Prosedur
Kordinator proyek local di kumpulkan dan menandatangani formulir persetujuan. Nelayan yang setuju
melengkapi masing-masing 4 kuesioner; Kuesioner Mental Stressol Inverstigation (MSIQ); Center for
Epidemiological Studies Depression Scale (CES-D)- Dalam versi Bahasa China; Kuesioner Russel
Reason for Smoking (RRSQ); dan Kuesioner Emotion Regulation (ERQ).
Pengukuran
Stress Kerja
Munculnya stress di ukur dengan MSIQ (Yu dkk, 2014). Skala ini dikembangkan untuk menilai stress
kerja antara anggota kru kapal kelautan. Skala ini memiliki skor reliabilitas yang kuat yaitu 0.97 dan
tingkat validitas 0.75-0.96. Di penelitian ini, bentuk pendek dari skala ini di gunakan, yang
menyimpulkan 36 item yang melingkupi dua factor: lingkungan kapal, dan hubungan antara pekerjaan
dan interpersonal. Skor dari masing-masing item di susun dari 1 (tidak sama sekali) hingga 5 (hampir
setiap waktu), dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan tingginya tingkatan stress. Cronbach α yaitu
0.95.
Gejala Depresi
Gejala depresi di teliti dengan versi Bahasa China dari CES-D yang memiliki reliabel yang tinggi dan di
gunakan secara luas (Radloff, 1977; Yang dkk, 2004). Masing-masing skala itemnya dari CES-D diberi
skor 0 (jarang) hingga 3 (setiap waktu). Versi Bahasa China dari CES-D mengandung 20 item yang
menggambarkan 4 variabel yang di observasi: depresi, somatic, positif, dan variabel interpersonal
(Makambi dkk, 2009). Skala penuh di beri skor 0-60. Skor 16 merupakan standar skor cut-off depresi.
Konsistensi internal skala ini yaitu 0.91.
Ketergantungan Nikotin
Ketergantungan terhadap rokok di nilai dengan Kuesioner Russekl Smoking Motivation (RSSQ) (Russel
dkk, 1974), yang di turunkan dalam versi Bahasa China RSSQ (Wang dkk, 1999). Keusionernya
mengandung 8 subskala dan 24 item dimana masing-masing itemnya di beri skor 0 (tidak sama sekali)
hingga 3 (sangat begitu). Lima (psychological image, hand-mouth, indulgent, sedative, dan stimulasi) dari
kedelapan subskala di gunakan secara independent. Subskala Addictive, automatic, dan Auxiliary bisa di
gunakan secara mandiri atau bersamaan, seperti terhadap ketergantungan nikotin. Skor A<6 di
klasifikasikan tidak tergantung, skor antara 6 dan 20 di klasifikasikan sebagai ketergantungan, dan skor
>20 mengindikasikan ketergantungan berat. Di penelitian saat ini, pengurangan subskala menunjukan
konsistensi interla yang baik (α = 0.92)
Penekanan Ekspresi dan Perubahan Kognitif
Versi Bahasa China dari ERQ terdiri dari 10 item yang menggambarkan 2 faktor: penekanan ekspresi (4
item) dan perubahan kognitif (6 item) (Wang dkk, 2007). Masing-masing item dari ERQ di beri nilai 1
(sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju). Versi Bahasa China dari ERQ memiliki nilai validasi yang
baim terhadap orang China (Wang dkk, 2007) dengan nilai Cronbach alpha 0.84 dan 0.90 untuk masing-
masing penekakan ekspresi dan perubahan kognitif.
Analisa Statistik
Nilai Mean di laporkan dengan Standar Deviasi (SDs). Datanya dianalisis menggunakan SPSS 21 (IBM
Corp., Armonk, NY, Amerika Serikat). Nilai alphanya di atur 0.05.
Hubungan antara stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, perubahan kognitif
dan gejala depresi di analisa dengan model persamaan structural (SEM) di Mplus 7 (Muthen dan Muthen,
1998-2010, Los Angeles, CA, Amerika Serikat)
Pilihan TECH 13 di gunakan yang dihubungkan dengan TYPE = MIXTURE untuk mengajukan
uji 2 sisi yang cocok untuk kemiringan multivarian dan kurtosis (Model Mardia untuk multivarian
kurtosis).
