sering mengalami kesulitan dan kondisi
kerja yang berbahaya di laut. Laporan tingkat kefatalan dalam nelayan komersial tinggi, di bandingkan
dengan pekerjaan lain di negara lain termasuk China (214/100.000; Asosiasi Nelayan China), Australia
(143/100.000; Cavalcante dkk, 2007) dan Polandia (130.6/100.000; Jaremin dkk, 1997b). Sedangkan
Nelayan Komersial di Alaska, Amerika Serikat memiliki tingkat kematian yaitu 28 kali di bandingkan
seluruh pekerja di Alaska (Thomas dkk, 2001). Penyebab utama kematian di laut yaitu termasuk
tenggelamnya kapal, kurangnya fasilitas keselamatan, trauma dan akses yang kurang terhadap pelayanan
medis yang layak (Jaermin dkk, 1997a; Thomas dkk, 2001; Garrone Neto dkk, 2005). Nelayan juga
memiliki resiko yang meningkat untuk beberapa penyakit, termasuk masalah musculoskeletal, kehilangan
kemampuan mendengar, penyakit system sirkulasi, dan cedera kulit (JAemin dkk, 1997a; KAerlev dkk,
2007; Percin dkk, 2012). Selain itu, kesehatan nelayan bisa di perburuk serum kortisol yang tidak teratur,
kurangnya tidur yang terjadi, dan perilaku merusak diri sendiri sebagai akibat dari kerja yang terus
menerus di lautan (Allegri dkk, 1996; Szymanska dkk, 2006; Gander dkk, 2008). Sedangkan terhadap
depresi nelayan, dua contoh penelitian terhadap gejala otoneurological nelayan menunjukkan tingginya
tingkat depresi (masing-masing 23.0 dan 16.7%) (Zeigelboim dkk, 2014, 2015).
Penyebab stress yang berhubungan dengan pekerjaan termasuk beratnya beban kerja, tingginya
tekanan waktu, lintang dalam pengambilan keputusan, resiko kerja dan kurangnya dukungan dari teman
kerja juga memiliki dampak negative terhadap akibat kesehatan fisik dan mental (Melchior dkk, 2007;
Meszaros dkk, 2013; Fan dkk, 2015). Beberapa penelitian sudah meneliti dampak stress kerja dalam
peningkatan gejala depresi. Contoh Wieclaw dkk (2006) mengamati bahwa pekerja yang terkena dampak
ancaman yang berhubungan dengan pekerjaan serta kekerasan lebih terhubung terhadap peningkatan
depresi. Selain itu, penelitian Magnavita dan Fileni (2014) dalam radiologi menemukan bahwa kesadaran
terhadap stress yang berhubungan dengan pekerjaan diikuti oleh ditandainya peningkatan resiko depresi.
Juga, dalam keperawatan, stress kerja juga berpengaruh terhadap rendahnya kepercayaan diri, dan
kelelahan tehadap pekerjaan yang serius; factor yang berhubungan dengan tingkatan gejala depresi (Lee
dkk, 2013; Lin dkk, 2016). Meskipun nelayan bekerja di lingkungan yang tidak bisa di prediksi dan
beresiko tinggi, hanya beberapa penelitian yang meneliti tentang stress kerja dan peningkatan depresi di
kalangan nelayan.
Tingginya tingkat konsumsi merokok antara nelayan juga berhubungan dengan tingginya stress
kerja dan tingginya waktu kerja (Fort dkk, 2010). Secara fisik, merokok merupakan penyebab utama dari
beberapa penyakir yang serius seperti emphysema, bronchitis kronis, penyakit jantung, dan kangker paru-
paru. Secara psikologis, hubungan antara merokok, stress, dan depresi itu merupakan hal yang rumit. Di
satu sisi, ketergantungan nikotin itu berkaitan dengan stress kerja, khususnya di wilayah yang memiliki
tingkat stress yang tinggi (John dkk, 2006; Chopra dkk, 2015; Sandhu dkk, 2016) dan penggunaan rokok
telah ditemukan di lakukan untuk mekanisme pencegahan untuk menjaga performa yang meskipun stress
dan kelelahan (Ndiaye dkk, 2001; Lapeyre-Mestre dkk, 2004; Dawson dkk, 2012). Disisi lain, dalam
penelitian terhadap 197 perokok dan partisipan yang merokok, Schmidt dkk (2010) menemukan
hubungan yang berlawanan antara stress yang berhubungan dengan pekerjaan dan ketergantungan nikotin.
Sementara stress yang berhubungan dengan pekerjaan ditemukan tidak berhubungan dengan
ketergantungan nikotin bagi pekerja dalam penegakkan hokum (Priyanka dkk, 2016). Namun, hubungan
antara merokok dan stress pada nelayan jarang di laporkan.
Orang dengan ketergantungan yang lebih terhadap nikotin ditemukan memiliki tingkat depresi
yang tinggi (Breslau dkk, 1991, 1994; Son dkk, 1997; Khaled dkk, 2009; Pedersen dan Von Soest, 2009).
Selain itu, penelitian 2 tahun pada pasien psikiater menunjukkan bahwa pecandu nikotin juga berpengaruh
terhadap kerasnya gejala depresi (Jamal dkk, 2012). Selain itu, orang dengan tingkat depresi yang tinggi
juga memiliki resiko ketergantungan yang tinggi terhadap nikotin (Breslau dkk, 1993; McKenzie dkk,
2010; Trosclair dan Dube, 2010; Scherphof dkk, 2013). Beberapa penelitian berpendapat bahwa
ketergantungan terhadap nikotin dapat memprediksikan gejala depresi (Brown dkk, 2000; Loprinzi dkk,
2014), sementara yang lain menekankan bahwa gejala depresi meningkatkan resiko ketergantungan
terhadap nikotin (Lerman dkk, 1996; Currie dkk, 2001; Ong dan Walsh, 2001; Dierker dkk, 2015; Wang
dkk, 2016). Gagasan baru mengenai komordibitas antara ketergantungan terhadap nikotin dan gejala
depresi kemungkinan menunjukkan factor utama yang berhubungan dengan hasil yang di terima secara
umum. Dua penelitians erupa menunjukkan bahwa depresi yang berhubungan dengan ketergantungan
terhadap nikotin di pengaruhi oleh factor resiko genetic (Fu dkk, 2007; Lyons dkk, 2008). Penelitian
Edward dkk, 2011 menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap nikotin dan depresi di sebabkan oleh
genetic dan pengaruh lingkungan yang unik , dan pengaruh genetic menghasilkan variasi antara
ketergantungan terhadap nikotin dan depresi, dengan prediksi yang terakhir sebelumnya (Edwards dan
Kendler, 2012).
Model Pengembangan Depresi Beck merupakan salahs atu model yang lebih baik dalam
menjelaskan perkembangan mekanisme depresi. Menurut Beck (2008), kerentanan kognitif seperti sikaf
disfungsional merupakan kecenderungan depresi. Berdasarkan model teori Beck, lebih rentannya kognitif
termasuk strategi aturan emosioan telah di laporkan.
Depresi merupakan kelainan gangguan regulasi depresi, dimana strategi regulasi emosi bekerja
sebagai komponen penting dalam serangan dan perawatan gejala depresi (Campbell-Sills dkk, 2006a,b;
Kashdan dkk., 2006). Disfungsi dalam sirkuit saraf yang mendukung regulasi adaptif, termasuk wilayah
korteks prefrontal dan amygdala, juga bisa berpengaruh dalam peran penentuan terhadap keterpurukan
depresi (Davidson dkk, 2002; Drevets, 2003). Dalam Gross (1998) dan Gross dan Thompson (2006)
menujukan model emosi, dua strategi regulasi di tunjukkan sebagai berikut: penekanan ekspresif, yaitu
penghambatan isyarat eksternal terhadap kondisi emosional seseorang, di hubungkan dengan dampak
positif yang dikurangi dan kepuasan hidup, mengganggu komunikasi interpersonal, dan emosi negative
yang lebih besar dalam menanggapi rangsangan emosi yang negative (Gross and Munoz, 1995; Butler
dkk, 2003; Kashdan dkk, 2006), yang merupakan factor resiko depresi yang umum (Sperberg dan Stabb,
1998). Perubahan kognitif, yang berperan dalam pembingkaian pengalaman yang menimbulkan depresi
atau rangsangan yang mengurangi dampaknya, efektif dalam mengurangi perasaan negative dan
