Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KAPITA SELEKTA KIMIA KLINIK

DOSEN : DR. H. HERMAN RACHMAN, SPD. M.KES

PATOFISIOLOGI PENANDA TUMOR

OLEH

HASAN
PO714203232015

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
2023
PATOFISIOLOGI KANKER

Kanker adalah penyakit genetik. Artinya ia disebabkan oleh perubahan


gen yang mengontrol cara fungsi sel kita, terutama bagaimana mereka tumbuh
dan membelah, perubahan genetic yang menyebabkan kanker dapat diwariskan
dari orang tua. Kanker juga dapat timbul selama masa hidup seseorang, sebagai
akibat dari kesalahan yang terjadi ketika sel membelah atau karena kerusakan
pada DNA yang disebabkan oleh paparan lingkungan tertentu. Paparan
lingkungan yan menyebabkan kanker termasukzat, seperti asbes, dan benzene,
juga dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker
Setiap orang memiliki kombinasi unik dari perubahan genetic, ketika
kanker terus tumbuh, perubahan tambahan akan terjadi. Bahkan dalam tumor
yang sama, sel – sel yang berbeda mungkin memiliki perubahan genetik yang
berbeda.
Secara umum, sel – sel kanker memiliki lebih banyak perubahan genetic
dari pada sel normal, seperti mutasi DNA. Beberapa perubahan ini mungkin tidak
ada hubungannya dengan kanker atau hasil dari kanker (bukan penyebabnya).
Perubahan genetic yang berkontribusi pada kanker cendrung mempengaruhi tiga
jenis utama gen-proto-onkogen-gen penekan tumor, dan gen perbaikan DNA.
Perubahan ini kadang disebut ‘driver” kanker.
Proto-onkogen terlibat dalam pertumbuhan dan pembelahan genetic dari
pada sel normal. Namun, ketika gen ini diubah dengan cara tertentu atau lebih
aktif dari biasanya, gen tersebut dapat menjadi gen penyebab kanker (atau
onkogen), memungkinkan sel ini untuk tumbuh dan bertahan hidup.
1. Gen supresor tumor juga terlibat dalam pengendalian pertumbuhan dan
pembelahan sel. Sel dengan perubahan tertentu pada gen supresor tumor
dapat mengakibatkan pembelahan sel dengan cara yang tidak terkontrol
2. Gen perbaikan DNA terlibat dalam memperbaiki DNA yang rusak. Sel dengan
mutasi pada gen ini cendrung mengembangkan mutasi tambahan pada gen
lain. Bersama – sama, mutasi ini dapat menyebabkan sel menjadi kanker
Kanker yang telah menyebar dari tempat pertama kali memulai ke tempat lain
didalam tubuh disebut kanker metastatic. Proses dimana sel – sel kanker
menyebar kebagian lain dari tubuh disebut metastasis. Kanker metastasis
memiliki nama yang sama dan jenis kanker yang sama seperti kanker asli
atau primer. Misalnya kanker payudara yang menyebar membentuk tumor
metastasis di paru – paru adalah kanker payudara metastatis, bukan kanker
paru – paru
Dibawah mikroskop, sel – sel kanker metastatis umumnya terlihat sama
dengan sel – sel sel kanker asli. Selain itu, sel – sel kanker metastatis dan sel
– sel kanker asli biasanya memiliki beberapa fitur molekuler yang sama,
seperti adanya perubahan kromosom tertentu.
Biasanya kanker menyebar lewat alirah darah ke organ atau jaringan lain

(Sumber : Kowalak-Wels-Mayer, 2012)

1. Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler (HCC)


Karsinoma hepatoseluler (HCC) terutama muncul pada hati sirosis, di
mana peradangan dan fibrinogenesis yang berulang-ulang membuat hati
menjadi displasia dan berubah menjadi ganas. Infeksi virus hepatitis B (HBV)
dan hepatitis C (HCV) menyebabkan peningkatan pergantian hepatosit
karena hati berusaha mengganti sel-sel yang terinfeksi yang telah diserang
secara imunologis. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa HCC
berkembang dari sel punca hati yang berkembang biak sebagai respons
terhadap regenerasi kronis yang disebabkan oleh cedera akibat virus. Sel-sel
dalam nodul displastik kecil tampaknya membawa penanda yang konsisten
dengan sel punca. HBV juga dapat menyebabkan HCC tanpa adanya sirosis.
HBV mengintegrasikan asam deoksiribonukleat (DNA) ke dalam genom
inang, yang menyebabkan ketidakstabilan genom dan penataan ulang
kromosom. HCV menggunakan asam ribonukleat (RNA) untuk menyimpan
informasi genetik dan oleh karena itu tidak berintegrasi ke dalam genom
inang. HCC terkait HCV ditemukan hampir secara eksklusif pada pasien
sirosis.
Di masa lalu, HCC umumnya muncul pada stadium lanjut dengan nyeri
kuadran kanan atas, penurunan berat badan, dan tanda-tanda penyakit hati
yang mengalami dekompensasi. Namun, skrining rutin terhadap pasien
dengan sirosis yang diketahui dan pengukuran α-fetoprotein (AFP) telah
meningkatkan deteksi dini.
Karena sebagian besar kanker hati ditemukan bersamaan dengan
sirosis, maka penting untuk mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit
hati saat memilih strategi pengobatan. Penilaian Child-Pugh menentukan
tingkat keparahan penyakit hati berdasarkan serum albumin, bilirubin, waktu
protrombin, asites, dan ensefalopati.

