Anda di halaman 1dari 11

Diagnosis dan Karakterisasi Efusi Maligna Melalui Pemeriksaan Sitologi

Cairan Pleura

Tujuan Tinjauan
Keganasan bertanggung jawab atas sebagian besar efusi pleura, dan pemeriksaan
sitologi cairan pleura adalah cara yang paling mudah untuk menegakkan
diagnosis. Tinjauan ini merangkum kemajuan sitopatologi diagnostik efusi pleura
yang relevan untuk dokter spesialis pulmonologi.
Temuan terbaru
Analisis sitologi dengan menggunakan sediaan apusan yang telah diwarnai dan
blok sel mampu memberikan diagnosis pada sekitar 55% efusi maligna. Mengolah
sebanyak maksimum dua spesimen yang terpisah (jika pemeriksaan awal bernilai
negatif) dengan volume sekitar 40 ml untuk masing-masingnya adalah
rekomendasi yang paling disetujui. Identifikasi sitologi mesothelioma bersifat
sangat menantang, namun memeriksa ekspresi nuklear BAP1 (imunositokimia)
dan delesi p16 (hibridisasi fluoresens in situ) telah sangat meningkatkan
kemampuan diagnostik kami. Demikian juga, pada pasien-pasien dengan kanker
paru non-small cell stadium lanjut pemeriksaan molekuler yang komprehensif
terhadap sampel cairan pleura, yang harus mencakup minimum perubahan pada
epidermal growth factor receptor/ v-raf murine sarcoma viral oncogene homolog
B/ anaplastic lymphoma kinase/ reactive oxygen species 1/ programmed death-
ligand 1, sangat dianjurkan untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang dapat
memperoleh keuntungan dari targeted therapy.
Rangkuman
Penggunaan spesimen sitologi cairan pleura secara bijaksana, yang mencakup
pemeriksaaan imunositokimia dan molekuler, menghilangkan kebutuhan akan
pengambilan sampel jaringan yang lebih invasif.
Kata kunci
Imunohistokimia, kanker paru, efusi pleura maligna, penyakit molekuler, sitologi
cairan pleura
Pendahuluan
Pemeriksaan sitologi cairan pleura rutin dilakukan untuk mempercepat
identifikasi efusi pleura maligna (MPE) (1). Namun, pemeriksaan ini tidak
memiliki sensitivitas yang cukup dan belum bisa menggantikan jaringan untuk
pemeriksaaan penyakit molekuler. Tinjauan ini berupaya untuk menilai kembali
peran terkini sitologi cairan pleura untuk tujuan diagnostik dan keputusan
terapeutik dalam praktik klinis berdasarkan bukti terbaik yang tersedia. Dalam era
personalized medicine ini, mendapatkan hal yang terbaik dari analisis sitologi
cairan pleura harus menjadi tujuan yang dapat dicapai oleh dokter dan ahli
patologi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Hasil pemeriksaan Sitologi


