Disusun oleh:
Danawan Rahmanto
22010116220302
Pembimbing:
dr. Mukhaiar
dr. Mukhaiar
BAB I
PENDAHULUAN
Waktu induksi (induction time) adalah waktu yang diukur dari awal penyuntikan sampai
awal terjadinya anestesia yaitu hilangnya rasa sakit (dijepit, pada telinga, ekor, dan
interdigiti), hilangnya reflek (palpebral, pupil, dan pedal) dan bola mata menuju
ventrocanthus. Lama anestesi (duration of actions) adalah waktu yang diukur dari mulai
kejadian anestesia sampai hewan mulai sadar yaitu ada tidaknya gerakan (ekor, kaki,
telinga atau kepala), ada tidaknya respon rasa sakit (dijepit dengan pinset pada telinga,
ekor, dan interdigiti), ada tidaknya suara dari hewan, ada tidaknya reflek (palpebral, pupil,
dan pedal). Waktu pemulihan (recovery) adalah waktu yang diukur dari hewan mulai sadar
sampai hewan bisa berdiri dengan keempat kaki.
2) Enfluran
Merupakan obat anestesi inhalasi volatil
Dosis Induksi awal : pada bayi 2,4.pasien dewasa 1,7
Dosis maintenance : 0,5-3%
Efek kardiovaskuler : depresi myocardial, disritmia jarang terjadi, tidak
meningkatkan sensifitas miokard terhadap ketokolamin dan
terjadi hipotensi akibat penurunan curah jantung.
Efek respirasi : RR tidak meningkat, PaCO2 meningkat, menurunnya
respon terhadap hiperkapnia, hilangnya hipoxic drive,
depresi pada fungsi mukosiliar dan bronkodilatasi.
Efek cerebral : membentuk gelombang epileptik yang menimbulkan
iritabilitas area motorik sekitar 2 % ditandai dengan
kekauan gerak pada rahang mbawah, leher. Enfluran juga
meningkatkan aliran darah dan tekanan intrakranial.
Efek neuromuskuler : meningkatkan relaksasi otot.
Efek renal : menurunkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan
produksi urin.
Efek hepar : menurunkan aliran darah hepar, menyebabkan hepatitis
halotan (1:800.000).
Kontraindikasi : pasien dengan penyakit gagal ginjal.
3) Isofluran (Forane)
Obat anestesi isomer dari enfluran
Dosis induksi : 0,5 % dan dinaikan bertahap dengan konsentrasi 1,3- 3%
dalam waktu 7-10 menit
Dosis maintenance : 1-2,5 % dengan kombinasi N2O dan O2. Apabila tidak
menggunakan N2O (hanya O2) diperlukan dosis 1,5-3%.
Efek kardiovaskuler : minimal cardiac depresi, dilatasi arteri coroner, beberapa
menghindari isofluran untuk penyakit jantung berat.
Efek respirasi : depresi respirasi minimal. Takipneu, iritasi saluran nafas
atas, bronkodilator yang baik, dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia
Efek cerebral : pd level >1MAC, isoflurane meningkatkan CBF dan TIK,
menurunkan kebutuhan metabolisme oksigen otak, pada 2
MAC menimbulkan “electrically silent
electroencephalogram”.
Efek neuromuskuler : relaksasi otot
Efek ginjal : menurunkan laju aliran darah, laju filtrasi glomerulus, dan
produksi urin.
Efek hati : aliran darah ke hati menurun selama penggunaan isofluran.
Metabolisme : dimetabolisme menjadi trifluoroacetic acid, dimetabolisme
di ginjal
Kontra indikasi : relatif tidak ada, hanya pada pasien hipovolemi harus hati-
hati oleh karena efek vasodilatasinya.
4) Desfluran
Obat anestesi volatile.
Dosis untuk bayi 1 tahun : KAM 10 %. usia 18-30 tahun : KAM 7,2 % usia 31-
65 tahun : 6%.
Bila digunakan bersama 60% N2O Usia 18- 30 tahun : KAM 4%, usia 31-65
tahun : KAM 2,8 %.
