Salam JKM,
Selamat membaca
Laporan Penelitian
HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI P53 DAN KI67 DENGAN BERBAGAI JENIS HISTOPATOLOGI BIOPSI BRONKUS
PADA KASUS KANKER PARU PRIMER
Gde upeksha*, Putu Parsama Putra*, Suryanti Dwi Pratiwi**, Mardiana Sri Susanti***
* Departemen/SMF Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, ** Departemen/SMF Patologi dan Anatomi, FKUB-RSU dr Saiful
Anwar Malang
ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker paru adalah penyebab utama kematian diantara keganasan manusia karena respon
kurang terhadap terapi dan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun kanker paru kurang dari 20%. Kebanyakan
kematiannya akibat metastasis jauh. Penanda tumor untuk deteksi dini pemantauan kekambuhan sangat
penting untuk memperpanjang kelangsungan hidup pasien kanker paru. Di antara marker (penanda) biologis
baru yang bisa menjadi faktor prognostik pada karsinoma paru diantaranya adalah p53 dan Ki67. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui hubungan ekspresi p53 dan ki67 dengan berbagai jenis histopatologi biopsi
bronkus kanker paru primer. Metode: Penelitian klinis dengan metode penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional, secara retrospektif pada biopsi melalui bronkoskopi kasus kanker paru primer,
kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia dengan marker p53 dan Ki67. Hasil: Terdapat peningkatan
ekspresi p53 terhadap sel ganas (p = 0,064) dan ekspresi Ki67 terhadap sel ganas,( p = 0,951) dan didapatkan
peningkatan ekspresi p53 dan Ki67 pada sel ganas yang sama. (p = 0,693). Kesimpulan: Meskipun didapatkan
peningkatan ekspresi, tidak didapatkan hubungan bermakna antara peningkatan ekspresi p53 dan Ki67 dengan
jenis histopatologi biopsi bronkus pada kanker paru primer.
ABSTRACT
Background: Lung cancer is the leading cause of death among human malignancies due to lack of response to
therapy and 5-year survival rate for lung cancer less than 20%. Most deaths are result of distant metastases.
Tumor marker for early detection of recurrences is essential to prolong the survival of patients. Some markers
can be a new biological prognostic factors in lung carcinoma such as p53 and Ki67. Purpose of this study was to
determine relationship of the expression of p53 and ki67 with various types bronchial biopsy histopathology of
primary lung cancer. Methods: Clinical studies with analytic observational study with cross-sectional,
retrospective biopsy through bronchoscopy cases of primary lung cancer, then done immunohistochemical
staining with p53 and Ki67. Results: There are increased expressions of p53 against malignant cells (p = 0,064)
and Ki67 expressions against malignant cells, (p = 0,951) and increased expressions of p53 and Ki67 in the same
malignant cells (p = 0,693). Conclusion: Although obtain increased expression, no significant association was
found between increased expression of p53 and Ki67 with bronchial biopsy histopathology
Korespondensi:
NILAI DIAGNOSTIK URINE ANALYZER BERBASIS FLOW CYTOMETRY PADA INFEKSI SALURAN KEMIH
DIAGNOSTIC VALUE OF FLOW CYTOMETRY-BASED URINE ANALYZER IN URINARY TRACT INFECTION
ABSTRAK
Latar belakang: Infeksi saluran kemih (ISK) sering dijumpai di masyarakat dan komplikasi yang timbul akibat
keadaan ini bisa berakibat fatal. Terapi antibiotik yang tepat di fase awal perjalanan penyakit bisa mencegah
terjadinya hal ini. Namun, kultur urine sebagai pemeriksaan standar baku memiliki sejumlah keterbatasan,
diantaranya adalah waktu pengerjaan yang lama dan sebagian besar hasil yang diperoleh adalah negatif.
Analisis otomatik leukosit dan bakteri urine dengan prinsip flow cytometry merupakan suatu pendekatan
alternatif yang menjanjikan untuk identifikasi penderita ISK, tetapi data-data mengenai nilai diagnostiknya dari
berbagai penelitian masih tidak konsisten. Metode: Dilakukan pemeriksaan 50 sampel urine penderita suspek
ISK dan membandingkan hasil leukosit dan bakteri dari urine analyzer otomatik berbasis flow cytometry dengan
hasil kultur urine. Hasil: Didapatkan sensitivitas sebesar 78,95%, spesifisitas 74,19%, dan nilai ramal negatif
85,19% pada nilai cut-off leukosit ≥265,80/µL. Didapatkan nilai sensitivitas 89,47%, spesifisitas 83,87%, dan
nilai ramal negatif 9 2,86% pada nilai cut-off bakteri ≥734,65 x 106/µL. Kombinasi kedua parameter tersebut
memberikan nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 74,19%, dan nilai ramal negatif 100% jika dibandingkan dengan
hasil kultur urine. Kesimpulan: Jumlah leukosit dan bakteri urine yang diperiksa secara otomatik dengan urine
analyzer berbasis flow cytometry memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi adanya ISK.
Kata kunci: Infeksi saluran kemih (ISK), flow cytometry, urinalisis, kultur urine
ABSTRACT
Background: Urinary Tract Infections (UTIs) are common in the community and its complications can be fatal.
Appropriate antibiotic therapy in the early phase of the disease course can prevent it. However, urine culture
as the gold standard test has a number of limitations, including long turnaround time and large proportion of
negative results. Automated analysis of urine leukocytes and bacteria using the principle of flow cytometry is a
promising alternative approach for UTI identification, but data on its diagnostic value from various studies have
been inconsistent. Methods: We examined urine samples from 50 UTI-suspected patients and compared
leukocyte and bacteria results from the flow cytometry-based urine analyzer with urine culture results
Results: At a cut-off value for leukocyte count of ≥265.80/µL, we obtained a sensitivity of 78.95%, a specificity
of 74.19%, and a NPV of 85.19%. At a cut-off value for bacterial count of ≥734.65 x 106/µL, we obtained a
sensitivity of 89.47%, a specificity of 83.87%, and a NPV of 92.86%. A combination of both paremeters gives a
sensitivity of 100%, a specificity of 74.19%, and a NPV of 100%, when compared with urine culture.
Conclusion: The number of urine leukocyte and bacteria examined automatically by flow cytometry-based
urine analyzer has good sensitivity and specificity for detecting the presence of UTI.
Keywords: Urinary Tract Infections (UTI), flow cytometry, urinalysis, urine culture
Korespondensi:
Tabel 4. Hasil uji diagnostik Sysmex UF-500i untuk Gram-positif, analisis dengan kurva ROC menunjukkan
jumlah leukosit dan bakteri urine versus kultur urine nilai cut-off sebesar 57,15 untuk B_FSC dalam
perempuan
penelitian ini, dengan nilai AUC 0,65. Sensitivitas,
Leukosit
≥404,15/µL spesifisitas, NRP, dan NRN ditunjukkan pada Tabel 5.
Leukosit Bakteri
&
≥404,15/ ≥1008,15
bakteri
µL x106/µL
≥1008,15 Tabel 5. Hasil uji diagnostik Sysmex UF-500i untuk
x106/µL
nilai B_FSC
AUC 0,87 0,89
Sensitivitas B_FSC ≥57,15
81,82 90,91 100
(%) AUC 0,65
Spesifisitas
87,5 75 75 Sensitivitas (%) 75
(%)
NRP (%) 81,82 71,43 73,33 Spesifisitas (%) 66,67
NRN (%) 87,5 92,31 100 NRP (%) 37,15
NRN (%) 90,9
90,91%
62,50%
37,50%
9,09%
B_FSC<57.15 B_FSC≥57.15
Gambar 1. Persentase sampel dengan hasil kultur positif untuk bakteri Gram-positif atau Gram-
negatif dengan nilai cut-off B_FSC 57,15 ch
Hasil dari 11 sampel dengan nilai cut-off B_FSC <57,15, 10 (90,91%) berasal dari sampel yang
menunjukkan pertumbuhan bakteri gram-negatif dan 1 (9,09%) berasal dari sampel yang menunjukkan
pertumbuhan bakteri gram-positif. Sementara itu, untuk delapan sampel dengan nilai cut-off B_FSC ≥57,15,
sebanyak 5 (62,5%) sampel berasal dari bakteri Gram-negatif dan 3 (37,5%) sampel lainnya berasal dari bakteri
Gram-positif (gambar 1).
DISKUSI ini berasal dari sampel urine subyek perempuan
Hasil penelitian ini menunjukkan prevalensi (57,89%), serupa dengan hasil dalam literatur.11,12
ISK dengan menggunakan nilai cut-off >105 CFU/mL, Escherichia coli (42,12%) adalah mikroorganisme yang
adalah 38%. Hasil ini sesuai dengan hasil yang paling banyak diisolasi dari media kultur. Hasil ini juga
dilaporkan oleh Manoni et al (2010) dan Broeren et al sesuai dengan data dalam literatur.7,13
(2011).1,10 Sebagian besar dari hasil kultur yang positif
Evaluasi jumlah leukosit dan bakteri dalam antara dua kelompok tersebut. Kemungkinan
urine subyek yang dicurigai mengalami ISK, dilakukan kontaminasi pada perempuan lebih besar daripada
dengan menggunakan Sysmex UF-500i, suatu urine laki-laki. Jika nilai cut-off leukosit digabungkan dengan
analyzer berbasis flow cytometry. Nilai cut-off yang bakteri urine, pada subyek laki-laki, sensitivitasnya
memberikan sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk sama dengan hasil yang diperoleh dengan
leukosit urine adalah ≥265,80/µL (sensitivitas 78,95%, penggunaan bakteri urine saja sedangkan
spesifisitas 74,19) dan untuk bakteri urine adalah spesifisitasnya menurun. Sementara itu, pada subyek
≥734,65/µL (sensitivitas 89,47%, spesifisitas 83,87%). perempuan, kombinasi kedua parameter ini
Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan meningkatkan sensitivitas dan memberikan
hasil yang diperoleh oleh Giesen et al (2013).14 Nilai spesifisitas yang sama dengan penggunaan bakteri
cut-off leukosit dan bakteri urine untuk identifikasi ISK urine saja. Bila tidak dibedakan menurut jenis
terhadap hasil kultur urine dalam penelitian ini juga kelamin, kombinasi kedua parameter ini
kami bedakan berdasarkan jenis kelamin dikarenakan meningkatkan sensitivitas dan memberikan
adanya perbedaan anatomi saluran kemih antara laki- spesifisitas yang sama dengan penggunaan leukosit
laki dan perempuan.15 Secara umum, analisis dengan urine saja.
