Anda di halaman 1dari 26

Cedera Pelvis

Louis Solomon

Fraktur pelvis menyusun kurang dai 5 persen dari seluruh cedera pada tulang,
namun keadaan ini sangat penting karena tingginya insidensi cedera jaringan
lunak yang terkait dan risiko kehilangan darah yang berat, syok, sepsis, dan
sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS). Seperti cedera serius lainnya,
keadaan ini membutuhkan pendekatan gabungan oleh para ahli di berbagai
bidang.
Sekitar dua pertiga dari semua fraktur pelvis terjadi pada kecelakaan lalu
lintas yang melibatkan penduduk pejalan kaki; sekitar 10 persen dari pasien ini
akan mengalami cedera viseral yang terkait, dan pada kelompok ini angka
mortalitas kemungkinan melebihi 10 persen.

Anatomi pembedahan
Cincin pelvis terbentuk oleh dua tulang innominata dan sakrum, yang
berartikulasio di depan pada simfisis pubis (anterior atau jembatan pubis) dan di
posterior pada sendi sakroiliaka (posterior atau jembatan sakroiliaka). Struktur
yang menyerupai baskom ini menyalurkan berat dari badan ke ekstremitas bawah
dan memberikan perlindungan terhadap visera pelvis, pembuluh darah, dan saraf.
Stabilitas cincin pelvis bergantung pada rigiditas bagian tulang dan
integritas ligamentum yang kuat yang menggabungkan tiga segmen ini secara
bersamaan pada simfisis pubis dan sendi sakroiliaka. Ligamentum penambat yang
paling kuat dan paling penting adalah ligamentum sakroiliaka dan iliolumbar;
ligamentum ini dilengkapi oleh ligamnetum sakrotuberosa dan sacrospinosum dan
ligamentum simfisis pubis. Selama cincin tulang ini masih bersifat ntak, penahan
beban tidak akan terganggu.
Cabang utama dari arteri iliaka komunis muncul didalam pelvis antara
setinggi sendi sacroiliakan dan notch skiatika mayor. Dengan vena yang
menyertainya, arteri ini sangat rentan pada fraktur melalui bagian posterior cincin
pelvis. Nervus pada pleksus lumbal dan sakral, demikian pula, berisiko pada
keadaan cedera pelvis posterior.
Buli berada dibelakang simfisis pubis. Trigonum dipertahankan pada
posisinya oleh ligamentum lateralis buli, dan pada laki-laki, oleh prostat. Prostat
terletak diatnara buli dan dinding pelvis. Buli ditahan pada bagian lateral oleh
serabut medial dari levator ani, sementara di anterior melekat secara kuat pada
tulang pubis oleh ligamentum puboprostatika. Pada perempuan, trigonum ini juga
melekat pada serviks dan forniks vaginalis anterior. Uretra dipertahankan baik
oleh otot-otot dasar pelvis maupun ligamentum pubouretra. Sebagai akibatnya
pada perempuan uretra jauh lebih mobile atau mudah bergerak dan kurang rentan
terhadap cedera.

Gambar 28. 1. Ligamentum yang mendukung pelvis (a) tampilan anterior. (b)
tampilan posterior. Beberapa igamen berjalan melintas dan akan menahan
dorongan rotasi yang memisahkan di bagian tengah (ligamentum sakroiliaka
posterior dan iliolumbar dapat dianggap sebagai berkas posterior), sementara yang
berorientasi secara longitudinal cenderung tahan terhadap robekan vertikal.

Pada cedera pelvis berat uretra membranosa rusak ketika prostat terdorong
ke arah belakang sementara uretra masih tetap berada dalam keadaan statis.
Ketika ligamentum puboprostatika robek, prostat dan dasar buli dapat terdislokasi
secara nyata dari uretra membranosa.
Kolon pelvis, dengan mesenteriumnya, merupakan suatu struktur yang
mobile dan oleh karena itu tidak mudah mengalami cedera. Namun, rektum dan
kanalis analis lebih kuat yang melekat ke struktur urogenital dan dasar muskular
pelvis sehingga rentan pada fraktur pelvis.

Instabilitas pelvis
Jika pelvis dapat menahan beban berat badan tanpa perubahan lokasi, maka
pelvis disebut stabil; situasi ini hanya ditemukan jika tulang dan struktur
ligamentum utama bersifat intak.
Dorongan anterior yang diberikan pada kedua paruh pelvis mendorong
pemisahan simfisis pubis. Jika diastasis terjadi karena ruptur kapsular, luasnya
pemisahan ini diperiksa oleh ligamentum sakroiliaka anterior dan sakrospinosa.
Jika pengendalian ini gagal melalui pemberian dorongan yang masih lebih besar,
pelvis akan membuka seperti buku hingga spina iliaka posterior terbatas; karena
ligamentum sakroiliaka posterior dan ligamentum sakrotuberosa yang panjang dan
berorientasi secara vertikal masih tetap intak, pelvis akan tetap menahan robekan
vertika namun bersifat tidak stabil secara rotasi. Namun, jika yang rusak adalah
ligamentum sakroiliaka posterior dan ligamentum sakrotuberosa, maka pelvis
tidak lagi hanya tidak stabil secara rotasi dan secara vertikal, namun juga akan
terdapat translasi posterior dari setengah pelvis yang cedera. Instabilitas vertikal
oleh karena itu tidak disukai karena mengesankan hilang sepenuhnya ligamentum
besar yang mendukung di area posterior.
Harus diingat bahwa beberapa pola fraktur dapat menyebabkan instabilitas
yang menyerupai gangguan ligamentum; misalnya, fraktur pada kedua ramus
pubis dapat menyerupai gangguan simfisieal, dan fraktur ala iliaka yang
bergabung dengan fraktur ramus pubis bersifat tidak stabil terhadap robekan
vertikal.

