Farmakoterapi
Insulin
Kecuali episode KAD ringan, insulin regular dengan infus intravena kontinu
merupakan pilihan terapi. Pada pasien dewasa, setelah hipokalemia (K+ <3,3 mEq/L)
disingkirkan, bolus insulin regular intravena 0,15 unit/kgBB diikuti dengan infus
kontinu insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam (5-7 unit/jam pada dewasa) harus
diberikan. Insulin bolus inisial tidak direkomendasikan untuk pasien anak dan remaja;
infus insulin regular kontinu 0,1 unit/kgBB/jam dapat dimulai pada kelompok pasien
ini. Insulin dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma dengan
laju 50-75 mg/dL/jam sama dengan regimen insulin dosis lebih tinggi. Bila glukosa
plasma tidak turun 50 mg/dL dari kadar awal dalam 1 jam pertama, periksa status
hidrasi; apabila memungkinkan infus insulin dapat digandakan setiap jam sampai
penurunan glukosa stabil antara 50-75 mg/dL. Pada saat kadar glukosa plasma
mencapai 250 mg/dL di KAD dan 300 mg/dL di KHH maka dimungkinkan untuk
menurunkan laju infus insulin menjadi 0,05-0,1 unit/kgBB/jam (3-6 unit/jam) dan
ditambahkan dektrosa (5-10%) ke dalam cairan infus. Selanjutnya, laju pemberian
insulin atau konsentrasi dekstrosa perlu disesuaikan untuk mempertahakan kadar
glukosa di atas sampai asidosis di KAD atau perubahan kesadaran dan
hiperosmolaritas di KHH membaik. Ketonemia secara khas membutuhkan waktu
lebih lama untuk membaik dibandingkan dengan hiperglikemia. Pengukuran beta-
hidroksibutirat langsung pada darah merupakan metode yang disarankan untuk
memantau KAD. Metode nitroprusida hanya mengukur asam asetoasetat dan aseton
serta tidak mengukur beta-hidroksibutirat yang merupakan asam keton terkuat dan
terbanyak. Selama terapi, beta-hidroksibutirat diubah menjadi asam asetoasetat,
sehingga dapat memberikan kesan ketoasidosis memburuk bila dilakukan penilaian
dengan metode nitroprusida. Oleh karena itu, penilaian keton serum atau urin dengan
metode nitroprusida jangan digunakan sebagai indikator respons terapi. Selama terapi
untuk KAD atau KHH, sampel darah hendaknya diambil setiap 2-4 jam untuk
mengukur elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, osmolalitas dan pH vena serum
(terutama KAD). Secara umum, pemeriksaan analisa gas darah arterial tidak
diperlukan, pH vena (yang biasanya lebih rendah 0,03 unit dibandingkan pH arterial)
dan gap anion dapat diikuti untuk mengukur perbaikan asidosis. Pada KAD ringan,
insulin regular baik diberikan subkutan maupun intramuskular setiap jam, nampaknya
sama efektif dengan insulin intravena untuk menurunkan kadar glukosa dan badan
keton. Pasien dengan KAD ringan pertama kali disarankan menerima dosis “priming”
insulin regular 0,4-0,6 unit/kgBB, separuh sebagai bolus intravena dan separuh
sebagai injeksi subkutan atau intravena. Setelah itu, injeksi insulin regular 0,1
unit/kgBB/jam secara subkutan ataupun intramuskular dapat diberikan. Kriteria
perbaikan KAD diantaranya adalah: kadar glukosa <200 mg/dL, serum bikarbonat
≥18 mEq/L dan pH vena >7,3. Setelah KAD membaik, bila pasien masih dipuasakan
maka insulin dan spenggantian cairan intravena ditambah suplementasi insulin
regular subkutan setiap 4 jam sesuai keperluan dapat diberikan. Pada pasien dewasa,
suplementasi ini dapat diberikan dengan kelipatan 5 unit insulin regular setiap
peningkatan 50 mg/dL glukosa darah di atas 150 mg/dL, dosis maksimal 20 unit
untuk kadar glukosa ≥300 mg/dL.
Bila pasien sudah dapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
menggunakan kombinasi insulin kerja pendek/cepat dan kerja menengah atau panjang
sesuai keperluan untuk mengendalikan kadar glukosa. Lanjutkan insulin intravena
selama 1-2 jam setelah regimen campuran terpisah dimulai untuk memastikan kadar
insulin plasma yang adekuat. Penghentian tiba-tiba insulin intravena disertai dengan
awitan tertunda insulin subkutan dapat menyebabkan kendali yang memburuk; oleh
karena itu tumpang tindih antara terapi insulin intravena dan inisiasi insulin subkutan
harus diadakan.
Pasien dengan riwayat diabetes sebelum dapat diberikan insulin dengan dosis yang
mereka
terima sebelumnya sebelum awitan KAD atau KHH dan disesuaikan dengan
kebutuhan kendali. Pasien-pasien dengan diagnosis diabetes baru, dosis insulin inisial
total berkisar antara 0,5-1,0 unit/kgBB terbagi paling tidak dalam dua dosis dengan
regimen yang mencakup insulin kerja pendek dan panjang sampai dosis optimal dapat
ditentukan. Pada akhirnya, beberapa pasien T2DM dapat dipulangkan dengan
antihiperglikemik oral dan terapi diet pada saat pulang.
Terapi dengan menggunakan insulin analog baru-baru ini mendapatkan perhatian
lebih untuk dapat menggantikan insulin manusia, hal ini dikarenakan profil
farmakokinetik yang lebih baik sehingga membuat terapi dengan insulin analog lebih
mudah diprediksikan.
Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total, hiperkalemia ringan sedang
dapat terjadi pada pasien krisis hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan
ekspansi volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium serum telah di bawah
5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30
mEq/L kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi
untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L. Pada keadaan tertentu,
pasien KAD dapat datang dengan hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian
insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3 mEq/L dalam rangka
mencegah terjadinya aritmia atau henti jantung dan kelemahan otot pernapasan.
Fosfat
Walaupun terdapat defisit fosfat tubuh total rata-rata 1 mmol/kgBB, namun fosfat
serum dapat normal ataupun meningkat saat presentasi. Konsentrasi fosfat menurun
dengan terapi insulin. Untuk mengindari kelemahan jantung dan otot skeletal serta
depresi pernapasan akibat hipofosfatemia, terapi penggantian fosfat secara hati-hati
dapat diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia atau depresi
pernapasan dan pada pasien dengan konsentrasi serum fosfat.
Referensi:
1. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. ed 4th.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Masharani U. Diabetic ketoacidosis. Lange current medical diagnosis and
treatment. 49th ed.New York: Lange; 2010.
3. Chiasson JL. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Canadian Medical Association Journal.
2003:168(7):859-66