kurva ROC menunjukkan bahwa bakteriuria Kami juga mencoba meneliti apakah
merupakan indikator adanya ISK yang lebih baik parameter B_FSC pada alat ini bisa digunakan untuk
daripada leukosituria. Hasil ini sesuai dengan yang membedakan bakteri gram-negatif dari bakteri gram-
dilaporkan oleh Broeren et al (2011).10 positif, berdasarkan kecenderungan bakteri gram-
Nilai cut-off yang memberikan sensitivitas dan positif untuk beragregasi sehingga terdeteksi sebagai
spesifisitas terbaik untuk leukosit urine pada subyek partikel yang berukuran lebih besar.16 Hasil yang kami
laki-laki adalah ≥174,90/µL (sensitivitas 87,5%, peroleh berbeda dengan hasil penelitian dalam
spesifisitas 80%) sedangkan pada subyek perempuan literatur. Dalam penelitiannya, de Rosa et al (2013)
adalah ≥404,15/µL (sensitivitas 81,82%, spesifisitas melaporkan bahwa pada nilai cut-off 30 ch,
87,5%). Sementara itu, untuk bakteri urine, nilai cut- sensitivitas dan spesifisitas B_FSC untuk
off yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas mengidentifikasi bakteri gram-negatif adalah 72,2%
6
terbaik pada subyek laki-laki adalah ≥87,45 x 10 /µL dan 80,8%.16 Sedangkan dalam penelitian kami,
(sensitivitas 100%, spesifisitas 86,7%) sedangkan pada sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk
subyek perempuan adalah ≥1008,15 x 106/µL mengidentifikasi bakteri gram-positif dari bakteri
(sensitivitas 90,91%, spesifisitas 75%). Hasil ini hampir gram-negatif dihasilkan oleh nilai cut-off B_FSC
sama dengan hasil yang dilaporkan oleh Giesen et al ≥57,15 ch, yaitu masing-masing sebesar 75% dan
(2013).14 Dalam laporan hasil penelitiannya, mereka 66,67%. Kurangnya spesifisitas nilai B_FSC dalam
menyatakan bahwa pada subyek laki-laki, sensitivitas membedakan bakteri gram-positif dari bakteri gram-
leukosit dan bakteri urine untuk memprediksi ISK negatif dalam penelitian ini mungkin dipengaruhi oleh
lebih baik daripada hasil yang diperoleh dari subyek jauh lebih sedikitnya jumlah sampel yang
perempuan. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi menunjukkan pertumbuhan bakteri gram-positif
oleh cara pengambilan sampel urine yang berbeda (hanya 4 dari 19 sampel dengan hasil kultur positif)
KESIMPULAN 4. Brilha S, Proenca H, Cristino JM, Hanscheid, T.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini Use of flow cytometry (Sysmex® UF-100) to
menunjukkan bahwa jumlah leukosit dan bakteri screen for positive urine cultures: in search for
urine yang diperiksa secara otomatik dengan urine the ideal cut-off. Clinical Chemistry and
analyzer berbasis flow-cytometry memiliki sensitivitas Laboratory Medicine 2010 ; 48 (2): 289-292.
dan spesifisitas yang baik untuk mendeteksi adanya 5. Wada A, Kono M, Kawauchi S, Takagi Y,
ISK. Dengan demikian, alat ini bisa digunakan sebagai Morikawa T, Funakoshi K. Rapid discrimination of
metode alternatif untuk mengidentifikasi penderita Gram-positive and Gram-negative bacteria in
ISK di RSSA Malang. Sementara itu, parameter B_FSC liquid samples by using NaOHSodium Dodecyl
menunjukkan sensitivitas yang cukup tetapi Sulfate solution and flow cytometry. PLoS ONE
spesifisitasnya masih kurang untuk bisa digunakan 2012;7 (10): e47093.
dalam identifikasi bakteri gram-positif dan gram- 6. Jolkkonen S, Paattiniemi E, Karpanoja
negatif penyebab ISK. Penelitian lebih lanjut dengan P,Sarkkinen H.Screening of urine samples by flow
jumlah sampel yang lebih besar masih diperlukan, cytometry reduces the need for culture. Journal
karena kemungkinan mendapatkan hasil kultur yang of Clinical Microbiology 2010; 48(9): 3117-3121.
menunjukkan pertumbuhan bakteri gram-positif lebih 7. Krongvorakul J, Phundhusuwannakula P,
besar. Berdasarkan hal tersebut akan diperoleh data Santanirand P, Kunakorna M. A flow cytometric
yang lebih memadai untuk mengetahui kemampuan urine analyzer for bacteria and white blood cell
urine analyzer berbasis flow-cytometry dalam counts plus urine dipstick test for rapid screening
membedakan bakteri gram-positif dan bakteri gram- of bacterial urinary tract infection. Asian
negatif. Biomedicine 2012; 6 (4): 601-608.
8. Dai Q, Jiang Y, Shi H, Zhou W, Zhou S, Yang H .
DAFTAR PUSTAKA Evaluation of the automated urine particle
1. Manoni F, Fornasiero L, Ercolin M, Tinello A, analyzer UF-1000i screening for urinary tract
Ferrian M, Hoffer P, Valverde S, Gessoni G. infection in nonpregnant women. Clinical
Cutoff values for bacteria and leukocytes for Laboratory 2014; 60: xx-xx.
urine flow cytometer Sysmex UF-1000i in urinary 9. Shang Y, Wang Q, Zhang J, Xu Y, Zhang W, Chen
tract infections. Diagnostic Microbiology and Y, Gu M, Hu Z , Deng A. Systematic review and
Infectious Disease 2009; 65:103-107. meta-analysis of flow cytometry in urinary tract
2. Sheerin NS. Urinary tract infection. Medicine infection screening. Clinical Chimica Acta 2013;
2011; 39(7): 384-389. 424: 90-95.
3. De Rosa R, Grosso S, Bruschetta G, Avolio M, 10. Broeren MAC, Bahçeci S, Vader HL , Arenta NLA.
Stano P, Modolo, M, Camporese A. Evaluation of Screening for urinary tract infection with the
the Sysmex UF1000i flow cytometer for ruling Sysmex UF-1000i urine flow cytometer. Journal
out bacterial urinary tract infection. Clinical of Clinical Microbiology 2011; 49 (3): 1025-1029.
Chimica Acta, 2010; 411: 1137-1142. 11. Farajnia S, Alikhani MY, Ghotaslou R, Naghili B,
Nakhlband A.Causative agents and antimicrobial
susceptibilities of urinary tract infections in the
northwest of Iran. International Journal of
Infectious Disease. 2009;13:140-144.
12. Chenari MR, Gooran S, Zarghami A, Fazeli F.
Assessment of Urine Analysis Diagnostic Role: A
Cross-Sectional Study in South Eastern of Iran.
Open Journal of Urology 2012; 2: 227-231.
13. Pieretti B, Brunati P, Pini B, Colzani C, Congedo P,
Rocchi M,Terramocci, R. Diagnosis of bacteriuria
and leukocyturia by automated flow cytometry
compared with urine culture. Journal of Clinical
Microbiology 2010; 48 (11): 3990-3996.
14. Giesen CD, Greeno AM, Thompson KA, Patel R,
Jenkins SM, Lieske JC. Performance of flow
cytometry to screen urine for bacteria and white
blood cells prior to urine culture. Clinical
Biochemistry 2013; 46: 810-813.
15. Franz M, Höri WH.Common errors in diagnosis
and management of urinary tract infection. I:
Pathophysiology and diagnostic techniques.
Nephrology Dialysis Transplantation 1999;
14:2746-2753.
16. De Rosa R, Grosso S, Bruschetta G, Avolio M,
Stano P, Modolo M, Camporese A.Sysmex UF-
1000i flow cytometer capability to discriminate
Gram negatives and Gram positives in urine.
Poster presentaion at: 3rd Congresso NEWMICRO
2013; March 20-22 , Italy .
Laporan Penelitian
KORELASI ANTARA EKSKRESI PODOSIT URIN DENGAN ALBUMIN URIN PADA PASIEN DIABETES TIPE-2
ABSTRAK
Latar belakang: nefropati diabetik (ND) secara klinis ditandai dengan mikroalbuminuria yang berkembang
menjadi makroalbuminuria. Perubahan struktur dan fungsi podosit berkaitan erat dengan albuminuria. Jejas
pada podosit ditandai dengan mikroalbuminuria. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara
ekskresi podocyturine dengan albuminurine pada pasien diabetik tipe-2. Metode penelitian menggunakan
pendekatan cross-sectional, pada pasien rawat jalan endokrinologi RSU dr. Saiful Anwar Malang. Diukur
beberapa parameter klinis dan laboratorik. Ekskresi podocyturine diukur dengan Anti-human Podocalyxin
Monoclonal-antibody menggunakan metode ELISA. Hasil: didapatkan 53 pasien dan 34 (64.2%) adalah wanita.
Lama diabetes tipe-2 rata-rata 6.3 tahun (range=2.5-23.0 tahun) dan rata-rata usia 56.23±8.04 tahun. Rata-rata
ekskresi urinari albumin 95.89 mg/gr (range=2.00-1426.80 mg/gr), dengan microalbuminurine 22 pasien
(41.50%) dan nefropati overt 3 pasien (5.7%). Rata-rata ekskresi podocyturine 6,92±6,31/mg kreatinin
(range=1.51-35.58/mg kreatinin). Parameter klinis, level ekskresi albuminurine secara signifikan berkorelasi
dengan diabetes yang sudah berlangsung lama (r=0.275, p=0.047) dan BP sistolik (r=0.277, p=0.043). dan laju
ekskresi podocyturine secara signifikan berkorelasi juga dengan diabetes yang sudah berlangsung lama
(r=0.342,p=0.012). Laju ekskresi podocyturine secara signifikan berkorelasi dengan kuantitatif ekskresi urin
kreatinin (r=-0.808,p=0.000). Tidak ada korelasi antara ekskresi podocyturine dengan level laju ekskresi
albuminurine (r=0.224, p=0.108). Kesimpulan: ada peningkatan ekskresi podocyturine pada pasien
makroalbuminurik dibandingkan normo- dan atau mikroalbuminurik, tetapi tidak ada korelasi antara ekskresi
podocyturine dengan level ekskresi albuminurin pada pasien diabetes tipe-2. Ekskresi podocyturine secara
signifikan berkorelasi dengan diabetes yang berlangsung lama dan kuantitatif ekskresi urin kreatinin.