Penilaian klinis
Fraktur pelvis harus dicurigai pada setiap pasien dengan cedera abdomen
yang serius atau cedera ekstremitas bawah. Kemungkinan akan terdapat riwayat
kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari ketinggian atau crush injury. Seringkali
pasien mengeluhkan nyeri berat dan merasa bahwa mereka telah terjatuh jauh, dan
kemungkinan akan terdapat pembengkakan atau memar pada abdomen bawah,
paha, perineum, skrotum atau vulva. Semua area ini harus diinspeksi secara cepat,
untuk memperhatikan bukti akan ekstravasasi urin. Namun, prioritas pertama
adalah menilai kondisi umum pasien dan melihat tanda-tanda perdarahan.
Kemungkinan perlu memulai resusitasi sebelum pemeriksaan selesai.
Abdomen harus dipalpasi secara seksama. Tanda-tanda iritasi mengesankan
kemungkinan perdarahan intraabdomen. Cincin pelvis dapat dikompresi secara
lembut dari sisi ke sisi dan dari belakang ke depan. Nyeri tekan pada regio
sakroiliaka sangat penting dan dapat berarti adanya gangguan pada jembatan
posterior.
Pemeriksaan rektal kemudian dilakukan pada setiap kasus. Coxae dan
sakrum dapat dirasakan dan diperiksa nyeri tekannya. Jika prostat dapat dirasakan,
yang seringkali sulit karena nyeri dan pembengkakan, posisinya harus dapat
terukur; prostat yang tinggi secara abnormal mengesankan cedera uretra.
Tanyakan kapan pasien mengeluarkan urin terakhir kalinya dan periksalah
perdarahan pada meatus eksterna. Ketidakmampuan untuk berkemih dan darah
pada meatus uretra eksternal merupakan gambaran klasik ruptur uretra. Namun,
tidak adanya darah pada meatus tidak menyingkirkan cedera pada uretra; karena
sfingter eksterna dapat berada dalam keadaan spasme, yang menghalangi
lewatnya darah dari tempat cedera. Oleh karena itu setiap pasien yang mengalami
fraktur pelvis harus diperhitungkan sebagai berisiko.
Pasien dapat diminta untuk berkemih; jika mereka mampu untuk melakukan
hal seperti itu, apakah uretra intak atau hanya terdapat kerusakan kecil yang tidak
akan diperburuk oleh lewatnya urin. Tidak ada upaya yang boleh dilakukan untuk
melewatkan kateter, karena hal ini dapat mengubah robekan uretra dari parsial
menjadi komplit. Jika dicurigai adanya cedera uretra, hal ini akan didiagnosis
dengan lebih akurat dan lebih aman dengan uretrografi retrograde.
Buli yang ruptur harus dicurigai pada pasien-pasien yang tidak berkemih
atau yang bulinya tidak terpalpasi setelah penggantian cairan yang adekuat.
Palpasi ini seringkali sulit dilakukan karena hematoma dinding abdomen. Temuan
fisik awalnya bersifat minimal, dengan suara usus yang normal, ekstravasasi urin
steril menyebaban sedikit iratasi peritoneal. Hanya sebagian kecil pasien dengan
ruptur buli yang bersifat hipotensi, sehingga jika pasien berada dalam keadaan
hipotensi, penyebab lainnya harus dicari.

28.2. Fraktur pelvis. Pria muda ini tabrakan saat sedang mengendarai sepeda
motornya dan dibawa ke Departemen Kecelakaan dan Kegawatdaruratan dengan
fraktur femur. Perineum dan skotumnya membengkak dan memar, ia tidak mampu
mengeluarkan urin dan bercakan darah tampak ada meatus eksternal. X-ray
mengonfirmasi bahwa ia mengalami fraktur pelvis.

28.3. Fraktur pelvis – diagnosis x-ray (1) (a,b). Tampilan anteroposterior


biasanya diambil selama penilaian awal pasien yang mengalami cedera multipel
sebagai bagian dari “trauma series”. Ini berguna untuk mendiagnosis gangguan
nyata atau fraktur dengan cepat. X-ray harus dibaca secara sistematis: apakah
gambarnya terpusat dengan baik? Lihat asimetrisitas pada simfisis pubis, ramus
pubis, crista iliaka, sendi sacroiliak, dan foramen sakral. Jika kondisi pasien
memungkinkan, setidaknya dua tampilan tambahan harus diambil: (c, d), tampilan
inlet dengan tabung yang miring ke arah atas 40o

28.4. Fraktur pelvis. Diagnosis x-ray (2) Tampilan oblik membantu untuk
menetapkan ilium dan asetabulum pada masing-masing sisi (a,b). Tampilan oblik
kanan; dan (c, d), tampilan oblik kiri. Pemeriksaan ini dapat dihilangkan jika
fasilitas untuk CT tersedia.

Pemeriksaan neurologi adalah hal yang penting; kemungkinan akan terdapat


kerusakan pada pleksus lumbalis atau sakralis.
Jika pasien tidak sadar, pemeriksaan yang sama juga dilakukan. Namun,
pemeriksaan x-ray adalah hal yang penting dalam kasus-kasus ini.

Pencitraan Pelvis
Selama survei awal terhadap setiap pasien yang cedera berat, x-ray
anteroposterior polos terhadap pelvis harus diambil pada waktu yang sama seperti
x-ray thoraks. Pada sebagian besar kasus film ini akan memberikan informasi
yang memadai untuk membuat diagnosis awal berupa fraktur pelvis. Sifat cedera
yang pasti dapat diklarifikasi oleh lebih radiografi yang lebih rinci ketika telah
pasti bahwa pasien dapat menoleransi periode pemosisian dan reposisi pada meja
x-ray yang memanjang.
28.5. Fraktur pelvis dan cedera buli.
(a) Urogram intravena menggambarkan buli dan menunjukkan tampilan
globular yang khas karena kompresi oleh darah dan urin yang
tereksavasasi. Juga terdapat dilatasi gaster yang mengesankan
perdarahan retroperitoneal. (b) Sistogram menunjukkan ekstravasasi
bahan opak. Pasien ini mengalami ruptur buli.

Lima tampilan dibutuhkan: tampilan anteroposterior, inlet (tabung diarahkan


ke arah cephal ke pelvis dan dimiringkan kebawah 30 o), tampilan outlet (tabung
diarahkan ke arah kaudal ke pelvis dan dimiringkan keatas 40o), dan tampilan
oblik kanan dan kiri.
Jika dicurigai adanya cedera yang serius, CT scan pada ketinggian yang
sesuai sangat membantu (sebagian akan mengatakan bahwa ini sangat penting).
Hal ini terutama berlaku untuk gangguan cincin pelvis posterior dan untuk fraktur
asetabulum kompleks, yang tidak dapat dievaluasi dengan tepat pada x-ray polos.
Re-formasi CT tiga dimensi terhadap gambar pelvis memberikan gambaran
cedera yang paling akurat; namun, dengan praktik hampir sebagian besar
informasi dapat dikumpulkan dari kelompok foto polos yang baik dan gambar CT
standar.

Pencitraan traktus urinarius


Jika terdapat bukti adanya cedera abdomen, dan pasien dalam keadaan
hematuria, urogram intravena dilakukan untuk menyingkirkan cedera ginjal.
Pemeriksaan ini juga menunjukkan apakah terdapat kerusakan pada ureter atau
buli yang besar. Dalam kasus ruptur uretra, dasar buli akan meninggi (prostat
dislokasi) atau kemungkinan akan ada deformitas teardrop buli akibat kompresi
oleh darah dan urin yang tereksavasasi (prostat in situ).
Ketika cedera uretra dianggap adalah hal yang kemungkinan terjadi,
uretrogram harus dilakukan dengan menggunakan 25 – 30 ml agen kontrast yang
larut air dengan teknik aseptik yang sesuai. Film harus diambil selama injeksi
agen kontrast untuk memastikan bahwa uretra terdistensi penuh. Teknik ini akan
mengonfirmasi robekan uretra dan akan menunjukkan apakah robekan ini komplit
atau inkomplit.
Pada seorang pasien dengan kemungkinan ruptur buli (selama tidak terdapat
bukti cedera uretra), sistogram harus dilakukan).