Desfluran memerlukan vaporizer elektrik karena tekanan uap desfluran sangat tinggi
sehingga pada suhu kamar pada permukaan laut akan mendidih. Kelarutannya yg
tinggi dan potensinya yg hanya 1/5 dari agen lain menimbulkan masalah unik.
1. Vaporizer yg dibutuhkan utk GA harus menghasilkan efek pendingin.
2. Karena penguapannya yg sgt luas, diperlukan aliran udara segar yg sgt banyak
untuk mencairkan gas pembawa pd konsentrasi yg relevan. Hal tsb diatasi dgn
vaporizer elektronik.
Efek Kardiovaskuler : peningkatan ringan pada Heart Rate, CVP. Dapat diatasi
dgn pemberian fentanyl, esmolol atau clonidin. Desfluran
tdk meningkatkanaliran darah arteri koroner, tdk spt
isofluran
Efek respirasi : penurunan Tidal volume, peningkatan RR, bau menyengat,
iritasi saluran nafas sehingga kurang baik untuk induksi
inhalasi
Efek cerebral : dilatasi pembuluh darah cerebral, meningkatkan CBF dan
TIK.
Efek neuromuskuler : menurunkan stimulasi saraf perifer tetani
Efek ginjal : tidakk nefrotoksik, aman.
Efek ke hati : tidak berpengaruh pada fungsi hati.
Biotransformasi : meminimalkan metabolisme pada manusia, desfluran
didegradasi oleh CO2 adsorben menjadi karbonmonoksida.
Kontra Indikasi : hipovolemi berat, malignan hipertermi, hipertensi
intrakranial.
5) Sevofluran
Merupakan obat anestesi inhalasi. Kelarutan yang rendah dalam darah menyebakan
penurunan cepat konsentrasi alveolar anestesi menimbulkan kondisi emergensi
yang lebih cepat dengan delirium (dapat diatasi dengan 1-2 mikrogram fentanyl).
Sevoflurane nyaman dipakai induksi baik untuk dewasa atau anak-anak karena
baunya enak, tidak iritatif pada jalan nafas.8
Dosis KAM (konsentrasi alveolar minimal) 1,7 % bila dikombinasikan dengan
60 % N2O , KAM menjadi 0,66%.
Kombinasi 4-8% sevofluran 50% N2O dan 50% O2 induksi dapat dicapai dalam
waktu 1-3 menit
Waktu pulih sadar antara 5-7 menit seteelah anestesi menggunakan 2-3 KAM
sevofluran selama 1 jam.
Efek Kardiovaskuler : depresi kontraktilitas myocard, penurunan SVR, tekanan
darah arteri, memperpanjang QT interval
Efek respirasi : depresi nafas, reverse bronkospasme
Efek cerebral : tidak menyebabkan kejang, penurunan kebutuhan oksigen
otak
Efek neuromuskuler : muscle relaksan
Efek ginjal : menurunkan sedikit aliran darah ginjal
Efek hati : menurunkan aliran darah hepatik.
Biotransformasi : barium lime dan soda lime dapat mendegradasi sevoflurane
menghasilkan produk yang nefrotoksik
b. Anestesi gas
1. Potensi ringan
2. Sukar larut dalam darah
3. N2O
• gas tidak berwarna, tidak berbau, tidak berwarna lebih berat daripada udara,
dikombinasi dengan O2 , tdk meledak dan tdk mudah terbakar, dapat
mempercepat pembakaran spt oksigen.
potensi anestetik lemah, induksi cepat
efek analgesik baik (N2O 20%)
• Efek Kardiovaskuler: menstimulasi nervus simpatis, depresi myocard,
menstimulasi minimal pada ketekolamin.
• Efek respirasi: meningkatkan RR (takipneu) menurunkan Tidal volume
• Efek cerebral: peningkatan ringan pada Tekanan intra kranial
• Efek neuromuskuler: tidak menimbulkan muscle relaksasi, justru muscle rigidity,
tidak memicu malignan hipertermi
• Efek renal: menurunkan RBF ddengan meningkatkan resistensi vascular ginjal ->
penurunan GFR dan urin output.