Kata Kunci: Nefropati Diabetik, Podocyturine, Diabetes yang berlangsung lama, Ekskresi kreatinin urin
ABSTRACT
Background: Clinically, diabetic nephropathy (DN) marked by microalbuminurine to later stages characterized
by macroalbuminurine. Changes in podocytes structure & function are closely related to increases in
albuminurine in DN. Podocytes injury occurs in DN being manifested as albuminurine. Objectives of this study
was to investigate the association between podocyturine excretions with a level of albuminurine excretions
rate in type-2 diabetic patients. Methods: Its a cross-sectional study, the datas collected from Metabolic
Endocrinology outpatient of Dr.Saiful Anwar General Hospital Malang. We assess several of clinical parameters
and laboratoric. Podocyturine excretion was measured by Anti-human Podocalyxin Monoclonal-antibody with
ELISA method. Results: We documented 53 patients and 34 (64.2%) are female. At baseline, the duration of
type-2 diabetes averaged 6.3 years (range=2.5-23.0 years) and the mean age was 56.23 ±8.04 years old. Mean
of urinary albumin excretion was 95.89 mg/gr (range=2.00-1426.80 mg/gr), with microalbuminurin was 22
(41.50%) patients and overt nephropathy was 3 (5.7%) patients. Mean of podocyturine excretions was
6,92±6,31 permg creatinine (range=1.51-35.58 permg creatinine). The clinical parameters, the level of
albuminurine excretions were significantly correlated with a long-standing of diabetes (r=0.275,p=0.047) and
systolic BP (r=0.277,p=0.043). And, the rate of podocyturine excretions were significantly correlated with a
long-standing of diabetes too (r=0.342,p=0.012). The rate of podocyturine excretions were significantly
correlated with quantitative creatinine urine excretions (r=-0.808,p=0.000). There was no correlation between
podocyturine excretions to a level of albuminurine excretions rate (r=0.224, p=0.108). Conclusions: There was
increase of podocyturine excretion in macroalbuminuric patients rather normo- and or microalbuminuric, but
no correlation between podocyturine excretions with a level of albuminurine excretions in type-2 diabetic
patients. The podocyturine excretions had significantly correlated with a long-standing of diabetes and
quantitative creatinine urine excretions.
Keywords: Diabetic Nephropathy, Podocyturine, Long-standing of diabetes, Creatinine urine Excretions
Korespondensi:
Rerata Jumlah
80
Tabel 2 Karakteristik Laboratorium Subyek Penelitian
(n=53) 60
16.04
Karakteristik Hasil Rerata ± SD (Rentang) 40
2.76 16.31
5.53 7.43
Laboratorium atau Persentase (%) 20
Haemoglobine (mg/dL) 13,29±1,39 (10,3-15,7) 0
Normal 50 (94,3%) Normoalbumin Mikroalbumin Makroalbumin
Anemia 3 (5,7%) (n=28) (n=22) (n=3)
Leukosit (u/dL) 7796±1629 (5400-11710) Ekskresi Podositurin (/mg creatinin) Albuminurin Kwantitatif (gr/dL)
Normal 48 (90,6%)
Leukositosis 5 (9,4%)
Gula darah puasa (mg/dL) 166,98±61,24 (92-365)
Grafik 1. Rerata Jumlah ekskresi Podositurin dan
Gula darah 2 jam PP 229,55±89,13 (96-519) Albuminurin Kwantitatif pasien DM tipe-2 dengan
(mg/dL) Normo-, Mikro- dan Makroalbuminurin
hs-CRP (u/L) 0,155±0,117 (0,004-0,790)
Ureum serum(mg/dL) 28,78± 9,62 (13,50-55,70)
3. Hubungan Derajat Ekskresi Albuminurin dengan
Normal 52 (98,10%)
Meningkat 1 (1,90%) Karakteristik Klinis Subyek
Kreatinin serum (mg/dL) 0,88±0,23 (0,50-1,33)
SGOT (U/L) 26,85±18,01 (11-100) Hubungan antara derajat ekskresi albuminurin
dengan karakteristik klinis subyek penelitian terangkum
Normal 49 (92,50%)
Meningkat 4 (7,50%) dalam Tabel 3.1. Jumlah rerata ekskresi albuminurin
SGPT (U/L) 30,06±29,40 (8-175) adalah 95,89 mg/gr (range=2,00–1426,80 mg/gr).
Normal 46 (86,80%)
Meningkat 7 (13,20%) Didapatkan rerata lama pasien menderita
Albumin serum (gr/dL) 4,64±0,36 (3,82-5,40)
Albuminurin 14,19±3,23 (0,24-132,21) Diabetes dan rerata TD Sistolik lebih tinggi pada pasien
kwantit.(mg/dL) dengan makroalbuminurin dibandingkan pada pasien
Albuminurin kwalitatif
0 29 (54,72%) dengan normo- dan atau mikroalbuminurin, seperti
1+ 20 (37,74%)
2+ 2 (3,77%)
terlihat pada Grafik 3.2.
3+ 0 (0%) Dari analisa data diperoleh korelasi bermakna
4+ 2 (3,77%)
Kreatinin urin kwantit. 0,205±0,201 (0,016-0,937) antara derajat ekskresi albuminurin dengan lama
(gr/dL)
pasien menderita DM tipe-2 (r=0.275,p=0.047) dan
Albumin-Creatinin Ratio 95,89±2,29 (2,10-1422,80)
(ACR) pemeriksaan TD Sistolik (r=0.277,p=0.043).
Normoalbuminurin 28 (52,80%)
Mikroalbuminurin 22 (41,50%)
Makroalbuminurin 3 (5,70%)
Kolesterol Total (mg/dL) 214,77±44,08 (144-356)
Kolesterol-HDL (mg/dL) 47,72±9,67 (28-70)
Kolesterol-LDL (mg/dL) 135,17±32,12 (74-202)
Trigliserida (mg/dL) 158,09±100,75 (42-564)
HbA1C (%) 11,00±3,50 (4,43-21,38)
Podosit urin (/mg 6,92±6,31 (1,51-35,58)
kreatinin)
160 129 mmHg
118 mmHg 124 mmHg
140
120
100
Jumlah
80
124
60 bulan
77
40 63
bulan
bulan
20
0
Normoalbumin Mikroalbumin Makroalbuminurin
(n=28) (n=22) (n=3)
Grafik 2. Rerata Lama DM tipe-2 dan TD Sistolik berdasarkan Derajat Ekskresi Albuminurin
Tabel 3. Derajat Ekskresi Albuminurin berdasarkan Karakteristik Klinis Subyek Penelitian (n=53)
Derajat Ekskresi Albuminurin
p
Karakteristik Klinis Normoalbumin Mikroalbumin Makroalbumin
(n=28) (n=22) (n=3)
20 16.31
Hubungan antara derajat ekskresi
15
albuminurin berdasarkan karakteristik laboratorium
7.43
10
5.51
subyek penelitian terangkum dalam Tabel 5.2 dan
5
Grafik 5.3 dan 5.4 berikut ini.
0
Normoalbumin Mikroalbumin Makroalbumin
(n=28) (n=22) (n=3)
Tabel 5. Korelasi Derajat Ekskresi Albuminurin
dengan Karakteristik Laboratorium
Grafik 3. Rerata Ekskresi Podositurin berdasarkan
Derajat ACR Variabel Korelasi
r p*
Tabel 4. Korelasi Ekskresi Podositurin berdasarkan
Karakteristik Klinis Subyek Pengendalian GD Puasa 0.283 0.040
Karakteristik Klinis Ekskresi P (mg/dL)
(n=53) Podositurin Kadar Kreatinin Serum 0.279 0.043
Seks (pria: wanita) (19:34) 0.942 (mg/dL)
Usia (tahun) 56.23±8.00 0.091 Albuminurin Kwantitatif 0.664 0.000
Lama menderita DM 72.36±60.20 0.012 (gr/dL)
(bulan) * Kreatininurin Kwantitatif 0.343 0.012
Suhu aksilla (oC) 37.29±0.01 0.781 (gr/dL)
Berat badan (kg) 57.24±6.46 0.497 Kadar HbA1C (%) 0.297 0.031
Tinggi badan (m) 1.56±0.08 0.606 * Spearman Correlation Test
Indeks Massa Tubuh 23.48±1.48 0.956
(kg/m2)
Normal 1 17 (32.1%) 0.955
Normal 2 36 (67.9%)
TD Sistolik (mmHg) 121.45±13.43 0.278
Normal 22 (41.50%) 0.126
Pre-hipertensi 31 (58.50%)
TD Diastolik (mmHg) 76.32±8.54 0.903
Normal 36 (67.90%) 0.851
Pre-hipertensi 17 (32.10%)
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
50
40
p=0.047
Rerata Jumlah
30
20 p=0.012
10
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama DM tipe-2 (tahun)
Ekskresi Podositurin (/mg kreatinin) Ekskresi Albuminurin (mg/gr)
250 14
200 13
p=0.040
150 12
Rerata Jumlah
100 p=0.000 11
50 10
p=0.031
0 9
-50 8
1 2
0.95
1.5
0.9
Rerata Jumlah
0.85 1
p=0.043
0.8
0.5
0.75 p=0.012
0.7 0
Pada referensi disebutkan, dalam waktu 5 pencapaian TD pasien diabetes adalah <130/80
sampai 10 tahun perjalanan diabetes, pada ±40% mmHg23. Hal yang sama juga direkomendasikan oleh
individu akan mulai terjadi peningkatan ekskresi American Diabetes Association (ADA), World Health
albuminurin dalam jumlah kecil19. Dari total 53 Organization (WHO)/International Society of
subyek, sebanyak 22 (41,50%) subyek mempunyai TD Hypertension (ISH), dan National Kidney Foundation
sistolik normal dan 31 (58,50%) subyek diketahui pre- (NKF)24,25.
hipertensi. Rerata TD sistolik pada subyek dengan Abnormalitas metabolisme lipid lebih banyak
makro-albuminurin adalah 128,67 mmHg (range=116- dijumpai pada pasien diabetes, dan hal ini akan
135 mm Hg). Dari 3 subyek dengan makroalbuminurin memacu kerusakan pembuluh darah dan proses
sebanyak 2 (66,7%) subyek diketahui pre-hipertensi atherosklerosis. Peningkatan kadar kolesterol-LDL
dan 1 (33,3%) subyek mempunyai TD Sistolik normal. merupakan faktor resiko utama penyakit pembuluh
Hipertensi lebih sering dijumpai pada pasien darah koroner26.
diabetes ketimbang non-diabetes, dan HT ditemukan Dari hasil pemeriksaan proteinurin kwalitatif,
pada lebih dari 50% pasien diabetik yang berusia >45 didapatkan 20 (37,74%) subyek dengan proteinurin
21
tahun terutama pasien wanita . Hipertensi 1+, 2 (3,77%) subyek dengan proteinurin 2+, dan
berhubungan erat dengan ‘syndrome-metabolic’ yang proteinurin 4+ didapatkan pada 3 (5,7%) subyek. Pada
dikaitkan dengan patogenesa dari DM tipe-2 itu pemeriksaan ACR, terdapat 22 (41,50%) subyek
sendiri, dan hal ini akan meningkatkan resiko dua kali dengan mikroalbuminurin dan 3 (5,70%) subyek
lipat untuk terjadinya ND21,22. Hipertensi merupakan sudah pada tahap makroalbuminurin. ND akan terjadi
faktor ko-morbid utama pada diabetes, dimana pada 20-40% pasien diabetes yang merupakan
prevalensinya tergantung pada tipe DM, usia pasien, penyebab utama dari Penyakit Ginjal Tahap Akhir
obesitas dan etnis. Hipertensi juga merupakan faktor (PGTA). Albuminurin persisten dengan range 30–299
resiko komplikasi Cardio Vascular Disease (CVD) dan mg/24-jam atau mikroalbuminurin merupakan
komplikasi lanjut mikrovaskular20. Joint National petunjuk adanya progresifitas dan perkembangan ND
Committee (JNC-VII) merekomendasikan target pada pasien dengan diabetes27,28.