Jenis cedera
Cedera pada pelvis dibagi menjadi empat kelompok: (1) fraktus yang
terisolasi dengan cincin pelvis yang intak; (2) fraktur dengan cincin yang rusak –
ini bisa bersifat stabil atau tidak stabil; (3) fraktur asetabulum – meskipun ini
merupakan fraktur pada cincin, keterlibatan sendi memunculkan masalah khusus
dan oleh karena itu dipertimbangkan secara terpisah; dan (4) fraktur
sakrokoksigeal.

Fraktur yang terisolasi


Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik keluar oleh kontraksi otot yang keras; hal ini
biasanya terlihat pada olahragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik spina iliaka
superior anterior keluar, rektus femoris menarik spina iliaka inferior anterior,
adductor longus bagian pubis, dan otot harmstring menarik bagian dari ischium.
Semua ini pada dasarnya merupakan cedera otot, yang hanya membutuhkan
istirahat selama beberapa hari dan penenangan.
Nyeri dapat membutuhkan waktu selama beberapa bulan untuk dapat hilang,
dan karena seringkali tidak terdapat riwayat cedera tabrakan, biopsi kalus dapat
menyebabkan diagnosis tumor secara berlebihan. Avulsi apofisis ischium oleh otot
harmstring jarang menyebabkan gejala yang persisten, yang mana reduksi terbuka
dan fiksasi interna diindikasikan (Woottton, Cross dan Holt, 1990).

Fraktur Langsung
Pukulan langsung terhadap pelvis, biasanya setelah jatuh dari ketinggian,
dapat menyebabkan fraktur pada ischium atau crista iliaka. Bed rest hingga nyeri
berkurang biasanya adalah satu-satunya hal yang dibutuhkan.
Fraktur tekanan
Fraktur ramus pedis cukup sering ditemukan (dan seringkali cukup tidak
terasa nyeri) pada pasien osteoporosis atau osteomalasia berat. Yang lebih sulit
untuk didiagnosis adalah fraktur stres disekitar sendi sakroiliaka; ini merupakan
penyebab nyeri “sakroiliaka” yang jarang ditemukan pada individu osteoporosis
usia lanjut dan pelari jarak jauh. Fraktur stres yang tidak jelas paling baik
diperiksa dengan scan radioisotop.

28.6. Cedera yang terisolasi (a,b). Fraktur avulsi. Kontraksi otot dengan
kekuatan yang tidak biasa dapat menarik sebagian tulang dari pelekatannya. Dua
contohnya disajikan disini: (a) avulsi perlekatan sartorius; (b) avulsi origo rektus
femoris. (c,d) fraktur krista iliaka. Memar mengesankan tempat cedera. Fraktur
tampak mengkhawatirkan dan sangat sakit namun, jika sisa tulang pelvis lainnya
intak, maka keadaan ini tidak memberikan ancaman bagi pasien.

Fraktur cincin pelvis


Telah diperdebatkan dengan kuat bahwa, karena rigiditas pelvis, kerusakan
pada satu tempat pada cincin ini pasti akan disertai oleh gangguan pada tempat
kedua; kecuali fraktur yang disebabkan oleh pukulan langsung (termasuk fraktur
lantai asetabulum), atau fraktur cincin pada anak-anak, yang sendi simfisis dan
sakroiliakanya masih elastis. Namun, seringkali kerusakan kedua tidak terlihat –
apakah itu karena berkurang segera atau karena sendi sakroiliaka hanya terganggu
sebagian.

Mekanisme cedera
Mekanisme dasar cedera cincin pelvis adalah kompresi anteroposterior,
kompresi lateral, robekan vertikal dan kombinasi keadaan-keadaan ini.

Kompresi anteroposterior. Cedera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan dari


depan antara pejalan kaki dan mobil. Ramus pubis mengalami fraktur atau tulang
innominata terlepas dan terotasi eksterna, dengan gangguan pada simfisis – yang
disebut cedera “open book”. Ligamentum sakroiliaka anterior menegang dan
dapat robek, atau kemungkinan mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior
ilium.

Kompresi lateral. Kompresi antara sisi pelvis dapat menyebabkan cincin


melengkung dan retak. Hal ini biasanya disebabkan oleh dampak pada sisi yang
terkena pada kecelakaan jalan atau jatuh dari ketinggian. Pada bagian anterior
ramus pubis pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur, dan pada bagian
posterior terdapat tegangan sakroiliaka yang berat atau fraktur sakrum atau ilium,
apakah ada sisi yang sama dengan ramus pubis yang mengalami fraktur atau pada
sisi pelvis yang berhadapan. Jika cedera sakroiliaka jauh mengubah letak tulang,
maka pelvis berada pada keadaan tidak stabil.

Robekan vertikal. Tulang innominata pada satu sisi tergeser ke arah vertikel, yang
mematahkan ramus pubis dan mengganggu regio sakroiliaka pada sisi yang sama.
Hal ini terjadi biasanya ketika seseorang jatuh dari ketinggian dengan satu kaki.
Ini biasanya merupakan cedera yang beat, tidak stabil dengan robekan yang jelas
pada jaringan lunak dan perdarahan retroperitoneal.

Cedera kombinasi. Pada cedera pelvis berat kemungkinan terdapat kombinasi


cedera yang telah disebutkan diatas.

28.7. Jenis-jenis fraktur cincin pelvis. Tiga jenis cedera yang penting disajikan.
(a) kompresi anteroposterior dengan rotasi lateral dapat menyebabkan cedera
“open book”, yang penandanya adalah diastasis simfisis pubis. Pelebaran bagian
anterior sendi sakroiliaka paling jelas terlihat pada tampilan inlet. (b) kompesi
laeral menyebabkan cincin melengkung dan pecah; ramus pubis fraktur, yang
kadangkala pada kedua sisi. Pada bagian posterior krista iliaka bisa pecah atau
sakrum hancur. (c) robekan vertikal, dengan gangguan pada baik itu sakroiliaka
maupun regio simfisis pada satu sisi.
Fraktur stabil dan tak stabil
Cedera cincin pelvis yang stabil biasanya didefinisikan sebagai seseorang
yang akan (Secara teori) memungkinkan penahanan bobot berat badan penuh
tanpa risiko deformitas pelvis. Tentu kita sebenarnya tidak dapata melakukan
pemeriksaan pada pasien yang cedera akut. Namun, karena mekanisme yang
menyebabkan cedera ini cukup konsisten, pola dan perubahan letak yang khas
ditetapkan yang memungkinkan untuk melakukan deduksi mengenai mekanisme
cedera, jenis kerusakan ligamentum, dan derajat instabilitas pelvis. Kadangkala
keputusan mengenai stabilitas tidak dapat diambil hingga pasien diperiksa
dibawah anestesi.
Beberapa klasifikasi digunakan. Salah satunya yang disajikan disini
didasarkan pada penelitian oleh Young dan Burgess (1986; 1987).

