Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pelaksanaan pemerintahan di daerah mengalami perubahan yang sangat
signifikan sejak tahun 2001 ketika konsep Otonomi Daerah dilaksanakan.
Berangkat dari waktu itu, aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat
mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih tailorised dengan
kebutuhan masyarakat daerahnya. Terdapat konsep yang mendasar dalam hal
mengelola urusan yang mengatur pemerintahan lokal ini yakni adanya prakarsa
sendiri dan berdasar pada aspirasi masyarakat daerah tersebut. Desentralisasi
semestinya bermakna kemauan masyarakat lokal untuk memecahkan berbagai
macam masalah masyarakat setempat demi mencapai kesejahteraan mereka.
Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi. Otonomi daerah diberikan kepada
masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.
Namun potret kualitas pelayanan publik di negeri ini masih dirasakan
sebagai pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit, biaya
yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli). Kesemuannya
merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Potret
pelayanan umum bagi masyarakat masih dinilai cenderung tidak memiliki
responsibilitas, responsivitas (over bureaucratic), dan tidak representatif (under
performing), sia-sia (wasteful) serta berpotensi mahal (bloated) . Wilayah yang
sering menjadi sorotan tajam masyarakat adalah seperti pelayanan bidang
pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di
bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah.
Potret pelayanan umum diatas yang utama disebabkan oleh kukuhnya
paradigma pemerintahan lama yang masih belum mengalami perubahan mendasar.
Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan
birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk
melayani. Roh otonomi daerah semestinya mengidupkan pemerintah daerah dan
aparatnya sebagai pelayan dalam artian yang sesungguhnya.

1
Paradigma menjadi konsep yang banyak menarik perhatian kalangan
ilmuwan dan cendekiawan di Amerika Serikat sejak Thomas Kuhn di awal 1960-
an menerbitkan bukunya yang monumental dalam perkembangan sejarah dan
filsafat ilmu pengetahuan, berjudul “The Structure of Scientific Revolution”.
Menurut Mustopadidjaja (2003), paradigma merupakan kata yang berasal dari
bahasa Yunani Paradeigma, yang berarti “model, pola, atau contoh”. Dalam
perkembangan kemudian terdapat beberapa pandangan tentang makna dan unsur
paradigma. Dalam buku Kuhn itu sendiri terdapat sekitar 21 pengertian
(Mastermann, 1970 : 59-89), di antaranya diartikannya paradigma sebagai “a
framework of basic assumptions – including standards for determining the
validity of knowledge, rules of evidence and inference, and basic principles of
cause and effects – shared by a scientific community”, (Kuhn, 111 – 35; dan
Harmon, 1981 : 12). Kuhn juga menulis bahwa scientific paradigms are
“accepted examples of actual scientific practice, examples which includelaws,
theory, application, and instrumentation together – (that) provide models from
which spring particular coherent traditions of scientific research”. Marilyn
Ferguson (1980) mendefinisikan paradigma sebagai “a framework of thought a
scheme for understanding and explaning certain aspects of reality”.
Dalam uraian ini penulis cenderung untuk secara sederhana mengartikan
paradigma sebagai “teori dasar” atau “cara pandang” yang fundamental, dilandasi
nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori pokok, konsep asumsi, metodologi atau
cara pendekatan yang dapat dipergunakan para teoritis dan praktisi dalam
menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam kaitan pengembangan ilmu maupun
dalam upaya pemecahan permasalahan bagi kemajuan hidup dan kehidupan
kemanusiaan” (Mustopadidjaja AR. 1985).

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa yang menjadi
rumusan masalah dalam tulisan ini adalah :
1. Masih terdapatnya ketidakadilan dalam pelayanan publik masih mewarnai
secara dominan dalam ranah manajemen pelayanan umum.

2
2. Perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula
semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi, keberhasilan dan
kepuasan masyarakat yang dilayani. Perilaku “melayani, bukan dilayani”,
“mendorong, bukan menghambat”, “mempermudah, bukan mempersulit”,
“sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan
hanya untuk segelintir orang” semestinya kuat mewarnai kultur korporasi
(corporate culture) birokrasi pemrintah daerah. Kultur korporasi ini pada
galibnya adalah agregat dari sikap masing masing perangkat birokrasi
pemerintah daerah.
3. Agar pelayanan publik berkualitas, pemerintah daerah perlu mereformasi
paradigma pelayanan publik yang talah ada. Reformasi paradigma
pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan
publik dari yang semula berorientasi pada pemerintah sebagai penyedia
menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat
sebagai pengguna (user orinted).