Hubungan Ekskresi Podositurin dengan Derajat extracellular nephrin, dengan besar poros sesuai
Ekskresi Albuminurin ukuran albumin, yaitu ±40 nm54,55.
Terdapat peningkatan jumlah rerata ekskresi
Sedikitnya terdapat 3 proses yang
podositurin pada pasien diabetes dengan makro-
menjelaskan penurunan densitas podosit pada ND50,
albuminurin dibanding pada normo- dan atau
yaitu penebalan glomerulus karena hiperglikemia, HT-
mikroalbuminurin, tetapi tidak didapatkan hubungan
intraglomerulus dan peningkatan growth-factors yang
yang signifikan antara ekskresi podositurin dengan
menyebabkan pemisahan Fp-podosit tanpa
derajat ekskresi albuminurin. Dari hasil penelitian,
mengurangi jumlah podosit50,54.(Gbr.2.2). Respon
didapatkan rerata ekskresi podositurin dan derajat
podosit atas penebalan glomerulus meliputi
ekskresi albuminurin keduanya mempunyai korelasi
pelebaran FP sebagai respon adaptif dalam menjaga
yang signifikan terhadap lama subyek menderita DM.
fungsi glomerular slit pore54.
AKURASI DIAGNOSIS PEMERIKSAAN FINE NEEDLE ASPIRATION BIOPSY (FNAB) PADA TUMOR BERBAGAI
ORGAN DI INSTALASI PATOLOGI ANATOMI RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
ABSTRAK
Diagnosis klinis dari tumor berbagai organ ditentukan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Seiring dengan perkembangan Ilmu Patologi Anatomi dalam bidang sitopatologi, maka
dikembangkanlah diagnosis Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) yang merupakan salah satu metode
pemeriksaan preoperatif dalam mendiagnosis tumor berbagai organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
akurasi diagnosis pemeriksaan FNAB penderita tumor berbagai organ di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit
Umum dr. Saiful Anwar Malang Periode Januari 2013 – Desember 2013. Penelitian ini merupakan penelitian uji
diagnostik dengan mengambil data sekunder dari rekam medis penderita tumor berbagai organ. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 170 kasus pasien tumor berbagai organ yang dilakukan pemeriksaan FNAB dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan Histopatologi, didapatkan tumor jinak tersering adalah Adenomatous Goiter
30,95% dan tumor ganas tersering adalah Undifferentiated Carcinoma 22,73% dan Infiltrating Ductal Carcinoma
25,53%. Dari 170 kasus tersebut didapatkan True Negatif 71,18%, True Positif 25,29%, False Negatif 2,35% dan
False Positif 1,18%. Dari analisa uji diagnostik diperoleh akurasi pemeriksaan FNAB adalah sebesar 95,93%
dengan sensitifitas 89,58%, spesifisitas 98,39%, nilai prediksi positif 95,55%, dan nilai prediksi negatif 96,06%.
Dalam penelitian ini masih ditemukan false negatif dan false positif masing masing sebanyak 4 (2,35%) dan 2
kasus (1,18%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah FNAB merupakan pemeriksaan yang memiliki akurasi tinggi
sebagai pemeriksaan preoperatif pada tumor berbagai organ, namun pemeriksaan FNAB bukan sebagai
pengganti diagnosis Histopatologi yang merupakan diagnosis pasti (gold standart).
Kata Kunci : Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB), Tumor Berbagai Organ, Akurasi Diagnosis
ABSTRACT
The clinical diagnosis of tumors in various organs is determined from anamnesis, physical examination and
investigation. Along with the development of Anatomical Pathology in the field of cytopathology, so diagnostic
of FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) is being developed, which is one of the preoperative examination
method in the diagnosis of tumors in various organs. This study was aimed to determine the diagnostic accuracy
of FNAB examination of tumors in various organs at Anatomical Pathology Installation General Hospital dr. Saiful
Anwar Malang, at the period of January 2013 - December 2013. This study is a diagnostic test by taking
secondary data from medical records of patients with tumors of various organs. The results showed that there
were 170 cases of patients with tumors of various organs examination and proceed with FNAB Histopathological
examination, the most common benign tumors found was Adenomatous goiter (30.95%) and the most common
malignant tumors were Undifferentiated Carcinoma (22.73%) and Infiltrating Ductal Carcinoma (25.53%). From
the total 170 cases, it was found that True Negatives obtained 71.18%, True Positive 25.29%, False Negative
2.35% and False Positive 1.18%. From the analysis of diagnostic test, accuracy obtained by the FNAB examination
amounted to 95.93% with a sensitivity of 89.58%, a specificity of 98.39%, positive predictive value of 95.55%,
and negative predictive value of 96.06%. In this study, it was still found false negatives and false positives,
respectively by 4 (2.35%) and 2 cases (1.18%). The conclusion from this study is that the examination of FNAB
has a high accuracy as preoperative examination in tumors of various organs, but the
FNAB examination is not a substitute of Histopathological diagnosis that is a definite Korespondensi:
diagnosis (gold standard). dr. Enggar Fitri Lihanasari
Email: karina.dewi85@gmail.com
Keywords : FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy), Tumors in Various Organs,
Diagnostic Accuracy
Tabel 3. Perhitungan Akurasi Diagnosis Pemeriksaan nuklear yang seragam, sedangkan pada Follicular
FNAB Jenis Tumor Dibandingkan Pemeriksaan Adenoma memperlihatkan nuklear yang kecil atau
Histopatologi Pada Kasus True Positif
True Sesuai 29 67.44% besar 9.
Positif Tidak Sesuai 14 32.56% Dari 170 kasus tumor berbagai organ yang
ABSTRAK
Latar belakang: Salah satu modalitas terapi untuk skar akne adalah microneedling yang dapat mempengaruhi
proses penyembuhan luka dan memberikan hasil yang baik untuk tipe rolling dan boxcar.
Kasus: Perempuan 23 tahun mengeluhkan skar bekas jerawat pada wajah sejak 6 tahun yang tidak dapat
disamarkan dengan kosmetik. Pemeriksaan dermatologi pada pipi dijumpai tipe makula eritematosa, icepick,
rolling, dan boxcar; pada dahi terdapat tipe icepick; pada pelipis dengan tipe boxcar; pada rahang terdapat tipe
rolling. Diagnosis adalah skar akne derajat sedang dengan skor kuantitatif Goodman dan Baron 17.
Microneedling menggunakan dermapen dilakukan sebanyak 2 sesi dengan interval 6 minggu. Evaluasi 6 minggu
setelah tindakan kedua skor menjadi 10. Efek samping eritema dan edema menghilang 3 hari setelah tindakan.
Pembahasan: Microneedling merupakan terapi efektif skar akne tipe rolling dan boxcar, dengan downtimedan
efek samping minimal. Microneedling membuat perlukaan pada kulit, mencetuskan dihasilkannya kolagen yang
dapat memperbaiki kontur permukaan kulit.
ABSTRACT
Background: One of treatment for acne scar is microneedling that can modify wound healing process and has
showed good result for rolling and boxcar type.
Case: A 23-year-old-woman complained about post acne scars on face which can’t be camouflaged by
cosmetics since 6 years. Dermatologic examination showed erythematous macule, icepick, rolling, and boxcar
type on cheek; icepick type on forehead; boxcar type on temples; rolling type on jaws. Diagnosis was moderate
acne scar with Goodman and Baron’s quantitative score 17. Microneedling was done using Dermapen for 2
sessions with 6 weeks interval. Evaluation on 6 weeks after second procedure resulted decreament of score to
10. Side effects experienced was erythema and edema lasted for 3 days after procedure.
Discussion: Microneedling is effective treatment for rolling and boxcar type acne scar with minimal down time
and side effects. Microneedling works by making injury of the skin, resulted on collagen production to improve
skin surface contour.
Korespondensi:
Gambar 1. Foto awal kedatangan, terdapat skar atrofi dengan diameter bervariasi pada area wajah
Penilaian dilakukan dengan Goodman’s global kemudian dan dilakukan microneedling. Alat yang
scarring grading system, skor kuantitatif didapatkan digunakan adalah Dermapen, sebuah alat
17, skor kualitatif sesuai dengan derajat 3 microneedling otomatis dengan dimensi 20 x 20 x 140
(sedang).5Pemeriksaan status generalis dalam batas mm. Ujung bawah dari alat terdapat jarum sekali
normal dengan tekanan darah 120/70mmHg, denyut pakai. Pertama pasien diminta untuk berbaring di
nadi 88x/menit, frekuensi napas 88x/menit, kasur dengan nyaman. Dilakukan disinfeksi dengan
temperatur afebris. menggunakan alkohol pada kulit wajah (Gambar 2).
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik Krim anestesi berisi lidokain 9,6%, benzokain, dan
lengkap, pasien didiagnosis dengan akne skar sedang tetrakain dioleskan pada area yang akan diterapi
(tipe makula, icepick, rolling, dan boxcar). Pasien (dahi, pelipis, pipi, dan dagu yang terdapat skar).
menghentikan pemakaian lotio Kummerfeldi untuk 1 Setelah satu jam pasien merasa kulit wajah sudah
minggu dan direncanakan untuk menjalani terapi terasa tebal, tidak lagi merasakan sentuhan. Krim
microneedling setelahnya. Pasien datang 1 minggu anestesi dibersihkan menggunakan kapas. Mata
pasien ditutup dengan kasa basah. Prosedur kali sampai terdapat perdarahan titik terlihat. Setelah
microneedling dimulai, kedalaman jarum diatur 1- tampak perdarahan titik pada semua area target,
1,5mm. Tangan kanan operator memegang dermapen prosedur dihentikan. Daerah yang basah dikompres
dengan ujung jarum ditempelkan pada kulit, tangan dengan NaCl 0.9% selama kurang lebih 10 menit.
kiri operator meregangkan kulit, sehingga dasar dari Setelah kering, dilakukan pengolesan krim kombinasi
skar dapat dicapai. Tekanan alat pada kulit hanya desonide 0.05% dan neomisin sulfat 0.5% pada area
minimal dengan pergerakan ke sekitar lesi. Alat yang diterapi.
digerakkan dengan arah sirkular pada skar sekitar 2-3
Pasien melaporkan setiap gejala subjektif yang penghitungan skoring derajat akne. Sesi needling ke-2
dialami setelah prosedur dan direncanakan untuk dilakukan.