Cedera kompresi anteroposterior (APC)


Pola “open book” tampak apakah itu sebagai diastasis simfisis pubis atau
fraktur ramus pubis; karena pelvis terlepas terbuka, unsur bagian posterior
(sakroiliaka) juga tertarik. Pola umum ini dikelompokkan lagi menurut keparahan
cedera:
Pada cedera APC I, kemungkinan hanya terdapat sedikit diastasis simfisi
(kurang dari 2 cm); namun, meskipun tidak terlihat pada x-ray, akan selalupasti
terdapat sedikit regangan pada ligamentum sakroiliaka anterior; cincin pelvis
dalam keadaan stabil.
Pada cedera APC-II, diastasis lebih jelas dan ligamentum sakroiliaka
anterior (seringkali juga ligamentum sakrotuberosa dan sakrospinosum)
mengalami kerobekan. CT dapat memperlihatkan pemisahan ringan sendi
sakroiliaka pada satu sisi. Meskipun demikian, cincin pelvis masih dalam keadaan
stabil.
Pada cedera APC-III, ligamentum sakroiliaka anterior dan posterior robek.
CT memperlihatkan pergeseran atau pemisahan sendi sakroiliaka; satu hemipelvis
terputuskan secara efektif dari bagan yang lainnya di anterior dan dari sakrum di
posterior. Cincin pelvis dalam keadaan tidak stabil.

Cedera kompresi lateral (LC)


Penanda cedera ini adalah fraktur melintang pada ramus pubis (atau rami),
yang seringkali paling baik terlihat pada x-ray tampilan inlet. Kemungkinan juga
terdapat fraktur kompresi sakrum. Dalam bentuk yang paling sederhana maka
keadaan ini dapat diklasifikasikan sebagai cedera LC-1. Cincin masih dalam
keadaan stabil.
Cedera LC-II lebih berat; selain fraktur anterior, kemungkinan akan terdapat
fraktur ala iliaka pada sisi yang terkena. Namun, cincin pelvis masih tetap stabil.
Cedera LC-III adalah yang lebih buruk. Saat koban berlari, dorongan
kompresi lateral pada satu ala iliaka menyebabkan dorongan anteroposterior yang
membuka pada ilium yang berada dihadapannya, yang menyebabkan pola cedera
yang khas untuk mekanisme tersebut.

Cedera robekan vertikal (VS)


Hemipelvis berubah letaknya pada arah kranial, dan seringkali ke arah
posterior juga, yang menghasilkan tampilan asimetris yang khas pada pelvis.
Sebagaimana pada cedera APC-III, hemipelvis terputus total dan cincin pelvis
tidak stabil.

Cedera kombinasi
Pola kombinasi memang terjadi, namun, pada bagian utamanya, klasifikasi
diatas mendefinisikan jenis cedera yang paling sering ditemukan. Pola LC-II
dikaitkan dengan cedera abdomen, kepala dan thoraks; semua pola yang tidak
stabil ini membawa risiko perdarahan berat yang tinggi dan mengancam nyawa
(Dalal dkk, 1989).

Gambaran klinis
Cedera dengan cincin yang stabil. Pasien tidak syok berat namun
mengalami nyeri pada saat upaya berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal namun
jarang adanya kerusakan pada visera pelvis. X-ray polos memperlihatkan fraktur.
Cedera dengan cincin yang tidak stabil. Pasien mengalami syok berat,
merasa sangat nyeri dan tidak mampu berjalan. A mungkin tidak bisa
mengeluarkan urin dan mungkin terdapat darah pada meatus eksterna. Nyeri tekan
meluas, dan upaya untuk bergerak pada satu atau kedua sisi ilium sangat nyeri.
Penilaian klinis untuk stabilitas sulit dilakukan. Penilaian klinis stabilitas sulit
dilakukan, sebagian kecil pasien akan memungkinkan penarikan atau
pendorongan untuk memperlihatkan pergerakan vertikal (Olson dan Pollac, 1996).
Satu kaki dapat bersifat anestesi sebagian karena cedera nervus skiatika.
Instabilitas hemodinamika. Fraktur dengan energi tinggi pada pelvis
merupakan cedera yang sangat serius, membawa risiko kerusakan visera terkait
yang besar, perdarahan intraabdomen dan retroperitoneal, syok, sepsis, dan
ARDS; angka mortalitasnya cukup besar. Pasien harus dinilai berulang dan dinilai
ulang untuk tanda-tanda perdarahan dan hipovolemia. Perlu diingat bahwa
meskipun pelvis dapat menjadi fokus perhatian yang utama, perdarahan juga dapat
terjadi pada area diluar pelvis.

Pencitraan
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan fraktur pada ramus pubis, fraktur
ipsilateral atau kontralateral bagian posterior, pemisahan simfisis, gangguan sendi
sakroiliaka atau kombinasi cedera ini. Film ini seringkali sulit untuk
diinterpretasikan dan CT scan merupakan cara yang jauh lebih baik untuk
memvisualisasikan sifat cedera.

Manajemen
Manajemen awal
Penatalaksanaan tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan rinci.
Adalah hal yang sangat penting untuk tetap menjaga rasa prioritas dan untuk
bekerja berdasarkan informasi yang telah ada sementara berpindah ke lompatan
diagnostik berikutnya. “Manajemen” dalam konteks ini adalah kombinasi
penilaian dan penatalaksanaan, yang mengikuti protokol ACLS.
Enam pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditemukan saat
pertanyaan tersebut muncul.
Apakah terdapat jalan napas yang bebas?
Apakah paru terventilasi secara adekuat?
Apakah pasien kehilangan darah?
Apakah terdapat cedera intra-abdomen?
Apakah tedapat cedera pada buli atau uretra?
Apakah fraktur pelvis dalam keadaan stabil atau tidak stabil?

Pada pasien yang cedera berat, langkah pertama adalah untuk memastikan
bahwa jalan napasnya bebas dan ventilasi tidak terganggu. Resusitasi harus segera
dimulai dan perdarahan aktif dikontrol. Pasien diperiksa dengan cepat untuk
cedera multipel dan jika dibutuhkan, fraktur yang terasa nyeri dipasangkan splint.
X-ray anteroposterior tunggal pelvis diambil.
Pemeriksaan yang lebih seksama kemudian dilakukan, dengan
memperhatikan pelvis, abdomen, perineum dan rektum. Meatus uretra diinspeksi
untuk tanda-tanda perdarahan. Ekstremitas bawah diperiksa untuk tanda-tanda
kerusakan saraf.
Jika kondisi umum pasien stabil, x-ray lebih lanjut dapat dilakukan. Jika
robekan uretra dicurigai, uretrogram dapat dilakukan dengan hati-hati.Temuan
hingga stadium tersebut dapat memerintahkan akan adanya kebutuhan urogram
intravena.
Saat ini dokter yang memeriksa akan memiliki gagasan yang baik mengenai
kondisi umum pasien, luas cedera pelvis, ada atau tidak adanya cedera viseral dan
kemungkinan perdarahan intraabdomen atau retroperitoneal yang terus
berlangsung. Idealnya, satu tim ahli akan menangani untuk mengatasi masing-
masing masalah atau melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Manajemen perdarahan berat