Comparative fit Index (CFI), standardized root meand square residual (SRMR) dan root mean
square error of approximation (RMSEA) digunakan untuk menentukan goodness of fit dengan masing-
masing nilai cut off <0.95, <0.09, dan <0.08 (Iacobucci, 2010). Selain itu, nilai Akaike information
criterion (AIC) dan Bayesian Information Criterion (BIC) dihitung sebagai indeks nilai kualias relative.
Opsi BOOTSTRAP di gunakan untuk di hubungkan dengan masing-masing opsi MODEL
COSNTRAINT dan Opsi CINTERVAL (BCBOOTSTRAP) untuk memperoleh dampak tidak langsung
standar eror bootstrapped dan interval bootstrap confidence.
Persamaan latent moderated structural (LMS) di gunakan untuk model latent moderation.
Opsi LOOP di gunakan bersamaan dengan opsi PLOT untuk membuat plot. Dampal total variabel
langsung pada y-axis dan variabel moderating (contohnya penekakan ekspresi dan perubahan kognitif)
pada x-axis. Nilai yang lebih di bawah, dan lebih diatas dan nilai tambahan dari variabel moderating yaitu
masing-masing 4/6, 28/42, dan 2/3.
TEMUAN
Analisa Deskriptif
Variabel deskriptif di nilai langsung dengan instrument psychometric (Tabel 2). Hampir keseluruhan
nelayan memiliki mood normal (total skor mean CES-D, 5.51 ± 7.11; skor median, 3). Khususnya total
91.9% nelayan dalam penelitian ini memiliki skor di bawah 16, 7.2% nelayan memiliki skor antara 16 –
32, dan 0.9% memiliki skor lebihd ari 32. Tidak ada factor demografi di teliti yang berhubungan dengan
skor CES-D, stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, atau tingkat perubahan kognitif,
menyatakan bahwa SEM bisa di lakukan tanpa mempertimbangkan factor demografi.
Presentasi data yang hilang untuk penekanan ekspresi, perubahan kognitif dan gejala depresi
yaitu masing-masing 0.4, 0.3 dan 0.1%. Untuk masing-masing variabel dengan data yang hilang, data
kelompok dan group yang absen tidak memiliki perbedaan signifikan di indicator lain (t = 0.3-1, p>0.05).
Hasil dari t-tes multivarian menyatakan bahwa semua data yang hilang terlewatkan pada bagian acak
bahwa pendekatan informasi penuh cock untuk mengelola data yang hilang.
Tes multivarian non-normality menunjukkan bahwa pengujian masing-masing kecondongan
multivarian (nilai sampel: 1293.093, mean = 4.662, standar deviasi = 0.228, p <0.001) dan kurtosis (nilai
sampel = 1833.143, mean = 287.715, sandar deviasi = 1.520, p < 0.001) signifikan menurut statistic,
mengindikasikan pelanggaran terhadap asumsi multivarian normality. Rescaling-based maximum
likelihood robust (MLR) estimator, di ajukan untuk menangai data non-formal.
Analisa Utama
Korelasi zero-order (r-values) di antara yang terpendam (disimpulkan) variabel yang di sajikan dalam
Tabel 3. Tercatat bawha masing-masing stress kerja (disimpulkan dari nilai MSIQ) dan ketergantungan
nikotin (yang di simpulkan dari skor RRSQ) memiliki hubungan signifikan yang tinggi dengan gejala
depresi (disimpulkan dari skor CES-D), sementara penakakan ekspresi dan perubahan kognitif (yang
masing-masing di simpulkand ari subskor ERQ) saling berhubungan. Selain itu, stress kerja,
ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi, dan perubahan kognitif masing-masing berhubungan dengan
positif.
SEM terdiri dari dua bagian: sebuah model pengukuran dan model structural. Kami awalnya
menguji hubungan antara variabel structural dan tersembunyi dalam model pengukuran. Modelnya cocok
dengan informasi masing-masing variabel model pengukuran yang disajikan dalam Tabel 4. Semua
indicator di terima.