Persentase kasus dimana analisis sitologi cairan pleura dapat menegakkan
diagnosis MPE rata-rata adalah 55%, namun sangat beragam diantara penelitian
yang berbeda (2). Beberapa faktor mempengaruhi variabilitas ini, termasuk tipe
kanker yang mendasari, pengalaman ahli sitologi, jumlah spesimen yang diperoleh
untuk analisis, volume cairan pleura yang diolah, dan bagaimana cara spesimen
diperiksa. Selain itu, seringkali kasus efusi pleura pada pasien dengan keganasan
terjadi akibat efek tumor secara tidak langsung, bukannya melalui keterlibatan
pleura secara langsung. Dalam skenario ini, yang disebut sebagai “paramalignant
effusions”, yang mana diperkirakan akan diperoleh sitologi cairan pleura yang
bernilai true negative. Ateletaksis obstruktif atau pneumonitis, terapi radiasi,
kemoterapi, emboli paru, keterlibatan perikardiak, atau hipoproteinemia, adalah
contoh-contoh efusi paramaligna.
Tiga studi klinis besar telah mengevaluasi hasil sitologi cairan pleura pada
MPE (Tabel 1) (3, 4, 5). Penelitian yang paling baru, dan satu-satunya yang
merupakan penelitian prospektif, merekrut 921 pasien dari satu pusat pengobatan,
yang mana sebanyak 515 (56%) menderita MPE (5). Sensitivitas keseluruhan
sitologi cairan pleura adalah 46%, namun terdapat variasi diantara asal tumor,
dengan mesothelioma (6%), kanker paru squamous cell (14%), dan sarkoma (0%)
yang memiliki angka positivitas yang secara signifikan lebih rendah. Besarnya
proporsi mesothelioma yang lebih besar dalam penelitian ini (5) dibandingkan
dengan yang sebelumnya (29% vs 2.6%) (4) mungkin bertanggung jawab atas
sedikit menurunnya sensitivitas dalam hasil sitologi total (46% vs 59%).
Faktanya, penelitian ini menunjukkan bahwa pasien-pasien pria yang terpapar
dengan asbes dengan efusi eksudatif, yang mana kemungkinan mesothelioma
adalah sekurang-kurangnya 60%, sensitivitas sitologi cairan pleura hanyalah 11%,
yang kemungkinan membenarkan biopsi pleura segera tanpa menunggu hasil
sitologi (5). Rekomendasi ini tampak beralasan karena diagnosis mesothelioma
idealnya harus didasarkan pada biopsi pleura yang diperoleh melalui thorakoskopi
atau dengan dipandu CT (6). Diagnosis dapat ditegakkan hanya berdasarkan
sitologi hanya jika biopsi tidak memungkinkan atau dibutuhkan untuk
menentukan penatalaksanaan (7). Harus diperhatikan bahwa pada pusat
pengobatan khusus, mesothelioma dapat didiagnosis dengan menggunakan
sitologi cairan pleura pada hingga 73% kasus (8), sehingga menekankan
pentingnya keterampilan ahli sitologi. Sebenarnya, ahli sitopatologi yang
berpengalaman mendukung diagnosis mesothelioma sitologi, tanpa kebutuhan
akan biopsi, jika sitoarsitektural cairan pleura dan gambaran imunositokimia
(ICC)- nya bersifat meyakinkan. Namun, mesothelioma sarkomatoid tidak
bereksfoliasi dan, oleh karena itu, hanya varian epitheloid yang dapat didiagnosis
berdasarkan sitologi.
Kotroversi tetap ada melingkupi jumlah aspirasi diagnostik yang optimal,
dan terutama berkenaan dengan volume minimal cairan pleura yang dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis. Secara umum diterima bahwa thoracentesis yang
kedua, namun tidak yang ketiga, meningkatkan nilai hasilnya dengan kenaikan
yang relevan secara klinis (9). Sebagai contohnya, dalam satu penelitian terhadap
sampel cairan pleura kedua, yang diambil dari 214 pasien MPE dengan spesimen
pertama yang negatif, hasilnya bersifat diagnostik pada 55 (26%) kasus (4).

Tabel 1. Sensitivitas sitologi cairan pleura untuk mengideitifikasi efusi maligna


Namun, hasil dari sampel yang dikirimkan dari hasil setelah yang kedua
tersebut dapat diabaikan (5, 10). Disisi lain, keyakinan umum bahwa semakin
besar volume cairan yang dikirimkan ke laboratorium, semakin tinggi
kemungkinan mendapatkan hasil diagnosis sitologi yang positif belum didukung
secara kuat oleh kepustakaan. Sebagai contohnya, dua penelitian yang disebutkan
diatas (4, 5) menunjukkan sensitivitas yang serupa untuk sitologi cairan pleura
untuk efusi adenokarsinomatoas; satu dengan menggunakan median 15 ml cairan
pleura (4) dan yang lainnya menggunakan 40 ml (5). Meskipun demikian, volume
cairan yang lebih besar dapat mempermudah membentuk blok sel dengan
selularitas yang memadai.
Pertimbangan penting lainnya adalah pengolahan sampel cairan pleura.
Analisis sitologi harus dilakukan tidak hanya pada apusan dengan menggunakan
pewarnaan Papanicolaou atau May-Grunwald Giemsa, namun juga pada blok sell
yang terfiksasi formalin dan embedded-parrafin (FFPE) yang diwarnai dengan
hematoksilin-eosin dan menyerupai blok jaringan histologi. Sitologi berbasis
cairan (LBC) merupakan alternatif yang valid untuk apusan klasik langsung yang
menghilangkan kebutuhan akan sediaan kaca slide (11). Dalam satu penelitian
terhadap 414 MPE, 11% sampel cairan pleura yang terbukti negatif dengan
apusan sitologi menunjukkan sel-sel maligna pada blok sel, sementara 1% dari
blok sel negatif dilaporkan positif pada slide apusan (10). Kesenjangan antara
apusaan dan blok sel menunjukkan nilai saling melengkapinya.
Terakhir, selama thoracentesis therapeutik waktu sampel sitologi yang
diaspirasi yang dikirimkan untuk analisis mungkin mempengaruhi hasilnya.
Dalam sebuah penelitian terhadap 46 pasien dengan MPE karena adenokarsinoma,
sel-sel maligna yang beragregasi pada apusan cairan pleura secara signifikan lebih
banyak pada sampel-sampel yang diambil tepat sebelum penghentian
pengambilan cairan dibandingkan dengan pada sampel yang diambil pada awal
thoracentesis (12). Dorongan fisik dan dinamika cairan mungkin menjelaskan
fenomena ini.