tanggapan fisiologis yang sesuai di amigdala (Ochsner dkk, 2002; Gross dan John, 2003; Phillips dkk,
2008). Penilaian kembali dihubungkan dengan dampak negative sedikit, meningkatkan kepuasan hidup
(Gross dan John, 2003; Garnefski dkk, 2004; Garnefski dan Kraaij, 2006; Kashdan dkk, 2006) dan
sedikitnya peningkatan fisiologis (Dandoy dan Goldstein, 1990), semuanya merupakan factor protekti
terhadap gejala depresi.
Banyak penelitian membahas hubungan antara penekanan ekspresif dan gejala depresi. Secara
keseluruhan, rendahnya tingkat penekakan eksrpesif nampaknya melindungi dalam melawan depresi di
kaum dewasa di Eropa dan China (Moore dkk, 2008; Soto dkk, 2011; Boyes dkk, 2016; Sai dkk, 2016).
Penelitian Larsen dkk (2012) menemukan bahwa gejala depresi memprediksi tekanan ekspresif pada
orang dewasa, sementara tekanan ekspresif memprediksi gejala depresi terhadap orang dewasa (Zhao dan
Zhao, 2015; Juang dkk, 2016). Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa penekanan emosi tidak
selalu memiliki dampak negated tehadap depresi. Contohnya, menghambat respon emosional efektif
dalam mengurangi gejala depresi pada orang dewasa di China (Yuan dkk, 2014). Eftekhari dkk (2009)
menggunakan analisa cluster menemukan bahwa individual yang memiliki tingkatan gaya regulasi emosi
rendah dan sedang terhadap penekanan memiliki depresi yang lebih berat. Selain itu, tekanan ekspresif
ditemukan memiliki hubungan sedang antara perasaan positif dan kelelahan emosi (Bassal dkk, 2016;
Norberg dkk, 2016).
Perubahan kognitif bermanfaat untuk lingkungan yang penuh tekanan dan manfaatnya di
hubungkan dengan rendahnya tingkat depresi (Gross, 1998; Troy dkk, 2010). Secara umum, penggunaan
perubahan kognitif dapat merendahkan tingkat gejala depresi (Joormann dan Gotlib, 2010). Sementara
temuannya menunjukkan bahwa perubahan kognitif dapat memprediksi gejala depresi (Zhao dan Zhao,
2015; Juang dkk, 2016; Sai dkk, 2016), depresi juga dinyatakan memiliki dampak langsung terhadap
perubahan kognitif (Richmond dkk, 2017). Selain itu, perubahan kognitif menyatakan hubungan
moderator antara kondisi hidup negative dan hasil yang tidak di inginkan. Contohnya, Flouri dan
Mavroveli (2013) menemukan bahwa perubahan kognitif membawa hubungan antara stress berat
terhadap hidup dan masalah perilaku yang serius di perilaku fungsional yang positif. Selain itu, Boyes
dkk (2016) menemukan bahwa perubahan kognitif merupakan moderator antara pengalaman hidup yang
beragam dan keadaan psikologis yang berbahaya.
Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu ingin menguji bagaimana strategi penekanan ekspresi dan perubahan kognitif
dihubungkan dengan stress kerja, gejala depresi serta ketergantungan nikotin di populasi nelayan lautan
dalam. Meskipun efek merusak dari stress kerja terhadap gejala depresi telah di teliti di kelompok yang
berbeda termasuk manager, anggota militer, dan pekerja medis (Pflanz dan Ogle, 2006; Magnavita dan
Fileni, 2014), masih jarang penelitian yang berhubungan dengan stress kerja terhadap gejala depresi di
lingkup nelayan (Thomas dkk, 2001; Garrone Neto dkk, 2005). Sehingga, informasi yang di peroleh dari
penelitian ini bisa berguna untuk pengembangan penemuan program professional dan tepat untuk nelayan
yang depresi.
Masing-masing penelitian cross-sectional dan longitudinal menyatakan bahwa stress kerja
memprediksi dengan pasti ketergantungan nikotin (Chopra dkk, 2015; Sandhu dkk, 2016), dan juga
ketergantungan nikotin dan gejala depresi bisa dari factor resiko genetic dan lingkungan (Boden dkk,
2010; Edwards dkk, 2011; Dierker dkk, 2015). Namun peran mediasi ketergantungan nikotin antara stress
kerja dan gejala depresi masih kurang. Penelitian ini merupakan yang pertama untuk meneliti potensi
dampak dari ketergantungan nikotin antara tekanan kerja dan gejala depresi.
Dinyatakan bahwa penekanan ekspresi dan perubahan kognitif berhubungan dengan gejala
depresi (Aker dkk, 2014; Sai dkk, 2016). Perubahan kognitif dinyatakan berperan sebagai moderator
antara stress hidup dan masalah perilaku pada orang dewasa, termasuk pengalaman hidup yang merugikan
dan tekanan psikologis pada siswa SMA (Flouri dan Mavroveli, 2013; Boyes dkk, 2016). Selain itu,
meskipun penekanan expresi telah menunjukan bahwa berdampak terhadap gejala yang berhubungan
dengan stress, perannya dalam hubungan antara tekanan kerja dan gejala depresi, khususnya bagi nelayan
perokok belum di jelaskan.
Hipotesis 1: Stres Kerja Berhubungan Positif dengan Gejala Depresi
Berdasarkan peneltian sebelumnya menyatakan bahwa stress kerja merupakan predictor yang kuat
terhadap gejala depresi (Lee dkk, 2013; Magnavita dan Fileni, 2014; Lin dkk, 2016), kami memiliki
hipotesis bahwa stress kerja merupakan predictor langsung terhadap gejala depresi pada nelayan.
Hipotesis 2: Ketergantungan terhadap Nikotin merupakan Mediator antara Stres Kerja dan Gejala
Depresi
Hubungan antara stress kerja terhadap ketergantungan nikotin telah lama di teliti (Chopra dkk, 2015;
Shandu dkk, 2016). Namun, hubungan antara ketergantungan nikotin dan gejala depresi merupakan hal
yang rumit di bandingkan dengan sebelumnya yang menjadi predictor (Edwards dkk, 2011; Edwards dan
Kendler, 2012; Dierker dkk, 2015). Kami kemudian merumuskan hipotesis bahwa stress kerja
kemungkinan meningkatkan resiko ketergantungan terhadap nikotin, dan kemudian meningkatkan gejala
depresi terhadap nelayan.
Hipotesis 3: Tekanan Ekspresi memoderasi Hubungan antara Stress Kerja dan Gejala Depresi
Penelitian sebelumnya terhadap orang dewasa di China menyatakan bahwa penggunaan lebih terhadap
penekanan ekspresi berartii peningkatan terhadap gejala depresi (Sai dkk, 2016). Di sisi lain, penelitian
pada orang dewasa di China menunjukkan bahwa penggunaan lebih terhadap penekanan ekspresi berarti
penurunan tingkat gejala depresi (Yuan dkk, 2014). Penelitian terhadap siswa di Hongkong menunjukkan
bahwa penakanan ekspresi tidak berhubungan dengan perasaan yang depresi (Soto dkk, 2011). Selain itu,
penekanan ekspresi berhubungan dengan kuat terhadap gejala yang berhubungan dengan stress (Moore
dkk, 2008; Richmond dkk, 2017) dan hal tersebut memoderasi hubungan antara perasaan positif dan
kelelahan emosional (Bassal dkk, 2016). Selanjutnya, kami mengajukan penekakan ekspresi
kemungkinan tidak memiliki hubungan langsung dengan gejala depresi, namun bisa menjadi moderator
antara stress kerja dan gejala depresi pada nelayan.
Hipotesis 4; Perubahan Kognitif memoderasi Hubungan antara Stress Kerja dan Gejala Depresi
Perubahan kognitif dapat mempengaruhi gejala yang berhubungan dengan stress dan memiliki hubungan
yang dekat dengan gejala depresi (contohnya Juang dkk, 2016; Richmond dkk, 2017). Perubahan kognitif
dapat bertindak sebagai moderator antara kondisi hiduo negative dan masalah psikologis/perilaku (Flouri
dan Mavroveli, 2013; Boyes dkk, 2016). Sehingga, kami memiliki hipotesis bahwa perubahan kognitif
bisa berperan menjadi moderator antara stress kerja dan gejala depresi pada nelayan.

