DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat
dan karunia-Nya dengan disertai do’a dan restu, akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan tugas Keperawatan Anak II ”KEGANASAN PADA SISTEM
SENSORI : RETINOBLASTOMA”. Penyusun mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini serta dari referensi buku-buku sumber dan media internet yang berkaitan
dengan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengkajian ................................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan .............................................................................
C. Intervensi ..................................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................................
B. Saran ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Retinoblastoma adalah salah satu penyakit kanker primer pada mata
yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Penyakit ini tidak hanya
oleh para orang tua. Salah satu sebabnya adalah pengetahuan yang masih
dan 10% anak usia sekolah memiliki masalah penglihatan. Namun seringkali
Karena itu, skrining mata pada anak sangat diperlukan untuk mendeteksi
sebaiknya dilakukan pada saat baru lahir, usia 6 bulan, usia 3-4 tahun, dan
diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila
.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
PEMBAHASAN
A. Pengertian Retinoblastoma
Retinoblastoma, yang muncul dari retina adalah tumor intraocular
kongenital ganas yang paling umum terjadi pada masa kanak-kanak (Wong,
2009).
Retinoblastoma merupakan tumor maligna pada retina yang terjadi
pada awal kehidupan (6 minggu sampai usia prasekolah) (Muscari, 2005).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Retinoblastoma
merupakan tumor ganas yang muncul pada retina dan terjadi pada anak-anak
(usia 6 minggu sampai usia prasekolah).
B. Klasifikasi
Menurut Paduppai (2010), klasifikasi Retinoblastoma Internasional yaitu :
a. Stadium Leukokoria, pada stadium ini pasien tidak merasakan gejala
apapun hanya penglihaan yang menurun sampai visus O.
b. Stadium Glaukomatosa, pada stadium ini massa tumor sudah memenuhi
seluruh isi bola mata, sehingga gejala yang nampak adalah gejala
glaucoma.
c. Stadium Ekstraokuler, pada stadium ini bola mata sudah menonjol
(proptosis), akibat desakan massa tumor yang sudah keluar ke ekstra
okuler.
d. Stadium metastase, stadium ini sangat buruk oleh karena tumor sudah
masuk ke kelenjar limfa pre aurikuler atau sub mandibula.
C. Etiologi
Tumor anak dan bayi ini berasal dari selaput jala yang terletak antara
sclera dan retina dan sangat jarang terjadi. Sel-sel selaput jala terbentuk pada
awal kehamilan, di ujung penonjolan otak yang membentuk saraf mata dan
selaput jala. Adanya penyimpangan di dalam pembelahan sel berdasarkan
mutasi berulang dari gen retinoblastoma (gen RB) membuat tumor mulai
tumbuh (Jong, 2005).
Sekitar 30 % penderita dengan Retinoblastoma adalah bilateral dan
predisposisi keganasan diwariskan secara dominan. Predisposisi genetic juga
terdapat pada kira-kira 20% penderita dengan penyakit unilateral. Temuan
bahwa retinoblastoma terjadi pada penderita dengan “sindrom-13q” (ditandai
oleh lambat tumbuh, retardasi mental dan anomaly fasial) membantu untuk
melokalisasi gena retinoblastoma pada lengan panjang kromosom 13 (Nelson,
2000).
Pada penyakit keturunan, sekitar 40% kasus gen retinoblastomanya
ada didalam sel bakal- benih (sperma) atau sel telur. Dalam hal ini, kedua
mata terkena. Pada bentuk non-keturunan, 60% kasus gennya hanya
ditemukan di dalam sel tumor, jadi penyakitnya sporadic (jarang). Disini
hanya satu mata yang terkena tumor dan bersifat unifokal (hanya ada satu
sarang) (Jong, 2005).