Analisis imunohistokimia
Pemeriksaan ICC telah lama digunakan untuk menegakkan diagnosis
keganasan. Pemeriksaan ini lebih disukai dilakukan pada blok sel cairan pleura,
namun substrat lain seperti apusan langsung atau apusan dari LBC dapat
digunakan, mengingat apusan ini memiliki selularitas yang cukup. Aplikasi
diagnostik utama ICC mencakup (13): konfirmasi keganasan dalam kasus—kasus
gambaran sitomorfologi yang meragukan; diferensiasi antara sel mesothelial
reaktif, adenokarsinoma, dan mesothelioma; diagnosis tipe tumor primer yang
menginvasi pleura; dan prediksi responsivitas terhadap terapi yang telah
ditargetkan atau imonoterapi dalam advanced nonsmall cell lung cancer
(NSCLC).
Biasanya, pembedaan antara mesothelioma dan hiperplasia sel mesothelial,
terutama ketika berkaitan dengan atipia sitologi atau arsitektural yang jelas, telah
dibantu dengan pewarnaan imunologi spesifik. Dengan cara ini, pewarnaan yang
positif untuk desmin lebih indikatif untuk sel-sel mesothelial jinak, sementara
pewarnaann EMAM (clone E29), p53, GLUT1, IMP-3, dan CD146 terutama
indikatif untuk mesothelioma maligna (14). Meskipun demikian, penanda ini tidak
memiliki spesifisitas yang cukup untuk penggunaan diagnostik dalam praktik
klinis karena sebagian tumpang tindih dengan proses klinis. Tahap kemajuan yang
penting adalah ketersediaan dua penanda baru mesothelioma, yaitu: hilangnya
BRCA-associated protein 1 (BAP1) yang dideteksi dengan ICC, dan deteksi delesi
homozigot gen p16/CDKN2A pada kromosom 9p21 dengan menggunakan
hibridisasi fluoresens in situ (FISH) (15). BAP1, suatu gen supresor tumor yang
terletak pada 3p21, mengkode suatu protein yang terlibat dalam kontrol siklus sel
dan repair kerusakan DNA. Demikian pula, gen CDKN2A mengkode protein
p16, yang juga mengatur siklus sel. Tidak adanya pewarnaan nukleus BAP1 dan
delesi homozigot p16 ditemukan pada sekitar 60% dan 75%, secara berturut-turut
untuk blok sel cairan pleura dari mesothelioma, namun hampir tidak pernah pada
sel-sel mesothelioma atipikal (16 – 19). Sementara hilangnya BAP1 terutama
terbatas pada mesothelioma epitheloid, delesi p16 dapat ditemukan pada semua
subtipe mesothelioma (13). Karena FISH p16 lebih mahal, membutuhkan tenaga
khusus dan tidak tersedia pada semua laboratorium sitologi, pada tahap awal
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaaan ICC BAP1. Hanya jika BAP1
intak atau dicurigai adanya mesoothelioma sarkomatoid, FISH p16 harus
diperiksa. Namun demikian, pemeriksaan FISH p16 yang negatif tidak
mengeksklusikan diagnosis mesothelioma. Baru-baru ini, telah dinyatakan bahwa
pemeriksaan methylthioadenosine phosphorylase (MTAP) dengan menggunakan
ICC mungkin merupakan alternatif yang baik untuk FISH p16 untuk tujuan
diagnostik (20). Gen MTAP berada pada sisi telometrik p16; hilangnya ekspresi
MTAP sebagaimana yang dideteksi oleh ICC memiliki spesifisitas yang absolut
untuk memprediksi delesi homozigot pada p16. Dalam sebuah penelitian terhadap
45 kasus mesothelioma dan 25 hiperplasia mesothelial reaktif, hilangnya MTAP
dan BAP1 pada blok sel cairan pleura menghasilkan sensitivitas sebesar 42.2%
dan 60%, secara berturut-turut, dan spesifisitas sebesar 100% untuk melabeli
keganasan (21). Kombinasi MTAP dan BAP meningkatkan spesifisitas hingga
77.8%, dan mempertahankan spesifisitas sebesar 100%, oleh karena itu
mengindikasikan bahwa ini mungkin merupakan metode yang menjanjikan untuk
membedakan mesothelioma dari hiperplasia mesothelial jinak (21).
Skenario lainnya yang mana ICC tampakk berguna adalah dalam
membedakan mesothelioma epitelial dari keganasan epitelial metastatik, dan
secara spesifik, adenokarsinoma.