Biomarker Alfa Feto Protein

AFP adalah anggota keluarga protein albumin dan diproduksi oleh


kantung kuning telur dan hati selama perkembangan janin. Kadar AFP tinggi
dalam serum janin tetapi secara bertahap menurun hingga mencapai kadar
orang dewasa dalam tahun pertama kehidupan.AFP diproduksi pada kadar
yang tidak terdeteksi atau sangat rendah pada orang dewasa yang sehat
karena kemampuan untuk memproduksinya sebagian besar hilang pada
hepatosit yang sudah matang. Namun, sel kanker hati yang bertransformasi
dapat memperoleh kembali kemampuannya untuk memproduksi AFP, dan
kadarnya biasanya meningkat pada pasien dengan HCC. Konsentrasi serum
AFP yang rendah biasanya mengindikasikan kanker yang sangat
terdiferensiasi.Namun, hingga 40% kasus HCC stadium awal dan 15-20%
kasus HCC stadium lanjut memiliki kadar AFP yang normal.
AFP terlibat dalam regulasi pertumbuhan, diferensiasi, apoptosis, dan
angiogenesis sel. Penelitian menunjukkan bahwa AFP mungkin berperan
dalam karsinogenesis HCC. Yang penting, AFP telah terlibat dalam
penghindaran tumor terhadap pengawasan kekebalan tubuh melalui
penghambatan sel-sel kekebalan tubuh. Sel dendritik bertindak sebagai sel
penyaji antigen yang memproses dan menyajikan antigen ke sel T naif. AFP
dapat menghambat pematangan dan menginduksi apoptosis sel dendritik,
sehingga mencegah aktivasi sel T yang ditujukan untuk melawan tumor.
Pasien dengan HCC yang menunjukkan kadar AFP yang tinggi memiliki lebih
sedikit sel dendritik yang mampu mengaktifkan sel T dalam sampel darah
tepi. Tanpa jumlah sel dendritik yang memadai, sekresi interleukin-12 (IL-12)
sebagai respons terhadap tumor juga menurun. IL-12 adalah sitokin yang
menginduksi pengekspresan reseptor pengaktifan pada sel pembunuh alami
(NK), yang meningkatkan aktivitas antitumor dari sel kekebalan ini. Meskipun
AFP tidak secara langsung memengaruhi aktivitas sel NK, penghambatan
pematangan sel dendritik dan pengurangan sekresi IL-12 yang dihasilkan
secara tidak langsung menghambat fungsi sel NK.
AFP juga dapat berperan dalam angiogenesis, suatu proses yang
penting untuk inisiasi, perkembangan, dan metastasis HCC. Banyak faktor
angiogenik, seperti faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), terlibat
dalam regulasi angiogenesis. Pada HCC, peningkatan konsentrasi AFP
serum berkorelasi dengan peningkatan ekspresi VEGF-A. Dalam sebuah
penelitian yang membungkam ekspresi AFP, kadar VEGF dan reseptornya
VEGFR-2 berkurang secara signifikan, dan kemampuan angiogenik sel
endotel berkurang secara signifikan. AFP yang disekresikan oleh sel kanker
hati dapat merangsang produksi VEGF, yang menyebabkan peningkatan
angiogenesis tumor.
Kadar AFP serum meningkat seiring dengan perkembangan penyakit
dan paling tinggi pada penyakit metastasis. Mekanisme peningkatan AFP
serum selama perkembangan tidak sepenuhnya dijelaskan. Telah disarankan
bahwa peningkatan kadar AFP serum mengidentifikasi subset tumor HCC
yang lebih besar, terkait dengan kelangsungan hidup yang buruk, dan muncul
dengan keterlibatan bi-lobar, invasi vena porta, dan histologi yang
berdiferensiasi buruk.
Sekitar 50% HCC mengeluarkan AFP, dengan kadar >400 ng/mL yang
dianggap sebagai penanda yang dapat diandalkan untuk mendukung
diagnosis HCC. Sebuah studi oleh Surveilans, Epidemiologi, dan Program
Hasil Akhir (SEER) menganalisis peran prognostik dan prediktif AFP pada
33.820 orang dengan HCC. Studi ini menemukan bahwa kadar AFP pada
saat diagnosis merupakan prediktor independen untuk tingkat patologis (rasio
odds [OR] = 2,559; interval kepercayaan 95% [CI], 2,075-3,157, P<0,001),
stadium TNM-7 (OR = 2,794; 95% CI, 2,407-3,242; P<0,001), dan ukuran
tumor (OR = 1,748; 95% CI, 1,574-1,941; P<0,001). Tumor positif AFP juga
lebih mungkin untuk berdiferensiasi buruk atau anaplastik dibandingkan
dengan tumor negatif AFP (22,8% vs 10,5%, P<0,001).
Sebuah studi retrospektif tentang sorafenib pada HCC menemukan
hasil kelangsungan hidup keseluruhan (OS) yang lebih buruk pada pasien
dengan kadar AFP 200 ng / ml atau lebih tinggi.14 Saat ini tidak ada referensi
yang tervalidasi untuk mendefinisikan konsentrasi AFP yang tinggi atau
rendah. Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa kadar >20 ng/ml
berada di atas normal dan nilai >400 ng/ml berada di atas normal.15
Spesifisitas diagnostik AFP sangat tinggi ketika kadarnya di atas 400 ng/ml.
Kadar AFP >1000 ng/ml telah digunakan untuk memprediksi kekambuhan
HCC pada pasien transplantasi hati. Individu dengan kadar AFP pra operasi
yang meningkat >1000 ng/ml memiliki tingkat kelangsungan hidup 1 dan 5
tahun tanpa kekambuhan sebesar 90% dan 52,7%. Kadar ≤1000 ng/ml
memiliki tingkat kelangsungan hidup 95% dan 80,3% pada 1 dan 5 tahun.
Kadar AFP yang tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan ekspresi
VEGFR, peningkatan angiogenesis, dan prognosis yang buruk pada
HCC.17,18 Hubungan terbalik telah diamati antara respons terhadap
sorafenib dan kadar AFP serum pasca pengobatan.11 AFP yang tinggi/tinggi
(AFP-H, didefinisikan sebagai AFP ≥400 ng/mL) secara prospektif ditunjukkan
dalam uji klinis fase 3 sebagai prediktif untuk peningkatan OS pada pasien
dengan HCC stadium lanjut yang diobati dengan ramucirumab.19,20
Meskipun mekanisme manfaat selektif ini tidak diketahui, sebagian besar
pasien HCC stadium lanjut memiliki AFP-H, dan kelompok ini memiliki
ekspektasi kelangsungan hidup yang sangat buruk setelah mereka
mengalami kemajuan dengan sorafenib lini pertama. Ramucirumab memiliki
potensi untuk mengisi kesenjangan dalam persenjataan terapeutik untuk
kelompok pasien yang dipilih dengan biomarker dengan HCC stadium lanjut.
2. Patofisiologi Kanker Kolorektal
Kanker kolorectal biasanya tidak menimbulkan gejala pada tahap awal
penyakit. Jika ada gejala, biasanya gejala tersebut bergantung pada lokasi
tumor primer. Kanker kolon proksimal cenderung tumbuh lebih besar sebelum
gejala muncul dibandingkan kanker kolon kiri dan rektum. Gejala awal kanker
usus besar dapat berupa anemia defisiensi besi dan perdarahan akibat
pembuluh darah abnormal pada tumor dan trauma dari aliran tinja.
Perdarahan biasanya tidak terlihat pada stadium awal. Tumor pada anus,
kolon sigmoid, dan rektum dapat menyebabkan hematochezia.
Tahap selanjutnya dari penyakit ini dapat dikaitkan dengan
penyumbatan lumen kolon, distensi abdomen, nyeri, mual, dan muntah.
Obstruksi saluran pencernaan menunjukkan tumor yang lebih besar dan
prognosis yang lebih buruk. Jika tumor telah menginvasi muskularis propria
dan jaringan yang berdekatan, nyeri dan gejala spesifik lokasi dapat terjadi.
Ini mungkin termasuk tenesmus dari invasi rektal, pneumaturia dari penetrasi
kandung kemih, atau nyeri perineum atau sakral dari invasi panggul.
Cachexia juga sering terjadi pada pasien dengan keganasan saluran cerna
stadium lanjut.