Perdarahan berat merupakan penyebab kematian utama setelah fraktur
pelvis energi tinggi. Penatalaksanaan umum syok dijelaskan pada Bab 22. Jika
terdapat ketidakstabilan pelvis, perdarahan akan berkurang dengan memberikan
fiksator eksternal dengan cepat.
Jika terdapat kekurangan ahli atau peralatan yang dibutuhkan, cedera APC
tak stabil awalnya dapat dikelola dengan menggunakan pengikat pelvis untuk
mencapai kompresi sisi-ke sisi; alasannya adalah untuk mencoba dan menutup
“open book” dan mengurangi volume pelvis internal.
Diagnosis perdarahan persisten seringkali sulit untuk dilakukan, dan
meskipun ketika tampaknya jelas bahwa syok yang terus berlangsung disebabkan
oleh perdarahan, tidak mudah untuk menentukan sumber perdarahan. Pasien
dengan tanda-tanda abdomen yang mencurigakan harus diperiksa lebih lanjut
dengan aspirasi atau bilas peritoneum. Jika terdapat keluaran diagnostik yang
positif, abdomen harus dieksplorasi dalam upaya untuk menemukan dan
mengatasi sumber perdarahan. Namun, jika terdapat hematoma retroperitoneal
yang besar, maka hematoma ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat
melepaskan efek tamponade dan menyebabkan perdarahan yang tidak terkontrol.
Jika tidak terdapat bukti perdarahan intraabdomen dan laparotomi tidak
dimaksudkan untuk dilakukan, namun pasien menunjukkan tanda-tanda
perdarahan yang terus berlangsung, maka angiografi harus dilakukan dengan
tampilan untuk melakukan embolisasi. Jika perdarahan terus terjadi setelah
embolisasi, angiografi daat kembali dilakukan untuk melihat tempat perdarahan
lainnya. Namun, angiografi tidak akan memperlihatkan sumber perdarahan vena
manapun dan tindakan yang berulang akan menghabiskan waktu.
Pendekatan alternatif adalah pemasangan bidai pelvis untuk memberikan
efek tamponade (Ertel dkk, 2001).
Pengelolaan perdarahan berat pada cedera pelvis dijelaskan dengan baik
pada artikel tinjauan terbaru oleh Hak dkk (2009).

Manajemen Uretra dan Buli


Cedera urologi terjadi pada sekitar 10 persen pasien dengan fraktur cincin
pelvis. Karena pasien ini seringkali mengalami sakit berat akibat cedera lainnya,
kateter urin mungkin dibutuhkan untuk memantau output urin, dan oleh karena itu
ahli urologi berada dibawah tekanan untuk membuat diagnosis cepat kerusakan
uretra.
Tidak terdapat tempat untuk memasukkan kateter diagnostik karena hal ini
kemungkinan besar akan mengubah robekan parsial menjadi robekan komplit.
Untuk robekan yang inkomplit, pemasukan kateter suprapubis merupakan
tindakan formal satu-satunya yang dibutuhkan. Sekitar setengah dari seluruh
robekan inkomplit akan sembuh dan membutuhkan sedikit pengelolaan jangka
panjang.
Penatalaksanaan robekan uretra kateter komplit bersifat kontroversial.
Pelurusan primer uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi suprapubis,
evakuasi hematoma pelvis dan kemudian menyusupkan kateter disepanjang
cedera untuk mengalirkan buli. Jika buli melayang tinggi, maka buli direposisi
dan ditarik kebawah dengan jahitan menyilang yang dilewatkan melalui bagian
anterior bawah kapsula prostatika, melalui perineum pada salah satu sisi uretra
bulbaris dan ditautkan ke paha dengan pita elastik. Pendekatan alternatif dan lebih
sederhana adalah untuk melakukan sistostomi sesegera mungkin, dengan tidak
melakukan upaya untuk mengalirkan pelvis dan mendiseksi uretra, dan untuk
mengatasi striktur yang terjadi 4 – 6 bulan selanjutnya. Metode yang terakhir
disebutkan ini dikontrindikasikan jika terdapat dislokasi prostat yang berat atau
robekan berat pada rektum atau kolumna buli. Dengan kedua metode ini terdapat
insidensi pembentukan striktur lanjut yang signifikan, inkontinensia, dan
impotensi.

Penatalaksanaan Fraktur
Bagi pasien-pasien dengan cedera yang sangat berat, fiksasi eksternal dini
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan dan
mengatasi syok (Poka dan Libby, 1996; Hak dkk, 2009). Jika tidak tedapat
komplikasi yang mengancam nyawa, penatalaksanaan definitifnya adalah sebagai
berikut.

28.8. Fiksasi interna (a) Cedera open book berat dengan disrupsi komplit simfisis
pubis, (b) reduksi dan stabilisasi dengan fikstaor eksternal (c) simfisis ditahan
dengan kuat oleh fiksasi interna dengan plate dan screw.

Fraktur yang terisolasi dan fraktur yang bergeser minimal. Cedera ini
hanya membutuhkan bed rest, yang kemungkinan dikombinasikan dengan traksi
ekstremitas bawah. Dalam waktu 4 – 6 minggu pasien biasanya merasa nyaman
dan kemudian dapat diizinkan berdiri dengan tongkat.

Cedera open book. Mengingat bahwa gap anterior berukuran kurang dari 2
cm dan adalah hal yang pasti bahwa tidak terdapat gangguan pergeseran di
posterior, cedera ini biasanya dapat diobati secara memuaskan dengan bed rest;
sling posterior atau pengikat pelvis membantu “menutup buku”.
Cara yang paling efektif untuk mempertahankan reduksi adalah dengan
fiksasi eksternal degnan penyematan pada kedua krista iliaka yang dihubungkan
dengan palang anterior, “closing the book” juga dapat mengurangi jumlah
perdarahan. Menempatkan pin mempermudah jika dua pin sementara pertama kali
dimasukkan dengan menyusur permukaan medial dan lateral masing-masing
krista iliaka dan kemudian mengarahkan pin pemfiksasi diantaranya. Fiksasi
internal dengan menautkan plat melewati simfisis harus dilakukan: (1) selama
beberapa hari pertama setelah cedera hanya jika pasien membutuhkan laparotomi;
dan (2) di beberapa hari selanjutnya jika celahnya tidak dapat ditutup dengan
metode radikal.
Fraktur krista iliaka dapat seringkali diobati dengan bed rest. Namun, jika
terlihat jelas adanya perubahan letak, atau jika terdapat hubungan antara fraktur
cincin anterior atau pemisahan simfisis, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal
dengan plate dan screw akan perlu dipertimbangkan (misalnya, pada cedera LC-II
displaced yang menyebabkan diskrepansi panjang tungkai sebesar lebih dari 1.5
cm). Adalah hal yang juga memungkinkan untuk mengurangi dan
mempertahankan sebagian fraktur ini dengan fiksasi eksternal.