Tabel 2. Penanda imunositokimia untuk efusi pleura maligna

Sayangnya, tidak terdapat penanda yang spesifik yang secara tersendiri


dapat memisahkan kedua kelainan ini dan oleh karena itu, direkomendasikan
untuk menggunakan panel ICC yang harus mencakup dua penanda dengan
spesifisitas yang tinggi untuk adenokarsinoma (Tabel 2) (6, 7). Sebuah penelitian
terbaru menyatakan bahwa analisis BAP1 juga mungkin memiliki peran dalam
diaignosis bandding mesothelioma dan karsinoma metastatik (22). Sejumlah 258
blok sel dari efusi maligna (!45 pleura, 112 peritoneal, dan 1 perikardial),
mencakup 53 mesothelioma dan 205 karsinoma, menjalani pemeriksaan untuk
BAP1 ICC. Hilangnya BAP1 teramati pada 46 (87%) mesothelioma dibandingkan
dengan hanya 4 (2%) dari tumor lainnya (22). Profil ICC yang khas untuk
keganasan yang umum yang bermetastasis ke pleura ditunjukkan dalam tabel 2.
Sebuah pendekatan algoritmik yang potensial untuk menghadapi efusi pleura
digambarkan dalam gambar 1 (23).
Terakhir, pewarnaan ICC pada sampel cairan pleura memberikan cara yang
bersifat invasif minimal untuk mengevaluasi penanda prediktif dengan implikasi
terapeutik, seperti anaplastic lymphoma kinase (ALK), reactive oxygen species 1
(ROS 1), dan programmed death-ligand 1 (PD-L1) pada NSCLC (24). Semua
pasien dengan NSCLC nonskuamosa pada tahap lanjut harus diujikan untuk
oncogenic driver dan, jika negatif, juga untuk ekspresi PD-L1 (25). Demikian
pula, pengujian PD-L1 adalah tahap yang diharuskan ketika terdapat histologi
skuamosa yang mendasari. Alasan dibalik rekomendasi ini adalah bahwa pasien
NSCLC dengan mutasi yang dapat ditargetkan mendapatkan keuntungan dari
tyrosine kinase inhibitor (TK1), sementara mereka yang dengan status PD-L1
yang positif adalah kandidat untuk immune-check-point inhibitor. Pewarnaan
ALK diterima sebagai alternatif terhadap metodologi FISH, sementara ICC untuk
fusi RO1 dapat digunakan sebagai uji skrining karena sensitivitasnya yang tinggi,
namun hasil yang positif membutuhkan konfirmasi lebih lanjut dengan metode
sitogenik (FISH) atau molekuler (26). Berkenaan dengan pewarnaan imunologi
PD-L1, masih belum benar-benar divalidasi penggunaannya pada spesimen
sitologi cairan pleura, dan oleh karena itu pemeriksaan ini saat ini dilakukan
berdasarkan kebijaksanaan layanan patologi lokal. Terdapat skor proporsi tumor
yang berbeda untuk nilai positif PD-L1 (yaitu, proporsi sel-sel tumor yang
menunjujkkan pewarnaan membranosa pada ≥ 100 sel tumor yang terjaga dengan
baik) bergantung pada pengujian yang digunakan. Sebagai contohnya, skor
proporsi tumor sebesar sekurang-kurangnya 50% dianggap merupakan hasil yang
positif kuat untuk pengujian 22C3 (27). Beberapa penelitian terbaru menyatakan
bahwa sampel sitologi adalah suatu pilihan yang menarik dibandingkan dengan
biopsi jaringan untuk pemeriksaan ekspresi PD-L1. Dalam serangkaian spesimen
10005 NSCLC (termasuk 653 biopsi pleura dan 1931 sampel sitologi), pleura
cenderung lebih berkemungkinan untuk mengekspresikan PD-L1 dibandingkan
tumor primer (42.6% berbanding 26.7% untuk skor proporsi tumor sebesar ≥
50%), terlepas dari modalitas pengambilan sampel (28). Secara keseluruhan,
spesimen sitologi lebih sering positif untuk PD-L1 dibandingkan spesimen biopsi
dan reseksi (39.2% berbanding 29% berbanding 22.5%). Dalam penelitian
lainnya, dengan 51 sampel cairan pleura yang dipasangkan dengan biopsi pleura
dari pasien adenokarsinoma paru, ekspresi PD-L1 yang positif secara signifikan
lebih tinggi pada sampel cairan pleura dibandingkan dengan sampel biopsi (23.3%
berbanding 11.6%) (29). Potensi dampaknya adalah memeriksa ekspresi PD-L1
pada sampel sitologi mungkin memperluas imunoterapi dengan menjangkau
pasien dengan rentang yang lebih besar (30).