Lokasi Anatomis dari Kanker colorectal

Data klinis telah menunjukkan perbedaan dalam insiden, hasil,


perubahan genetik, dan patogenesis tergantung pada lokasi anatomis tumor
pada CRC. Kanker kolon sisi kanan (RCC) terjadi pada kolon proksimal, yang
terdiri dari kanker sekum dan kolon asendens dan transversal. Kanker
kolorektum sisi kiri (LCRC) terjadi pada kolorektum distal dan terdiri dari
kanker kolon desendens dan sigmoid serta rektum.

Tumor pada kolon proksimal cenderung lebih besar, memiliki stadium


TNM yang lebih tinggi, dan memiliki frekuensi invasi pembuluh darah yang
lebih tinggi daripada LCRC. Adenokarsinoma musinosa, yang ditandai
dengan musin ekstraseluler yang melimpah, lebih sering ditemukan di kolon
proksimal dan berhubungan dengan ketidakstabilan mikrosatelit (MSI). CRC
yang positif MSI memiliki hasil keseluruhan yang lebih baik dibandingkan
dengan tumor yang stabil secara mikrosatelit. Mutasi KRAS dan p53 lebih
sering ditemukan pada LCRC daripada RCC.

Meskipun RCC lebih cenderung positif MSI, jika disesuaikan dengan


stadium tumor, kelangsungan hidup secara signifikan lebih buruk untuk RCC
dibandingkan dengan LCRC. Kematian yang lebih tinggi pada RCC
kemungkinan disebabkan oleh RCC yang lebih agresif dan stabil secara
mikrosatelit, yang cenderung memiliki mutasi pada gen BRAF. LCRC
mungkin memiliki angka kematian yang lebih rendah karena lebih mudah
didiagnosis melalui skrining usus besar bagian distal dan gejala yang lebih
jelas. RCC sering muncul dengan tanda dan gejala yang tidak kentara, seperti
anemia mikrositik, penurunan berat badan, dan perdarahan samar. LCRC
lebih cenderung menyebabkan perdarahan rektum dan perubahan kebiasaan
buang air besar.

Analisis retrospektif dari studi CALGB/SWOG 80405 menunjukkan


bahwa pasien dengan tumor sisi kiri memiliki rata-rata ketahanan hidup
keseluruhan (OS) yang lebih lama secara signifikan dibandingkan dengan
pasien dengan tumor sisi kanan (33,3 vs 19,4 bulan; hazard ratio [HR] = 1,55;
P<0,0001). Uji coba ini menunjukkan OS yang lebih lama dengan cetuximab
dibandingkan dengan bevacizumab ketika tumor primer berada di sisi kiri
(masing-masing 36,0 vs 31,4 bulan). Analisis retrospektif sisi tumor pada
pasien dengan CRC tipe liar RAS pada uji coba CRYSTAL dan FIRE-3
sejalan dengan temuan ini, yang menunjukkan bahwa OS secara signifikan
lebih lama pada pasien dengan mCRC sisi kiri dibandingkan dengan sisi
kanan. Penambahan cetuximab pada kemoterapi meningkatkan OS pada
tumor sisi kiri dan memiliki efek terbatas atau tidak ada efek pada tumor sisi
kanan. Sebuah studi berbasis populasi menggunakan data Surveilans,
Epidemiologi, dan Program Hasil Akhir (SEER) menemukan efek yang sama
dari sisi tumor primer pada prognosis, dengan kelangsungan hidup yang lebih
rendah pada pasien dengan tumor sisi kanan.