D. Patofisiologi
Retinoblastoma biasanya tumbuh dibagian posterior retina. Tumor ini
terdiri dari sel-sel ganas kecil, bulat yang berlekatan erat dengan sitoplasma
sedikit. Bentuk roset ada. mungkin menggambarkan usaha yang gagal untuk
membentuk sel konus dan batang. Jika timbul dalam lapisan inti interna,
tumor itu tumbuh ke dalam ruang vitreus. Pertumbuhan endofitik ini mudah
dilihat dengan oftalmoskop. Tumor eksofitik (yang timbul dalam lapisan inti
eksterna dan tumbuh kedalam ruang sub-retina, dengan ablasi retina)
tersembunyi dan didiagnosis lebih sukar. Fragmen tumor mungkin lepas dari
tumor endofitik dan mengambang dalam ruang vitreus untuk “menyemai”
bagian–bagian lain retina. Persemaian vitreus berkaitan dengan tumor besar
(biasanya diameter lebih dari 5 disk) dan berprognosis buruk. Perluasan
retinoblastoma kedalam koroid biasanya terjadi pada tumor yang masif dan
mungkin menunjukan peningkatan kemungkinan metastasis hematogen.
Perluasan tumor melalui lamina kribosa dan sepanjang saraf mata dapat
menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat. Invasi koroid dan saraf mata
meningkatkan resiko penyakit metastasis (Nelson, 2000). Sel tumor juga
dapat bermigrasi ke jaringan dan system organ yang jauh letaknya (Kowalak,
2011).
E. Manifestasi Klinis
Menurut James dkk (2006), anak dapat datang (pada usia rata rata 8
bulan jika diturunkan dan 25 bulan bila sporadic) dengan:
a. Refleksi pupil putih (leukokoria) karena tumor pucat yang meninggi
dikutub posterior mata. Kadang tumor tampak bilateral.
b. Stabismus karena penurunan penglihatan.
c. Kadang mata merah yang nyeri.
Sedangkan menurut Muscari (2005), manifestasi klinis retinoblastoma
antara lain:
a. Pupil tampak berwarna putih atau digambarkan sebagai “mata kucing”,
karena kehilangan reflex cahaya.
b. Kadang – kadang timbul strabismus.
Menurut Hull dan Johnston (2008), gejala klinis umumnya timbul sebelum
usia 2 tahun dengan pupil putih, strabismus, mata merah dan nyeri atau
visus buruk.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan uji diagnostik menurut Muscari (2005)
antara lain:
a. Hitung darah lengkap (HDL)
Urinalisis dan kimia darah diprogramkan untuk mengkaji status kesehatan
secara umum.
b. Apusan darah perifer
Diambil untuk menentukan jenis sel dan maturitasnya.
c. Sinar X dada
Diambil pada semua anak sebagai dasar atau untuk diagnosis.
d. Ultrasonografi
Sering digunakan sebagai alat untuk skrining.
e. Teknik Pencitraan ( CT Scan, Ultrasonografi, MRI)
Digunakan untuk mendeteksi massa tumor padat.
f. Biopsi
Sangat kritis dalam mementukan klasifikasi dan tahap kanker.
G. Penatalaksanaan
Terapi baku untuk penyakit unilateral adalah enukleasi, meskipun cara
lain seperti kemoterapi dan iradiasi cahaya eksternal mungkin lebih sesuai
untuk lesi kecil tunggal atau multipel. Jika tumor sedemikian kecilnya
sehingga visus yang bermanfaat bisa diselamatkan, iradiasi mungkin lebih
dipilih (Nelson, 2000).
Untuk penderita dengan penyakit bilateral, usaha harus dilakukan untuk
menyelamatkan penglihatan yang berguna setidak-tidaknya satu mata dengan
menggunakan radioterapi dan/atau kemoterapi. Radiasi mungkin diberikan
secara bilateral dari sebelah luar karena mata yang tampaknya lebih terlihat
mungkin mempunyai respon lebih dramatis dan lebih mungkin terselamatkan.
Sebaliknya, jika satu mata demikian berat terlihat sehingga tidak ada
penglihatan tersisa yang bermanfaat atau jika nyeri glaucoma terlah
berkembang sebagai kompilasi, maka enukleasi terindikasi. Jika enukleasi
dilakukan, usaha harus dilaksanakan untuk mereseksi saraf mata sebanyak
mungkin (10 mm atau lebih). Terapi radiasi memerlukan sedasi harian atau
mungkin anestasi harian (Nelson, 2000).