Pemeriksaan molekuler
Meskipun pemeriksana molekuler terutama telah berfokus pada penggunaan
blok jaringan FFPE, blok sel, dan sediaan sitologi lainnya (misalnya, apusan dan
LBC) juga tampak merupakan substrat yang menarik. Bahkan cairan supernatan,
yang dihasilkan dari sentrifugasi sampel, menghasilkan DNA bebas sel yang
adekuat untuk analisis mutasi (31). Namun, meskipun telah terdapat bukti yang
sangat banyak bahwa sampel cairan pleura cocok untuk melakukan uji molekuler,
masih tetap mengherankan pemeriksaan ini kurang digunakan dibandingkan
dengan biopsi jaringan. Pengambilan jaringan untuk menentukan genotipe
mengesankan suatu biopsi yang invasif yang seringkali tidak memungkinkan,
membawa resiko, dan tidak menjamin materi yang memadai untuk analisis DNA.
Sebaliknya, sampel sitologi dapat diambil dengan kurang invasif dan secara
berulang melalui thorakosentesis sederhana, atau dalam beberapa kasus, melalui
kateter pleura menetap yang telah terpasang.
Jika sitologi digunakan, blok sel cairan pleura masih merupakan substrat
yang paling banyak digunakan untuk pengujian molekuler karena kesemaannya
dengan blok jaringan histologi. Perlu diperhatikan, tahap fiksasi formalin
menyebabkan cross-linking asam nukleat dan protein, dan oleh karena itu substrat
non—FFPE seperti apusan langsung atau LBC dapat memberikan DNA dengan
kualitas yang lebih baik (32). Namun, pengujian molekuler pada spesimen sitologi
non-FFPE membutuhkan validasi internal tambahan karena hampir seluruh
pengujian yang digunakan telah dibentuk untuk penggunaan pada blok FFPE.
Metodologi pengujian yang diterima mencakup PCR real-time, penentuan
sekuens (sanger sequencing, pyrosequencing, atau yang paling sering, next-
generation sequencing (NGS),dan FISH (32, 33). Sementara PCR digunakan
untuk menargetkan mutasi spesifik, NGS memungkinkan identifikasi simultan
beberapa target gen dengan menggunakan jumlah DNA yang minimal. Beragam
panel gen yang tersedia secara komersial memungkinkan penggunaan NGS
dengan kepandaian yang besar: dari pengujijan panel sempit hanya beberapa gen
yang relevan sebagai alternatif terhadap PCR, hingga panel yang mencakup
ratusan gen untuk menilai muatan mutasi tumor. Pengujian PCR dan NGS
memiliki dua kebutuhan input, yaitu, jumlah DNA yang minimum dan persentase
sel sel tumor yang minimum pada sampel (Atau fraksi tumor) (33). Sampel cairan
pleura biasanya memiliki konsentrasi DNA yang adekuat, namun seringkali fraksi
tumor yang rendah karena jumlah sel jinak yang besar. Memungkinkan untuk
meningkatkan fraksi tumor dengan menandai area yang kaya akan tumor relatif
untuk ekstraksi (makro atau mikrodiseksi) dan pengolahannya.
Pedoman terbaru merekomendasikan pengujian secara rutin untuk NSCLC
lanjut atau metastasis untuk mutasi epidermal growth factor receptor (EGFR) dan
v-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B (BRAF), serta ketidaksesuaian
susunan ALK dan ROS1 (34). Namun, sangat dianjurkan untuk menguji profil
molekuler yang lebih luas dengan tujuan untuk mengidentifikasi mutasi
pendorong lainnya (misalnya, Kristen rat Sarcoma (KRAS), MET, RET, HER2,
muatan mutasi tumor) yang mana obat mungkin telah tersedia, sekurang-
kurangnya dalam uji klinis. Biasanya, perubahan EGFR/BRAF/ALK/ROS1 jarang