BAHAN DAN METODE


Peserta
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik dari Universitas Medis Hainan. Nelayan komersil di rekrut
yang berasal dari Orang China Mandarin di Kota Tanmen, Qionghai, China. Menandatangani lembar
persetujuan yang menyatakan bahwa 95% nelayan menyatakan tertarik untuk berpartisipasi di penelitian
ini. Wawancara di lakukan seminggu sebelum nelayan pergi untuk melaut di area perariran dalam.
Sejumlah 1.068 nelayan dengan kebiasaan merokok yang menyajikan data valid dari keseluruhan variabel
yang ditujukan dalam analisis penelitian ini. Keseluruhan peserta melengkapi kuesioner dalam keadaan
normal, tidak lapar, kelelahan, terkena penyakit atau hal serupa lainnya. Informasi demografis lebih detail
selanjutnya di tujukan dalam Tabel 1.
TABEL 1 | Karakteristik Demografis dari Penelitian ini terhadap Kelompok Nelayan
Variabel Frekuensi
Mean Usia ± SD (range), tahun 38.06 ± 10.75 (18-67)
Tingkat Pendidikan yang Dilengkapi
SD 29.8%
SMP 63.4%
Sekolah Menengah Teknis 1.9%
SMA atau lebih tinggi 5.0%
Waktu Bekerja sebagai Nelayan
<1 Tahun 8.3%
1-3 Tahun 11.9%
3-5 Tahun 8.9%
>5 Tahun 70.9%
Status Pernikahan
Tidak menikah 27.6%
Menikah 70.4%
Bercerai 2.0%
Agama
Tidak memiliki agama 76.9%
Kristen 2.2.%
Budha 15.8%
Tao 4.0%
Lain - lain 1.0%