• Efek hepatik: aliran darah hepar dpt menurun
• Efek GI: menyebabkan PONV (Post Operative Nausea and Vomitting).
• Biotransformasi: melalui nafas, kulit. Pemakaian N2O jangka lama menyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga terjadi anemia.
• Kontra indikasi: pneumothorax, obstruksi intestinal akut, operasi tympanoplasty,
intraocular air bubbles, emboli udara. Ini disebabkan oleh karena N2O mengisi
rongga.
c. Anestesi Intravena
Termasuk golongan ini adalah: barbiturate (thiopental); benzodiazepine
(midazolam,); Antagonis benzodiazepine (propofol); Muscle relaxant golongan
depolarizing dan non depolarizing (rocuronium); Narkotik analgetik (morfin, codein,
ketorolac, tramadol).6,7
1. Barbiturat
(Thiopental Sodium) : Memiliki kelarutan lemak yang tinggi, didalam darah 65-75%
terikat oleh protein plasma dan sedikit terionisasi. Sesudah disuntikan intravena,
penthotal cepat masuk kedalam jaringan otak dan menimbulkan efek tidur.
Induksi : dosis tergantung BB, keadaan fisik dan penyakit
Dewasa : 2-4 ml lar 2,5% scr intermitten tiap 30-60 detik ada capaian
Efek kardiovaskuler : depresi kontraktilitas myocard, vasodilatasi perifer, dan
turunya curah jantung sehingga bisa menyebabkan
takikardi.
Efek respirasi : depresi nafas, bronkospasme
Efek cerebral : menurunkan metabolisme otak, menurunkan konsumsi
oksigen dan menurunkan tekanan intrakranial .
Efek ginjal : terjadi perubahan sedikit pada ginjal tetapi mekanismenya
belum diketahui.
Efek hati : menurunkan aliran darah hepatik.
Indikasi :
- Untuk induksi anestesi sebelum diguakan obat anestesi
yang lain.
- Sebagai obat anestesi untuk tindakan / operasi yang
waktunya pendek.
- sebagai suplemet pada anestesi inhalasi.
- untuk sedasi
Kontra indikasi : alergi barbiturat,status asmatikus, porhyria, tidak
didapatnya vena untuk menyuntik, syok.
Ketamin dikemas dalam cairan bening dengan kepekatan 1% (1ml=10mg), 5%
(1ml=50 mg) dan 10 % (1ml=100 mg)
5. Propofol
Merupakan cairan emulsi berwarna putih yang terdiri dari gliserol, phopatid dari
telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air.
Sangat larut dalam lemak sehingga setelah disuntikan melalui intravena dengan
cepat mendistribusikan ke jaringan.
Dosis
Induksi : pasien dewasa usia < 55 tahun : 2-2,5 mg/kgBB
Maintenance : 4 -12 mg/kgBB
Kemasan :
Tersedia dalam ampul yang berisi 20 cc tiap cc mengandung 10 mg propofol.
Efek kardiovaskuler : terjadi penurunan tekanan darah dan perubahan sedikit pada
nadi. Obat ini memiliki vagolitik sehingga dianjurkan untuk
memberi antikolinergik sebelum pemakaian propofol
sehingga tidak terjadi bradikardi.
Efek repirasi : menyebabkan depresi pernapasan, mengurangi tidal volume
dan laju nafas
Efek cerebral : menurunkan aliran darah otak, tekanan intrakranial,tekanan
intraokuli dan metabolisme otak.
Kontraindikasi : pada penderita yang alergi propofol.
5. Analgetik
1. Golongan Opioid
a. Tramadol
Analog kodein sintetik yang merupakan agonis resptor yang lemah.
Sama- sama efektif dengan morfin untuk pasien nyeri ringan sampai sedang.
Dosis : pria dewasa : 10 mg
Wanita dewasa : 8 mg
Tramadol mengalami metabolisme di hepar dan eksresi di ginjal, dengan masa paruh
eliminasi 6 jam untuk tramadol.