Cedera APC-III dan VS Ini merupakan cedera yang paling berbahaya dan
yang paling sulit untuk diobati. Adalah hal yang memungkinkan untuk
mengurangi sebagian atau seluruh perubahan tempat vertikal dengan traksi
skeletal yang dikombinasikan dengan fiksator eksternal; meskipun demikian,
pasien masih perlu tetap bed rest selama setidaknya 10 minggu. Berbaring dalam
waktu yang lama ini bukannya tanpa risiko. Semua cedera ini memperlihatkan
hilangnya dukungan baik anterior maupun posterior, yang kedua area ini perlu
distabilkan. Digunakan dua teknik ini: (a) fiksasi eksternal anterior dan stabilisasi
posterior dengan menggunakan screw pada sendi sakroiliaka, atau (b) pemberian
plate pada anterior dan fiksasi screw iliosakral pada bagian posterior. Operasi
posterior adalah hal yang berbahaya (bahayanya ini mencakup perdarahan masif,
kerusakan neurologis dan infeksi) dan hanya boleh diupayakan oleh ahli bedah
dengan pengalaman yang besar dalam bidang ini.

28.9. Penatalaksanaan fraktur robekan vertikal. (a) X-ray menunjukkan ramus


pubis superior yang mengalami fraktur dan gangguan sendi sakroiliaka kanan. (b)
ini awalnya diobati dengan traksi dan fiksasi eksternal. (c) x-ray menunjukkan
bahwa cincin pelvis kembali. Setelah itu, sendi sakroiliaka distabilkan dengan
plate dan screw.

Tetap melakukan traksi tulang dan fiksasi eksternal kemungkinan lebih


aman, meskipun malposisi cenderung akan meninggalkan warisan nyeri posterior.
Harus ditekankan bahwa lebih dari 60 persen fraktur pelvis tidak membutuhkan
fiksasi.

Fraktur pelvis terbuka. Fraktur terbuka paling baik dikelola dengan fiksasi
eksternal. Kolostomi diversi mungkin dibutuhkan.
Komplikasi
Tromboemboli Perhatian secara seksama harus diberikan terhadap tanda-
tanda trombosis vena dalam atau emboli paru (Montgomery dkk, 1996).
Antikoagulan profilaksis dianjurkan pada beberapa rumah sakit.
Cedera saraf skiatika. Penting untuk memeriksa fungsi nervus ischiatikus
baik sebelum maupun setelah mengobati fraktur pelvis. Jika nervus ini mengalami
cedera, biasanya terlihat sebagai neuropraksia dan kita bisa boleh menunggu
beberapa minggu untuk tanda-tanda pemulihan. Meskipun demikian kadangkala
eksplorasi saraf dibutuhkan.
Masalah urogenital Cedera uretra kadangkala menyebabkan striktur,
inkontinensia, atau impotensi dan mungkin membutuhkan penatalaksanaan lebih
lanjut.
Nyeri sakroiliaka persisten. Fraktur pelvis tak stabil seringkali berkaitan
dengan gangguan sendi sakroiliaka parsial atau komplit, dan hal ini dapat
menyebabkan nyeri yang persisten di bagian belakang pelvis. Kadangkala
artrodesis sendi sakroiliaka dibutuhkan.

Fraktur asetabulum
Fraktur asetabulum terjadi ketika kaput femoris terdorong kedalam pelvis.
Hal ini dapat disebabkan oleh apakah itu pukulan atau hentakan pada satu sisi
(seperti pada jatuh dari ketinggian) atau oleh hantaman pada bagian depan lutut,
biasanya pada cedera dashboard ketika femur juga mungkin mengalami fraktur.
Fraktur asetabulum bergabung dengan kompleksitas fraktur pelvis
(perhatikan frekuensi cedera jaringna lunak yang terkait) dengan disrupsi sendi
(yaitu kerusakan kartilago artikularis, beban yang nonkongruen dan osteoartritis
sekunder).

Pola fraktur
Beberapa klasifikasi fraktur asetabulum saat ini telah popule (Letournel,
1981; Muller dkk, 1991; Tile, 1995). Semuanya menggunakan deskripsi anatomis
yang serupa, namun klasifikasi universal dari Tile sangat direkomendasikan untuk
penyederhanaannya.
Fraktur dibagi menjadi empat tipe utama; meskipun dibedakan berdasarkan
basis anatomisnya, penting untuk menyadari bahwa keadaan ini juga berbeda
dalam kemudahan reduksinya, stabilitasnya setelah reduksi dan prognosis jangka
panjangnya.
Fraktur dinding asetabulum. Fraktur bagian anterior atau posterior tepi
asetabulum mempengaruhi kedalaman socket dan mungkin menyebabkan
instabilitas panggul kecuali direduksi dan difiksasi dengan tepat.

Fraktur Kolum
Kolum anterior dimulai dari simfisis pubis, berjalan disepanjang ramus
pubis superior, melewati asetabulum ke bagian anterior ilium. Pada x-ray keadaan
ini diperlihatkan dalam profilnya oleh garis ileopectineal pada tampilan oblik.
Fraktur kolum anterior jarang ditemukan, tidak melibatkan area penahanan beban
dan memiliki prognosis yang baik.
Kolum posterior dimulai dari ischium, melewati aspek posterior socket
asetabular ke notch skiatika dan bagian posterior tulang innominata. Pada x-ray
oblik iliak keadaan ini terlihat dalam profil sebagai garis ilioischial.

28.10 Fraktur asetabulum. (a) fraktur terjadi melalui dinding (tepi) kolumn atau
bagian yang mendukung kolumn (b) yang paling penting adalah atapnya (kubah
superior – yang membawa proporsi beban yang tinggi dalam berjalan).

28.11. Klasifikasi fraktur asetabulum. Terdapat empat jenis cedera: (a,b) fraktur
sederhana yang melibatkan apakah itu dinding anterior atau posterior atau
kolumn; (c) fraktur jenis transversu atau (d) jenis-T yang melibatkan dua kolum;
(e) fraktur kedua kolum, menyebabkan asetabulum yang “melayang” dengan tidak
adanya bagian socket yang melekat ke ileum (bandingkan ini dengan fraktur
transversum atau jenis -T).
Fraktur kolumn posterior biasanya berjalan ke arah atas dari foramen
obturator ke notch sciatika, yang memisahkan kolumna ischiopubis posterior
tulang dan pemecahan bagian penahan beban asetabulum. Keadaan ini biasanya
berkaitan dengan dislokasi panggul posterior dan dapat mengganggu nervus
sciatikus Penatalaksanaannya lebih mendesak dan biasanya melibatkan fiksasi
internal untuk mendapatkan sendi yang stabil.