Prosedur
Kordinator proyek local di kumpulkan dan menandatangani formulir persetujuan. Nelayan yang setuju
melengkapi masing-masing 4 kuesioner; Kuesioner Mental Stressol Inverstigation (MSIQ); Center for
Epidemiological Studies Depression Scale (CES-D)- Dalam versi Bahasa China; Kuesioner Russel
Reason for Smoking (RRSQ); dan Kuesioner Emotion Regulation (ERQ).
Pengukuran
Stress Kerja
Munculnya stress di ukur dengan MSIQ (Yu dkk, 2014). Skala ini dikembangkan untuk menilai stress
kerja antara anggota kru kapal kelautan. Skala ini memiliki skor reliabilitas yang kuat yaitu 0.97 dan
tingkat validitas 0.75-0.96. Di penelitian ini, bentuk pendek dari skala ini di gunakan, yang
menyimpulkan 36 item yang melingkupi dua factor: lingkungan kapal, dan hubungan antara pekerjaan
dan interpersonal. Skor dari masing-masing item di susun dari 1 (tidak sama sekali) hingga 5 (hampir
setiap waktu), dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan tingginya tingkatan stress. Cronbach α yaitu
0.95.
Gejala Depresi
Gejala depresi di teliti dengan versi Bahasa China dari CES-D yang memiliki reliabel yang tinggi dan di
gunakan secara luas (Radloff, 1977; Yang dkk, 2004). Masing-masing skala itemnya dari CES-D diberi
skor 0 (jarang) hingga 3 (setiap waktu). Versi Bahasa China dari CES-D mengandung 20 item yang
menggambarkan 4 variabel yang di observasi: depresi, somatic, positif, dan variabel interpersonal
(Makambi dkk, 2009). Skala penuh di beri skor 0-60. Skor 16 merupakan standar skor cut-off depresi.
Konsistensi internal skala ini yaitu 0.91.
Ketergantungan Nikotin
Ketergantungan terhadap rokok di nilai dengan Kuesioner Russekl Smoking Motivation (RSSQ) (Russel
dkk, 1974), yang di turunkan dalam versi Bahasa China RSSQ (Wang dkk, 1999). Keusionernya
mengandung 8 subskala dan 24 item dimana masing-masing itemnya di beri skor 0 (tidak sama sekali)
hingga 3 (sangat begitu). Lima (psychological image, hand-mouth, indulgent, sedative, dan stimulasi) dari
kedelapan subskala di gunakan secara independent. Subskala Addictive, automatic, dan Auxiliary bisa di
gunakan secara mandiri atau bersamaan, seperti terhadap ketergantungan nikotin. Skor A<6 di
klasifikasikan tidak tergantung, skor antara 6 dan 20 di klasifikasikan sebagai ketergantungan, dan skor
>20 mengindikasikan ketergantungan berat. Di penelitian saat ini, pengurangan subskala menunjukan
konsistensi interla yang baik (α = 0.92)
Penekanan Ekspresi dan Perubahan Kognitif
Versi Bahasa China dari ERQ terdiri dari 10 item yang menggambarkan 2 faktor: penekanan ekspresi (4
item) dan perubahan kognitif (6 item) (Wang dkk, 2007). Masing-masing item dari ERQ di beri nilai 1
(sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Versi Bahasa China dari ERQ memiliki nilai validasi yang
baim terhadap orang China (Wang dkk, 2007) dengan nilai Cronbach alpha 0.84 dan 0.90 untuk masing-
masing penekakan ekspresi dan perubahan kognitif.
Analisa Statistik
Nilai Mean di laporkan dengan Standar Deviasi (SDs). Datanya dianalisis menggunakan SPSS 21 (IBM
Corp., Armonk, NY, Amerika Serikat). Nilai alphanya di atur 0.05.
Hubungan antara stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, perubahan kognitif
dan gejala depresi di analisa dengan model persamaan structural (SEM) di Mplus 7 (Muthen dan Muthen,
1998-2010, Los Angeles, CA, Amerika Serikat)
Pilihan TECH 13 di gunakan yang dihubungkan dengan TYPE = MIXTURE untuk mengajukan
uji 2 sisi yang cocok untuk kemiringan multivarian dan kurtosis (Model Mardia untuk multivarian
kurtosis).
Comparative fit Index (CFI), standardized root meand square residual (SRMR) dan root mean
square error of approximation (RMSEA) digunakan untuk menentukan goodness of fit dengan masing-
masing nilai cut off <0.95, <0.09, dan <0.08 (Iacobucci, 2010). Selain itu, nilai Akaike information
criterion (AIC) dan Bayesian Information Criterion (BIC) dihitung sebagai indeks nilai kualias relative.
Opsi BOOTSTRAP di gunakan untuk di hubungkan dengan masing-masing opsi MODEL
COSNTRAINT dan Opsi CINTERVAL (BCBOOTSTRAP) untuk memperoleh dampak tidak langsung
standar eror bootstrapped dan interval bootstrap confidence.
Persamaan latent moderated structural (LMS) di gunakan untuk model latent moderation.
Opsi LOOP di gunakan bersamaan dengan opsi PLOT untuk membuat plot. Dampal total variabel
langsung pada y-axis dan variabel moderating (contohnya penekakan ekspresi dan perubahan kognitif)
pada x-axis. Nilai yang lebih di bawah, dan lebih diatas dan nilai tambahan dari variabel moderating yaitu
masing-masing 4/6, 28/42, dan 2/3.