Kontraindikasi :
- pasien yang alergi terhadap tramadol.
- Tidak dianjurkan pada pasien adiksi karena bisa menimbulkan ketergantungan.
b. Fentanyl
Merupakan analgesik opioid sintetik yang poten, memiliki onset kerja yang cepat,
dan durasi aksi yang pendek. Fentanyl merupakan agonis kuat dari reseptor μ-opioid.
Analgesik ini sering digunakan untuk menghilangkan nyeri dan dikombinasikan dengan
obat golongan benzodiazepin.
Fentanyl ini jauh lebih poten sekitar 80 – 100 kali dibandingkan dengan morfin.
Fentanyl yang diinjeksikan melalui intravena sering digunakan sebagai anestesia dan
analgesia. Selama anestesi berlangsung sering penggunaannya digunakan bersamaan
dengan propofol dan dapat juga sebagai salah satu campuran yang digunakan dalam
anestesi epidural maupun spinal.
Efek merugikan dari fentanyl ini yaitu dapat terjadi diare, mual, konstipasi, mulut
yang kering, bingung, kelemahan dan berkeringat, nyeri perut, sakit kepala, cemas, dan
halusinasi dapat terjadi. Fentanyl juga sering menyebabkan depresi pernafasan daripada
analgesik opioid yang lain.
- Onset : 5 menit
- Durasi : 30 – 40 menit
- Waktu paruh : 10 – 20 menit pada injeksi intravena
- Metabolisme : Hepar melalui CYP3A4
- Ekskresi : Ginjal (60% sebagai metabolit & <10 % tidak berubah)
2. Golongan NSAID
a. Ketorolac
Analgetik non – narkotika.
Efek kerjanya menghambat enzim siklooksegenase (sintesis prostaglandin),
menghambat tromboksan, memberi efek antiinflamasi dengan menghambat
perlekatan granulasi pada pembuluh darah yang rusak, menstabilkan lisosom dan
menghambat migrasi leukosit polinuklear dan makrofag ke tempat peradangan.
Dosis :
Dosis pasien dewasa <65 tahun : 30 mg
Dosis pasien dewasa >65 tahun : 15 mg
Indikasi :
Untuk penatalaksanaan nyeri akut sedang sampai berat.
Kontraindikasi :
- Pasien yang alergi terhdap ketorolac.
- Pasien yang memiliki ulkus peptikum aktif, asma,
- Pasien yang meiliki penyakit cerebral
- Pasien pasca operasi dengan resiko tinggi terjadi perdarahan. , pasien dengan
antikoagulan seperti heparin.
- Pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai berat.
d. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologist) merupakan deskripsi
yang mudah menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan dengan indikasi apakah
tindakan bedah harus dilakukan segera/cito atau elektif. Klasifikasi ini sangat berguna
dan harus diaplikasikan pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan,
meskipun banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan
pembedahan. Klasifikasi ASA dan hubungannya dengan tingkat mortalitas tercantum
pada tabel di bawah ini.10
Klasifikasi Angka
Deskripsi Pasien
ASA Kematian (%)
Kelas I Pasien normal dan sehat fisik dan mental 0,1
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan 0,2
tida ada keterbatasan fungsi
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik sedang 1,8
hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang 7,8
mengancam hidup dan menyebabkan
keterbatasan fungsi
Kelas V Pasien yang tidak dapat hidup/ bertahan 9,4
dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi
Kelas E Bila operasi dilakukan darurat/ cito
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Sirkulasi
Kesadaran
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Tidak bergerak, 0
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Tidak bereaksi 0
Kriteria Nilai
Hidrosalping berasal dari kata Yunani, berarti “ tabung air”. Hidrosalping merupakan suatu
jenis kelainan pada tuba yang menyebabkan infertilitas. Penyebab yang utama kerusakan
distal tuba adalah Penyakit Inflamasi Pelvis/ Pelvic inflamantory Disease (PID), yang
umumnya disebabkan oleh infeksi chlamydia atau gonorhoe. Penyebab lain dari kerusakan
distal tuba meliputi adhesi dari tindakan operasi, endometriosis, dan kanker tuba maupun
ovarium.
