Cairan Pleura
Tujuan Tinjauan
Keganasan bertanggung jawab atas sebagian besar efusi pleura, dan pemeriksaan
sitologi cairan pleura adalah cara yang paling mudah untuk menegakkan
diagnosis. Tinjauan ini merangkum kemajuan sitopatologi diagnostik efusi pleura
yang relevan untuk dokter spesialis pulmonologi.
Temuan terbaru
Analisis sitologi dengan menggunakan sediaan apusan yang telah diwarnai dan
blok sel mampu memberikan diagnosis pada sekitar 55% efusi maligna. Mengolah
sebanyak maksimum dua spesimen yang terpisah (jika pemeriksaan awal bernilai
negatif) dengan volume sekitar 40 ml untuk masing-masingnya adalah
rekomendasi yang paling disetujui. Identifikasi sitologi mesothelioma bersifat
sangat menantang, namun memeriksa ekspresi nuklear BAP1 (imunositokimia)
dan delesi p16 (hibridisasi fluoresens in situ) telah sangat meningkatkan
kemampuan diagnostik kami. Demikian juga, pada pasien-pasien dengan kanker
paru non-small cell stadium lanjut pemeriksaan molekuler yang komprehensif
terhadap sampel cairan pleura, yang harus mencakup minimum perubahan pada
epidermal growth factor receptor/ v-raf murine sarcoma viral oncogene homolog
B/ anaplastic lymphoma kinase/ reactive oxygen species 1/ programmed death-
ligand 1, sangat dianjurkan untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang dapat
memperoleh keuntungan dari targeted therapy.
Rangkuman
Penggunaan spesimen sitologi cairan pleura secara bijaksana, yang mencakup
pemeriksaaan imunositokimia dan molekuler, menghilangkan kebutuhan akan
pengambilan sampel jaringan yang lebih invasif.
Kata kunci
Imunohistokimia, kanker paru, efusi pleura maligna, penyakit molekuler, sitologi
cairan pleura
Pendahuluan
Pemeriksaan sitologi cairan pleura rutin dilakukan untuk mempercepat
identifikasi efusi pleura maligna (MPE) (1). Namun, pemeriksaan ini tidak
memiliki sensitivitas yang cukup dan belum bisa menggantikan jaringan untuk
pemeriksaaan penyakit molekuler. Tinjauan ini berupaya untuk menilai kembali
peran terkini sitologi cairan pleura untuk tujuan diagnostik dan keputusan
terapeutik dalam praktik klinis berdasarkan bukti terbaik yang tersedia. Dalam era
personalized medicine ini, mendapatkan hal yang terbaik dari analisis sitologi
cairan pleura harus menjadi tujuan yang dapat dicapai oleh dokter dan ahli
patologi.
Analisis imunohistokimia
Pemeriksaan ICC telah lama digunakan untuk menegakkan diagnosis
keganasan. Pemeriksaan ini lebih disukai dilakukan pada blok sel cairan pleura,
namun substrat lain seperti apusan langsung atau apusan dari LBC dapat
digunakan, mengingat apusan ini memiliki selularitas yang cukup. Aplikasi
diagnostik utama ICC mencakup (13): konfirmasi keganasan dalam kasus—kasus
gambaran sitomorfologi yang meragukan; diferensiasi antara sel mesothelial
reaktif, adenokarsinoma, dan mesothelioma; diagnosis tipe tumor primer yang
menginvasi pleura; dan prediksi responsivitas terhadap terapi yang telah
ditargetkan atau imonoterapi dalam advanced nonsmall cell lung cancer
(NSCLC).