TEMUAN
Analisa Deskriptif
Variabel deskriptif di nilai langsung dengan instrument psychometric (Tabel 2). Hampir keseluruhan
nelayan memiliki mood normal (total skor mean CES-D, 5.51 ± 7.11; skor median, 3). Khususnya total
91.9% nelayan dalam penelitian ini memiliki skor di bawah 16, 7.2% nelayan memiliki skor antara 16 –
32, dan 0.9% memiliki skor lebihd ari 32. Tidak ada factor demografi di teliti yang berhubungan dengan
skor CES-D, stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, atau tingkat perubahan kognitif,
menyatakan bahwa SEM bisa di lakukan tanpa mempertimbangkan factor demografi.
Presentasi data yang hilang untuk penekanan ekspresi, perubahan kognitif dan gejala depresi
yaitu masing-masing 0.4, 0.3 dan 0.1%. Untuk masing-masing variabel dengan data yang hilang, data
kelompok dan group yang absen tidak memiliki perbedaan signifikan di indicator lain (t = 0.3-1, p>0.05).
Hasil dari t-tes multivarian menyatakan bahwa semua data yang hilang terlewatkan pada bagian acak
bahwa pendekatan informasi penuh cock untuk mengelola data yang hilang.
Tes multivarian non-normality menunjukkan bahwa pengujian masing-masing kecondongan
multivarian (nilai sampel: 1293.093, mean = 4.662, standar deviasi = 0.228, p <0.001) dan kurtosis (nilai
sampel = 1833.143, mean = 287.715, sandar deviasi = 1.520, p < 0.001) signifikan menurut statistic,
mengindikasikan pelanggaran terhadap asumsi multivarian normality. Rescaling-based maximum
likelihood robust (MLR) estimator, di ajukan untuk menangai data non-formal.
Analisa Utama
Korelasi zero-order (r-values) di antara yang terpendam (disimpulkan) variabel yang di sajikan dalam
Tabel 3. Tercatat bawha masing-masing stress kerja (disimpulkan dari nilai MSIQ) dan ketergantungan
nikotin (yang di simpulkan dari skor RRSQ) memiliki hubungan signifikan yang tinggi dengan gejala
depresi (disimpulkan dari skor CES-D), sementara penakakan ekspresi dan perubahan kognitif (yang
masing-masing di simpulkand ari subskor ERQ) saling berhubungan. Selain itu, stress kerja,
ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, dan perubahan kognitif masing-masing berhubungan dengan
positif.
SEM terdiri dari dua bagian: sebuah model pengukuran dan model structural. Kami awalnya
menguji hubungan antara variabel structural dan tersembunyi dalam model pengukuran. Modelnya cocok
dengan informasi masing-masing variabel model pengukuran yang disajikan dalam Tabel 4. Semua
indicator di terima.
Selanjutnya, kami memasukan model komponen SEM untuk menguji apakah stress kerja dapa
memprediksi gejala depresi (bagian “Hipotesis 1’) dan apakah tingkat ketergantungan nikotin dapat
bertindak sebagai mediator untuk hubungan antara stress kerja dan gejala depresi (bagian “Hipotesis 2”).
Semua indeks menunjukan model yang baik yang cocok (CFI = 0.981, RMSEA = 0.048, SRMR = 0.033,
AIC = 40919.940. Semua factor beban stress kerja, ketergantungan nikotin dan gejala depresi signifikan
(p <0.001), menyatakan bahwa model pengukurannya di terima. Penggambaran visual dari model
tersebut di gambarkan dalam Gambar 1. Jalan siginifikan dari stress kerja hingga tingkatan gejala depresi
di observasi melalui ketergantungan nikotin (β = 0.054, 95% CI 0.032 – 0.089; p < 0.001), yang di hitung
untuk 8.56% dari total dampaknya.

TABEL 2 | Statistik Deskriptif untuk Keseluruhan Variabel yang di Observasi


Instrumen Variabel yang dapat di Observasi Mean SD
MSIQ
Lingkungan Kapal 43.85 17.40
Hubungan Kerja dan Interpersonal 13.79 4.94
RRSQ
Kecanduan 1.45 2.05
Automatic 1.22 1.51
Auxiliary 2,14 2.10
CES-D
Depresi 1.82 2.32
Somatik 2.22 2.77
Positif 1.09 1.67
Interpersonal 0.37 0.66
ERQ
Penekanan Ekspresi 15.02 6.55
Perubahan Kognitif 24.04 9.97
MSIQ, Mental Stressor Investigation Questionnaire; RRSQ, Russel Reason for Smoking Questionnaire;
CES-D, Center for Epidemiological Studies Depression Scale; ERQ, Emotion Regulation Questionnaire.

TABEL 3 | Korelasi Zero-order antara variabel laten


Variabel Laten (disimpulkan dari) 1 2 3 4 5
(1) Stress Kerja (MSIQ) 1 0.257*** 0.124*** 0.137*** 0.580***
(2) Ketergantungan Nikotin (RRSQ) - 1 0.166*** 0.182*** 0.316***
(3) Penekanan Ekspresi (ERQ) - - 1 0.770*** 0.056
(4) Perubahan Kognitif (ERQ) - - - 1 0.027
(5) Gejala Depresi (CES-D) - - - - 1

TABEL 4 | Model yang cocok dengan informasi untuk model pengukuran


Variabel Laten X^2 df TLI CFI AIC BIC SRMR RMSEA (90%
(disimpulkan dari) CI)
Stress Kerja (MSIQ) 0 0 1 1 19587.885 19632.647 0 0
Ketergantungan 0 0 1 1 12495.807 12540.535 0 0
Nikotin (RRSQ) 4.480 2 0.999 0.997 14648.174 14707.811 0.007 0.034
Penekanan Ekspresi 3.606 1 0.990 0.998 16456.824 16521.443 0.006 (0.000,0.078)
(ERQ) 0 0 1 1 15476.987 15521.723 0 0.049 (0.000,
Perubahan Kognitif 0.109)
(ERQ) 0
Gejala Depresi
(CES-D)