saling bertumpang tindih. Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 56 pasien
dengan MPE akibat adenokarsinoma paru, blok sel cairan pleura mampu
memberikan analisis mutasi yang sempurna (EGFR/BRAF/ALK/ROS1/KRAS)
pada 40 kasus (71.4%), meskipun angka keadekuatannya untuk onkogenic driver
individual lebih tinggi (75 – 82.4%) (35). Dalam penelitian lainnya, 86% dari 872
pasien adenokarsinoma paru dengan MPE memiliki spesimen cairan pleura yang
adekuat untuk mendapatkan profil molekuler dari 12 mutasi pendorong onkogenik
(36).
Mutasi EGFR telah dideteksi pada sekitar 15 – 20% Pasien kaukasia yang
didiagnosis dengan NSCLC, namun pada hingga 65$ dari mereka dengan etnis
Asia Timur (25, 36). Sebaliknya, prevalensi ALK/ROS1/BRAF adalah 1 – 7%
(32). Kirat-kira 905 dari mutasi EGFR adalah ddelesi ekson 19 atau mutasi titik
ekson 21 L858R, yang juga disebut sebagai mutasi EGFR sensitisasi karena
memprediksi keuntungan pengobatan dari EGFR TKI. Sejumlah penelitian telah
membandingkan status mutasi pada MPE dengan spesimen biopsi pasangannya.
Sebagai contohnya, dalam satu penelitian pada orang Cina, angka kesesuaian
keseluruhan untuk status mutasi EGFR (dievaluasi pada substrat FFPE dengan
menggunakan teknik PCR) antara 192 jaringan tumor paru yang disesuaikan dan
sampel efusi pleura adalah 87% (37). Jaringan tumor primer dan sampel efusi
pleura membawa mutasi EGFR pada 62% dan 59% kasus, secara berturut-turut (P
=0.53) (37). Sebuah penelitian kedua mengonfirmasi angka kesesuaian yang
tinggi untuk 30 MPE dan spesimen biopsi yang disesuaikan (87%) berkenaan
dengan status EGFR/KRAS/ALK yang dinilai dengan PCR/NGS (38). Dan masih
saja penelitian ketiga secara konsisten menemukan kesesuaian sebesar 88% untuk
penentuan genotipe EGFR ketika DNA dari supernatan cairan pleura dan jaringan
tumor paru diperiksa (39). Menariknya, pemeriksaan untuka danya mutasi EGFR
baik pada apusan LBC maupun supernatan sampel cairan pleura mungkin lebih
sensitif dibandingkan menggunakannya secara terpisah, sebagaimana dengan
investigasi terbaru terhadap 45 pasien adenokarsinoma paru yang mengalami
mutasi EFGR nyatakan (40). Meskipun mutasi EGFR terdeteksi pada 51% dari
apusan LBC dan 44% supernatan, kombinasinya menghasilkan sensitivitas
sebesar 60%. Perlu diperhatikan, EGFR mutan ditemukan pada 4 dari 18 pasien
(22%) dengan sampel cairan pleura yang negatif secara sitologi (40). Terakhir,
spesimen cairan pleura juga memungkinkan untuk mendeteksi mutasi T790 M,
yang berkaitan dengan kurangnya responsivitas terhadap terapi EGFR TKI (39).

Kesimpulan
Pemeriksaan sitologi cairan pleura masih merupakan alat yang paling
sederhana untuk mendiagnosis MPE. Meskipun diagnosis banyak mesothelioma
epitelial dapat dengan tegas ditegakkan dengan sitologi efusi tanpa membutuhkan
biopsi lebih lanjut. Spesimen sitologi cairan pleura memadai untuk ICC yang
komprehensif dan pengujian molekuler. Beberapa panel penentuan sekuens
genetik multiplexed (NGS) yang dimasukkan, sekurang-kurangnya, pengujian
untuk perubahan EGFR/ BRAF/ ALK/ ROS1, sejalan dengan ICC untuk PD-L1,
direkomendasikan pada pasien NSCLC lanjut untuk mengidentifikasi mereka
yang bisa memperoleh keuntungan dari targeted therapy atau imunoterapi.

Anda mungkin juga menyukai