Biasanya, pembedaan antara mesothelioma dan hiperplasia sel mesothelial,
terutama ketika berkaitan dengan atipia sitologi atau arsitektural yang jelas, telah
dibantu dengan pewarnaan imunologi spesifik. Dengan cara ini, pewarnaan yang
positif untuk desmin lebih indikatif untuk sel-sel mesothelial jinak, sementara
pewarnaann EMAM (clone E29), p53, GLUT1, IMP-3, dan CD146 terutama
indikatif untuk mesothelioma maligna (14). Meskipun demikian, penanda ini tidak
memiliki spesifisitas yang cukup untuk penggunaan diagnostik dalam praktik
klinis karena sebagian tumpang tindih dengan proses klinis. Tahap kemajuan yang
penting adalah ketersediaan dua penanda baru mesothelioma, yaitu: hilangnya
BRCA-associated protein 1 (BAP1) yang dideteksi dengan ICC, dan deteksi delesi
homozigot gen p16/CDKN2A pada kromosom 9p21 dengan menggunakan
hibridisasi fluoresens in situ (FISH) (15). BAP1, suatu gen supresor tumor yang
terletak pada 3p21, mengkode suatu protein yang terlibat dalam kontrol siklus sel
dan repair kerusakan DNA. Demikian pula, gen CDKN2A mengkode protein
p16, yang juga mengatur siklus sel. Tidak adanya pewarnaan nukleus BAP1 dan
delesi homozigot p16 ditemukan pada sekitar 60% dan 75%, secara berturut-turut
untuk blok sel cairan pleura dari mesothelioma, namun hampir tidak pernah pada
sel-sel mesothelioma atipikal (16 – 19). Sementara hilangnya BAP1 terutama
terbatas pada mesothelioma epitheloid, delesi p16 dapat ditemukan pada semua
subtipe mesothelioma (13). Karena FISH p16 lebih mahal, membutuhkan tenaga
khusus dan tidak tersedia pada semua laboratorium sitologi, pada tahap awal
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaaan ICC BAP1. Hanya jika BAP1
intak atau dicurigai adanya mesoothelioma sarkomatoid, FISH p16 harus
diperiksa. Namun demikian, pemeriksaan FISH p16 yang negatif tidak
mengeksklusikan diagnosis mesothelioma. Baru-baru ini, telah dinyatakan bahwa
pemeriksaan methylthioadenosine phosphorylase (MTAP) dengan menggunakan
ICC mungkin merupakan alternatif yang baik untuk FISH p16 untuk tujuan
diagnostik (20). Gen MTAP berada pada sisi telometrik p16; hilangnya ekspresi
MTAP sebagaimana yang dideteksi oleh ICC memiliki spesifisitas yang absolut
untuk memprediksi delesi homozigot pada p16. Dalam sebuah penelitian terhadap
45 kasus mesothelioma dan 25 hiperplasia mesothelial reaktif, hilangnya MTAP
dan BAP1 pada blok sel cairan pleura menghasilkan sensitivitas sebesar 42.2%
dan 60%, secara berturut-turut, dan spesifisitas sebesar 100% untuk melabeli
keganasan (21). Kombinasi MTAP dan BAP meningkatkan spesifisitas hingga
77.8%, dan mempertahankan spesifisitas sebesar 100%, oleh karena itu
mengindikasikan bahwa ini mungkin merupakan metode yang menjanjikan untuk
membedakan mesothelioma dari hiperplasia mesothelial jinak (21).
Skenario lainnya yang mana ICC tampakk berguna adalah dalam
membedakan mesothelioma epitelial dari keganasan epitelial metastatik, dan
secara spesifik, adenokarsinoma.
Pemeriksaan molekuler
Meskipun pemeriksana molekuler terutama telah berfokus pada penggunaan
blok jaringan FFPE, blok sel, dan sediaan sitologi lainnya (misalnya, apusan dan
LBC) juga tampak merupakan substrat yang menarik. Bahkan cairan supernatan,
yang dihasilkan dari sentrifugasi sampel, menghasilkan DNA bebas sel yang
adekuat untuk analisis mutasi (31). Namun, meskipun telah terdapat bukti yang
sangat banyak bahwa sampel cairan pleura cocok untuk melakukan uji molekuler,
masih tetap mengherankan pemeriksaan ini kurang digunakan dibandingkan
dengan biopsi jaringan. Pengambilan jaringan untuk menentukan genotipe
mengesankan suatu biopsi yang invasif yang seringkali tidak memungkinkan,
membawa resiko, dan tidak menjamin materi yang memadai untuk analisis DNA.
Sebaliknya, sampel sitologi dapat diambil dengan kurang invasif dan secara
berulang melalui thorakosentesis sederhana, atau dalam beberapa kasus, melalui
kateter pleura menetap yang telah terpasang.
Jika sitologi digunakan, blok sel cairan pleura masih merupakan substrat
yang paling banyak digunakan untuk pengujian molekuler karena kesemaannya
dengan blok jaringan histologi. Perlu diperhatikan, tahap fiksasi formalin
menyebabkan cross-linking asam nukleat dan protein, dan oleh karena itu substrat
non—FFPE seperti apusan langsung atau LBC dapat memberikan DNA dengan
kualitas yang lebih baik (32). Namun, pengujian molekuler pada spesimen sitologi
non-FFPE membutuhkan validasi internal tambahan karena hampir seluruh
pengujian yang digunakan telah dibentuk untuk penggunaan pada blok FFPE.
Metodologi pengujian yang diterima mencakup PCR real-time, penentuan
sekuens (sanger sequencing, pyrosequencing, atau yang paling sering, next-
generation sequencing (NGS),dan FISH (32, 33). Sementara PCR digunakan
untuk menargetkan mutasi spesifik, NGS memungkinkan identifikasi simultan
beberapa target gen dengan menggunakan jumlah DNA yang minimal. Beragam
panel gen yang tersedia secara komersial memungkinkan penggunaan NGS
dengan kepandaian yang besar: dari pengujijan panel sempit hanya beberapa gen
yang relevan sebagai alternatif terhadap PCR, hingga panel yang mencakup
ratusan gen untuk menilai muatan mutasi tumor. Pengujian PCR dan NGS
memiliki dua kebutuhan input, yaitu, jumlah DNA yang minimum dan persentase
sel sel tumor yang minimum pada sampel (Atau fraksi tumor) (33). Sampel cairan
pleura biasanya memiliki konsentrasi DNA yang adekuat, namun seringkali fraksi
tumor yang rendah karena jumlah sel jinak yang besar. Memungkinkan untuk
meningkatkan fraksi tumor dengan menandai area yang kaya akan tumor relatif
untuk ekstraksi (makro atau mikrodiseksi) dan pengolahannya.