Gambar 1 | Analisis alur yang mendeskripsikan hubungan antara stress kerja, gejala depresi,
ketergantungan nikotin nelayan dengan kebiasaan merokok. ***p< 0.001.
Keterangan:
Ship environment : Lingkungan kapal
Work and interpersonal relation : hubungan kerja dan interpersonal
Work stress : stress kerja
Nicotine dependence : ketergantungan nikotin
Depressive symptoms : gejala depresi
Berdasarkan temuan di atas, kami menguji apakah penekanan ekspresi bertindak sebagai moderator antara
stress kerja dan gejala depresi (bagian “hipotesis 3”) dengan menggunakan LMS. Model pengukuran
orisinil tidak menghilangkan dengan normal karena perubahan kemungkinan log selama tahap perumusan
akhir LMS. Oleh karena itu, kami memasukan pendekatan produk indicator dimana modelnya
mengestimasi dan tidak bisa di terima (hanya menyajikan SRMR – 0.097, AIC = 57406.964, BIC =
57764.789). Koefisien regresi dari penekanan expresaif ke gejala depresi yaitu -0.116 (p = 0.110).
Interaksi stress kerja x penekanan ekspresi tidak memprediksi gejala depresi (β = -0.117, p = 0.069).
SEM di laksanakan untuk menguji kembali hipotesi yang menyatakan bahwa stress kerja dapat
memprediksi gejala depresi (bagian “Hipotesis 1”) dan bahwa ketergantungan nikotin bertindak sebagai
mediator dalam hubungan antara stress kerja dan gejala depresi (bagian “Hipotesis 2”). Apakah
perubahan kognitif bertindak sebagai moderator (bagian “Hipotesis 4”) diinvestigasi menggunakan LMS.
Model yang cocok dengan indeks ini yaitu sebagai berikut: AIC = 29267.766 dan BIC = 29476.497.
Semua factor beban untuk indicator variabel laten signifikan (p < 0.001) (Gambar 2).

Gambar 2 | Analisis alur yang mendeskripsikan hubungan antara stress kerja, gejala depresi,
ketergantungan nikotin, dan perubahan kognitif antara nelayan dengan kebiasaan merokok. Item yang di
bagi (dibagi dengan konten item) dan variabel perubahan kognitif memiliki 3 bagian. Int = Stress Kerja
*Perubahan Kognitif. Parameternya di standarisasi. **p< 0.001, *** P < 0.001.
Gambar 3 | Representasi grafik moderasi perubahan kognitif terhadap keseluruhan dampak langsung
antara stress kerja dan gejala depresi. Prediksi kemiringan hubungan antara stress kerja dan gejala depresi
dihubungkan dengan perubahan kognitif (range skor, 6-42) untuk nelayan China dengan kebiasaan
merokok. Garis tengah merah menunjukkan total efek langsung antara stress kerja dan gejala depresi;
seperti terjalnya kemiringan menggambarkan kekuatan pengaruh moderasinya (kemiringan 0
mengindikasikan tidak ada efek moderasi). Perlu diketahui bahwa tingginya regulasi emosi untuk
perubahan kognitif (nilai x axis), semakin lemah dampak total langsung (nilai y axis). Area antara garis di
bagian atas dan bawah (biru) menunjukkan CI dari total dampak langsung.
Efek moderasi yaitu -0.231 (p = 0.025). Stress kerja, tingkatan ketergantungan nikotin, perubahan
kognitid memprediksi secara signifikan gejala depresi (masing-masing β = 0.0837, β = 0.246, dan β = -
0.214; seluruhnya p < 0.01). Juga terdapat hubungan langsung antara stress kerja dan tingkat
ketergantungan nikotin (β = 0.315, p < 0.001). Alur tak langsung yang signifikan dari stress kerja
terhadap tingkat gejala depresi diamatai melalui ketergantungan nikotin (β = 0.077, p <0.001), dihitung
untuk 11.27% dari dampak keseluruhan. Dampak keseluruhan dari tekanan kerja terhadap depresi di
kurangi dari β = 0.683 ke dampak langsung β = 0.606. Interaksi stress kerja x perubahan kognitif
merupakan predictor signifikan gejala depresi (β = -0.231, p = 0.025), menunjukkan bahwa perubahan
kognitif memberikan hubungan langsung antara stress kerja dan gejala depresi. Pengaruh moderat antara
perubahan kognitif dengan hubungannya langsung antara stress kerja dan gejala depresi di wangkum
dalam Gambar 3. Perlu di catat bahwa kelebihan dampak langsung gejala stress dan depresi kerja
berkurang seiring dengan meningkatnya perubahan kognitif.