Kemoterapi tidak menunjukan manfaat yang pasti pada penderita yang
mempunyai tumor dalam bola mata. Jika ada penyakit residual mikroskopik
atau makroskopik di orbita setelah enukleasi, maka kemoterapi dengan
regimen kombinasi (mungkin meliputi siklofosfamid dan doksorubisin) harus
dipertimbangkan bersamaan dengan radioterapi. Penyakit metastasis yang
luas berespon pada kemoterapi, meskipun kesembuhan tidak mungkin.
Kemoterapi harus juga dipertimbangkan pada penderita yang tumornya secara
luas melibatkan koroid, sklera atau korpus siliare (Nelson, 2000).
Harus dilakukan pemantauan teratur pada anak yang menderita
retinoblastoma dan keturunan berikutnya. Konseling genetik harus
ditawarkan dan anak dengan orang tua yang pernah mengalami
retinoblastoma harus diawasi sejak bayi (James dkk, 2006).
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian data dasar pada pengelihatan menurut Engel (2009)
a. Konjungtiva
1) Periksa warna konjungtiva
2) Periksa warna sclera
b. Pupil dan iris
1) Periksa warna, bentuk, dan ukuran iris dan apakah ada peradangan
2) Periksa ukuran, kesamaan dan respon pupil terhadap cahaya
c. Pengkajian Gerakan Ekstraokuler
1) Uji reflek cahaya kornea
Kaji adanya strabismus dengan menyorotkan cahaya secara langsung
ke mata dari jarak ± 40.5cm. Amati tempat refleksi pada masing-masing
pupil.
2) Cover Test
Minta anak untuk melihat ke hidung anda, kemudian tutup salah satu
mata anak. Amatai apakah mata yang tidak ditutup bergerak. Periksa juga
adanya gerakan pada mata yang ditutup
d. Pengkajian Lapang Pandang
Minta anak untuk mengikuti jari atau objek yang bercahaya melalui 6
lapang pandang utama.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (Wilkinson & Ahern,
2012),
2. Resiko cedera berhubungan dengan gangguan persepsi sensori
(penglihatan) (Wilkinson & Ahern, 2012),
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam
penampilan (enukleasi) (Wilkinson & Ahern, 2012),
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan penglihatan
(Wilkinson & Ahern, 2012),
4. Nyeri akut berhubungan dengan tindakan medis, kemoterapi
(Wilkinson & Ahern, 2012).
C. Intervensi
a. Ansietas pada anak dan keluarga berhubungan dengan krisis situasional
(Wilkinson & Ahern, 2012).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan : ansietas anak dan keluarga berkurang serta menunjukkan
pengendalian diri terhadap ansietas.
Kriteria Hasil:
1) Ansientas hanya ringan sampai sedang,
2) Mempertahankan performa peran.
Intervensi:
1) Bantu orang tua untuk tidak memperlihatkan kecemasan mereka
dihadapan anak-anak.
2) Minta orangtua untuk membawa benda-benda dari rumah.
3) Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak
dirumah sakit dan libatkan anak dalam permainan.
4) Dorong anak untuk mengungkapkan perasaan mereka.
5) Berikan orang tua informasi mengenai penyakit anak dan perubahan
perilaku yang diperkirakan terjadi pada anak mereka (untuk
mengurangi kecemasan orangtua).
Intervensi:
1) Naikkkan pagar tempat tidur bila anak tidak didampingi.
2) Indentifikasi factor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan.
3) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan risiko jatuh.
4) Ajarkan orangtua pentingnya keamanan saat bermain.
Intervensi:
1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan.
2) Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu.
3) Berikan penguatan positif selama aktifitas.
4) Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki anti slip yang mendukung
untuk berjalan.
5) Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
Intervensi:
1) Sedapat mungkin, gunakan prosedur yang tidak invasif.
2) Implementasikan teknik pereda nyeri nonfarmakologik yang tepat.
3) Berikan analgetik sesuai resep.
4) Berikan obat-obatan menurut jadwal pemberian preventif.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Hull, David & Derek I. Johnston. 2009. Dasar-Dasar Pediatrik. Jakarta: EGC
James, dkk. 2006. Lecture Notes Oftalmologi Edisi 9.Alih bahasa dr. Asri D,
Rachmawati. Jakarta: Penerbit Erlangga
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
Suparman, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:
EGC