Fraktur Transversum
Fraktur ini berjalan melintasi asetabulum, melibatkan baik kolumna anterior
maupun posterior, dan memisahkan bagian iliaka diatas dari pubis dan bagian
ischium dibawah. Robekan vertikal ke foramen obturator mungkin ditemukan
secara bersamaan, yang menyebabkan fraktur-T. Perhatikan bahwa baik pada
fraktur transversum maupun fraktur tipe-T, bagian asetabulum masih tetap
melekat ke ilium. Fraktur ini biasanya sulit untuk direduksi dan untuk tetap
dipertahankan tereduksi.

Fraktur Kompleks
Banyak fraktur asetabulum yang merupakan cedera kompleks dengan
apakah itu kerusakan kolum anterior atau posterior (atau keduanya) serta atap atau
dinding asetabulum. Yang perlu diperhatikan, dan kadangkala merupakan
penyebab kebingungan, adalah ‘fraktur kedua kolumn’ – ini benar-benar
merupakan varian fraktur-T yang mana kedua kolumn terlibat namun bukan
bagian melintang dari T yang berada tepat diatas asetabulum; singkatnya, tidak
ada bagian asetabulum yang masih terhubungkan dengan sisa pelvis. Dapat
dipahami bahwa kebingungan muncul ketika istilah ‘kedua kolumn’ digunakan
untuk mengacu pada fraktur transversum – kemungkinan istilah ‘T tinggi’ akan
lebih baik.

28.12. Pencitraan pelvis untuk fraktur asetabulum Meskipun CT scan telah


menjadi standar dalam menilai fraktur asetabulum, x-ray polos juga dapat
diandalkan. Tampilan oblik obturator (a), anteroposterior standar (b), dan oblik
iliaka (c) akan memungkinkan mata yang terlatih untuk menangkap struktur yang
terlibat dalam cedera. Garis iliopektineal menggambarkan profil kolumna anterior
sementara garis ilioischial menggambakan kolomna posterior. Tepi anterior dan
posterior dinding biasanya terlihat pada ketiga tampilan ini.

Pola fraktur yang kompleks memiliki gambaran berikut: (1) cedera berat;
(2) permukaan sendi terganggu; (3) biasanya membutuhkan reduksi dan fiksasi
internal operatif; dan (4) hasil akhirnya kemungkinan kurang sempurna, kecuali
jika restorasi secara pembedahan telah dipastikan.

Gambaran klinis
Biasanya terdapat cedera berat; apakah itu kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian. Fraktur yang terkait tidak jarang terjadi, dan karena hal ini
tampak lebih jelas, maka besar kemungkinan akan terjadi pengalihan perhatian
dari cedera pelvis yang lebih mendesak. Kapanpun suatu fraktur femur, cedera
lutut berat atau fraktur kalkaneus didiagnosis, panggul juga harus diperiksa
dengan x-ray.
Pasien bisa dalam keadaan syok berat, dan komplikasi yang berkaitan
dengan seluruh fraktur pelvis harus disingkirkan. Pemeriksaan rektal adalah hal
yang penting. Kemungkinan akan terdapat memar disekitar panggul dan
ekstremitas dapat berada dalam posisi rotasi internal (jika panggul terdislokasi).
Tidak boleh dilakukan apapun untuk meggerakkan panggul.
Pemeriksaan neurologi yang seksama adalah hal yang penting, pemeriksaan
fungsi nervus skiatika, femoral, obturator dan pudendal.

Pencitraan
Setidaknya empat tampilan x-ray harus diambil pada setiap kasus: suatu
tampilan anteroposterior standar, tampilan inlet pelvis, dan dua tampilan oblik 45
derajat. Setiap tampilan memperlihatkan profil asetabulum yang berbeda; dalam
praktiknya berbagai penanda (garis iliopectineal, garis ilioischial dan batas-batas
dinding anterior dan posterior) dapat ditemukan, sehingga memberikan gambaran
mental yang cukup baik akan jenis fraktur, derajat cedera dan jumlah pergeseran
letak. CT scan dan reformasi tiga dimensi dapat menambahkan perbaikan, dan
sangat membantu jika direncanakan akan melakukan rekonstruksi pembedahan.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan
Prioritas pertama adalah mengatasi syok dan mengurangi dislokasi. Traksi
tulang kemudian dilakukan pada femur distal (10 kg mencukupi) dan selama 3-4
hari selanjutnya kondisi umum pasien dibawa dibawah kendali. Kadangkala,
traksi lateral tambahan melalui trochanter mayor dibutuhkan untuk dislokasi
panggul sentral. Penatalaksanaan definitif fraktur ditunda hingga pasien berada
dalam keadaan bugar dan fasilitas operasi optimal.

Penatalaksanaan non-operatif
Pada beberapa tahun terakhir pendapat telah berpindah pada tindakan
operatif untuk fraktur asetabulum dengan pergeseran. Namun, penatalaksanaan
konservatif masih lebih dianjurkan pada situasi tertentu yang telah ditetapkan
dengan baik: (1) fraktur asetabulum dengan pergeseran minimal (pada zona
penahan berat badan, yang kurang dari 3 mm); (2) fraktur dengan pergeseran yang
tidak melibatkan segmen penahan berat badan superomedial (atap) dari
asetabulum – biasanya fraktur kolum anterior distal dan transversum distal; (3)
baik fraktur kolum yang menahan kongruensi ball dan socket panggul
berdasarkan gais fraktur yang berada pada bidang koronal maupun pergeseran
yang terbatas oleh labrum yang intak; (4) fraktur pada usia lanjut, ketika reduksi
tertutup adalah hal yang memungkinkan; (5) pasien dengan kontraindikasi medis
untuk tindakan operasi (termasuk sepsis lokal). Kominutif itu sendiri bukan
merupakan kontraindikasi untuk tindakan operatif, mengingat fasilitas dan
keahlian yang adekuat telah tersedia.
Matta dan Merrit (1988) telah menyebutkan kriteria yang harus dipenuhi
agar penatalaksanaan konservatif bisa berhasil: (1) ketika traksi dilepaskan,
panggul harus tetap dipertahankan kongruen; (2) bagian penahan beban dari atap
asetabulum harus intak; dan (3) fraktur yang terkait pada dinding posterior harus
dieksklusikan dengan CT. Penatalaksanaan nonoperatif lebih cocok bagi pasien
yang berusia diatas 50 tahun dibandingkan pada remaja dan anak muda.

28.13. Asetabulum yang mengalami fraktur – terapi konservatif. Fraktu


asetabulum yang bergeser berat ini (a) hampir benar-benar tergeser dengan (traksi
longitudinal dan lateral. (c) fraktur yang disembuhkan dan pasien kembali
mendapatkan kekongruenan sendi dengan jangkauan pergerakan yang cukup baik.
(d) x-ray dua tahun kemudian.