PEMBAHASAN
Di penelitian ini, kami menguji hubungan antara stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi,
perubahan kognitif, dan gejala depresi di 1068 nelayan China dengan kebiasaan merokok. Model analisis
alur menunjukkan bahwa stress kerja memberikan dampak langsung terhadap gejala depresi dan juga
gejala depresi memberikan dampak tidak langsung terhadap ketergantungan dengan nikotin. Hubungan
antara stress kerja dan gejala depresi di moderatkan oleh perubahan kognitif. Temuan kita menunjukkan
bahwa intervensi untuk mengurangi stress kerja memiliki potensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan
mental nelayan. Selain itu, peningkatan perbaikan stress kerja yang bisa mengurangi ketergantungan
nikotin juga sebaliknya mengurangi mood depresi. Di tambah lagi, strategi model perubahan kognitif bisa
membantu nelayan menahan stress yang berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Gejala Depresi Nelayan Perokok
Telah dinyatakan bahwa masalah psikologis sering muncul pada nelayan, yang bekerja di lingkungan
yang memberikan resiko yang berhubungan dengan alam dan perjalanan perahu, termasuk stress yang
berhubungan dengan hubungan dengan rekan mereka (Jaremin dkk, 1997b; Casson dkk, 1998; Thomas
dkk, 2001; Garrone Neto dkk, 2005). Kemudian kami merumuskan hipotesis bawa populasi penelitian
kami (Nelayan perokok) kemungkinan memiliki gejala depresi serius. Namun, dalam penelitian ini,
prevelansi gejala depresi (8.1%) pada nelayan dengan kebiasaan merokok lebih rendah di bandingkan
penelitian sebelumnya (Zeigelboim dkk, 2014, 2015). Bahkan, hal tersebut bahkan lebih rendah
dibandingkan populasi umumnya, dimana literatur menyatakan bahwa kira-kira 18% usia 30an laki-laki
orang China di Hongkong dipengaruhi gejala depresi (Wong dkk, 2006); laporan prevelansi depresi pada
nelayan laki-laki yaitu 24.8% di Peking dan 36.1% di Hong Kong (Song dkk, 2008). Nampaknya, nelayan
dengan kebiasaan merokok di Provinsi Hainan di China gejala depresinya tidak begitu serius.
Kemungkinan kebijakan yang mengayomi dan mendukung perkembangan nelayan di China
menguntungkan kondisi hidup dan pekerjaan nelayan, termasuk pengurangan bahan baka diesel,
pembaruan dan pembentukan kembali kapal nelayan, dan lain-lain. Selain itu, kecintaan dan
kesejahteraan Populasi Provinsi Hainan merupakan factor yang berperan penting melindungi nelayan dari
depresi. Penelitian yang prospektif di butuhkan untuk menilai apakah temuan ini merupakan fenomena
insidentil.