Pedoman NCCN saat ini merekomendasikan cetuximab dan


panitumumab untuk pengobatan lini pertama tumor sisi kiri saja, yang
dikombinasikan dengan kemoterapi pada mCRC tipe liar KRAS. Bevacizumab
mungkin lebih disukai untuk tumor sisi kanan dalam kondisi ini.

Ringkasan perbedaan antara kanker usus besar sisi kanan dan kanker
kolorektal sisi kiri

Biomarker Kolorectal
Vaskular Endotel Groth Factor (VEGF)
Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) adalah pengatur penting
angiogenesis, pembentukan pembuluh darah baru dari endotel pembuluh
darah yang sudah ada sebelumnya. Angiogenesis adalah peristiwa awal
dalam tumorigenesis dan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan
tumor dengan memasok nutrisi, oksigen, dan faktor pertumbuhan yang
diperlukan untuk proliferasi tumor. Ekspresi VEGF secara signifikan terkait
dengan stadium lanjut dan prognosis yang buruk pada pasien dengan CRC.
Dalam sebuah studi tentang konsentrasi VEGF, 56% tumor CRC
mengekspresikan VEGF dibandingkan dengan 17% sel mukosa normal,
dengan tingkat ekspresi yang jauh lebih tinggi pada sel tumor. Metastasis
kelenjar getah bening dan hati juga secara signifikan terkait dengan
peningkatan ekspresi VEGF. Kelangsungan hidup keseluruhan 5 tahun
pasien dengan ekspresi VEGF negatif dan positif masing-masing adalah 84%
dan 40%. Bevacizumab, ramucirumab, dan aflibercept adalah agen anti-
VEGF yang telah terbukti meningkatkan OS dan hasil klinis pada pasien
mCRC.
KRAS / NRAS

Reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) diekspresikan secara


berlebihan pada banyak jenis kanker, terutama CRC, dan dikaitkan dengan
penyakit yang lebih agresif. Mutasi pengaktifan pada KRAS, sebuah protein G
kecil di bagian hilir EGFR, berkorelasi dengan respons yang buruk terhadap
antibodi anti-EGFR pada mCRC. Diperkirakan hingga 80% dari semua CRC
sporadis disebabkan oleh ketidakstabilan kromosom, yang ditandai dengan
aktivasi mutasi onkogen (KRAS) dan hilangnya aktivitas gen penekan tumor
(APC, p53, SMAD4). Pola aktivitas ini merupakan karakteristik dari LCRC,
khususnya kanker rektal.

Sejak ditemukannya bahwa pasien dengan tumor CRC yang


mengalami mutasi KRAS tidak akan mendapatkan manfaat dari terapi
antibodi EGFR, resistensi terhadap blokade EGFR pada mCRC telah banyak
diteliti.10 Sekitar 80% dari semua mutasi KRAS terjadi pada ekson 2 (kodon
12 dan 13). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mutasi pada KRAS
ekson 3 dan 4 atau NRAS ekson 2 hingga 4 juga dapat memprediksi
kurangnya respons terhadap antibodi bertarget EGFR yang diberikan dalam
kombinasi dengan kemoterapi lini pertama. Dalam sebuah penelitian yang
menilai kemanjuran panitumumab pada mCRC, 43% tumor ditemukan
memiliki mutasi KRAS. Efek pengobatan pada kelangsungan hidup bebas
perkembangan (PFS) pada kelompok KRAS tipe liar (HR = 0,45; interval
kepercayaan 95% [CI], 0,34-0,59) secara signifikan lebih besar (P <0,0001)
dibandingkan dengan kelompok mutan (HR = 0,99; 95% CI, 0,73-1,36).
Tingkat respons adalah 17% untuk kelompok tipe liar dan 0% untuk kelompok
mutan.9 Setelah respons awal terhadap antibodi yang ditargetkan EGFR,
tumor tipe liar selalu mengalami mutasi titik KRAS yang menyebabkan
resistensi sekunder terhadap terapi. Tumor CRC harus diuji untuk mutasi RAS
(KRAS atau NRAS) sebelum memulai pengobatan. Cetuximab dan
panitumumab adalah antibodi anti-EGFR yang meningkatkan OS hanya pada
pasien CRC dengan gen RAS tipe liar.
BRAF V600E

Mutasi pada gen BRAF dapat ditemukan pada hingga 18% pasien
CRC dan dikaitkan dengan PFS dan OS yang lebih pendek. Mutasi BRAF,
gen yang mengkode protein kinase B-Raf yang spesifik untuk serin/treonin,
merupakan kejadian yang paling sering terjadi pada kanker dengan prognosis
yang buruk, seperti melanoma dan CRC.13 Mutasi BRAF menyebabkan
aktivasi konstitutif dari jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK), yang
sangat penting untuk proliferasi sel dan perkembangan tumor. Hingga 80%
dari semua mutasi BRAF adalah mutasi V600E.

Beberapa penelitian telah mengkonfirmasi hubungan antara mutasi


BRAF dengan hasil yang buruk pada CRC. Sebuah tinjauan sistematis dan
meta-analisis yang menyelidiki korelasi antara mutasi BRAF dan
kelangsungan hidup OS pada pasien dengan mCRC dan melanoma telah
menunjukkan bahwa mutasi BRAF lebih dari dua kali lipat meningkatkan risiko
kematian pada pasien CRC. Sekitar 60% pasien melanoma memiliki mutasi
BRAF, dan penghambat BRAF telah menunjukkan angka respons sebesar
50-80% pada pasien-pasien ini. Namun, pada pasien CRC, tingkat respons
terhadap inhibitor BRAF sekitar 5%. Tumor yang bermutasi BRAF sering kali
berada di sisi kanan dan memiliki tingkat yang lebih tinggi serta berhubungan
dengan MSI dan usia yang lebih tua. Data uji klinis telah menunjukkan bahwa
penghambat EGFR seperti cetuximab dan panitumumab tidak efektif dalam
mengobati CRC kecuali jika diberikan bersama dengan penghambat BRAF
seperti vemurafenib.

