Menurut WHO, kanker paru termasuk dalam 5 jenis kanker yang paling sering terjadi
pada pria dan wanita. Pada tahun 2014, di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 221.200
pasien yang didiagnosis dengan kanker paru atau bronkus.1 Kanker paru juga mempunyai
angka mortalitas yang tinggi. Menurut American Cancer Society, kematian yang disebabkan
kanker paru lebih besar jumlahnya dibandingkan jumlah kematian yang disebabkan gabungan
kanker kolon, payudara dan pankreas.1 Pada tahun 2015 diperkirakan 158.040 pasien kanker
paru di Amerika Serikat akan meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya.1
Manifestasi klinis dari kanker paru cukup bervariasi sesuai dengan stadium kanker
yang diderita pasien, sehingga sering kali terjadi under-diagnosis yang menyebabkan banyak
kasus kanker paru, baru dapat terdeteksi pada stadium lanjut. Misalnya pada stadium dini,
gambaran nodul pada foto rontgen thorak penderita karsinoma bronkoalveolar, dapat
dianggap penyakit TB atau pneumonia, sehingga pengobatan yang diberikan menjadi tidak
tepat dan pengobatan kanker pun menjadi tertunda. Padahal data menunjukkan bahwa
prognosis penyakit kanker paru akan semakin baik bila diagnosis dan terapi (operasi dengan
kemoterapi dan atau tanpa radiasi) dilakukan pada stadium dini. Survival rate 5 tahun pada
penderita kanker paru mencapai 54 % jika penyakit ini didiagnosis pada saat kanker masih
terlokalisir di dalam paru, tetapi survival rate ini akan turun hingga 4 % jika kanker sudah
mengalami metastasis.2
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana dapat mendiagnosis kanker paru pada
stadium dini dengan menggunakan modalitas yang ada sehingga tidak terjadi penundaan
terapi dan pasien mempunyai prognosis yang lebih baik. Modalitas dalam mendiagnosis
kanker paru dibagi menjadi 2 yaitu non-invasif dan invasif. Modalitas non-invasif terdiri dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis (rontgen dan CT-Scan thorak).
Modalitas invasif diantaranya terdiri dari bronkoskopi + biopsi, torakoskopi, dan EBUSTBNA.
Sensitivitas pemeriksaan radiologis dalam mendeteksi kanker paru tergantung dari
ukuran lesi, letak lesi dan kemampuan klinisi dalam mengekspertise. Pada National Lung
Screening Trial tahun 2013 didapatkan sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan LDCT
(Low Dose Computed Tomography) sebesar 93,8 % dan 73,4% , sedangkan pada
pemeriksaan foto rontgen toraks sebesar 73,5 % dan 91,3%.3 Pada sebuah penelitian di Brazil
untuk menilai efesiensi EBUS-TBNA dalam menentukan staging dari mediastinal lymph
at
http://www.cancer.org/acs/groups/content/@editorial/documents/document/acspc044552.pdf
2. U.S. National Institutes of Health. National Cancer Institute. SEER Cancer Statistics
Review, 1975-2011.
3. Church TR, Black WC, Aberle DR, Berg CD, Clingan KL, Duan F, et al; National Lung
Screening Trial Research Team. Results of initial low-dose computed tomographic
screening for lung cancer. N Engl J Med. 2013;368:1980-91.[PMID: 23697514]
4. Figueiredo VR, Cardoso PF, Jacomelli M, Demarzo SE, Palomino AL, Rodrigues AJ, et
al. Endobronchial ultrasound-guided transbronchial needle aspiration for lung cancer
staging: early experience in Brazil. Jornal brasileiro de pneumologia : publicacao oficial
da Sociedade Brasileira de Pneumologia e Tisilogia. 2015;41(1):23-30.
5. Rivera MP, Mehta AC, Wahidi MM. Establishing the diagnosis of lung cancer: Diagnosis
and management of lung cancer, 3rd ed: American College of Chest Physicians evidencebased clinical practice guidelines. Chest. 2013;143(5 Suppl):e142S-65S.