Stress Kerja dan Gejala Depresi


Dalam penelitian ini, stresskerja nelayan berhubungan dengan lingkungan kerja mereka dan hubungan
interpersonal, yang telah terkait dengan perkembangan gejala depresi. Temuan kami sejalan dengan
hipotesis kami bahwa tingginya skor stress kerja bisa menyebabkan meningkatnya gejala depresi dan
konsisten terhadap penelitian sebelumnya (Lee dkk, 2013; Magnavita dan Fileni, 2014; Lin dkk, 2016).
Nelayan laut dalam khususnya rentan terhadap resiko waktu kerja yang terus-menerus dan kemawasan
terus-menerus seperti meningkatnya resiko jatuh, keterikatan mesin dan terkait oleh benda (Gander dkk,
2008). Hal tersebut menjelaskan bahwa penginkatan kondisi hidup dan kerja merupakan pilihan pertama
untuk menjamin keamanan di laut. Selain itu, sebagai nelayan yang sering menghadapi ketidak pastian
berhubungan dengan hewan laut yang tidak dapat diprediksi dan kemungkinan kapal mereka terbalik atau
tenggelam (Garrone Neto dkk, 2005), di anggap penting untuk meningkatkan kemampuan interpersonal
mereka untuk meningkatkan kemampuan kerjasama mereka. Penelitian selanjutnya harus berfokus pada
potensi moderator/mediator antara stress kerja dan gejala depresi.
Stress Kerja, Ketergantungan Nikotin, dan Gejala Depresi
Tidak seperti hasil dari Schmidta dkk (2010) dan Priyanka dkk (2016) yang menemukan bahwa stress
kerja tidak memiliki hubungan atau memiliki hubungan negated dengan ketergantungan terhadap nikotin,
penelitian ini konsisten dengan hampir semua penelitian yang menunjukkan bahwa stress kerja positif
berdampak terhadap ketergantungangn nikotin (John dkk, 2006; Chopra dkk, 2015; Sandhu dkk, 2016).
Dengan menghargai hubungan antara ketergantungan nikotin dan gejala depresi, sebelumnya langsung
memprediksi bagwa nati nilainya konsisten terhadap penelitian sebelumnya (Edwards dkk, 2011;
Edwards dan Kendler, 2012; Dierker dkk, 2015). Secara keseluruhan, temuan saat ini menunjukkan
bahwa ketergantungan nikotin berperan dalam hubungan antara stress kerja dan gejala depresi.
Umumnya, orang yang stress dalam bekerja cenderung memiliki ketergantungan nikotin (Chopra dkk,
2015), dan fenomena ini khususnya menonjol pada pekerjaan dengan resiko tinggi (john dkk, 2006).
Banyak nelayan seperti pekerja lainnya menghargai rokok sebagai cara yang efektif untuk menghilangkan
stress, khususnya ketika pekerjaan mereka diperpanjang hingga malam (Priyanka dkk, 2016). Perokok
dengan tingkat ketergangtungan ringan hingga menengah juga dinyatakan memiliki peningkatan resiko
gejala depresi (Manley dkk, 2009; Boden dkk, 2010; Ashor, 2013). Dalam penelitian ini, ketergantungan
nikotin ditemukan sebagian memediasi hubungan antara stress kerja dan gejala depresi. Namun,
hubungan tidak langsung ini lebih lemah dibandingkan interaksi langsung antara stress kerja dan gejala
depresi. Temuan ini menyatakan bahwa pengelolaan stress kerja yang efektif bisa bukan saja mengurangi
gejala depresi secara langsaung, namun secara tidak langsung melegakannya melalui ketergantungan
nikotin. Di masa mendatang, penelitian longitudinal harus di lakukan untuk menguji apakah gejala
depresi dapat memprediksi ketergantungan nikotin (Lerman dkk, 1996; Currie dkk, 2001; Ong dan Walsh,
2001; Dierker dkk, 2015; Wang dkk, 2016) dan bahwa apakah ketergantungan nikotin berkaitan dengan
hubungan antara gejala depresi dan stress kerja.
Stress Kerja, Penekanan Ekspresi, dan Gejala Depresi
Penakanan ekspresi, dimana perilaku ekspresi yang berhubungan dengan pengalaman emosional yang di
batasi, dapat berkontribusi pada gejala hebat yang berhubungan dengan stress (Gross, 1998; Moore dkk,
2008; Richmond dkk, 2017). Namun, penelitian ini, penekanan ekspresi tidak hanya tidak memprediksi
gejala depresi namun tidak juga memoderat hubungan antara stress kerja dan gejala depresi. Hal ini
menunjukkan bahwa pengertian stress kerja terhadap gejala depresi nampaknya sama kuatnya bagi
mereka dengan atau tanpa penekanan ekspresi. Pertama, kemungkinan dampak penekanan ekspresi tidak
sekuat awalnya yang dipikirkan. Contohnya, penelitian Masumoto dkk (2016) terhadap peserta orang
Jepang (range usia 20-70 tahun) ditemukan bahwa penekanan ekspresi memiliki dampak lebih kecil
terhadap mood dibandingkan perubahan kognitif. Hal yang sama pula penelitian Barrault dkk (2017)
terhadap pemain regular poker menemukan bahwa penekanan ekspresif tidak memiliki hubungan dengan
depresi. Kedua, temuan negative ini bisa saja berhubungan dengan budaya; hubungan antara penekanan
ekspresi dan masalah kesehatan di subyek orang Asia tidak sekuat dengan subyek orang Barat (Hu dkk,
2014). Ketiga, penelitian sebelumnya pada orang dewasa di China menunjukkan bahwa penekanan
ekspresi memiliki dampak positif terhadap gejala depresi (Zhao dan Zhao, 2015; Sai dkk, 2016), namun
penelitian di orang dewasa di China menunjukkan tidak ada hubungan keduanya (Yuan dkk, 2014).
Meskipun penelitian saat ini tidak mengkonfirmasi hipotesis kami, hal ini membantu memperluas
pengetahuan kami mengenai penekanan ekspresi, khususnya hubungannnya dengan stress kerja dan gejala
depresi. Kami juga memberikan informasi baru tentang peran yang berbeda antara penekanan ekspresi
dan perubahan kognitif di konteks yang sama. Di masa mendatang apabila memungkinkan, penelitian
lebih lanjut di perlukan untuk melihat hubungan antara penenakan ekspresi dan gejala depresi pada orang
dewasa di China, dengan focus untuk meneliti efek tidak langsung atau variabel intermedit antara mereka.
Stress Kerja, Perubahan Kognitif dan Gejala Depresi
Di akhir, kami mengamati hubungan antara tingkatan stress kerja dan gejala depresi yang dilemahkan di
subyek tersebut yang laporkan lebihtinggi (setidaknya rata-rata) tingkat perubahan kognitif. Hal ini berarti
bahwa nelayan dengan kebiasaan merokok cenderung tidak terlibat dalam perubahan kognitif dan lebih
kurang gejala depresinya di bandingkan mereka yang melakukan perubahan kognitif. Hal ini konsisten
dengan penelitian sebelumnya, orang yang berjuang dengan regulasi emosinya dilaporkan memiliki
respon negative pada stressor, dan menggunakan strategi penyesuaian emosi yang efektif yang
menunjukkan berhubungan dengan berkurangnya laporan gejala depresi (Betts dkk, 2009; Ford dkk,
2014). Temuan saat ini menunjukkan kemungkinan pelatihan perubahan kognitif berpengaruh positif
langsung terhadap hubungan antara satress kerja dan gejala depresi pada nelayan. Penelitian sebelumnya
membuktikan bahwa efisiensi intervensi terhadap perubahan kognitif, contohnya, terapi koginitif
behavioural (meningkatkan perubahan kognitif) dapat mengurangi masalah emosi negative dengan
memodifikasi perubahan yang berhubungan dengan kognitif sinyal saraf korteks prefrontal (Goldin dkk,
2013); meditasi relaksasi induksi tubuh-pikiran dapat membantu pasien depresi menyusun strategi
perubahan (Chen dkk, 2015); dan kesadaran emosi singkat serta intervensi perubahan kognitif dapat
menyebabkan penurunan besar dalam tingkat laporan diri terhadap masalah emosi (Bentley dkk, 2017).
Sehingga, peningkatan dalam perubahan kognitif bisa menjadi cara efektif untuk mengurangi dampak
stress kerja terhadap gejala depresi.
Batasan
Terhadap beberapa batasan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pertama, penelitian ini
menggunakan data cross-sectional dalam menganalisa hubungan validasi. Atribusi atau penentuan sebab
akibat dari langsungnya hubungan antara variabel yang tidak bisa dilaksanakan. Penelitian longitudinal
atau berdasarkan design intervensi dibutuhkan untuk menemukan gejala depresi. Kedua, nelayan yang
berpartisipasi dalam penelitian ini semuanya hidup dalam lingkungan local yang sama. Oleh karena itu,
samplenya kemungkinan tidak mempresentasikan populasi lain secara akurat. Selain itu, tingkat response
kami yaitu 97%. Keterbatasan terhadap 3%nya bisa menimbulkan bias. Contohnya, peserta yang
melengkapi surveynya kemungkinan memiliki kemampuan interpersonal lebih baik, pandangan lebih
baik, dan pengalaman emosional yang lebih positif dibandingkan mereka yang tidak berpartisipasi dalam
penelitian ini. Selain itu, ukuran sample dalam penelitian ini cukup besar untuk memperluas pemahaman
kita mengenai hubungan antara stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, perubahan
kognitif dan gejala depresi dalam populasi nelayan yang merokok. Dengan meneliti banyak sample
nelayan dengan kuesiner penilaian diri yang meiliki tingkat validasi tinggi, termasuk penilaian yang
dikembangkan untuk kru kapal kelautan, hasil yang diperoleh memberikan pemahaman bernilai terhadap
pekerjaan yang memiliki resiko tinggi dan tingkat kematian tinggi.
KONTRIBUSI PENULIS
SL mengumpulkan data dan menulis naskah. HJ menganalisa data dan menulis naskah. JY merevisi
penulisan dan mensupervisi penelitan dan menemukan pendanaan untuk proyek ini.
PENDANAAN
Penelitian ini di dukung oleh National Natural Science Foundation China (31360235 dan 81660236), Key
Laboratory of Mental Health, Institut Psikologi, Chinese Academy of Sciences (KLMH2014K01), dan
Hainan Provincial Natural Science Foundation of China (2068324 dan 817127).

Anda mungkin juga menyukai