prosedur microneedling ke-2 pada 6 minggu setelah Pada 6 minggu setelah prosedur ke-2, skar akne
prosedur pertama. Malam setelah prosedur menunjukkan perbaikan. Sebagian besar skar akne
microneedling dilakukan, wajah pasien menjadi dapat disamarkan dengan menggunakan kosmetik
bengkak, namun membaik pada hari setelah, dan (Gambar 4), namun pasien melaporkan munculnya
hilang pada hari-3.Pasien datang 6 minggu setelah jerawat baru pada beberapa area. Akne terdiri dari
prosedur pertama. Pasien melaporkan bahwa skar komedo (13), papula (11), pustula (2) dengan jumlah
akne menjadi lebih samar dan rata dibandingkan lesi adalah 26 (Gambar 4).
sebelumnya. Dilakukan pemeriksaan dan
Gambar 5. Pengelompokan skar akne atrofi1 metode subsisi.6 Microneedling kulit merupakan
metode sederhana dan efektif dalam mengobati skar
Skar akne merupakan sebuah masalah yang akne derajat 2-3 dan lesi kulit lain.5,10,11 Teknik ini
melibatkan perubahan kontur dan warna.9 Kelainan meliputi penusukan kulit berkali-kali dengan
pada kontur kulit kadang dapat terlihat secara visual, menggunakan jarum kecil untuk menginduksi
hilangnya jaringan (atrofi).9Skar pada dahi sebagian Dalam konsep yang tidak berbeda dengan
fraksinasi resurfacing, microneedling atau rolling kulit
manual dapat digunakan ketika mesin mahal tidak akibat pecahnya pembuluh darah halus.5 Jarum mikro
tersedia.10 Alat yang paling sederhana dapat menembus epidermis tetapi tidak menghilangkannya,
menggunakan jarum 30-gauge yang ditusukkan ke epidermis hanya ditusuk dan akan menyembuh
dalam kulit dengan kedalaman terkontrol dengan dengan cepat. Jarum memisahkan sel dari satu
bantuan forsep, tapi ini hanya cocok untuk skar dengan yang lain, dan bukan memotong, dan dengan
dengan area kecil.10 Perangkat yang digunakan dalam demikian banyak sel yang masih tersisa.5 Epidermis,
kasus ini adalah dermapen, salah satu alat terutama stratum korneum, tetap intak kecuali
microneedling yang lebih baru daripada dermaroller lubang mikro yang terbentuk yang berdiameter
sebelumnya. Dermapen adalah perangkat otomatis sekitar empat sel.5 Pembentukan kanal mikro dengan
dengan kecepatan bervariasi dan kedalaman jarum respon penyembuhan yang dihasilkan. Setelah
dapat disesuaikan, alat ini memungkinkan jarum penusukan jarum-jarum kecil, ribuan kanal mikro atau
untuk menembus lapisan kulit pada sudut 90 derajat. luka yang sangat kecil terbentuk dari epidermis
Keuntungan menggunakan dermapen dibandingkan sampai sedalam papila dermis pada kulit yang
dengan dermaroller adalah jarum dapat secara efektif diterapi.6 Kanal mikro membentuk zona pendarahan
menerapi area yang lebih spesifik dan terlokalisir superfisial yang menjadi stimulus kuat akan
meskipun sulit menjangkau area seperti sekitar mata, dilepaskannya berbagai macam faktor pertumbuhan
hidung, dan bibir. Dermaroller, karena memiliki seperti platelet-derived growth factor (PGF),
bentuk drum, akan menjangkau semua permukaan transforming growth factor alpha dan beta (TGF-α
dengan tekanan yang berbeda. Dermapen dapat dan TGF-β), dan fibroblast growth factor (FGF), yang
menjangkau semua area yang ditargetkan dengan menginisiasi proses penyembuhan luka normal
tekanan hampir sama. dengan menstimulasi migrasi dan proliferasi fibroblas
Microneedling kulit dikontraindikasikan pada sehingga menghasilkan deposisi kolagen.6 Pada
adanya terapi antikoagulan, infeksi kulit aktif, injeksi umumnya proses penyembuhan luka normal dibagi
kolagen, dan berbagai injeksi filler pada enam bulan menjadi tiga tahap: tahap inflamasi, fase
sebelum tindakan, riwayat skar hipertrofi dan keloid pembentukan jaringan (fase proliferasi), dan fase
1
pada pasien dan keluarga. Pada kasus ini, pasien dan remodeling jaringan.12 Tahap 1 ataufase peradangan
keluarganya tidak memiliki riwayat keloid. Riwayat dimulai segera setelah cedera, trombosit melepaskan
infeksi herpes, diabetes, gangguan perdarahan, faktor kemotaktik yang menyebabkan invasi
penyakit pembuluh darah kolagen, disangkal. Tidak trombosit lain, neutrofil, dan fibroblasts.5 Dalam
terdapat riwayat mengonsumsi obat-obatan oral penyembuhan luka, fase inflamasi biasanya
seperti aspirin, vitamin, ginkgo biloba, atau berlangsung sekitar 4-6 hari.12 Tahap 2 (fase
antikoagulan dalam 3 bulan terakhir. Tidak ada proliferasi) dimulai sekitar 4-5 hari setelah terjadi luka
riwayat operasi sebelumnya. dan berlangsung selama beberapa minggu setelahnya
Mekanisme pasti dari microneedling masih dalam keadaan normal dan sehat.12 Selama fase ini,
menjadi hipotesis pada beberapa studi. Ketika jarum neutrofil digantikan oleh monosit yang berubah
menembus ke dalam kulit, cedera yang terjadi menjadi makrofag dan melepaskan beberapa faktor
menyebabkan kerusakan lokal dan perdarahan kecil pertumbuhan termasuk platelet-derived growth
factor, fibroblast growth factor, dan transforming belum jelas, hasil akhir yang diharapkan adalah
growth factors a dan b, yang merangsang migrasi dan deposisi kolagen baru pada lapisan dermis atas.1 Pada
proliferasi fibroblasts.5 Keratinosit kemudian bergerak umumnya hasil mulai terlihat setelah sekitar 6 minggu
ke arah celah di membran basal dan mereka mulai tetapi efek maksimal dapat memerlukan waktu
memproduksi semua komponen untuk membangun sampai tiga bulan, dan karena deposisi kolagen baru
kembali membran basal dengan laminin dan kolagen berlangsung agak lama, tekstur kulit akan terus
tipe IV dan VII.5 Sehari atau dua hari setelah induksi mengalami perbaikan selama lebih dari 12 bulan.1
kolagen perkutan, keratinosit mulai berproliferasi dan Evaluasi luka dalam kasus ini didasarkan pada
melepaskan faktor pertumbuhan untuk mencetuskan anamnesis, pemeriksaan dermatologis, dan skor skar
dihasilkannya deposisi kolagen oleh fibroblas. Fase akne kualitatif dan kuantitatif. Kami mencatat status
remodelling jaringan (fase 3) berlangsung selama awal, evaluasi pada 6 minggu setelah prosedur
berbulan-bulan setelah cedera dan terutama microneedling pertama, pada hari yang sama
diperankan oleh fibroblas: kolagen tipe III yang dilakukan terapi microneedling kedua. Pada akhir
dihasilkan pada dermis bagian atas secara bertahap follow-up (6 minggu setelah sesi microneedling ke-2),
digantikan oleh kolagen tipe I.5 Proses konversi ini secara subjektif didapatkan bekas luka yang lebih
terjadi selama satu tahun atau mungkin lebih lama samar ketika dilihat melalui cermin. Pemeriksaan
dengan bantuan matriks metaloproteinase (1-3).5 dermatologis juga menunjukkan perbaikan dengan
Terdapat hipotesis lain yang menjelaskan perubahan beberapa skar atrofi yang menjadi lebih
mekanisme aksi microneedling kulit. Diduga bahwa dangkal dari sebelumnya. Digunakan skor skar akne
jarum memiliki potensi listrik mereka sendiri yang Goodman untuk menilai bekas luka. Skar akne makula
5,11
memicu proliferasi fibroblas. Tubuh bereaksi eritematosa tidak mengalami perubahan jumlah,
terhadap kerusakan epitel dengan sinyal elektrik yang sementara skar jenis lainnya menunjukkan
5,11
mengontrol kaskade penyembuhan luka. Dalam penurunan. Skar yang sebelumnya dalam berubah
beberapa temuan oleh Jaffe et al., membran sel hidup menjadi bekas luka dangkal. Skor kuantitatif pasien
1
memiliki potensial listrik istirahat sebesar -70 mV. mengalami penurunan dari 17 ke 10. Hasil ini sesuai
Potensi listrik sangat tergantung pada mkanisme dengan sebuah studi yang menunjukkan bahwa
1
transpor membran. Saat jarum mendekati sel, setelah dilakukan dua sesi microneedling, tingkat
potensi listrik dalam sel meningkat secara cepat keparahan skar tipe rolling pada semua pasien jauh
menjadi -100 mV.1 Perubahan potensi listrik ini berkurang.5 Analisis pada foto serta pemeriksaan
menyebabkan membran sel bereaksi dengan langsung pada kulit sebelum dan setelah dua sesi
meningkatkan aktivitas sel, melepaskan ion kalium, microneedling menunjukkan perbaikan kedalaman
protein, dan faktor pertumbuhan.1 Beda potensial ini skar hingga 25 persen.5 Tidak ada pasien yang
juga mengakibatkan migrasi fibroblas ke lokasi mengalami hiperpigmentasi.5 Sebuah penelitian
kerusakan jaringan, berproliferasi, dan dilakukan oleh Majid untuk membandingkan respon
bertransformasi menjadi serat kolagen.11 berbagai derajat skar akne setelah
Revaskularisasi dan neokolagenesis ini mengisi terapimicroneedling.4 Respon excellentdicapai pada
jaringan luka.11 Meskipun mekanisme aksinya masih sebagian besar pasien dengan skar akne derajat 2 dan
3 yang ditunjukkan oleh 100% pasien dan 76,2% mungkin lebih sesuai untuk pasien dengan riwayat
pasien, secara berturut-turut. Respon excellent diskromia kulit karena TCA CROSS memiliki insiden
didapatkan oleh peningkatan minimal 2 tingkat pada hiper- dan hipopigmentasi paska inflamasi yang
skor akne kualitatif Goodman dan Baron.4 Hasil akhir tinggi.13 Pasien biasanya dapat melanjutkan
pada microneedling tidak dapat dilihat dalam jangka kegiatannya secara normal dalam waktu 12 jam, dan
waktu singkat karena kolagen baru terus dihasilkan biasanya muncul keropeng ringan selama sekitar 2-3
selama kurang lebih 3-6 bulan setelah pengobatan hari.11 Semua keropeng akan mengelupas tanpa
selesai.6 meninggalkan bekas yang terlihat.11Pasien harus
Beberapa efek samping microneedling telah disarankan untuk menghindari penggunaan scrub,
dilaporkan pada berbagai studi. Beberapa diantaranya loofahs atau pembersih abrasif lain, serta
termasuk rasa nyeri selama prosedur, eritema dan menghindari paparan sinar matahari selama
edema sementara, hiperpigmentasi paska inflamasi, seminggu untuk mencegah hiperpigmentasi paska
sampai munculnya skar baru terdiri dari papula inflamasi.11 Pasien pada kasus ini mengalami
diskret berpola linear sesuai dengan jejak keropeng sampai 3 hari atau lebih setelah prosedur.