dMMR/MSI-H

Mikrosatelit (MS) adalah pengulangan tandem dari sekuens DNA


pendek yang melimpah di seluruh genom manusia. Pada individu dengan
MSI, mutasi pada protein perbaikan ketidakcocokan DNA (DNA mismatch-
repair (MMR) yang biasanya mengidentifikasi dan memperbaiki basa-basa
yang tidak cocok selama replikasi DNA, menyebabkan akumulasi mikrosatelit.
Mikrosatelit yang ditemukan dalam urutan pengkodean protein menyebabkan
mutasi pergeseran bingkai, menghasilkan protein yang sangat berubah dan
bersifat imunogenik.Status ketidakstabilan mikrosatelit-tinggi (MSI-H)
ditemukan pada 10-15% dari CRC sporadis dan merupakan faktor prognosis
yang kuat untuk hasil yang baik, seperti stadium yang lebih rendah pada saat
diagnosis. Namun, nilai prognosisnya bervariasi, tergantung pada stadium
tumor, lokasi tumor, dan status mutasi BRAF.

Menilai mutasi somatik pada BRAF dalam hubungannya dengan status


MSI dapat bermanfaat secara prognostik. Mutasi V600E membuat BRAF
menjadi aktif secara konstitutif, yang menghasilkan prognosis yang lebih
buruk. Satu studi mengelompokkan pasien CRC berdasarkan status MSI dan
BRAF ke dalam tiga kelompok prognosis: MSI/BRAF-wild type atau mutan
(prognosis terbaik), microsatellite stable (MSS)/BRAF-wild type (prognosis
menengah), dan MSS/BRAF mutan (prognosis terburuk). Penelitian lain telah
mencapai hasil yang bertentangan, dan hingga saat ini belum ada
kesepakatan mengenai subkelompok prognosis yang paling baik.

Studi klinis telah menunjukkan bahwa status MMR dikaitkan dengan


responsifitas terhadap blokade PD-1, dengan tingkat PFS yang dilaporkan
hingga 78% pada pasien CRC yang kekurangan MMR (dMMR), dibandingkan
dengan 11% pada pasien yang cukup MMR (pMMR). Dipercayai bahwa tumor
CRC dMMR responsif terhadap penghambat pos pemeriksaan karena status
MSI biasanya dikaitkan dengan peningkatan beban neoantigen. Antibodi anti-
PD-1 yang efektif pada CRC metastasis termasuk pembrolizumab, nivolumab,
dan ipilimumab.

Carcinoembryonic antigen( CEA)

Carcinoembryonic antigen (CEA) adalah protein yang dihasilkan oleh


epitel saluran cerna janin yang juga dapat diekstraksi dari tumor saluran cerna
orang dewasa. Penanda tumor ini digunakan bagi penderita kanker kolorektal
(kolon dan rectum, atau usus besar dan usus sebelum anus.

Pemeriksaan CEA merupakan ujilaboratorium yang tidak spesifik


karena hanya 70% kasus didapatkan peningkatan CEA pada kanker usus
besar dan pankreas. Peningkatan kadar CEA dilaporkan pula pada
keganasan oesophagus, lambung, usus halus, dubur, kanker payudara,
kanker serviks, sirosis hati, pneumonia, pankreatitis akut, gagal ginjal,
penyakit inflamasi dan trauma pasca operasi. Yang penting diketahui pula
bahwa kadarCEA dapat meningkat pada perokok.

Petunjuk ASCO tidak menganjurkan CEA untuk pemeriksaan


penapisan, diagnosis, penentuan stadium, atau surveilans rutin pada pasien
dengan kanker payudara setelah terapi awal, juga tidak untuk memantau
respon penyakit metastasis terhadap pengobatan. Namun, peningkatan kadar
CEA dapat digunakanuntuk mendeteksi rekurensi apabila tidak ada parameter
penyakit yang lain (Sacher, 2004).

3. Patofisiologi Kanker Prostat


Kelenjar prostat adalah bagian dari sistem reproduksi oria yang
membantu membuat dan menyimpan cairan sperma. Pada wanita dewasa,
panjang prostat biasanya 3cm dan beratnya sekitar 20 gram. Karena
lokasinya, penyakit prostat sering mempengaruhi proses buang air kecil,
ejakulasi dan berdampak ke proses defekasi (proses Buang Air Besar).
Prostat terdiri dari 20% cairan yang semen.
Kanker prostat diklasifikasikan sebagai adenokarsinoma atau kanker
kelenjar yang dimulai ketika sel-sel kelenjar prostat mengalami mutasi
menjadi sel kanker. Daerah kelenjar prostat dimana adenokarsinoma yang
paling banyak ditemukan yaitu pada zona perifer. Awalnya, gumpalan kecil
dari sel kanker masih terbatas pada kelenjar prostat yang normal. Kondisi ini
dikenal sebagai karsinoma in situ atau prostate intraepithelial neoplasia(PIN).
Dari waktu ke waktu sel kanker mulai bermultiplikasi dan menyebar ke
sekeliling jaringan prostat (stroma) yang membentuk tumor. Akhirnya tumor
tumbuh membesar untuk menyerang organ di dekatnya seperti vesikula
seminalis atau rektum atau tumor dapat juga mengembangkan
kemampuannya untuk pindah ke aliran darah dan sistem limfatik. Invasi ke
organ-orang di luar kelenjar prostas disebut dengan metastasis. Kanker
prostat seringnya mengalami metastasi ke tulang, kelenjar limfa , ke rektum,
kandung kemih dan ureter.
Tahap awal (early stage) yang mengalami kanker prostat umumnya
tidak menunjukkan gejala klinis atau asimptomatik. Pada tahap berikutnya
(locally advanced) didapati obstruksi sebagai gejala yang paling sering
ditemukan. Biasanya ditemukan juga hematuria yakni urin yang mengandung
darah, infeksi saluran kemih, serta rasa nyeri saat berkemih. Pada tahap
lanjut (advanced) penderita yang telah mengalami metastase di tulang sering
mengeluh sakit tulang dan sangat jarang mengalami kelemahan tungkai
maupun kelumpuhan tungkai karena kompresi korda spinalis.
Warning sign pada kanker prostat yaitu : 1) Seringkali merasa ingin
kencing terutama di malam hari (urinary frequency) 2) Nyeri atau rasa
terbakar (burning) selama miksi (Painful urination) 3) Bermasalah sewaktu
memulai atau menghentikan kencing atau kencing lemah (slow urinary flow)
4) Masalah disfungsi seks atau nyeri seks (impotence) 5) Urine atau semen
berdarah (blood in urine or semen) 6) Nyeri daerah punggung belakang, paha
atau panggul (Lower back or thigh pain)
Patofisiologi kanker prostat melibatkan transformasi maligna atau
ganas dari kelenjar prostat. Proses ini terjadi bertahap, berawal dari prostatic
intraepithelial neoplasia (PIN) diikuti dengan kanker prostat lokal dan
kemudian menjadi adenokarsinoma prostat berat dengan invasi lokal, yang
berpuncak pada kanker prostat metastasis.