Selanjutnya, kami memasukan model komponen SEM untuk menguji apakah stress kerja dapa
memprediksi gejala depresi (bagian “Hipotesis 1’) dan apakah tingkat ketergantungan nikotin dapat
bertindak sebagai mediator untuk hubungan antara stress kerja dan gejala depresi (bagian “Hipotesis 2”).
Semua indeks menunjukan model yang baik yang cocok (CFI = 0.981, RMSEA = 0.048, SRMR = 0.033,
AIC = 40919.940. Semua factor beban stress kerja, ketergantungan nikotin dan gejala depresi signifikan
(p <0.001), menyatakan bahwa model pengukurannya di terima. Penggambaran visual dari model
tersebut di gambarkan dalam Gambar 1. Jalan siginifikan dari stress kerja hingga tingkatan gejala depresi
di observasi melalui ketergantungan nikotin (β = 0.054, 95% CI 0.032 – 0.089; p < 0.001), yang di hitung
untuk 8.56% dari total dampaknya.
Gambar 1 | Analisis alur yang mendeskripsikan hubungan antara stress kerja, gejala depresi,
ketergantungan nikotin nelayan dengan kebiasaan merokok. ***p< 0.001.
Keterangan:
Ship environment : Lingkungan kapal
Work and interpersonal relation : hubungan kerja dan interpersonal
Work stress : stress kerja
Nicotine dependence : ketergantungan nikotin
Depressive symptoms : gejala depresi
Berdasarkan temuan di atas, kami menguji apakah penekanan ekspresi bertindak sebagai moderator antara
stress kerja dan gejala depresi (bagian “hipotesis 3”) dengan menggunakan LMS. Model pengukuran
orisinil tidak menghilangkan dengan normal karena perubahan kemungkinan log selama tahap perumusan
akhir LMS. Oleh karena itu, kami memasukan pendekatan produk indicator dimana modelnya
mengestimasi dan tidak bisa di terima (hanya menyajikan SRMR – 0.097, AIC = 57406.964, BIC =
57764.789). Koefisien regresi dari penekanan expresaif ke gejala depresi yaitu -0.116 (p = 0.110).
Interaksi stress kerja x penekanan ekspresi tidak memprediksi gejala depresi (β = -0.117, p = 0.069).
SEM di laksanakan untuk menguji kembali hipotesi yang menyatakan bahwa stress kerja dapat
memprediksi gejala depresi (bagian “Hipotesis 1”) dan bahwa ketergantungan nikotin bertindak sebagai
mediator dalam hubungan antara stress kerja dan gejala depresi (bagian “Hipotesis 2”). Apakah
perubahan kognitif bertindak sebagai moderator (bagian “Hipotesis 4”) diinvestigasi menggunakan LMS.
Model yang cocok dengan indeks ini yaitu sebagai berikut: AIC = 29267.766 dan BIC = 29476.497.
Semua factor beban untuk indicator variabel laten signifikan (p < 0.001) (Gambar 2).
Gambar 2 | Analisis alur yang mendeskripsikan hubungan antara stress kerja, gejala depresi,
ketergantungan nikotin, dan perubahan kognitif antara nelayan dengan kebiasaan merokok. Item yang di
bagi (dibagi dengan konten item) dan variabel perubahan kognitif memiliki 3 bagian. Int = Stress Kerja
*Perubahan Kognitif. Parameternya di standarisasi. **p< 0.001, *** P < 0.001.
Gambar 3 | Representasi grafik moderasi perubahan kognitif terhadap keseluruhan dampak langsung
antara stress kerja dan gejala depresi. Prediksi kemiringan hubungan antara stress kerja dan gejala depresi
dihubungkan dengan perubahan kognitif (range skor, 6-42) untuk nelayan China dengan kebiasaan
merokok. Garis tengah merah menunjukkan total efek langsung antara stress kerja dan gejala depresi;
seperti terjalnya kemiringan menggambarkan kekuatan pengaruh moderasinya (kemiringan 0
mengindikasikan tidak ada efek moderasi). Perlu diketahui bahwa tingginya regulasi emosi untuk
perubahan kognitif (nilai x axis), semakin lemah dampak total langsung (nilai y axis). Area antara garis di
bagian atas dan bawah (biru) menunjukkan CI dari total dampak langsung.