Hidrosalping adalah kondisi dimana terjadi sumbatan pada saluran telur wanita (tuba
fallopii) dan terisi cairan (hidro).
Pars interstisialis
Pars istmika
Pars ampularis
Infundibulum
2.2.2 Etiologi
Penyakit radang panggul (PID) atau salpingitis kronik (peradangan tuba fallopi)
dapat dipicu oleh infeksi klamidia dan gonore. Pemakaian IUD, endometriosis, dan operasi
kadang-kadang berhubungan dengan timbulnya masalah salpingitis. Sebagai reaksi
terhadap cedera, tubuh bergegas mengirim sel-sel inflamasi ke daerah peradangan dan
kemudian hasil penyembuhan menyebabkan hilangnya fimbria dan terjadi penutupan
tabung.
2.2.3 Patofisiologi
Lapisan silia bagian dalam (endosalping) dari tuba fallopii bergerak arah
uterus. Cairan tuba secara normal disekresi oleh fimbriae dan masuk ke dalam rongga
peritoneal untuk dibersihkan. Jika akhir fimbriae dari tuba menjadi lengket, akan terjadi
obstruksi cairan, sehingga akan mengalir ke arah muara. Hal ini menyebabkan fertilitas
tidak dapat berlangsung.
2.2.4 Gejala
Beberapa pasien mengalami nyeri perut sering berulang atau nyeri panggul,
sementara keluhan yang lain mungkin asimptomatik. Infertilitas merupakan gejala yang
umum pada gangguan fungsi tuba. Beberapa orang mungkin mengalami keputihan tidak
normal karena infeksi panggul atau peradangan.
USG Transvaginal sering digunakan oleh ahli kandungan dalam melihat struktur
dari tuba falopii. Pada pemeriksaan ini, kelemahannya adalah user-dependent.
Histerosalpingogram dapat dipilih sebagai alternatif untuk melihat tuba falopii.
Laparoskopi selain juga digunakan untuk penegakkan diagnosis, juga sebagai jalan terapi
operatif.
2.2.6 Penatalaksanaan
Terapi operatif dipilih apabila keluhan tetap ada dan mengganggu kehidupan
sehari-hari. Jika terdapat reaktivisasi dari proses radang, yang memperparah nyeri kronis,
operasi dapat dipilih. Seringkali pasien hidrosalping datang dengan keluhan sudah lama
tidak memiliki anak. Apabila ada infertilitas yang sebabnya terletak pada tuba, maka terapi
operatif adalah pilihannya. Selain itu, modalitas terapi yang dapat dipilih sebagai alternatif
memiliki keturunan adalah In Vitro Fertilization (IVF).
Dalam dua dekade terakhir ini, kemajuan laparaskopi demikian pesat. Bedah laparaskopi
menggunakan kauterisasi atau laser untuk pengobatan endometriosis stadium lanjut mulai
digunakan sejak tahun 80an. Seiring dengan populernya penggunaan laparaskopi,
ditemukan berbagai komplikasi seperti komplikasi akibat penggunaan jarum Verres atau
trokar, serta komplikasi akibat penggunaan elektrokauterisasi. Sehingga operator perlu
mengetahui dan memahami prinsip dasar bedah laparaskopi untuk meminimalisir
komplikasi yang mungkin terjadi.
Persiapan sebelum operasi seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat menentukan
dalam pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk menentukan apakah terdapat
kontraindikasi atau tidak.
Pasien dengan tumor abdomen yang besar, kehamilan intrauterine lanjut, atau penyakit
infeksi saluran cerna harus dikerjakan secara lebih hati-hati.
Persiapan sebelum operasi meliputi persiapan kolon,hal ini sangat membantu dekompresi
usus, sehingga lapang pandang menjadi jauh lebih jelas. Pemberian antibiotik sebelum
operasi hanya atas indikasi. Bila pasien telah siap secara fisik dan mental, serta semua
prosedur operasi telah dijalankan, maka kita dapat mengharapkan hasil yang optimal.