Biomarker Prostat

Prostat Spesific Antigen (PSA)

Prostat Spesific Antigen (PSA) dipakai untuk diagnosis kanker


prostat.Dahulu kala pemeriksaan kanker prostat dilakukan
pemeriksaanaktifitasProstatic acid phosphatase (PAP), diikuti dengan
pemeriksaan colokdubur. Tetapi aktifitas PAP yang tinggi disertai dengan
pembesaran kelenjar prostat selalu sudah terjadi metastasis. Untuk
pemeriksaan dini kanker prostat dipakai pemeriksaan PSA. Kadar PSA dapat
meningkat pada hipertrofi prostat jinak dan lebih tinggi lagi pada kanker
prostat. Kadar PSA meningkat setelah colok dubur atau bedah prostat.
Pemeriksaan PSA disarankan untuk pemeriksaan rutin pada pria usia lebih
dari 40 tahun. Total PSA (tPSA) terdiridari PSA bebas dan PSA kompleks.
Kadar PSA total dipakai untukmendapatkan persen (%) PSA bebas.
Prostat adalah kelenjar seks pada pria, terletak di bawah kandung
kemihdan mengelilingi saluran kencing. PSA adalah enzim yang dikeluarkan
olehkelenjar prostat yang berfungsi untuk mengencerkan cairan
ejakulasisehingga memudahkan pergerakan sperma. Pada keadaan normal,
hanyasedikit PSA yang masuk ke dalam aliran darah tetapi bila terjadi
peradanganatau kerusakan jaringan prostat maka kadar PSA dalam darah
meningkat. Jadi peningkatan kadar PSA bukan hanya disebabkan oleh
kanker prostat tetapidapat juga disebabkan oleh BPH.
Dalam darah, PSA ditemukan dalam keadaan bebas (free-PSA) dan
sebagian besar diikat oleh protein (disebut c-PSA atau complexed-PSA).
Pada BPH (pembesaran prostate yang jinak ) konsentrasi free PSA lebih
dominan sedangkan pada kanker prostat peningkatan c-PSA yang lebih
dominan.
Kanker prostat adalah penyakit kanker yang menyerang kelenjar
prostat,dimana sel-sel kelenjar prostat tumbuh secara abnormal tak
terkendalisehingga mendesak dan merusak jaringan sekitarnya. Pada pria
berusia lanjut> 60 tahun hasil PSA bisa membuat rancu apakah pembesaran
prostate jinak/BPH yang sering terjadi pada pria berusia lanjut atau
keganasan .Untuk membedakan apakah peningkatan kadar PSA disebabkan
oleh BPH atau kanker prostat maka dianjurkan pemeriksaan rasio
free-PSA/PSA total ataurasio c-PSA/PSA total terutama bagi mereka yang
kadar PSA totalnya antara 2.6-10 ng/ml.
4. Patofisiologi kanker lambung
Sekitar 95% tumor lambung berasal dari epitel dan diklasifikasikan
sebagai adenokarsinoma. Kanker lambung paling sering ditemukan pada
kardia lambung (31%), diikuti oleh antrum (26%) dan badan lambung (14%).
Linitis plastica, suatu jenis adenokarsinoma yang menyebar dan menyusup ke
dalam dinding lambung, menyumbang 10% kasus lainnya.
Kanker lambung diklasifikasikan ke dalam dua varian patologis utama,
yaitu kanker usus dan kanker difus. Kanker tipe usus terdiferensiasi dengan
baik dan terdiri dari sel-sel neoplastik kohesif yang membentuk struktur
tubular dan sering kali mengalami ulserasi. Tipe difus yang terdiferensiasi
dengan buruk ditandai dengan linitis plastica, yaitu infiltrasi dan penebalan
dinding lambung yang menciptakan tampilan seperti "botol kulit". Jenis kanker
lambung yang menyebar tidak membentuk massa yang terpisah dan dikaitkan
dengan prognosis yang buruk karena keterlambatan diagnosis. Tipe difus
lebih banyak terjadi pada wanita dan individu di bawah usia 50 tahun. Kanker
lambung stadium awal, di mana sel-sel tumor terbatas pada mukosa dan
lapisan superfisial lambung, paling sering diidentifikasi dengan skrining
endoskopi di negara-negara berisiko tinggi seperti Jepang. Lesi kecil ini, yang
seringkali berukuran kurang dari 2 sentimeter, mudah diangkat dengan
endoskopi dan memiliki prognosis yang sangat baik.
Tanda dan gejala awal kanker lambung tidak spesifik, sering kali
berupa dispepsia yang sering kali dianggap sebagai refluks asam lambung.
Gejala selanjutnya meliputi rasa kenyang lebih awal dan disfagia akibat
obstruksi, kehilangan berat badan atau kekuatan akibat pembatasan diet, dan
anemia sekunder akibat kehilangan darah yang tidak kentara. Kadang-
kadang, gejala awal seperti ikterus, asites, patah tulang, dan hepatomegali
disebabkan oleh metastasis.