3
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 PARADIGMA BARU MANAJEMEN STRATEGI PELAYANAN


PUBLIK
Menurut Asmawi Rewansyah (2010), berawal dari kenyataan bahwa
birokrasi pemerintahan yang terlalu besar, boros, inefisien dan merosotnya kinerja
pelayanan publik, Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat) mengeluarkan
pernyataan bahwa “government is not solution to our problem, government is
the problem”.
Kata administrasi dirasakan kurang agresif, maka digunakan kata
manajemen (bisnis/privat) guna mentransformasi prinsip-prinsip bisnis atau
wirausaha kedalam sektor publik. Kemudian paradigma ini lebih dikenal
dengan New Public Management (NPM) yang melihat bahwa paradigma Old
Public Administration (OPA) kurang efektif dalam memecahkan masalah dan
dalam memberi pelayanan publik, termasuk membangun warga
masyarakat. Konsep dan strategi pemangkasan birokrasi (banishing
bureaucracy), sebagai opersionalisasi dari Reinventing Government.
Osborne & Plastrik (1997) mengemukakan makna
mewirausahakan/ reinventing, sebagai transformasi fundamental terhadap sistem
dan organisasi sektor publik untuk menciptakan peningkatan secara menakjubkan
dalam hal efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kapasitasnya untuk berinovasi.
Tranformasi tersebut intinya bagaimana membangun sektor publik yang bersifat
“self renewing system” dengan pendekatan prinsip-prinsip bisnis (wirausaha).
Banishing bureaucracy berisi 5 strategi untuk melaksanakan prinsip Reinventing
Government yang bernama “The Five C’S”yaitu :
1. Core Strategy (Strategi inti). Menata kembali secara jelas mengenai tujuan,
peran, dan arah organisasi.
2. Consequence Strategy(Strategi Konsekuensi). Strategi yang mendorong
“persaingan sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai,
melalui penerapan Reward and Punishment dengan memperhitungkan resiko
ekonomi dan pemberian penghargaan.

4
3. Customer strategy (Strategi pelanggan). Memusatkan perhatian untuk
bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam
persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan.
4. Control strategy (Strategi kendali). Merubah lokasi dan bentuk kendali
dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah
yaitu pelaksana atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan
visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses
pemberdayaan organisasi, pegawai, dan masyarakat.
5. Cultural strategy (Strategi Budaya). Merubah budaya kerja organisasi yang
terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan
masyarakat terhadap budaya organisasi publik ini berubah (tidak lagi
memandang rendah).

Selanjutnya, Dwiyanto (2008), mengutarakan tujuh komponen doktrin


dalam NPM, yaitu :

1. Pemanfaatan manajemen professional dalam sektor publik,


2. Penggunaan indikator kinerja,
3. Penekanan yang lebih besar pada kontrol keluaran,
4. Pergeseran perhatian ke unit yang lebih kecil,
5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi,
6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen,
7. Penekanan disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan
sumber daya.

Paradigma NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik


dengan menerapkan pengetahun dan pengalaman yang diperoleh dari dunia bisnis
dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, efisiensi, dan kinerja pelayanan
publik pada birokrasi modern. Ketika muncul pertama kali, NPM hanya
meliputi lima doktrin, yaitu :
(1) penerapan deregulasi pada line management;
(2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri;

5
(3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara
regulator dengan operator;
(4) penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan kontrak (contracting
out)
(5) memperhatikan mekanisme pasar (marketoriented).

Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa
pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong
kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap
kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) dari pada
menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para
pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang lebih
fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat
asas, orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).

2.2 MANAJEMEN STRATEGI PELAYANAN PUBLIK


Denhardt dan R.B. Denhardt (2003), menyarankan meninggalkan prinsip
paradigma OPA dan paradigma NPM, beralih ke prinsip paradigma NPS dalam
administrasi publik, yaitu para birokrat/administrator harus :
1. Melayani dari pada mengendalikan (service rather than steer);
2. Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest);
3. Lebih menghargai warga Negara dari pada kewirausahaan (value citizenship
over entrepreneurship);
4. Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategically, act
democratically);
5. Melayani warga masyarakat, bukan pelanggan (serve citizen not customer);
6. Menyadari akuntabilitas bukan merupakan hal mudah (recognize that
accountability is not simple);
7. Menghargai orang, bukan hanya produktivitas (value people, not just
productivity).

6
Disain sistem pelayanan umum yang berpangkal dari pandangan dan
kemauan publik (users’ views) adalah model dari pola pendekatan bottom up yang
lebih mengedepankan aspek partisipasi publik dalam menentukan serta memola
model pelayanan yang dibutuhkannnya. Adapun ciri ciri dari paradigma pelayanan
umum yang berpangkal dari kemauan dan kepuasan publik (customer-driven
government) adalah:
1. lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan
yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan
kepada masyarakat,
2. lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat
mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan
yang telah dibangun bersama,
3. menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu
sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus
pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada
hasil (outcomes)sesuai dengan masukan yang digunakan,
4. lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat,
5. memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari
masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya,
6. lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan,
7. lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan,
8. menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.

Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara
lain:
1. memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya,
2. memiliki wide stakeholders,
3. memiliki tujuan sosial,
4. dituntut untuk akuntabel kepada publik,
5. memiliki complex and debated performance indicators, serta
6. seringkali menjadi sasaran isu politik.

7
BAB III
PEMECAHAN MASALAH

3.1 MANAJEMEN STRATEGI PELAYANAN PUBLIK


Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara
umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami
perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi
efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif)
masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan
publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain: kurang responsif, kurang
informatif, kurang accessible kurang koordinasiserta sangat birokratis.kurang mau
mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakatdan yang terkhir innefisien.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada
disain organisasi yang tidak dirancang khusus untuk kepentingan pelayanan
kepada masyarakat. Organisasi dan sistemnya penuh dengan hirarki yang
membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan
fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kondisi tersebut juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Lebih jauh, pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah memiliki
faset kekhasan persoalan kelemahan yang mendasar . Beberapa kelemahan
mendasar tersebut antara lain: pertama, adalah sulitnya menentukan atau
mengukur output maupun kualitas. Kedua, pelayanan pemerintah daerah tidak
mengenal “bottom line”.. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki
kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan
pemerintah menghadapi masalah berupa internalities.
Beberapa permasalahan tentang ketidakpuasan kinerja pemerintah,
keinginan dan harapan-harapannya tidak didengar, hak-haknya dipasung, aspek
dan peluang publiknya dihambat, adanya dominasi hak rakyat, berisi keras kepada
rakyat, bertindak represif dan lupa bahwa kedaulatan ini adalah milik rakyat,
bahkan pilihan untuk kebutuhan-kebutuhan publik dan suara demokrasi yang

8
substantif telah ditinggalkan atau diabaikan begitu saja bagi pejabat. Padahal
mereka para pejabat publik ada, karena adanya rakyat yang memiliki hak suara
sebagai instrumen penting dalam memulai wacana pemerintah ke depan. Secara
praksis pemerintah dalam pelayanan publik harus memperhatikan ide brilian yang
digagas oleh paradigma “the new public services” karena membawa pesan moral
sebagaimana tuntutan masyarakat kontemporer dewasa ini.
Paradigma the new public service (NPS) manakah yang diterapkan
pemerintah dalam pelayanan publik? Apakah paradigma NPS cukup handal bagi
pemerintahan di Indonesia dalam mengatasi persoalan-persoalan yang muncul
dalam melayani warga negara? Atau sebaliknya keinginan warga negara dengan
harapan yang begitu banyak berakhir di kekuasaan birokrasi yang birokratis
mengandalkan hirarki, tidak efisien, tidak efektif, tidak transparan, bahkan
berujung pada praktek-praktek patrimonial yang melindungi (memberikan hak-
hak istimewa kepada seseorang) dan memihak pada afiliasi ras, suku, etnis, partai
politik dan pemerintahan yang sedang berjalan Menuju Paradigma The New
Public Service (NPS)
Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB)
menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya
sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata,
tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel . Karena bagi paradigma ini; (1) nilai-nilai
demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik adalah merupakan landasan
utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan; (2) nilai-nilai tersebut
memberi energi kepada pegawai pemerintah atau pelayan publik dalam
memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih adil, merata, jujur, dan
bertanggungjawab.
Oleh karenanya pegawai pemerintah atau aparat birokrat harus senantiasa
melakukan rekonstruksi dan membangun jejaring yang erat dengan masyarakat
atau warganya. Pemerintah perlu mengubah pendekatan kepada masyarakat dari
suka memberi perintah dan mengajari masyarakat menjadi mau mendengarkan
apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat, bahkan dari suka
mengarahkan dan memaksa masyarakat menjadi mau merespon dan melayani apa
yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat.

9
Karena dalam paradigma the new public service dengan menggunakan
teori demokrasi ini beranggapan bahwa tugas-tugas pemerintah untuk
memberdayakan rakyat dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat
pula. Hal ini dimaksudkan bahwa para penyelenggara negara harus mendengar
kebutuhan dan kemauan warga negara (citizens). Pelayanan publik yang di
praktekkan dengan situasi yang kreatif, dimana warga negara dan pejabat publik
dapat bekerja sama mempertimbangkan tentang penentuan dan implementasi dari
birokrasi publik, yang berorientasi pada ”aktivitas administrasi dan aktivitas
warga negara”.
Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,maka pilihan
terhadap “the New Public Service (NPS)” dapat menjanjikan suatu perubahan
realitas dan kondisi birokrasi pemerintahan. Aplikasi dari konsep ini agak
menantang dan membutuhkan keberanian bagi aparatur pemerintahan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, karena mengorbankan waktu, tenaga untuk
mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan adalah
pemerintah harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan
tata pemerintahan. Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan memerintah
atau mengatur pada konsep administrasi lama, dari pada mengarahkan,
menghargai pendapat sebagaimana yang disarankan konsep NPS.