jarum.6Papul seperti ini sering terjadi pada lokasi yang Dalam sebuah studi oleh Sharad, microneedlingdapat
dekat tulang seperti area temporal, legokanzigoma, menginduksi munculnya milia. Pada akhir follow-up,
dan dahi. Pada laporan kasus ini, efek samping yang jerawat mengalami kekambuhan. Hal ini mungkin
dialami pasien adalah eritema yang muncul tepat diperburuk dengan kondisi stres psikologis yang
setelah prosedur microneedling selesai. Edema pada dihadapi pasien. Pasien diberikan terapi untuk akne
wajah muncul di malam hari (5-8 jam setelah vulgaris ringan, yaitu tretinoin cream 0,05% setiap
prosedur) dan berkurang pada hari setelah. Pasien malam dan penundaan terapi microneedling.
dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Hasil klinis dikatakan berbeda-bedapadatiap
Pasien diberikan krim kombinasi desonide 0,05% dan pasien, tetapi semua pasien mencapai perbaikan.1
neomisin sulfat 0,5% untuk daerah yang diterapiyang Jumlah sesi yang diperlukan bervariasi tergantung
bertujuan untuk mengurangi efek samping dan pada respon neokolagenesis, kondisi jaringan, dan
mencegah infeksi yang bisa terjadi. Sebuah studi yang perawatan kulit setelahnya.1Teknik dermaroller dapat
dilakukan oleh Leheta et al. dalam membandingkan dilakukan pada interval 4-8 minggu, beberapa kali
induksi kolagen perkutan (PCI) dengan teknik pengulangan diperlukan untuk mencapai efek yang
Cosmetic Reconstruction of Scar Skin(CROSS) diinginkan pada kullit.6 Kebanyakan pasien
menggunakan asam trikloroasetat (TCA) memerlukan sekitar 3 kali tindakan dengan jeda
100%.13Didapatkan bahwa secara keseluruhan, durasi sekitar 4 minggu.1 Microneedling aman dilakukan
downtime setelah PCI 3,7 ± 1,0 hari di bandingkan pada semua tipe dan warna kulit. Teknik ini memiliki
dengan 9,6 ± 3,1 hari pada TCA 100% CROSS.13 risiko hiperpigmentasi paska inflamasi yang lebih
Penelitian ini lebih merekomendasikan PCI rendah dibandingkan dengan prosedur lain, seperti
dibandingkan TCA 100%CROSSsebagai terapi skar dermabrasi, kupasan kimia, dan laser resurfacing.1
akne tipe rolling, walaupun modalitas ini termasuk
prosedur invasif.13Induksi kolagen perkutan dikatakan
RINGKASAN 3. Levy LL, Zeichner JA. Management of acne scarring
Telah dilaporkan sebuah kasus skar akne part II: A comparative review of non-laser-based,
derajat sedang dengan tipe icepick, rolling, dan minimally invasive approaches. Am J Clin Dermatol
boxcar pada seorang wanita usia 23 tahun. Diagnosis 2012; 13(5): 331-340
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. 4. Majid I. Microneedling therapy in atrophic facial
Penilaian pada skar akne dicatat pada tiap follow-up. scars: An objective assessment. Journal of
Pasien diterapi dengan teknik microneedling kulit Cutaneous and Aesthetic Surgery 2009; 2(1): 26-30
sebanyak 2 sesi menggunakan Dermapen dengan jeda 5. Fabbrocini G, Fardella N, Monfrecola A, Proietti I,
6 minggu dan dilakukan follow-up 6 minggu setelah Innocenzi D. Acnescarring treatment using
tiap prosedur. Perbaikan skar akne ditunjukkan oleh skinneedling. Clin Exp Dermatol 2009; 34(8): 874-9.
menurunnya skor kualitatif dari derajat 3 menjadi 6. Majid I, Sheikh G. Microneedling and its
derajat 2, dan penurunan skor kuantitatif dari 17 applications in dermatology. International Journal
menjadi 10. Efek samping yang dialami pasien adalah of Aesthetic and Anti-Ageing Medicine 2014.
eritema (setelah prosedur), edema (5-8 jam setelah Downloaded from: https://www.prime-
tiap prosedur), dan keropeng pada 3 hari setelah journal.com/microneedling-and-its-applications-
prosedur. Perawatan kulit setelah needling termasuk in-dermatology/ on March 20th, 2015.
menghindari penggunaan scrub, loofah, atau 7. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM. Acne
pembersih abrasif lainnya, serta menghindari paparan vulgaris and acneiform eruptions. In: Goldsmith
sinar matahari selama 1 minggu untuk meminimalisir LA, Katz SI, Gilchrest B, Paller AS, Leffel DJ, Klaus
risiko hiperpigmentasi paska inflamasi. Needling kulit W, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
merupakan modalitas terapi yang efektif bagi skar Medicine. 8th ed. New York. McGraw-Hill; 2012.
akne terutama tipa rolling dan boxcar tanpa adanya p.897-917
efek samping serius dan downtime minimal. Efikasi 8. Obagi S, Casey AS. Facial scar revision. In:
modalitas terapi turut ditentukan oleh ketepatan Baumann L, editor. Cosmetic Dematology. 2nd ed.
dalam pemilihan modalitas terapi bagi berbagai jenis New York. McGraw-Hill; 2012. P.227-234
skar akne. Masing-masing skar dan pasien harus 9. Goodman GJ. Management of post-acne scarring,
diterapi secara individual sesuai dengan what are the options for treatment?. Am J Clin
karakteristiknya. Dermatol 2000; 1(1): 3-17
10. Goodman GJ. Treatment of acne scarring in
DAFTAR PUSTAKA ethnic skin. In: Alam M, Bhatia AC, Kundu RV, Yoo
1. Fabbrocini G, Annunziata MC, D'Arco V, De Vita V, SS, Chan HH, editor. Cosmetic Dermatology for
Lodi G, Mauriello MC, et al.Acne scars: Skin of Color. New York. McGraw-Hill; 2009. p.136-
Pathogenesis, classification and treatment. 155
Dermatol Res Pract 2010: 1-13 11. Sharad J. Combination of microneedling and
2. Garg S, Baveja S. Combination Therapy in the glycolic acid peels for the treatment of acne scars
Management of Atrophic Acne Scars. J Cutan in dark skin. Journal of Cosmetic Dermatology
Aesthet Surg 2014; 7(1): 18–23 2011; 10: 317–323
12. Shai A, Maibach HI. Natural course of wound
repair versus impaired healing in chronic skin
ulcers. In: Shai A, Maibach HI, editor. Wound
Healing and Ulcers of the Skin. New York, Springer;
2005. P.7-14
13. Leheta T, Tawdy AE, Hay RA, Farid S.
Percutaneous collagen induction versus full-
concentration trichloroacetic acid in the treatment
of atrophic acne scars. Dermatol Surg 2011; 37:
207–216
Review Artikel
Nur Samsu
Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUB-RSU dr. Saiful Anwar Malang
ABSTRAK
Acute kidney injury (AKI) adalah masalah yang sering dan serius pada pasien kritis dan menyebabkan kematian
serta kesakitan bagi banyak orang. Angka kematian AKI masih tetap tinggi meskipun teknik terapi pengganti
ginjal (TPG) sudah semakin baik. Faktor patofisiologi yang terkait dengan AKI dipercaya terlibat dalam
kegagalan organ lain, menunjukkan bahwa AKI sering menjadi bagian dari sindrom kegagalan organ multipel.
Tatalaksana utama pasien AKI adalah terapi suportif. Terapi pengganti ginjal merupakan landasan utama dalam
tatalaksana AKI yang berat. Beberapa modalitas TPG saat ini sudah tersedia, meliputi hemodialisis intermiten,
TPG berkesinambungan, terapi hibrid seperti sustained low efficiency dialysis (SLED), dan dialisis peritoneal
akut. Penggunaan TPG tidak hanya untuk indikasi ginjal tetapi juga sebagai strategi terapi suportif organ
lainnya. Waktu yang optimal untuk inisiasi TPG pada AKI masih kontroversi, begitu juga terkait pilihan
modalitasnya, lama terapi, dosis optimal serta waktu untuk menghentikan terapi. Makalah ini mendiskusikan
beberapa rekomendasi TPG pada AKI berdasar bukti dan panduan yang ada.
ABSTRACT
Acute kidney injury (AKI) is a common and serious problem affecting millions and causing death and disability
for many. The mortality rate remains high despite improved renal replacement techniques. Pathophysiological
factors associated with AKI are incriminated in the failure of other organs, indicating that AKI is often part of a
multiple organ failure syndrome. The management of patients with AKI is principally supportive. Renal
replacement therapy (RRTs) represent a cornerstone in the management of severe AKI. Multiple modalities of
RRT are currently available. These include intermittent hemodialysis, continuous renal replacement therapies,
hybrid therapies, such as sustained low-efficiency dialysis, and acute peritoneal dialysis. RRT not only for renal
indications but also for other organ-supportive strategies. The optimal time for initiation of RRTs in the AKI is
still controversial, as well as related to choice of treatment modalities, duration of therapy, the optimal dose,
and time to stop therapy. This paper discusses several recommendations of RRTs on AKI based on available
evidences and guidelines.
Meskipun demikian, pada dasarnya tidak ada kadar uremik dan kerusakan organ (2C).
urea, kreatinin, kalium atau pH tertentu sebagai nilai - Pertimbangkan inisiasi TPG pada pasien AKI
yang pasti untuk inisiasi terapi. Nilai yang ada pada dan gangguan metabolik yang terkait dengan
tabel diatas hanya sebagai panduan kasar. Inisiasi TPG AKI, sebelum pasien terpapar faktor risiko
harus lebih dipromosikan oleh laju perubahan baru terhadap AKI untuk memperbaiki kondisi
parameter ginjal dan oleh kondisi pasien secara metabolik dan status cairan dan optimalisasi
- Inisiasi TPG segera jika didapatkan perubahan - AKI ringan (gangguan metabolik ringan) dan
kondisi mengancam jiwa dalam hal cairan, kemungkinan hanya sementara (2D).
elektrolit dan keseimbangan asam basa (Not - Terapi diperkirakan sia-sia (Not Graded).
Graded).