Pedoman terbaru merekomendasikan pengujian secara rutin untuk NSCLC
lanjut atau metastasis untuk mutasi epidermal growth factor receptor (EGFR) dan
v-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B (BRAF), serta ketidaksesuaian
susunan ALK dan ROS1 (34). Namun, sangat dianjurkan untuk menguji profil
molekuler yang lebih luas dengan tujuan untuk mengidentifikasi mutasi
pendorong lainnya (misalnya, Kristen rat Sarcoma (KRAS), MET, RET, HER2,
muatan mutasi tumor) yang mana obat mungkin telah tersedia, sekurang-
kurangnya dalam uji klinis. Biasanya, perubahan EGFR/BRAF/ALK/ROS1 jarang
saling bertumpang tindih. Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 56 pasien
dengan MPE akibat adenokarsinoma paru, blok sel cairan pleura mampu
memberikan analisis mutasi yang sempurna (EGFR/BRAF/ALK/ROS1/KRAS)
pada 40 kasus (71.4%), meskipun angka keadekuatannya untuk onkogenic driver
individual lebih tinggi (75 – 82.4%) (35). Dalam penelitian lainnya, 86% dari 872
pasien adenokarsinoma paru dengan MPE memiliki spesimen cairan pleura yang
adekuat untuk mendapatkan profil molekuler dari 12 mutasi pendorong onkogenik
(36).
Mutasi EGFR telah dideteksi pada sekitar 15 – 20% Pasien kaukasia yang
didiagnosis dengan NSCLC, namun pada hingga 65$ dari mereka dengan etnis
Asia Timur (25, 36). Sebaliknya, prevalensi ALK/ROS1/BRAF adalah 1 – 7%
(32). Kirat-kira 905 dari mutasi EGFR adalah ddelesi ekson 19 atau mutasi titik
ekson 21 L858R, yang juga disebut sebagai mutasi EGFR sensitisasi karena
memprediksi keuntungan pengobatan dari EGFR TKI. Sejumlah penelitian telah
membandingkan status mutasi pada MPE dengan spesimen biopsi pasangannya.
Sebagai contohnya, dalam satu penelitian pada orang Cina, angka kesesuaian
keseluruhan untuk status mutasi EGFR (dievaluasi pada substrat FFPE dengan
menggunakan teknik PCR) antara 192 jaringan tumor paru yang disesuaikan dan
sampel efusi pleura adalah 87% (37). Jaringan tumor primer dan sampel efusi
pleura membawa mutasi EGFR pada 62% dan 59% kasus, secara berturut-turut (P
=0.53) (37). Sebuah penelitian kedua mengonfirmasi angka kesesuaian yang
tinggi untuk 30 MPE dan spesimen biopsi yang disesuaikan (87%) berkenaan
dengan status EGFR/KRAS/ALK yang dinilai dengan PCR/NGS (38). Dan masih
saja penelitian ketiga secara konsisten menemukan kesesuaian sebesar 88% untuk
penentuan genotipe EGFR ketika DNA dari supernatan cairan pleura dan jaringan
tumor paru diperiksa (39). Menariknya, pemeriksaan untuka danya mutasi EGFR
baik pada apusan LBC maupun supernatan sampel cairan pleura mungkin lebih
sensitif dibandingkan menggunakannya secara terpisah, sebagaimana dengan
investigasi terbaru terhadap 45 pasien adenokarsinoma paru yang mengalami
mutasi EFGR nyatakan (40). Meskipun mutasi EGFR terdeteksi pada 51% dari
apusan LBC dan 44% supernatan, kombinasinya menghasilkan sensitivitas
sebesar 60%. Perlu diperhatikan, EGFR mutan ditemukan pada 4 dari 18 pasien
(22%) dengan sampel cairan pleura yang negatif secara sitologi (40). Terakhir,
spesimen cairan pleura juga memungkinkan untuk mendeteksi mutasi T790 M,
yang berkaitan dengan kurangnya responsivitas terhadap terapi EGFR TKI (39).
Kesimpulan
Pemeriksaan sitologi cairan pleura masih merupakan alat yang paling
sederhana untuk mendiagnosis MPE. Meskipun diagnosis banyak mesothelioma
epitelial dapat dengan tegas ditegakkan dengan sitologi efusi tanpa membutuhkan
biopsi lebih lanjut. Spesimen sitologi cairan pleura memadai untuk ICC yang
komprehensif dan pengujian molekuler. Beberapa panel penentuan sekuens
genetik multiplexed (NGS) yang dimasukkan, sekurang-kurangnya, pengujian
untuk perubahan EGFR/ BRAF/ ALK/ ROS1, sejalan dengan ICC untuk PD-L1,
direkomendasikan pada pasien NSCLC lanjut untuk mengidentifikasi mereka
yang bisa memperoleh keuntungan dari targeted therapy atau imunoterapi.