Selain itu pengambilan keputusan harus didasarkan adanya keuntungan dan keterbatasan
dari laparoskopi itu sendiri. Keuntungan laparoskopi antara lain adalah trauma terhadap
otot dan kulit dapat dikurangi, nyeri pasca operatif lebih ringan, hari rawat pasien lebih
singkat, sering pasien sudah dapat berjalan dalam beberapa jam setelah operasi. Selain itu
bedah laparoskopi juga mengurangi kejadian infeksi, karena permukaan jaringan yang
kontak dengan udara luar terbatas dibandingkan dengan laparatomi.
Sedangkan keterbatasan dari bedah laparoskopi adalah selain peralatannya mahal dan
memerlukan ruang operasi khusus, juga operator yang akan melakukan bedah laparoskopi
harus sudah melalui pelatihan tertentu.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
P0A0. Menarche 13 tahun. Perkawinan pertama (5 tahun)
A. Keluhan utama:
B. Nyeri pinggang kanan dan kiri
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri pinggang kanan dan kiri ±1 tahun yang lalu. Nyeri
dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas. Nyeri dirasakan tidak menjalar.
Demam (-) mual (-) muntah (-) BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien diketahui
belum hamil sejak pernikahan dengan suaminya 5 tahun yang lalu. Pada Bulan
Desember 2017 pasien memeriksakan ke dokter kandungan dan dikatakan
menderita hidrosalping kanan dan kiri. Pasien akhirnya dirujuk ke RSDK.
D. Riwayat Obstetri: (-)
E. Riwayat KB: (-)
F. Riwayat Perkawinan: Menikah 1 kali dengan suami sekarang
G. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat kencing manis (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kelainan darah (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat operasi (+) appendicitis dengan Anestesi Umum
H. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat kencing manis (-), darah tinggi (-), kelainan darah (-).
I. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang ibu rumah tangga dan sudah menikah. Pembiayan dengan BPJS
Non-PBI. Kesan sosial ekonomi cukup.
J. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:
Batuk (-), pilek (-), demam (-), sesak napas (-), gangguan / kelainan darah (-)
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat kejang : tidak ada
Riwayat asma : tidak ada
Riwayat kencing manis : tidak ada
Riwayat peyakit jantung : tidak ada
Riwayat darah tinggi : tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya : ada (appendicitis, dengan Anestesi Umum)
4. Terapi cairan
BB : 54 kg
EBV : 65cc/kgBB x 54 = 3510 cc
Jumlah perdarahan : 100 cc
% perdarahan : 100/3510x100% = 2,8%
Kebutuhan cairan :
Maintenance = 2 x 54= 108 cc
Stress operasi = 6 x 54 = 324 cc
Defisit puasa = 6 x 108 = 648 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi
Jam I : M + SO + ½ DP = 108 + 324 + 324 = 756 cc
Jam II : M + SO + ¼ DP = 108 + 324 + 162 = 594 cc
Jam III : M + SO + ¼ DP = 108 + 324 + 162 = 594 cc
c. Bila pasien sadar penuh, mual (-), muntah (-), boleh makan dan minum bertahap
6. Perintah di ruangan :
a. Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050)
b. Pengawasan tanda vital setiap setengah jam selama 24 jam
c. Program cairan RL % 20 tetes/menit
d. Program analgetik : Morphin 1 mg/ml jalan 1 ml/jam via syringe pump
e. Injeksi metocloperamide 10 mg/ 12 jam IV selama 2 hari
f. Paracetamol 500 mg/8 jam per oral
g. Jika menggigil diberi selimut dan cairan hangat
h. Jika tensi kurang dari 90/60 mmHg beri injeksi efedrin 10 mg 10 bolus
diencerkan
i. Pasien risiko jatuh
j. Post operasi rawat RR beri oksigen 3 lpm
Bila Aldrette score ≥ 8 pasien boleh pindah ruang
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien seorang perempuan usia 28 tahun dengan hidrosalping
bilateral dilakukan operasi laparoskopi salpingostomi, dilakukan dengan menggunakan
anestesi general. Anestesi general dipilih selain karena jenis operasinya juga karena
mengingat lokasi daerah yang dioperasi yaitu di abdomen. Dengan digunakannya anastesi
general maka proses operasi dapat berjalan secara lebih aman. Premedikasi pada pasien
diberikan midazolam agar pasien tidak cemas saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain
itu juga memberikan efek amnesia anterograd selama operasi berlangsung. Tujuan utama
dari pemberian obat premedikasi adalah untuk memberikan sedasi psikis, mengurangi rasa
cemas dan melindungi dari stress mental atau faktor-faktor lain yang berkaitan dengan
tindakan anestesi yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi
adalah terjadinya sedasi dari pasien tanpa disertai depresi dari pernapasan dan sirkulasi.
Obat anestesi yang diberikan adalah dengan agen inhalasi sevofluran sebagai
maintenance, agar pasien lebih rileks dan memudahkan operator melakukan prosedur
operasi. Induksi dilakukan dengan oksigenasi, propofol sebagai agen sedasi, fentanyl
sebagai agen analgesi dan atracurium sebagai muscle relaxant. Propofol memiliki sifat
hipnotik dan diperkirakan berefek samping minimal pada pasien DM. Fentanyl merupakan
analgetik kuat yang bekerja di sentral. Atracurium sebagai pelumpuh otot untuk
memudahkan intubasi. Pada pasien ini terdapat gangguan ginjal sehingga atracurium
dipilih karena eliminasinya tidak melalui ginjal melainkan di plasma.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasar kebutuhan cairan dan kehilangan
cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan. Proses pembedahan pada kasus ini
tergolong operasi sedang. Jumlah cairan yang dibutuhkan pada operasi yang berlangsung
selama kurang lebih 120 menit sebesar 1944 cc dengan jumlah perdarahan 100 cc (2,8%
dari EBV). Terapi cairan yang diberikan adalah RL 700 cc.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-tanda vital
yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen. Kemudian
dilakukan penilaian Aldrette score yaitu salah satu indikator pemulihan pasca anestesi.
Jika score adalah lebih dari sama dengan 8 pasien boleh keluar dari ruang pemulihan dan
pindah ruangan.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien merupakan pasien dewasa dengan hidrosalping bilateral
dengan tindakan operasi laparoskopi salpingostomi, dimana pasien menggunakan anestesi
umum. Premedikasi pada kasus ini diberikan midazolam, pasien puasa 6 jam sebelum
operasi, sudah di informed consent.
Program operasi laparoskopi salpingostomi merupakan tindakan operasi yang
terlihat sederhana tetapi memerlukan teknik yang cukup kompleks karena menggunakan
alat dan keahlian dari operator yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukannya anestesi
general untuk memudahkan prosedur. Anestesi umum yang dilakukan dengan anestesi
induksi menggunakan oksigenasi, propofol sebagai agen sedasi, fentanyl sebagai agen
analgesi dan atracurium sebagai muscle relaxant. Sedangkan maintenance dengan inhalasi
sevoflurane dan oksigen. Operasi berlangsung selama 2 jam (120 menit), pasien di intubasi
menggunakan et ukuran 7,5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarjo, Prof, dr, et al. Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP. 2013
2. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta,
“Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, Jakarta, 1989, hal.
67-69.
3. Drajat, M.T, “Kumpulan Kuliah Anestesiologi”, Aksara Medisina, Salemba, Jakarta,
1986, hal 99-102.
4. Gan, S, “Farmakologi dan Terapi”, edisi 3, Bagian Farmakologi FK UI, Jakarta, 1987,
hal 113.
5. Dobson, M.B, “Penuntun Praktis Anestesi”, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
1988, hal 56,84.
6. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-655.
7. Brockwell, RC, Andrew JJ : Inhaled Anestethic Delivery Systems dalam Miller RD:
Miller’s Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273-
311
8. Oridin FK : Anesthetic System dalam Miller RD: Anesthetic, New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152
9. Howley JE, Roth PA: Anesthetia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD :
basic of anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007, p 185-206
10. Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD : basic of
anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007, p 174-184