PEMILIHAN MODALITAS TPG YANG OPTIMAL Faktor-faktor lain mungkin akan lebih berhasil pada
CRRT vs IHD pasien dengan kondisi tertentu. Misalnya pada pasien
Secara teoritis, CRRT lebih menguntungkan cedera otak akut atau fulminant hepatic failure, terapi
dibandingkan IHD dengan pembuangan cairan yang berkelanjutan mungkin memberikan perfusi otak yang
lebih lambat, sehingga hemodinamik lebih stabil dan lebih baik.8
mengontrol keseimbangan cairan dengan lebih baik,
kontrol kadar solut yang lebih pelan yang mencegah CRRT vs SLED
fluktuasi dan perpindahan cairan yang besar CRRT kurang memiliki kelebihan dalam hal
(termasuk penurunan risiko terjadinya atau survival pasien dan juga lebih mahal dibandingkan
peningkatan edema serebral), fleksibilitas yang besar, IHD dan berkaitan dengan beberapa kendala seperti
yang memungkinkan adaptasi terapi sesuai imobilisasi pasien, membutuhkan antikoagulasi,
kebutuhan pasien setiap waktu; dan terapi dapat membutuhkan mesin khusus dan larutan premixed
dilakukan dengan mesin yang relatif sederhana dan komersial. Atas kekurangan ini telah mendorong
user-friendly, yang memungkinkan perawat critical pencarian strategi yang dapat menggabungkan
care memonitor terapi. Kerugiannya adalah keuntungan hemodinamik CRRT tanpa terkendala
imobilisasi pasien, penggunaan antikoagulasi secara logistik dan sumber daya. Metode SLED memenuhi
kontinyu, risiko hipotermia dan biaya yang lebih banyak kriteria diatas (Tabel 2).11,12
tinggi.3 Data observasional menunjukkan bahwa SLED
Keuntungan utama IHD dibandingkan CRRT merupakan cara yang memungkinkan untuk
adalah pembuangan toksin yang lebih cepat dan menyediakan TPG yang adekuat, secara hemodinamik
periode terapi yang terbatas, sehingga memberikan ditoleransi dengan baik, berpotensi bebas
jeda untuk intervensi diagnostik dan terapi lain. Oleh antikoagulasi, dan memungkinkan dengan biaya
karena itu, IHD merupakan pengobatan yang lebih murah.11,12 Beberapa penelitian telah
dipilih pada kasus-kasus yang membutuhkan membandingkan SLED dan CRRT. Kielstein et al.
pembuangan solut kecil dengan cepat, seperti pada melakukan penelitian acak terhadap 39 pasien kritis
pasien hiperkalemia berat, keracunan, dan sindroma dengan AKI untuk mendapatkan hemofiltrasi
3
tumor lisis. venovenous secara kontinyu selama 24 jam (CVVH)
Dua hal utama yang telah dievaluasi terkait atau SLED selama 12 jam. Dengan menggunakan
CRRT dan IHD adalah survival pasien dan pemulihan monitoring kardiak invasif, mereka tidak dapat
fungsi ginjal. Berdasar bukti-bukti yang ada, meskipun menemukan perbedaan signifikan terhadap
masih sedikit, survival pasien dan pemulihan fungsi parameter hemodinamik (rata-rata tekanan arterial,
ginjal menunjukkan hasil yang sama pada CRRT dan resistensi vaskuler sistemik, cardiac output) antara 2
IHD.3 Data yang ada tidak mendukung superioritas kelompok pasien, dan pembuangan kreatinin dan
terhadap mode RRT tertentu pada pasien AKI; urea ke-2 metode adalah sebanding.13 Penelitian acak
sehingga pada kebanyakan pasien, pemilihan lain terhadap 16 pasien yang menerima tiga sesi
modalitas sebaiknya dibuat berdasarkan keahlian dengan CVVH atau SLED (dengan penambahan
secara lokal serta ketersediaan staf dan peralatan.3 komponen HF) menunjukkan bahwa pembuangan
cairan dan parameter hemodinamik sama pada ke-2 vaskuler atau antikoagulasi, tidak menyebabkan
kelompok.14 Sebagai tambahan, diantara pasien- sindrom disequilibrium, dan toleransi hemodinamik
pasien paska-bedah yang membutuhkan dialisis akut pasien relatif lebih baik dibanding IHD. Kekurangan
dengan kelebihan cairan yang berat atau PD secara keseluruhan adalah efektifitas yang lebih
hemodinamik yang tidak stabil moderat, pasien yang rendah (terutama pada pasien dengan hipoperfusi
diterapi SLED (n=38) memiliki rata-rata tekanan splanknik atau yang menggunakan vasopresor); risiko
arterial lebih tinggi pada postdialysis pertama kehilangan protein; pembuangan solut dan cairan
dibandingkan yang diterapi dengan CVVH (n=63), yang tidak dapat diprediksi; membutuhkan peritoneal
yang menyebabkan mortalitas yang lebih rendah.15 cavity yang intak; dan risiko peritonitis, splinting
Meskipun data awal ini menunjukkan SLED dapat diafragma yang menyebabkan gangguan ventilasi, dan
menggantikan CRRT sebagai modalitas pilihan untuk kadar glukosa darah yang fluktuatif. Dengan
pasien AKI yang secara hemodinamik tidak stabil, pengembangan teknik PD terbaru (menggunakan
masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan kateter yang fleksibel dan cuffed, pergantian secara
pasien yang relevan untuk menetapkan peran SLED otomatis, dan PD yang kontinyu) telah meningkatkan
secara tepat.16 potensi PD sebagai alternatif TPG untuk AKI yang
Suatu strategi baru yang disebut “accelerated dapat diterima, tetapi penelitian yang
venovenous hemofiltration”, yaitu dengan membandingkan secara langsung teknik tersebut
menggunakan mesin CRRT dengan waktu terapinya masih sangat terbatas.9
yang diperpendek menjadi 9 jam, dengan Indikasi terapi PD pada pasien AKI adalah
menggunakan laju aliran darah dan aliran effluent gangguan perdarahan, ketidakstabilan hemodinamik,
yang lebih tinggi. Modalitas ini mempertahankan dan kesulitan memperoleh akses vaskular. PD
kemungkinan keuntungan dari SLED; tetapi masih dikontraindikasikan pada kondisi hiperkatabolisme
diperlukan larutan komersial khusus. Berdasar berat, gagal nafas berat, ileus yang berat, hipertensi
beberapa kasus retrospektif, teknik ini menunjukkan intra-abdominal, operasi abdominal yang masih baru,
pembuangan larutan yang adekuat dan tolerabilitas dan hernia diafragmatika.9
hemodinamik yang cukup baik serta tidak
17
memerlukan antikoagulasi sistemik.
Panduan KDIGO Pemilihan Modalitas TPG 1. Gunakan TPG kontinyu dan intermiten sebagai
Untuk menentukan pilihan modalitas TPG akut terapi pelengkap pasien AKI (Not Graded).
sebaiknya didasarkan pada masalah teknis dan klinis. 2. CRRT, bukan TPG intermiten standar,
Hasil terapi lebih ditentukan oleh ketrampilan dan direkomendasikan pada pasien yang secara
keahlian personil medis yang melakukan terapi hemodinamik tidak stabil (2B).
daripada modalitas itu sendiri (Gambar 1). Panduan 3. CRRT, bukan TPG intermiten, direkomendasikan
KDIGO menjelaskan strategi berikut untuk pemilihan pada pasien AKI dengan cedera otak akut atau
modalitas TPG.7 penyebab lain dari peningkatan tekanan
intrakranial atau edema otak generalisata (2B).
Gambar 1. Skema pemilihan terapi penggantian ginjal di unit perawatan intensif: patient-center approaching.
Singkatan: IHD, intermittent hemodialysis; EDD, extended daily dialysis; SLED, sustained low-efficiency dialysis;
CRRT, continuous renal replacement therapy.
PENDOSISAN OPTIMAL demikian, pasien dengan kondisi hiperkatabolik atau
IHD sepsis mungkin akan mendapat manfaat lebih bila
Penentuan dosis optimal pada IHD tergantung dengan dosis yang lebih tinggi, misalnya 35
pada dosis yang diberikan per sesi ditambah frekuensi mL/kg/jam atau lebih.4
sesi. Oleh karena itu, hasilnya bervariasi tergantung Penelitian observasional menunjukkan bahwa
pada perbedaan dosis per sesi dengan penerapan volume effluent aktual yang dikeluarkan selama CRRT
skedul terapi yang tetap atau perbedaan skedul terapi secara substansial kurang dari dosis yang diresepkan.
dengan penerapan dosis per sesi yang tetap. Dapat Pada penelitian Dose Response Multicentre
dilakukan evaluasi terhadap perubahan-perubahan International Collaborative Initiative (DO-RE-MI) dari
pada dosis tiap sesi dan skedul dialisisnya.10 338 pasien yang diterapi dengan CRRT, median dosis
Sampai saat ini tidak ada penelitian yang yang dikeluarkan adalah 27 mL/kg/jam sedangkan
mengevaluasi dampak perbedaan dosis per sesi pada median dosis yang diresepkan adalah 34,5
pasien yang menjalani IHD dengan jadwal yang tetap mL/kg/jam.20 Oleh karena itu disarankan dosis yang
(seperti 3 kali seminggu). Beberapa data diresepkan sebaiknya melebihi dosis keluaran yang
menunjukkan bahwa pendosisan dapat memberikan dikehendaki dengan faktor sekitar 20% hingga 25%
dampak pada pasien dengan derajat keparahan untuk penyesuaian.3
penyakit level sedang.10 Pada pasien dengan kadar mediator
Hasil penelitian VA/NIH Acute Renal Failure inflamasi plasma yang lebih tinggi, maka dengan TPG
Trial Network (ATN) menunjukkan bahwa bila IHD intensif dapat menurunkan kadarnya. Penelitian
diberikan 3 kali dalam seminggu, maka Kt/V minimal menunjukkan bahwa kadar petanda inflamasi yang
sebaiknya 1,2 per terapi. Jika dosis minimum ini persisten tinggi berkaitan dengan ketergantungan
tercapai, tidak ada bukti bahwa hemodialisis yang TPG dan kematian. Sehingga berdasar observasi ini,
lebih sering dilakukan dapat meningkatkan hasil memunculkan pendekatan baru TPG, yaitu
terapi kecuali bila diperlukan untuk indikasi akut personalized approach melalui pemetaan intensitas
18
spesifik (misal hiperkalemia). TPG terhadap kadar biomarker. Diperlukan teknologi
yang lebih baik, yang memungkinkan kopling antara
CRRT intensitas RRT dengan pemantauan biomarker yang
Mengenai isu dosis optimal pada CRRT dan berbeda-beda dari waktu ke waktu (Gambar 2).4
IHD, maka berdasar pada penelitian ATN, penelitian
Randomized Evaluation of Normal versus Augmented Panduan KDIGO dosis Optimal CRRT dan IHD
Level (RENAL) Replacement Therapy dan 2 meta Panduan KDIGO menyarankan strategi untuk dosis
analisis menunjukkan bahwa intensitas dialisis yang TPG sebagai berikut:7
lebih tinggi tidak menghasilkan peningkatan survival 1. Dosis TPG yang akan dikeluarkan harus
atau manfaat klinis dibandingkan dengan dialisis diresepkan sebelum memulai setiap sesi TPG (Not
intensitas standar.18,19 Atas dasar hal tersebut, dosis Graded). Direkomendasikan untuk sering menilai
‘normal’ yang direkomandasikan untuk terapi dosis aktual yang dikeluarkan untuk penyesuaian
kontinyu adalah 20 sampai 30 mL/kg/jam.4 Meskipun peresepan (1B).