Efek moderasi yaitu -0.231 (p = 0.025). Stress kerja, tingkatan ketergantungan nikotin, perubahan
kognitid memprediksi secara signifikan gejala depresi (masing-masing β = 0.0837, β = 0.246, dan β = -
0.214; seluruhnya p < 0.01). Juga terdapat hubungan langsung antara stress kerja dan tingkat
ketergantungan nikotin (β = 0.315, p < 0.001). Alur tak langsung yang signifikan dari stress kerja
terhadap tingkat gejala depresi diamatai melalui ketergantungan nikotin (β = 0.077, p <0.001), dihitung
untuk 11.27% dari dampak keseluruhan. Dampak keseluruhan dari tekanan kerja terhadap depresi di
kurangi dari β = 0.683 ke dampak langsung β = 0.606. Interaksi stress kerja x perubahan kognitif
merupakan predictor signifikan gejala depresi (β = -0.231, p = 0.025), menunjukkan bahwa perubahan
kognitif memberikan hubungan langsung antara stress kerja dan gejala depresi. Pengaruh moderat antara
perubahan kognitif dengan hubungannya langsung antara stress kerja dan gejala depresi di wangkum
dalam Gambar 3. Perlu di catat bahwa kelebihan dampak langsung gejala stress dan depresi kerja
berkurang seiring dengan meningkatnya perubahan kognitif.
PEMBAHASAN
Di penelitian ini, kami menguji hubungan antara stress kerja, ketergantungan nikotin, penekanan ekspresi,
perubahan kognitif, dan gejala depresi di 1068 nelayan China dengan kebiasaan merokok. Model analisis
alur menunjukkan bahwa stress kerja memberikan dampak langsung terhadap gejala depresi dan juga
gejala depresi memberikan dampak tidak langsung terhadap ketergantungan dengan nikotin. Hubungan
antara stress kerja dan gejala depresi di moderatkan oleh perubahan kognitif. Temuan kita menunjukkan
bahwa intervensi untuk mengurangi stress kerja memiliki potensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan
mental nelayan. Selain itu, peningkatan perbaikan stress kerja yang bisa mengurangi ketergantungan
nikotin juga sebaliknya mengurangi mood depresi. Di tambah lagi, strategi model perubahan kognitif bisa
membantu nelayan menahan stress yang berhubungan dengan pekerjaan mereka.
Gejala Depresi Nelayan Perokok
Telah dinyatakan bahwa masalah psikologis sering muncul pada nelayan, yang bekerja di lingkungan
yang memberikan resiko yang berhubungan dengan alam dan perjalanan perahu, termasuk stress yang
berhubungan dengan hubungan dengan rekan mereka (Jaremin dkk, 1997b; Casson dkk, 1998; Thomas
dkk, 2001; Garrone Neto dkk, 2005). Kemudian kami merumuskan hipotesis bawa populasi penelitian
kami (Nelayan perokok) kemungkinan memiliki gejala depresi serius. Namun, dalam penelitian ini,
prevelansi gejala depresi (8.1%) pada nelayan dengan kebiasaan merokok lebih rendah di bandingkan
penelitian sebelumnya (Zeigelboim dkk, 2014, 2015). Bahkan, hal tersebut bahkan lebih rendah
dibandingkan populasi umumnya, dimana literatur menyatakan bahwa kira-kira 18% usia 30an laki-laki
orang China di Hongkong dipengaruhi gejala depresi (Wong dkk, 2006); laporan prevelansi depresi pada
nelayan laki-laki yaitu 24.8% di Peking dan 36.1% di Hong Kong (Song dkk, 2008). Nampaknya, nelayan
dengan kebiasaan merokok di Provinsi Hainan di China gejala depresinya tidak begitu serius.
Kemungkinan kebijakan yang mengayomi dan mendukung perkembangan nelayan di China
menguntungkan kondisi hidup dan pekerjaan nelayan, termasuk pengurangan bahan baka diesel,
pembaruan dan pembentukan kembali kapal nelayan, dan lain-lain. Selain itu, kecintaan dan
kesejahteraan Populasi Provinsi Hainan merupakan factor yang berperan penting melindungi nelayan dari
depresi. Penelitian yang prospektif di butuhkan untuk menilai apakah temuan ini merupakan fenomena
insidentil.