Profil biomarker

Kanker lambung adalah penyakit yang secara molekuler heterogen


yang sebagian besar telah diobati dengan pendekatan yang seragam. Cancer
Genome Atlas (TCGA) telah mengembangkan sistem klasifikasi yang
membagi kanker lambung ke dalam empat kelompok molekuler:
Kanker lambung yang positif virus Epstein-Barr (EBV) (9%)

Ketidakstabilan mikrosatelit (MSI) (22%)

Ketidakstabilan kromosom (CIN) (50%)

Tumor stabil genom (GS) (20%)


Profil biomarker baru dan karakterisasi molekuler tumor akan
memungkinkan klasifikasi yang lebih baik untuk kanker lambung dan
mengarah pada pengembangan dan penggunaan terapi bertarget yang
efektif.

Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF)

Tumor ganas mengandalkan neovaskularisasi untuk mendorong


pertumbuhan dan metastasis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tingkat angiogenesis tumor yang tinggi dikaitkan dengan penyakit agresif dan
hasil klinis yang buruk. Salah satu pendorong utama angiogenesis adalah
VEGF, faktor angiogenik yang mendorong perkembangan pembuluh darah
baru dari pembuluh darah yang sudah ada sebelumnya. Sebuah studi tentang
peran VEGF pada karsinoma lambung menemukan bahwa VEGF terutama
terlokalisasi pada sel tumor dan tidak ada pada mukosa lambung normal.
Ekspresi VEGF terdeteksi pada 43,4% tumor lambung dalam penelitian ini
dan prognosis pasien dengan tumor positif VEGF secara signifikan lebih
buruk daripada pasien dengan tumor negatif VEGF. Tingkat kekambuhan
pada pasien dengan tumor VEGF-positif secara signifikan lebih tinggi
daripada tingkat kekambuhan pada pasien dengan tumor VEGF-negatif
(41,2% vs 19,7%, P<0,05), dengan lebih dari separuh tumor VEGF-positif
bermetastasis ke hati.6 Sebuah penelitian terpisah menemukan bahwa kadar
VEGF serum meningkat pada pasien kanker lambung dibandingkan dengan
kontrol yang sehat. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar VEGF
serum dan stadium penyakit, kedalaman invasi tumor, dan adanya metastasis
jauh. Kadar serum VEGF ditemukan meningkat pada pasien dengan tumor
yang tidak dapat direseksi dan menurun setelah reseksi yang berhasil.7,8 Uji
klinis telah menunjukkan bahwa ramucirumab, antibodi monoklonal yang
menghalangi aksi VEGF dengan mengikat reseptor faktor pertumbuhan
endotel vaskular 2 (VEGFR-2), meningkatkan kelangsungan hidup secara
keseluruhan (OS), kelangsungan hidup bebas perkembangan (PFS), dan
angka respons obyektif (ORR) pada pasien kanker lambung dan kanker
persimpangan gastroesofagus yang resisten terhadap terapi lini pertama.

Faktor pertumbuhan epidermal manusia 2 (HER2)

Prevalensi ekspresi berlebih HER2 bervariasi pada kanker saluran


cerna bagian atas dan cenderung lebih tinggi pada kanker GEJ dibandingkan
dengan kanker lambung (masing-masing 33% vs 21%).9 HER2 merupakan
reseptor tirosin kinase yang berperan penting dalam mengatur pertumbuhan
dan diferensiasi sel. Pada kanker lambung dan gastroesofagus, ekspresi
berlebih HER2 dikaitkan dengan penurunan kelangsungan hidup, frekuensi
kekambuhan yang lebih tinggi, dan stadium penyakit yang lebih tinggi. Tumor
lambung lebih heterogen daripada kanker payudara, dan kriteria untuk menilai
kepositifan HER2 telah dikembangkan untuk menjelaskan perbedaan ini.
Trastuzumab, antibodi monoklonal yang mengikat dan mencegah dimerisasi
HER2, direkomendasikan untuk pengobatan semua pasien dengan kanker
lambung yang mengekspresikan HER2 secara berlebihan. Pedoman saat ini
merekomendasikan pemeriksaan HER2 untuk semua pasien dengan
metastasis yang terdokumentasi atau dicurigai.

Programmed death-ligand 1 (PD-L1)

Sel T di dalam tumor secara kronis terpapar beban antigen yang besar,
yang menyebabkan toleransi antigen dan fungsi sitotoksik yang sangat
terganggu. Programmed cell death 1 (PD-1) adalah reseptor yang ditemukan
pada permukaan sel T yang berikatan dengan PD-L1, protein yang umumnya
tidak diregulasi pada permukaan tumor kanker lambung. Interaksi antara PD-
1 dan ligan PD-L1 menginduksi penekanan sinyal reseptor sel T dan
menghasilkan peredaman respons imun, sehingga memungkinkan sel tumor
untuk menghindari deteksi dan penghancuran imun.11,12 Sebuah penelitian
terhadap pasien dengan kanker lambung menemukan bahwa 30,1% tumor
lambung mengekspresikan PD-L1 pada permukaan sel kanker tetapi tidak
pada epitel lambung non-neoplastik. Ekspresi PD-L1 lebih sering terjadi pada
kanker lambung tipe usus, yang tidak diklasifikasikan, atau tipe papiler pada
lambung proksimal, kanker positif EBV, dan kanker lambung MSI.13
Pembrolizumab, penghambat PD-L1, kemudian disetujui oleh FDA pada lini
ketiga atau lini terapi berikutnya untuk kanker lambung positif PD-L1 (> 1%)
yang ditentukan oleh tes pendamping yang disetujui FDA.