2. Lakukan TPG untuk mencapai target 4. Direkomendasikan pengeluaran volume effluent
keseimbangan elektrolit, asam basa, solut, dan 20-25 mL/kg/jam untuk CRRT pada AKI (1A). Hal
cairan yang dapat memenuhi kebutuhan pasien ini biasanya membutuhkan peresepan volume
(Not Graded). efflluent yang lebih tinggi (Not Graded).
3. Direkomendasikan pencapaian Kt/V 3,9 per
minggu jika menggunakan TPG intermiten atau
TPG extended pada AKI (1A).
MESIN CRRT
KONTROL ADAPTIF
(Biofeedback) Cc
Sirkuit
Tekanan darah
Darah
Denyut Jantung / EKG
Stroke Volume
Sirkuit
Volume Darah Cairan
Balan termal
Balan elektrolit SINYAL
PASIEN Balan Solut lain
PEMROSESAN
Skor Sepsis
Biomarkers PENGONTROL
Pemberian
Ultrafiltrasi Flow
Terapi
Elektrolit
Clearance
Buffer
Infus obat
Suhu
Gambar 2. Teknologi pengganti ginjal ‘ideal’ di masa depan. Teknologi pengganti ginjal ideal di masa depan akan
menggabungkan intensitas terapi pengganti ginjal (pemberian terapi) dengan sistem bio-feedback yang berbeda untuk
4
menyesuaikan dosis dan laju ultrafiltrasi sesuai dengan kebutuhan yang kompleks pasien kritis secara individual.
INDIKASI PENGHENTIAN TPG PADA AKI pasien CRRT atau predialisis pada pasien dengan IHD),
TPG biasanya diteruskan sampai pasien sekalipun dosis renal support konstan. Pengukuran
menunjukkan tanda-tanda pemulihan fungsi ginjal. Creatinine Clearance (CCr) merupakan cara lain untuk
Pemulihan biasanya dinilai berdasarkan data empiris. mengukur pemulihan fungsi ginjal secara objektif.9,10
Pada pasien oligurik, manifestasi utama pemulihan Pada penelitian ATN, CCr dinilai menggunakan urin
fungsi ginjal adalah peningkatan produksi urin; tetapi tampung 6 jam ketika produksi urin melebihi 30
mungkin tidak jelas pada pasien yang nonoliguric. mL/jam. Karena kadar SCr mungkin tidak konstan
Pemulihan fungsi ginjal juga bisa dimanifestasikan selama penampungan, rerata kadarnya dapat
dengan penurunan progresif kadar SCr setelah diestimasi dengan mengukur SCr pada saat awal dan
pencapaian nilai stabil (diukur setiap hari selama akhir waktu penampungan atau berdasar nilai tengah
kadar SCr. Tingkat fungsi ginjal yang tepat yang dengan bukti-bukti yang berkualitas tinggi masih
diperlukan untuk menghentikan renal support masih kurang. Untuk saat ini tidak ada intervensi terapi yang
belum jelas. CCr < 12 mL/menit kemungkinan masih spesifik untuk pasien-pasien AKI. Sebagai panduan
belum adekuat untuk penghentian terapi. Pada dasar, prinsip tatalaksana pasien AKI di ICU —do no
penelitian ATN, renal suppoort dihentikan ketika CCr harm—adalah sangat relevan. Waktu yang optimal
ukur melebihi 20 mL/menit.18 untuk inisiasi RRT pada AKI masih belum pasti. Inisiasi
terapi sebaiknya lebih dipromosikan oleh laju
Pedoman KDIGO Penghentian TPG perubahan parameter ginjal dan oleh kondisi pasien
Keputusan untuk menghentikan RRT pada secara keseluruhan. Pilihan modalitas TPG akut
pasien AKI harus mempertimbangkan perbaikan tergantung banyak faktor antara lain ketersediaan,
fungsi ginjal yang adekuat untuk memenuhi keahlian klinisi, stabilitas hemodinamik pasien, dan
kebutuhan, perbaikan pada gangguan yang memicu banyaknya cairan dan solut yang harus dikeluarkan.
kidney support, atau terjadi kegagalan. Jelas bahwa Dosis optimal yang direkomendasi adalah 20-25
setiap kejadian ini dipengaruhi oleh indikasi awal mL/kg/jam (lebih tinggi pada sepsis) untuk kontinyu
untuk memulai TPG dan merupakan subjek terhadap dan Kt/v 3,9 untuk IHD atau hibrid.
variasi individual. Strategi untuk penghentian TPG Pasien kondisi kritis sering berkembang
membutuhkan pertimbangan dari faktor-faktor disfungsi organ multipel, jadi tidak hanya AKI. Untuk
tambahan dan sering melibatkan transisi modalitas. itu dimasa mendatang perlu didesain terapi
Pedoman KDIGO menyarankan kriteria berikut untuk ekstrakorporel baru yang menyediakan terapi suportif
penghentian TPG pada AKI:7 yang lebih dari sekedar indikasi klasik pada renal.
1. Penghentian TPG ketika tidak lagi dibutuhkan, Perkembangan alat-alat ekstrakorporel akan
baik karena fungsi intrinsik ginjal telah pulih mengarah pada terapi suportif terhadap multipel
hingga mencapai titik memadai untuk memenuhi organ, sehingga penggantian secara komprehensif
kebutuhan pasien, atau karena TPG tidak lagi atau minimal suportif dapat diberikan terhadap
konsisten dengan target perawatan (Not Graded). multipel organ secara simultan. Mesin baru terdiri
2. Di rekomendasikan penggunaan diuretik untuk dari platform yang multipel dengan sirkuit dan filter
meningkatkan pemulihan fungsi ginjal, atau yang berbeda dan dapat dikombinasi untuk
mengurangi durasi atau frekuensi TPG (2B). mensuport fungsi ginjal, jantung, hati dan paru. Mesin
seperti ini idealnya mampu mendeteksi secara
RINGKASAN otomatis solut ‘tradisional’ (urea) dan ‘peradangan’
Pasien AKI yang tidak respon dengan terapi (sitokin) dalam plasma pasien sakit kritis agar supaya
konservatif, membutuhkan terapi suportif ginjal atau secara otomatis (atau semi-otomatis) terapinya sesuai
TPG. Modalitas TPG akut terdiri atas PD, IHD, CRRT kearah sistem ‘penyaringan darah yang lengkap’.
dan terapi hibrid atau SLED, yang masing-masing
mempunyai keunggulan dan keterbatasan. Masih
banyak kontroversi tatalaksana AKI terkait dengan
TPG ini. Hal ini karena beberapa area pada AKI
DAFTAR PUSTAKA 10. Hsu CY, Ordoñez JD, Chertow GM, Fan D,
1. Oudemans-van Straaten, H.M., Bouman, C.S.C., McCulloch CE, Go AS. The risk of acute renal
Schetz, M. Recommendations for the timing and failure in patients with chronic kidney disease.
dosing of CRRT in critically ill patients with AKI. Kidney Int 74: 101-107, 2008.
Neth J Crit Care, 17;1 : 10 – 11. 2013. 11. Kumar VA, Craig M, Depner TA, Yeun JY. Extended
2. Dennen, P., Douglas, IS., Anderson, R., Acute daily dialysis: a new approach to renal
kidney injury in the intensive care unit: an update replacement for acute renal failure in the
and primer for the intensivist. Crit Care Med 38: intensive care unit. Am J Kidney Dis 36: 294-300,
261-275, 2010 2000.
3. Lin, L.Y., Chen, Y.C., Fang, J.T., Yang, C.W. Renal 12. Berbece AN, Richardson RM. Sustained low-
Replacement Therapy in Acute Kidney Injury. Acta efficiency dialysis in the ICU: cost,
Nephrologica 27(2): 63-69. 2013. anticoagulation, and solute removal. Kidney Int
4. Ronco, C., Ricci, Z., De Backer, D., et al. Renal 70:963-968, 2006.
replacement therapy in acute kidney injury: 13. Kielstein JT, Kretschmer U, Ernst T, Hafer C, Bahr
controversy and consensus. Critical Care, 19:146, MJ, Haller H, et al. Efficacy and cardiovascular
2015. tolerability of extended dialysis in critically ill
5. Clark, EG., Hiremath, S. Progressively earlier patients: a randomized controlled study. Am J
initiation of renal replacement therapy for acute Kidney Dis 43: 342-349, 2004.
kidney injury is unwarranted and potentially 14. Baldwin I, Bellomo R, Naka T, Koch B, Fealy N. A
harmful. Blood Purif, 41:159-165, 2016. pilot randomized controlled comparison of
6. Baker, A., Green, R. renal replacement therapy in extended daily dialysis with filtration and
critical care. ATOTW, 194. 2010. continuous veno-venous hemofiltration: fluid
7. Kidney disease: improving global outcomes removal and hemodynamics. Int J Artif Organs 30:
(KDIGO) acute kidney injury work group. KDIGO 1083-1089, 2007.
clinical practice guideline for acute kidney injury. 15. Wu VC, Wang CH, Wang WJ, Lin YF, Hu FC, Chen
Kidney Int 2 (suppl): 1-138, 2012. YW, et al. Sustained low-efficiency dialysis versus
8. Davenport A, Will EJ, Davison AM. Continuous vs. continuous veno-venous hemofiltration for
Intermittent forms of haemofiltration and/or postsurgical acute renal failure. Am J Surg 199:
dialysis in the management of acute renal failure 466-476, 2010.
in patients with defective cerebral autoregulation 16. Fieghen H, Wald R, Jaber BL. Renal replacement
at risk of cerebral oedema. Contrib Nephrol 93: therapy for acute kidney injury. Nephron Clin
225-233, 1991. Pract 112: c222-c229, 2009.
9. Palevsky P. Renal replacement therapy (dialysis) 17. Gashti CN, Salcedo S, Robinson V, Rodby RA.
in acute kidney injury (acute renal failure) in Accelerated venovenous hemofiltration: early
adults: Indications, timing, and dialysis dose. technical and clinical experience. Am J Kidney Dis
UpToDate.com 2012. 51: 804-810, 2008.
18. VA/NIH Acute Renal Failure Trial Network,
Palevsky PM, Zhang JH, O’Connor TZ, Chertow
GM, Crowley ST, et al. Intensity of renal support
in critically ill patients with acute kidney injury. N
Engl J Med 359: 7-20, 2008.
19. RENAL Replacement Therapy Study Investigators,
Bellomo R, Cass A, Cole L, Finfer S, Gallagher M, et
al. Intensity of continuous renal-replacement
therapy in critically ill patients. N Engl J Med 361:
1627-1638, 2009.
20. Vesconi S, Cruz DN, Fumagalli R, Kindgen-Milles D,
Monti G, Marinho A, et al. Delivered dose of renal
replacement therapy and mortality in critically ill
patients with acute kidney injury. Crit Care 13:
R57, 2009.