3.2 STANDAR PELAYANAN PUBLIK YANG PARTISIPATIF,


TRANSPARAN DAN AKUNTABEL
Keberhasilan dalam penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan
publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan
realitas. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut; yaitu :
(1) Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan,
personil, dan komunikasi.
(2) Reability; adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang
dijanjikan dengan tepat.
(3) Responsiveness; kemauan untuk membantu para provider untuk
bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.

10
(4) Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang
baik oleh aparatur dalam memberikan layanan.
(5) Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.
(6) Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan
masyarakat.
(7) Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya
dan resiko.
(8) Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.
(9) Communication; kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara,
keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.
(10) Understanding the customer; melakukan segala usaha untuk mengetahui
kebutuhan pelanggan .
Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen
penyediaan standarisasi pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik
yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Organisasi yang memiliki
inovasi di dalam sebuah era yang tidak pernah berhenti melakukan perubahan,
mewujudkan bahwa perangkat dan teknik yang mereka kerjakan bermakna dalam
memiliki batas akhir. Kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial .
Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak,
keterbukaan dan akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor
25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, memerlukan pernyataan kedua pihak
baik lembaga pemerintahan maupun warga negara. Artinya untuk dapat
melaksanakan stándar pelayanan publik tersebut, para provider and user, harus
membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem (citizen charter),
yang berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari
jadwal, lamanya pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban
provider and user, sanksi –sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan
metode keluhan yang disampaikan user kepada provider.

11
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
1. Pelayanan publik senantiasa harus dievaluasi, disesuaikan dan diadakan
perubahan sesuai dengan dinamika sosial dan politik masyarakat yang menjadi
pengguna pelayanan tersebut. Pelayanan publik terutama harus mementingkan
kebutuhan penggunanya, karenanya, pelayanan yang berpusat pada pengguna
dianggap paling ideal.
2. Bertolak dari paradigma pelayanan berpusat pada pengguna bahkan lebih luas,
masyarakat, maka lahirlah paradigma pelayanan publik New Public
Service (Pelayanan Publik Baru) yang memosisikan warga
masyarakat (citizen) sebagai pusat pelayanannya; menggantikan paradigma
sebelumnya, New Public Management (Manajemen Publik Baru) yang
menempatkan penggunanya sebagai customer (pelanggan); dan Old Public
Management (Pelayanan Publik Lama) yang menganggap pelanggan sebagai
klien (client).
3. Citizen Charter hingga saat ini dianggap model paling ideal untuk
menyelenggarakan pelayanan publik karena menempatkan citizen (warga)
sebagai pusat pelayanannya secara aktif dan berperan setara dengan penyedia
pelayanan, dengan melakukan perjanjian perikatan atau kontrak pelayanan
bersama-sama dengan masyarakat. Dengan cara ini, masyarakat dapat
melakukan kontrol atas penyelenggaraan pelayanan publik dan memastikan
bahwa pelayanan publik berjalan berdasarkan kesepakatan bersama
masyarakat. Sebaliknya, penyelenggara pelayanan publik akan selalu berhati-
hati dalam melakukan kegiatan pelayanannya kepada masyarakat.

4.2 SARAN
Paradigma the new public service yang dipaparkan diatas, penulis
berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga negara dalam
merumuskan program-program layanan publik yang berpihak pada kebutuhan
warga negara, memiliki hak yang sama, memberi ruang bagi partisipasi publik dan

12
transparansi para penyedia layanan dalam menghadapi warga negara, akuntabilitas
sesuai dengan program, norma dan implementasi yang dijalankan lembaga
birokrasi selama ini.
Paradigma pelayanan publik minimal yang harus diterapakan provider
kepada user adalah akumulasi berbagai program yang berorientasi pada pilihan
sekaligus suara publik sebagai cerminan dari perjuangan yang digalakkan
pemerintah menuju paradigma pelayanan publik yang mau mendengar suara
warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan setiap kebijakan
pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan perijinan dan sejenisnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Crispin Pereira. 2015. http://crispinperreira.blogspot.com/2015/10/paradigma-


barupelayanan-publik.html di akses pada tanggal 05 februari 2019

Dianto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi


Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas


Pelayanan Publik, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai