Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM


ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS

Pembimbing :
dr. Doddy Widjanarko, Sp. PD

Disusun oleh :
Mega Rizky Novitasari 2019.04.2.0011
Kinanti Hapsari 2019.04.2.0112

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis” yang


disusun oleh :
Mega Rizky Novitasari 2019.04.2.0011
Kinanti Hapsari 2019.04.2.0112
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik Dokter Muda di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUD dr. MOHAMMAD SOEWANDHIE Surabaya.

Surabaya, 30 November 2019


Pembimbing

dr. Doddy Widjanarko, Sp. PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
kasih-Nya, serta petunjuk-Nya sehingga saya diberikan kesempatan untuk menyelesaikan
referat ini yang berjudul “Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis”. Referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik dokter muda di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSUD dr. MOHAMMAD SOEWANDHIE Surabaya.
Dalam penyusunan referat ini kami mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Direktur RSUD dr. MOHAMMAD SOEWANDHIE Surabaya yang telah
memberikan izin kami untuk belajar sebagai dokter muda.
2. dr. Doddy Widjanarko, Sp. PD selaku pembimbing kami yang telah bersabar dalam
memberikan bimbingan dan masukan serta saran dalam proses penyusunan referat ini.
3. Pasien Ruang Teratai RSUD dr. MOHAMMAD SOEWANDHIE Surabaya yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab berbagai pertanyaan dari kami.
Selama penyusunan tugas referat ini, kami menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan
dan pemahaman kami tentang Ilmu Penyakit Dalam mengenai Anemia pada Penyakit Ginjal
Kronis. Kami juga menyadari bahwa tugas referat ini jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan penyusunannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun guna kesempurnaan tugas referat ini.

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR......................................................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 3


2.1 Definisi ............................................................................................................................................... 3

2.2 Etiologi ............................................................................................................................................... 3

2.3 Epidemiologi .................................................................................................................................... 4

2.4 Klasifikasi ......................................................................................................................................... 4

2.5 Patofisiologi ...................................................................................................................................... 5

2.6 Manifestasi Klinis .......................................................................................................................... 8

2.7 Diagnosis ............................................................................................................................................ 8

2.8 Pengelolaan ....................................................................................................................................... 9

2.7 Terapi ............................................................................................................................................... 10

2.8 Prognosis ......................................................................................................................................... 12

2.9 Komplikasi Kronis Lain Diabetes Melitus Tipe 2 .......................................................... 12

BAB III KESIMPULAN................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................... 15

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara umum diketahui bahwa ginjal memiliki banyak fungsi, terutama adalah sebagai alat
untuk membersihkan tubuh dari bahan sisa metabolisme. Selain fungsi tersebut diatas ginjal
memiliki fungsi yang lebih banyak lagi untuk mempertahankan homeostasis tubuh manusia,
seperti: 1. Ekskresi produk sisa metabolisme dan bahan kimia asing, 2. Pengaturan
Keseimbangan air dan elektrolit, 3. Pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi
elektrolit, 4. Pengaturan tekanan arteri, 5. pengaturan keseimbangan asam-basa, 6. Pengaturan
Produksi Eritrosit atau eritropoietin, 7. Ekskresi hormone, 8. Glukoneogenesis (Guyton, 2007).
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama
kelamaan fungsi diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik secara garis besar melalui suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) (Suwitra, 2014).
Derajat PGK berdasarkan laju fitrasi glomerulus (LFG) sesuai dengan rekomendasi NKF-
DOQI (2002).

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, hal lain yang dapat berperan dalam
terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik adalah defisiensi Fe, kehilangan darah, masa
hidup eritrosit yang memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut dan kronik
(Suwitra, 2014).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan kadar Hb yang masuk kriteria
anemia secara umum adalah laki-laki dewasa < 13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl,
wanita hamil < 11 g/dl. The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar
hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien
prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita
postmeopause. Sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatakan anemia pada penyakit ginjal jika
Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30% (K/DOQI, 2012).
Anemia merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi, bahkan dapat
terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan hampir pada semua pasien
penyakit ginjal tahap akhir. Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan
mortalitas secara bermakna dari PGK (Macdougal, 2008).
Pengelolaan penyakit ginjal kronik selama ini, lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik
seperti hemodialisis ,akan tetapi komplikasi yang sering terjadi pada penyakit ginjal kronik,
seperti anemia juga memerlukan penatalaksanaan. Oleh karena itu, dalam tata laksana PGK
perlu dilakukan pencegahan, perbaikan dan pengobatan terhadap anemia (Suhardjono,2009).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl
(hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien prepubertas, dan <12,0 gr/dl
(hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmeopause. Sedangkan menurut
Pernefri 2011, dikatan anemia pada penyakit ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%
(K/DOQI,2012).
Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom, yang khas
selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat
azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi kadang
juga ditemukan sejak awal stadium 3 (Suhardjono,2009).

Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik (Guyton, 2007)


Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan LGF ≥90 -
normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89 Tekanan darah mulai naik
penurunan LGF ringan
3 Penurunan LGF sedang 30-59 Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4 Penurunan LGF berat 15-29 Malnutrisi
Asidosis metabolik
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
2.2 Etiologi
Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya
produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk
kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi
(anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang,
pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas
seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia (K/DOQI, 2012).
Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik (K/DOQI, 2012).
Etiologi Penjabaran etiologi
Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik
Pendeknya masa hidup eritrosit
Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang
Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan,
penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif

2.2 Epidemiologi

Peningkatan prevalensi anemia terdapat pada pasien dengan nilai LFG <
60 mL/min/1,73m2. Akan tetapi anemia juga bisa terdapat pada pasien dengan
LFG yang lebih tinggi (K/DOQI, 2012). penderita PGK laki-laki lebih banyak
mengalami anemia dibandingkan penderita perempuan (Adiatma, 2014). Pada
hasil penelitian menunjukkan bahwa anemia pada penderita PGK sebagian besar
adalah anemia sedang dan berat (Natalia, 2019).

3
2.4 Patofisiologi

Kerusakan struktur dan fungsi ginjal bisa disertai dengan penurunan LFG. Penurunan laju fitrasi
glomerulus ini berhubungan dengan gambaran klinik yang akan ditemukan pada pasien. Salah satunya
adalah penurunan kadar hemoglobin atau hematokrit di dalam darah yang dapat dikatakan sebagai
anemia (Suwitra, 2014).
a. Defisiensi relatif dari eritropoietin
Anemia terjadi pada 80-90% pasien PGK, terutama bila sudah mencapai stadium III. Anemia
terutama disebabkan oleh defisiensi Erythropoietic Stimulating Factors (ESF) (Suhardjono,2009).
Dalam keadaan normal 90 % eritropoeitin (EPO) dihasilkan di ginjal tepatnya oleh juxtaglomerulus dan
hanya 10% yang diproduksi di hati. Eritropoetin mempengaruhi produksi eritrosit dengan merangsang
proliferasi, diferensiasi dan maturasi prekursor eritroid. Keadaan anemia terjadi karena defisiensi
eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular sebagai respon hipoksia local akibat pengurangan
parenkim ginjal fungsional (K/DOQI, 2012). Respon tubuh yang normal terhadap keadaan anemia
adalah merangsang fibroblas peritubular ginjal untuk meningkatkan produksi EPO, yang mana EPO
dapat meningkat lebih dari 100 kali dari nilai normal bila hematokrit dibawah 20%. Pada pasien PGK,
respon ini terganggu sehingga terjadilah anemia dengan konsentrasi EPO yang rendah, dimana hal ini
dikaitkan dengan defisiensi eritropoietin pada PGK (Sukandar, 2006).
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit
terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien
uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses
hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya
meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit,
karena penurunan kadar eritropetin serum.
b. Kekurangan zat besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih
belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik
setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini
yang kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan
hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
c. Pendeknya masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup eritrosit
normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan lingkungan kimia
plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah
derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr
menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang
25-30%.
Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan
kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan
gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor
yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt
pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolysis (Suwitra,
2014).
Hepcidin awalnya dikenal sebagai peptida antimikroba saluran kencing kaya sistein. Studi lanjut
menunjukkan hepcidin meningkat pada mencit dan kelebihan zat besi dan merupakan peptida yang
berperan penting dalam homeostasis besi. Penurunan kadar hepcidin meningkakan absorpsi zat besi di
intestinal dan pelepasan zat besi dari makrofag, kondisi yang menyebabkan overload zat besi. Disfungsi
ginjal menyebabkan penurunan klirens hepcidin. Pada penyakit kronis, tingginya hepsidin menghambat
pelepasan besi dari makrofag dan absorpsi zat besi di intestinal (Suwitra, 2014).

https://jasn.asnjournals.org/content/23/10/1631
2.4 Klasifikasi
2.6 Manifestasi Klinis
2.7 Diagnosis
2.8 Pengelolaan
2.7 Terapi

10
2.8 Prognosis

13
BAB III

KESIMPULAN

14
DAFTAR PUSTAKA
Adiatma, Dhanny Candra. Prevalensi dan Jenis Anemia pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani

Hemodialisis Reguler [dissertation]. Universitas Diponegoro, Semarang: 2014.

Guyton Arthur C., Hall John E: Pembentukan urin oleh ginjal, dalam Buku ajar Fisiologi
kedokteran Guyton & Hall: ed.11; EGC.2007: 324-333
Macdougal IC, Walker R, Provenzano R, Alvaro F, Locay HR, Nader PC, et al. Corrects anemia in
patients with chronic kidney disease not on dialysis: results of randomized clinical trial. Clin J Am
Soc Nephrol. 2008;3:337-47
Natalia, dian , Susilawati , Safyudin, Hubungan Laju Filtrasi Glomerulus dengan Derajat
Anemia pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik. Sriwijaya Journal of Medicine, Volume 2 No.3
2019, Hal 168-177, DOI: SJM.v2i3.78

National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,

classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1, 2012.

Suhardjono, Kelainan kardiovaskular pada penyakit ginjal kronik. Jakarta: Jurnal Penyakit Dalam. 2009.

hlm.35-9

Sukandar E. Nefrologi klinik. Edisi ke-3, Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2006

Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014.p.2159-65.

15

Anda mungkin juga menyukai