5. PATOFISIOLOGI KANKER PAYUDARA


Kanker disebabkan oleh senyawa karsinogenik. Benzo(a)pyrene
adalah salah satu senyawa prekarsinogenik yang dikonversi menjadi
karsinogen aktif oleh sitokrom P450. Karsinogen aktif sangat reaktif dan
mudah menyerang kelompok nukleofilik dalam DNA, RNA, dan protein, yang
menyebabkan mutasi. Gen P53 mengkode protein p53 yang berfungsi
sebagai protein penekan tumor. Karsinogenesis dimulai dengan kerusakan
atau mutasi gen p53. Gen p53 bermutasi mensintesis protein p53 mutan.
Pada pasien kanker, protein p53 mutan terakumulasi dalam jaringan tumor
dan serum darah. Protein p53 mutan dalam serum pasien tumor meningkat
dengan tingkat bahaya penyakit, sehingga dapat digunakan sebagai
biomarker awal tumor
Fase awal kanker payudara adalah asimptomatik (tanpa ada gejala
dan tanda). Adanya benjolan atau penebalan pada payudara merupakan
tanda dan gejala yang paling umum, sedangkan tanda dan gejala tingkat
lanjut kanker payudara meliputi kulit cekung, retraksi atau deviasi puting susu
dan nyeri, nyeri tekan atau rabas khususnya berdarah dari puting. Kulit tebal
dengan pori-pori menonjol sama dengan kulit jeruk dan atau ulserasi pada
payudara merupakan tanda lanjut dari penyakit. Jika ada keterlibatan nodul,
mungkin menjadi keras, pembesaran nodul limfa aksilaris membesar dan atau
nodus supraklavikula teraba pada daerah leher. Metastasis yang luas meliputi
gejala dan tanda seperti anoreksia atau berat badan menurun; nyeri pada
bahu, pinggang, punggung bagian bawah atau pelvis; batu menetap;
gangguan pencernaan; pusing; penglihatan kabur dan sakit kepala. Proses
terjadinya metastasis karsinoma belum dapat ditentukan secara pasti, namun
para ahli membuktikan bahwa ukuran tumor berkaitan dengan kejadian
metastatis, yaitu semakin kecil tumor maka semakin kecil juga kejadian
metastatisnya. Apabila penyakit kanker payudara dapat dideteksi lebih awal,
maka pengobatan akan lebih mudah dilakukan, biaya pengobatan yang
dikeluarkan lebih murah serta peluang untuk sembuh lebih besar
dibandingkan kanker payudara yang ditemukan pada stadium lanjut

(a) (b)

Terdapat dua teori hipotesis pada inisiasi dan perkembangan kanker


payudara: teori sel induk kanker dan teori stokastik. Teori sel induk kanker
menunjukkan bahwa semua subtipe tumor berasal dari sel batang yang sama
atau sel yang memperkuat transit (sel progenitor). Mutasi genetik dan
epigenetik yang didapat dalam sel batang atau sel progenitor akan
menyebabkan berbagai fenotipe tumor (Gambar 1(a)). Teori stokastik
menyatakan bahwa setiap subtipe tumor dimulai dari jenis sel tunggal (sel
induk, sel progenitor, atau sel terdiferensiasi) (Gambar 1(b)). Mutasi acak
dapat berangsur-angsur menumpuk di setiap sel payudara, menyebabkan
transformasi sel tersebut menjadi sel tumor ketika mutasi yang memadai telah
menumpuk. Meskipun kedua teori tersebut didukung oleh banyak data, tidak
ada yang dapat sepenuhnya menjelaskan asal usul kanker payudara manusia

Biomarker ca 15-3

Cancer antigen 15-3 (Ca 15-3) dipakai untuk mengidentifikasi kanker


payudara dan monitoring hasil pengobatan. Pemeriksaan petanda tumor ini
akan lebih sensitif bila digunakan bersama CEA. Kadar Ca 15-3 meningkat
pada keganasan payudara, ovarium, paru, pankreas dan prostat.

Petanda tumor CA 15-3 mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang


rendah pada tahap awal penyakit dan akan meningkat sejalan dengan
semakinlanjutnya perjalanan penyakit. Berbagai penelitian menunjukkan
peningkatankadar CA 15-3 pada kanker payudara stadium I hanya sekitar
10% pasien,stadium II sekitar 20% pasien, stadium III sekitar 40% pasien,
dan 75% pasien pada stadium IV. Pemeriksaan kadar CA 15-3 serial selama
masa pemantauan pasca terapi memberikan informasi prognostik yang lebih
baik. Peningkatan CA15-3 juga ditemukan pada pasien sirosis, hepatitis,
kelainan Autoimun dankelainan kelenjar ovarium.

Pada kanker payudara, peranan serum marker belum banyak


dibuktikan.Serum marker yang paling banyak dipakai adalah Ca 15-3 dan
CarcinoembryonicAntigen (CEA), sementara marker lain yang belum begitu
banyak dipakai antaralain BR 29.29 (Ca 27.29), Tissue Polypeptide Antigen
(TPA), Tissue Polypep Specific Antigen (TPS) dan Her-2. Tujuan review ini
adalah untuk mengevaluasikegunaan klinis serum tumor marker pada kanker
payudara, yaitu dalam diagnosisdini, prognosis, respon terhadap terapi,
pengawasan setelah pengobatan primer,dan monitor respon pada penyakit
tahap lanjut. Review terutama akan difokuskan pada Ca 15-3 karena Ca 15-3
merupakan yang paling luas dipakai pada kanker payudara.

Anda mungkin juga menyukai