Jika terdapat kontraindikasi untuk tindakan operasi, reduksi tertutup


dibawah anestesi umum dicoba dilakukan. Pada semua pasien yang diobati secara
konservatif, traksi longitudinal, jika perlu ditambahkan dengan traksi lateral,
dipertahankan selama 6 – 8 minggu; hal ini akan menguangi beban kartilago
artikulais dan akan membantu mencegah pergeseran fraktur lebih lanjut. Selama
periode ini, pergerakan dan latihan pada panggul didorong untuk dilakukan.
Pasien kemudian diizinkan untuk berdiri, dengan menggunakan tongkat dengan
penahan beban yang minimal selama 6 minggu selanjutnya.

Tindakan operatif
Tindakan operatif diindikasikan untuk semua panggul yang tidak stabil dan
fraktur yang menyebabkan distorsi kongruensi ball and socket yang signifikan.
Panggul dapat terdislokasi ke arah sentral, anterior dan posterior. Pasien dengan
fraktur dinding posterior yang terisolasi dapat membutuhkan reduksi terbuka dan
stabilisasi segera. Dalam kasus lainnya operasi biasanya ditunda selama 4 atau 5
hari.
Matta dan Merritt (1988) telah menekankan hal yang penting bahwa reduksi
terbuka merupakan suatu operasi terhadap pelvis dan tidak semata-mata pada
socket asetabular. Paparan yang adekuat adalah hal yang penting, jika
memungkinkan melalui pendekatan tunggal yang dipilih menurut jenis fraktu.
Paparan Kocher-Langenbach posteror memungkinkan akses yang baik ke dinding
posterior dan kolumn namun mungkin harus dikombinasikan dengan osteotomi
trochanter untuk mendapatkan pandangan yang adekuat ke fraktur transversum.
Pendekatan ilioinguinal anterior cocok untuk fraktur pada dinding anterior dan
kolumn. Kedua paparan biasanya dibutuhkan pada fraktur jenis T dan kedua
kolumn – ini seringkali diabaikan, yang mendorong beberapa ahli bedah untuk
menggunakan pendekatan triradiatum singular atau iliofemoral yang diperluas.
Fraktur (atau beberapa fraktur) difiksasi dengan screw lag atau pelat penahan
khusus yang dapat dibentuk di ruang operasi. Tindakan ini berguna untuk
memantau potensial yang dipicu oleh somatosensorik selama operasi, untuk
menghindari merusak nervus sciatika (elektroda yang terpisah dibutuhkan untuk
cabang medial dan lateral poplitea).
Antibiotika profilaksis digunakan, dan pergerakan panggul pascaoperasi
dimulai sesegera mungkin. Beberapa profilaksis terhadap ossifikasi heterotopik
seringkali digunakan, biasanya adalah indomethasin. Pasien diizinkan untuk
berdiri, menahan berat badan parsial dengan tongkat, setelah 7 hari. Latihan
dilanjutkan selama 3 – 6 bulan; mungkin dibutuhkan waktu satu tahun atau lebih
lama agar fungsinya dapat kembali.

Komplikasi
Tindakan operatif harus ditujukan pada reduksi anatomis yang sempurna
dan paling baik dilakukan di pusat pengobatan yang khusus dalam bentuk
penatalaksanaan ini.
Trombosis vena iliofemoralis Ini berpotensi serius dan pada beberapa klinik
antikoagulan profilaksis digunakan
Cedera nervus sciatika Kerusakan nervus dapat terjadi apakah itu pada
waktu fraktu atau selama operasi berikutnya. Kecuali jika nervus terlihat tidak
berisiko selama operasi, tidak terdapat kepastian mengenai prognosisnya.
Pemantauan somatosensoris intraoperatif dianjurkan sebagai cara untuk mencegah
kerusakan nervus yang serius. Untuk lesi yang telah ditegakkan, adalah hal yang
layak untuk menunggu selama 6 minggu untuk melihat apakah terdapat tanda-
tanda pemulihan. Jika tidak terdapat tanda pemulihan, nervus harus dieksplorasi
untuk menetapkan diagnosis dan memastikan bahwa nervus tidak terkompresi.

Pembentukan tulang heterotropik Osifikasi periartikularis sering ditemukan


setelah cedera jaringan lunak berat dan operasi diseksi yang luas. Dalam kasus
dimana keadaan ini diperkirakan akan terjadi, indometasin profilaksis adalah hal
yang berguna.
Nekrosis avaskular Osteonekrosis kaput femoris dapat terjadi meskipun
panggul tidak terdislokasi secara komplit. Kondisi ini kemungkinan terdiagnosis
secara berlebihan karena interpretasi tampilan x-ray yang berlebihan setelah
fraktur marginal asetabulum yang terimpaksi.

28.14. Fraktur asetabulum – fiksasi internal (a) x-ray dan (b) CT tiga dimensi
sebelum reduksi, yang menunjukkan fragmen posterior besar, yang membutuhkan
reposisi yang akurat dan fiksasi internal (c).

28.15. Fraktur sakrokoksigeal (a) Fraktur sakum; (b) fraktur coxae.

Hilangnya pegerakan sendi dan osteoartritis sekunder. Fraktur yang


bergeser yang melibatkan bagian penahan berat badan sendi dapat menyebabkan
hilangnya pergerakan dan osteoartritis onset dini. Jika operasi penggantian sendi
ingin dilakukan, maka tindakan ini harus ditunda hingga fraktur telah
terkonsolidasi; implan asetabulum terikat untuk bekerja secara longgar jika
terdapat pergerakan dari fragmen-fragmen inominata.

Cedera pada sakrum dan coxae


Hantaman dari belakang, atau jatuh dengan bagian ‘ekor’ dapat
menyebabkan fraktur pada sakrum atau coxae, atau peregangan sendi diantaranya.
Wanita tampak lebih sering terkena keadaan ini dibandingkan pria.
Memar cukup besar dan nyeri tekan muncul ketika sakrum atau coxae
dipalpasi dari belakang atau melalui rektum. Sensasi bisa hilang pada distribusi
nervus sakralis.
X ray dapat memperlihatkan: (1) fraktur transversum sakrum, dalam kasus
yang jarang dengan fragmen bawah yang terdorong ke atas; (2) fraktur coxae,
kadangkala dengan fragmen bawah yang terangulasi kedepan; atau (3) tampilan
normal jika cedera semata-mata hanya meregangkan sendi sakrokoksigeal.

Penatalaksanaan Jika fraktur tergeser, reduksi adalah upaya yang cukup


bernilai. Fragmen bawah dapat didorong ke atas dengan jari pada rektum. Reduksi
ini bersifat stabil, yang juga merupakan hal yang menguntungkan. Pasien
diizinkan untuk melanjutkan aktivitas yang nomal, namun dianjurkan untuk
menggunakan bantalan cincin karet ketika duduk. Kadangkala, fraktur sakrum
berkaitan dengan masalah berkemih, yang membutuhkan laminektomi sakral.
Nyeri yang persisten, terutama saat duduk, sering ditemukan setelah cedera
pada koksae. Jika nyeri tidak berkurang dengan penggunaan bantalan atau dengan
injeksi anestesi lokal ke area yang nyeri, eksisi koxae dapat dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai